;-0 yakin, ada istri tapi mending dianggurin? Emang kuat, Tar?
Aku lebih memilih masuk kamar!Segera kuputar kunci kamar lalu menjauh dari pintu. Kulit dadaku terlihat jelas naik turun gugup karena memakai kebaya brokat pernikahan yang menerawang ini. Semoga saja, Pak Akhtara tidak kemari atau mengetuk ....Brak!Brak!Brak!"Jihan! Buka!"Belum selesai aku membatin, beliau sudah menggedor pintu kamar yang kutempati. Bukan diketuk perlahan selayaknya akan bertamu pada kamar orang lain. Beliau benar-benar seenaknya sendiri dan tetaplah .... jahat!"Jihan! Saya bilang bu-ka!"Kepalaku yang masih memakai sanggul pengantin dengan hiasan bunga melati dan mawar juga cunduk mentul sebanyak lima biji, lalu menggeleng pelan dengan perasaan tidak karuan takutnya. Kali ini, apa yang akan Pak Akhtara lakukan padaku setelah kedua orang tua kami pergi dari rumah ini?"Jihan! Jangan buat kesabaran saya habis!"Aku menelan ludah susah payah sambil memandangi pintu kamar yang terus digedor dari luar oleh Pak Akhtara. "Saya hitung sampai tiga! Kalau kamu masih
“Pak Akhtara kenapa, Mbak Min?!”Mbak Mini menghampiriku dengan raut cemas dan khawatir.“Pak Akhtara, Mbak! Tangannya berdarah-darah!”“Hah?! Kok bisa?”“Aku juga nggak tahu, Mbak! Ayo kita ke ruang tengah.”Dengan langkah yang tidak leluasa karena masih mengenakan jarik, aku berjalan lamban menuju ruang tengah.Setahuku, tadi saat beliau berpamitan akan keluar, tubuhnya masih baik-baik saja. Tapi mengapa pulang-pulang tangannya berdarah-darah?“Mbak Mini! Ambilin kapas atau apapun itu!” Seru Pak Akhtara.Beliau sedang duduk di sofa bed ruang tengah dengan mendekap tangan kirinya yang terluka. Kemeja putihnya juga terkena cipratan darah.Dari mana beliau hingga terluka seperti itu?Mbak Mini segera berlalu untuk mengambilkan perlengkapan pertolongan pertama. Sedang aku berjalan mendekati beliau yang nampak meringis kesakitan.“Pak, kenapa bisa terluka?” Tanyaku.“Diem!” Bentaknya.Dan itu tidak luput dari pandangan Rosita yang termangu dengan apa yang terjadi pada majikannya itu.Lalu
Kemudian tangan beliau turun membelai pundakku tapi wajahnya masih setia berada di dekat pipiku.Beliau kembali melabuhkan ciuman hangat dan manis di pipiku. Perlakuannya ini membuatku teringat akan sikapnya dulu yang begitu romantis. Penuh kelembutan dan cinta.Dan tidak kupungkiri jika aku seperti mendapat hujan di tengah sahara.Aku sedang berjuang untuk perasaan cintaku pada Pak Akhtara sekaligus mengembalikan cintanya padaku yang telah hilang. Semoga saja, aku masih mendapatkan sisa cinta itu.“Jihaaan … ,”Beliau kembali menyebut lirih namaku di sela mencium pipiku.“Ya, Pak?” Tanyaku dengan seulas senyum tipis.Lalu tangannya turun dari pundak menuju pinggangku. Kubiarkan saja beliau ingin melakukan apa padaku. Toh, aku sudah kembali menjadi istrinya dan aku ingin membaktikan hidupku untuknya.“Kenapa kamu wangi banget?” Bisiknya.Bahkan nafasnya yang menerpa daun telingaku seperti sebuah isyarat alam yang mampu membangkitkan hasratku. Detik itu juga.“Kamu mau kemana?” Tanyanya
Tanpa busana, aku ikut bergelung di bawah selimut yang sama dengan suamiku, Pak Akhtara. Sembari tidur menyamping ke kanan dan memperhatikan wajah dewasanya yang terlelap setelah merengkuh kenikmatan dunia bersamaku.Kenikmatan dunia yang didapat dengan kondisi setengah sadar. Namun, aku tetap menyukainya dan bahagia dengan sentuhan yang beliau berikan.Kemudian aku sedikit merapat ke arahnya yang terlelap miring lalu membelai pipinya lembut. Pria dewasa berusia empat puluh tiga tahun ini benar-benar telah mencuri hatiku. Aku sungguh tidak mengapa meski jarak usia kami terpaut lima belas tahun jauhnya. Beliau adalah jodohku dari Tuhan. Dan sudah sepatutnya aku mensyukuri itu dari pada tidak memiliki jodoh hingga akhir hayat. “Saya sangat mencintai Pak Akhtara,” ucapku tulus nan lirih.Dan dengan nakalnya, aku memberanikan diri kembali memberi satu kecupan di bibirnya yang entah mengapa seperti sebuah kesenangan baru bagiku.“Saya harap Bapak masih mencintai saya. Lalu tolong maafin
“Namanya juga kucing dikasih ikan asin! Mana nolak?! Jadi, kamu nggak usah lebay!” ucapnya sembari menunjuk wajahku.“Asal Bapak tahu, saya nggak minta uang, rumah, bisnis, atau mobil. Saya sadar sama isi perjanjian pra nikah kita. Bapak nggak perlu takut karena saya juga nggak tertarik lagi sama uang Bapak. Tapi, yang saya … yang saya cuma minta cuma ... rumah tangga kita sakinah.”Beliau kemudian tertawa geli sembari menggeleng meningkahi ucapanku. Biarlah.“Sakinah katamu?! Itu cuma pembungkus dari kedok sok baikmu, Jihan! Kamu pura-pura menginginkan pernikahan yang langgeng tapi … setelah mendapatkan kepercayaan saya … kamu lari kayak tikus ketahuan nyuri!”“Saya … sudah berubah.” “Hanya omong kosong!" Bentaknya seraya menunjuk wajahku, "Kamu nggak bisa nipu saya untuk kedua kalinya meski … ada Papa saya dibelakang kamu! Paham?!”“Apa perjanjian pra nikah itu masih kurang menguatkan bukti kalau saya udah berubah dan mencintai Pak Akhtara sepenuhnya? Apa masih kurang, Pak?” Tanyaku
“Ng … ngapain Pak Akhtara manggil aku, Mbak Min?” Tanyaku gugup.Tidak ada perasaan bahagia sama sekali karena aku dipanggil beliau.“Kurang tahu, Mbak Jihan. Mending langsung aja ke Pak Akhtara.”Aku mulai cemas dan ingin menghilang saja.“Mungkin Pak Akhtara minta dibuatin minuman, Mbak. Soalnya beliau datang sama temannya.”Teman?Teman siapa?Dan … bukankah cukup Mbak Mini saja yang menyiapkan minuman andai beliau ingin minum?Ah … dari pada aku kembali mendapatkan amukan dari beliau, lebih baik segera saja mendatanginya.Dengan langkah pelan, aku mendekati sumber suara Pak Akhtara dan temannya yang tengah duduk di ruang tamu. Entah mereka membicarakan apa.“Permisi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Tanyaku sopan.Beliau masih mengenakan kemeja kerja dan duduk berseberangan dengan seorang … perempuan.‘Siapa perempuan itu?’ Batinku.Dilihat dari penampilannya, ia sangat rapi dan usianya berada di atasku. Apa mungkin jika perempuan ini … kekasihnya Pak Akhtara?“Masuk ke kamar saya.
"Mending Mbak Jihan ke ruangan kerja Pak Akhtara. Biar beliau sendiri yang bilang apa maunya," ucap Mbak Mini.Apa?Ke ruangannya?Itu sama dengan aku akan mendaftar terluka!Kepalaku lantas menggeleng tegas. Tanda bahwa aku tidak mau menemui beliau. Beberapa hari ini hidupku tenang tanpa bertemu beliau sedikit pun. Aku selalu menyibukkan diri di belakang kala beliau berada di rumah. "Nggak, Mbak Min. Aku nggak mau.""Kalau Mbak Jihan nggak ikut, nanti aku kerepotan bawa belanjaannya, Mbak. Mana Rosita sakit gigi."Melihat Mbak Mini kerepotan sedang ia sudah begitu baik membelikanku kasur lantai dan lemari kecil, juga sering menghiburku ketika sedih, mana mungkin aku tega membiarkannya membawa belanjaan sendirian?Kebaikannya lebih besar dari pada ketakutanku untuk meminta izin keluar pada Pak Akhtara. "Tunggu disini ya, Mbak. Aku ... ke ruangan Pak Akhtara dulu," ucapku ragu-ragu dan takut. Bagai buah simalakama. Mendatangi Pak Akhtara itu sama dengan membuka luka di hati. Tapi t
“Itu disuruh Pak Akhtara datang ke ruangan kerjanya sama bawain kopi, Mbak.”Oh … aku pikir apa.Aku pikir beliau akan memarahiku karena baru saja membeli dua potong gamis yang bagus sekalian dengan hijabnya menggunakan kartu kreditnya.“Kok bukan Mbak Mini aja yang disuruh bawain kopi ke ruangan beliau?”“Nah itu dia, Mbak Jihan. Aku nggak tahu kenapa karena nggak bisa baca isi hati Pak Akhtara.”Kemudian tugasku menata barang-barang belanjaan ke etalase dapur diambil alih oleh Mbak Mini. Sedang aku segera memasak air untuk membuatkan kopi Pak Akhtara.“Nggak pakai gula, Mbak.”Setelah selesai membuatkan kopi, aku menaruhnya di atas baki lalu mengantarkannya ke ruang kerja Pak Akhtara. Tidak lupa mengetuk pintunya lebih dulu. Seperti mengetuk pintu hatinya agar tidak lagi membenciku.Setelah dipersilahkan masuk, aku meletakkan baki berisi kopi itu di meja.“Apa ada hal lain, Pak?” Tanyaku.Beliau mengangguk lalu mematikan laptop. Maklum, ini sudah hampir pukul sembilan malam dan baru