enjoy reading ...
"Masih mual, Han?" tanya Mamanya Pak Akhtara. Kami berempat sedang menikmati sarapan setengah siang di rumah kedua orang tua Pak Akhtara. Sajian menu yang ada di meja makan ini luar biasa enak sekali. Karena mualku tadi hanya karena takut dengan gaya mengemudi Pak Akhtara yang ugal-ugalan, jadi tidak ada penolakan sama sekali dari perutku ketika dihadapkan pada menu makanan super lezat ini. "Enggak kok, Ma," ucapku dengan seulas senyum tipis usai menelah sup bola- bola daging. "Syukurlah." Mama dan Papanya Pak Akhtara saling tersenyum karena menganggap aku tengah hamil anaknya Pak Akhtara. Padahal tidak demikian. "Ma, Pa, kita jalan-jalan yuk? Mumpung akhir pekan?" ucap Pak Akhtara. "Jalan-jalan kemana, Tar? Bukannya hamil muda itu mending istirahat aja ya?" Mamanya berucap. Lalu kaki Pak Akhtara menyenggol kakiku. Sadar dengan kode ini, aku pun berdehem pelan sebelum berkata ... "Aku tadi sebenarnya pengen kita jalan-jalan bareng, Ma, Pa. Bosan di rumah aja. Gimana?" "
"Masih mau disuapi lagi?" Bisik Pak Akhtara. Kukira beliau akan mencium pipiku seperti keinginan Mamanya. Ternyata beliau pura-pura seakan menciumku padahal hanya berbisik. Ah ... syukurlah. Setidaknya pipiku tidak terkena stempel dari bibirnya. Kepalaku lantas menggeleng pelan dan melirik keluarganya yang mulai melunak menatap Pak Akhtara. Tidak seterkejut tadi saat beliau membentak Mamanya dan menaruh mangkuk berisi salad dengan kasar di meja. "Kalau gitu, ayo keluar bentar. Ngurusin Sabrina." Bisiknya lagi kemudian menarik diri. Aku berpura-pura memasang wajah tersenyum bahagia lalu berkata di hadapan keluarga besar Pak Akhtara. "Ma, Pa, maaf kalau sikap Mas Tara agak kasar tadi. Soalnya kami nggak pernah mengumbar kemesraan di depan orang lain. Kami lebih suka nunjukin rasa kasih sayang itu kalau di rumah. Tolong maafin Mas Tara ya, Ma?" ucapku dengan menatap Mamanya Pak Akhtara. Beliau mengangguk lalu menatap Pak Akhtara, "Mama nggak tahu, Tar. Maaf." "Mama nggak per
"Kamu merasa kayak di atas awan karena udah jadi istri dan hamil anaknya Akhtara. Iya, kan?!" Tanya Sabrina. "Mari kita bicara sebagai sesama perempuan aja. Tanpa menyangkutpautkan Mas Akhtara dalam hal ini." "Tahu apa kamu tentang hidupku, heh?! Berani nyuruh aku ngomongin semua masalahku ke kamu," ucapnya kembali dengan emosi yang tertahan sambil menunjuk wajahku. Lalu aku menatap Sabrina lekat dengan menumpukan kedua siku tangan di atas meja. Biar saja dia bisa puas menunjuk-nunjuk wajahku. "Di sini aku nawarin jalur damai. Bukan jalur perang terus terusan. Dan sekali lagi aku tegasin, apa yang jadi curahan hatimu siang ini, akan jadi rahasia kami. Poin plusnya, kami akan bantu sebisa kami nyeleseiin masalahmu." "Kurang baik yang gimana lagi kami ke kamu, Sab? Minta kamu mundur tapi masih bantuin kamu." "Kecuali kamu nggak mau nerima niat baik kami lalu tetap berjuang tanpa arah kayak gini. Anakmu itu butuh sosok orang tua yang menyayangi dia bukan yang menelantarkan. Karena
"Eh .... mau ngobrol apaan ya, Ma?" Tanyaku dengan perasaan was-was. "Kira-kira nanti waktu istirahat makan siang, Akhtara nyariin kamu nggak, Han?" Nah ini .... ada apa sih? "Ehm .... saya bisa alasan lagi makan sama teman, Ma." Aku beralasan seolah-olah setiap hari selalu makan siang bersama Pak Akhtara saat jam istirahat. Padahal, kami biasa makan siang sendiri-sendiri. Tapi karena aku sadar akan posisi sebagai istri kontrak Pak Akhtara, maka alasan yang kuutarakan juga harus tepat. "Ya udah, nanti Mama jemput di kantor ya? Kita ngobrol sama makan siang bareng." Aduh ... apa yang akan beliau tanyakan? "Ehm ... iya, Ma." "Hati-hati kalau kerja, Han. Kamu lagi hamil soalnya. Tadi pagi udah sarapan kan?" "Udah kok, Ma." Baiklah, mengapa aku merasa sangat paranoid sekarang ketika Mamanya Pak Akhtara bertanya tentang kehamilanku? Kehamilan bohongku maksudnya. Akhirnya sepanjang hari aku berusaha bekerja sefokus mungkin meski ada rasa was-was yang menyerbu hati. Namun aku tid
Aku batal menurunkan handle pintu lalu berbalik badan menatap Pak Akhtara yang duduk di kursi kebesarannya sebagai manajer di perusahaan ini. Kedua mata kami beradu. Tapi aku menunjukkan sorot setengah kesal sambil menghela nafas panjang menghadapi sikap Pak Akhtara yang selalu seenaknya saja. "Pak, ini jam istirahat. Dan ini adalah hak saya!" Tanpa sengaja aku memprotes sikap Pak Akhtara dengan nada bicara sedikit meninggi. Reflek! Kedua alisnya sedikit dinaikkan begitu mendengar keberatan yang baru saja kulayangkan. "Kamu mulai berani meninggikan suaramu di hadapan saya ya, Han?!" "Eh .... bukan begitu maksud saya, Pak. Maaf," ucapku setengah menyesal dengan menggoyangkan kedua tangan. Astaga, bagaimana bisa aku kelepasan mengontrol emosi di depan Pak Akhtara? Beliau ini adalah atasan atau manajerku di kantor sekaligus suami kontrakku. Firasatku berkata sepertinya setelah ini nasibku tidak akan baik-baik saja. "Setelah kamu bisa lunasi perumahan orang tuamu dari bonus yang s
"Bagian gudang selalu nggak cocok kalau nulis jumlah barang yang ada. Seringnya kelebihan terus, Han." Kepalaku mengangguk membenarkan, "Iya, Pak. Makanya setiap mau setor data ke Pak Akhtara, kalau ada jumlah yang selisihnya nggak sama kayak hari-hari sebelumnya, saya nekat datang langsung ke gudang lalu minta tolong sama Pak Hadza untuk audit ulang." Hanya di depan atasan saja aku memanggil Mas Hadza dengan sebutan Pak Hadza. Karena aku merasa dia terlalu muda untuk dipanggil 'Pak' dan terasa kurang akrab. "Dan hasilnya, selalu ada selisih kan?!" tanya Pak Akhtara usai membaca laporan yang kubuat. Kami juga baru saja menyelesaikan catatan yang kubuat saat meeting tadi. "Iya, Pak. Selalu ada selisih." Pak Akhtara menghela nafas panjang nan lelah lalu menyandarkan punggungnya di kursi kerja. Membuat kursi itu terpantul-pantul pelan. "Kinerja orang gudang makin kesini makin buruk. Dan kamu tahu sendiri kan gimana kritikan direktur utama waktu rapat tadi ke saya, Han? Saya kaya
"Keluarga pasien Akhtara!" Aku yang sedang duduk di kursi panjang depan IGD, langsung menoleh ke sumber suara kemudian menghampiri suster yang memanggil. "Saya, Sus!" "Silahkan masuk. Dokter akan menjelaskan." Aku meninggalkan Bik Wati duduk sendirian di kursi panjang lalu melangkah cepat masuk ke dalam UGD. Lalu suster menyibak tirai hijau dan terlihat Pak Akhtara masih memejamkan mata dengan cairan infus menggantung di tiang. Punggung tangan kirinya juga telah tertusuk jarum infus. "Keluarga pasien Akhtara?" Kemudian aku mengangguk, "Iya, Dokter. Saya." "Maaf, Mbaknya ini keponakan atau anaknya?" Kedua alisku terangkat begitu mendengar pertanyaan sang dokter jaga. "Saya ... ee ... saya istrinya, Dokter." Sebenarnya ada keraguan untuk mengakui status kami, namun bagaimana lagi? Dokter pasti tidak akan memberikan penjelasan detail terkait kesehatan Pak Akhtara dengan alasan bukan keluarga terdekat. Wajah sang dokter sedikit terkejut usai aku mengaku sebagai istri Pak Akht
"Mas Hadza?" Gumamku. Aku memejamkan mata sekilas lalu kembali membukanya lebar-lebar untuk memastikan pandangan jika yang sedang menaiki motor sekuter matic warna biru itu ada lelaki idamanku. Ia memakai helm standar warna hitam dengan menaikkan kacanya. Kedua mataku terus menatapnya tanpa melirik manapun, khawatir akan berpindah tempat lalu hilang dari pandangan. Maklum, Mas Hadza begitu memikat hati dan segala yang berhubungan dengan dirinya adalah magnet untukku. Hingga akhirnya dia menoleh ke kiri dan aku reflek melambaikan tangan padanya tanpa tahu malu.Dia menatapku sama terkejutnya lalu menunjukku. Tapi aku hanya mengangguk dan tersenyum karena jarak kami sedikit berjauhan. Kemudian aku melirik boncengannya yang kosong. 'Ya elah, andai Mas Hadza bilang mau bareng, nggak pakai lama langsung gue tinggalin nih ojek. Mayan kan bisa pedekate tipis-tipis ke dia.' Tapi sayang, setelah lampu hijau menyala tetap saja aku menaiki ojek hingga tiba di kantor. Lucunya dia menaiki mot