enjoy reading ...
"Bagian gudang selalu nggak cocok kalau nulis jumlah barang yang ada. Seringnya kelebihan terus, Han." Kepalaku mengangguk membenarkan, "Iya, Pak. Makanya setiap mau setor data ke Pak Akhtara, kalau ada jumlah yang selisihnya nggak sama kayak hari-hari sebelumnya, saya nekat datang langsung ke gudang lalu minta tolong sama Pak Hadza untuk audit ulang." Hanya di depan atasan saja aku memanggil Mas Hadza dengan sebutan Pak Hadza. Karena aku merasa dia terlalu muda untuk dipanggil 'Pak' dan terasa kurang akrab. "Dan hasilnya, selalu ada selisih kan?!" tanya Pak Akhtara usai membaca laporan yang kubuat. Kami juga baru saja menyelesaikan catatan yang kubuat saat meeting tadi. "Iya, Pak. Selalu ada selisih." Pak Akhtara menghela nafas panjang nan lelah lalu menyandarkan punggungnya di kursi kerja. Membuat kursi itu terpantul-pantul pelan. "Kinerja orang gudang makin kesini makin buruk. Dan kamu tahu sendiri kan gimana kritikan direktur utama waktu rapat tadi ke saya, Han? Saya kaya
"Keluarga pasien Akhtara!" Aku yang sedang duduk di kursi panjang depan IGD, langsung menoleh ke sumber suara kemudian menghampiri suster yang memanggil. "Saya, Sus!" "Silahkan masuk. Dokter akan menjelaskan." Aku meninggalkan Bik Wati duduk sendirian di kursi panjang lalu melangkah cepat masuk ke dalam UGD. Lalu suster menyibak tirai hijau dan terlihat Pak Akhtara masih memejamkan mata dengan cairan infus menggantung di tiang. Punggung tangan kirinya juga telah tertusuk jarum infus. "Keluarga pasien Akhtara?" Kemudian aku mengangguk, "Iya, Dokter. Saya." "Maaf, Mbaknya ini keponakan atau anaknya?" Kedua alisku terangkat begitu mendengar pertanyaan sang dokter jaga. "Saya ... ee ... saya istrinya, Dokter." Sebenarnya ada keraguan untuk mengakui status kami, namun bagaimana lagi? Dokter pasti tidak akan memberikan penjelasan detail terkait kesehatan Pak Akhtara dengan alasan bukan keluarga terdekat. Wajah sang dokter sedikit terkejut usai aku mengaku sebagai istri Pak Akht
"Mas Hadza?" Gumamku. Aku memejamkan mata sekilas lalu kembali membukanya lebar-lebar untuk memastikan pandangan jika yang sedang menaiki motor sekuter matic warna biru itu ada lelaki idamanku. Ia memakai helm standar warna hitam dengan menaikkan kacanya. Kedua mataku terus menatapnya tanpa melirik manapun, khawatir akan berpindah tempat lalu hilang dari pandangan. Maklum, Mas Hadza begitu memikat hati dan segala yang berhubungan dengan dirinya adalah magnet untukku. Hingga akhirnya dia menoleh ke kiri dan aku reflek melambaikan tangan padanya tanpa tahu malu.Dia menatapku sama terkejutnya lalu menunjukku. Tapi aku hanya mengangguk dan tersenyum karena jarak kami sedikit berjauhan. Kemudian aku melirik boncengannya yang kosong. 'Ya elah, andai Mas Hadza bilang mau bareng, nggak pakai lama langsung gue tinggalin nih ojek. Mayan kan bisa pedekate tipis-tipis ke dia.' Tapi sayang, setelah lampu hijau menyala tetap saja aku menaiki ojek hingga tiba di kantor. Lucunya dia menaiki mot
Perlahan aku merapikan rambut dan memperhatikan penampilanku yang tidak masalah sama sekali. Tapi mengapa Pak Akhtara terus menatapku. "Ehem ... Pak, karena data bulan lalu tidak bisa diaudit karena barang telah terjual, apa nilainya tetap ditulis di sini?" "Lewati aja, Han," ucapnya pelan dengan tetap menatapku sambil merebahkan diri di sofa. "Tapi kolomnya kosong banyak, Pak." "Itu yang dimau Pak Direktur. Kita nurut aja." Aku mengangguk dan melanjutkan lembur. Mengabaikan tatapan Pak Akhtara yang terus mengarah padaku. Ada apa sih memandangku terus?Hingga ponselku berdering nyaring. Abang go food telah tiba di depan perusahaan."Saya ambil makanan dulu, Pak." "Pakai uang saya aja, Han." Lalu Pak Akhtara berusaha duduk di tengah sakit kepala yang menyerang setelah mengambil dompetnya dari saku belakang celana. Aku hampir tidak percaya ketika beliau meletakkan dompetnya di meja begitu saja. Kemarin aku begitu lancang membuka dompetnya saat beliau dirawat di UGD. Sekarang, aku
"Eh ... saya tadi ... keluar bentar, Pak. Nyari angin habis buang air kecil." Kilahku. Jangan sampai! Jangan sampai Pak Akhtara mengetahui jika aku tadi berada di gudang bersama Mas Hadza. Persoalannya bisa panjang karena selain itu menyalahi kontrak perjanjian pra nikah kami, juga seperti menelantarkan beliau di situasi genting seperti ini. Salah satu pasal dalam perjanjian pra nikah kami menyebutkan jika tidak boleh memiliki pasangan baru selama menjalani pernikahan kontrak ini. Alasannya sederhana, agar kami bisa memerankan tugas masing-masing dengan optimal jika keluarga Pak Akhtara datang ke rumah. Tapi demi cintaku pada Mas Hadza, terpaksa aku hanya bisa mendekatinya tanpa berani terang-terangan mengatakan rasa terpendam ini. "Kamu sibuk nyari angin? Apa kamu nggak lihat gimana buntunya otak saya, Han?!" Aku segera mengambil duduk di depan Pak Akhtara lalu meraih dokumen yang ada di samping laptopnya. "Maaf, Pak. Mari kita kerjakan secepatnya dari pada memarahi saya. M
Aku bertanya apa, malah Pak Akhtara menjawab apa. Gimana sih orang ini?! "Eh … makan siang gimana maksudnya, Pak?" "Saya tanya apa kamu mau makan siang?" Aku masih bingung dengan pertanyaannya. "Eh .... iya, Pak. Saya mau makan siang. Kan emang jam makan siang." Ini maksudnya aku akan makan siang dengan siapa begitu kah? "Mau saya traktir nggak?" Aku melebarkan kedua mata dengan ponsel masih menempel di telinga. Tumben sekali mentraktirku? Apa presentasinya lancar?"Pak, apa Bapak aman? Maksud saya, Pak Akhtara nggak jadi dipecat kan?! Presentasinya lulus ya?" Pikirku jika beliau mentraktir makan siang, pastilah suasana hatinya sedang baik. Dan ini mungkin ada hubungannya dengan presentasi hari ini. "Apa kalau mau nraktir makan siang itu nunggu nggak dipecat dulu, Han?!" Ya Tuhan, aku bingung menghadapi ucapan Pak Akhtara. Karena korelasi hubungan sebab akibatnya tidak sinkron. "Jadi, Bapak tetap dipecat?" Tanyaku sungguh-sungguh. "Saya nraktir kamu sebagai bentuk terima ka
“Diem deh, Pak!” ucapku lirih namun tegas sambil tetap membungkuk di kursi penumpang sebelahnya.Telunjuk kananku juga memberi kode di depan bibir agar Pak Akhtara tidak berkata-kata lagi. “Oh … takut ketahuan?" “Jangan pura-pura nggak tahu deh, Pak!” ucapku ketus. Aku kembali mengintip sekeliling parkiran. Ternyata Mas Hadza baru saja melepas helm lalu pergi dari parkiran. Oh ... lelaki idamanku. Ingin rasanya berjalan di samping Mas Hadza yang sekarang berjalan seorang diri. Sedang karyawan lain juga baru berdatangan dari makan siang. Mereka memarkir motornya satu demi satu di lahan parkiran basement kantor hingga membuatku terjebak lebih lama di mobil Pak Akhtara. Kampret banget! "Ini semua gara-gara Bapak!" Gerutuku sambil menegakkan badan. Pak Akhtara yang sedang fokus pada ponselnya pun menoleh. "Saya? Emangnya saya ngapain, Han?" "Tau lah! Ngeselin!" "Kamu itu udah ditraktir makan siang masih aja marah-marah." Tetiba saja kata hatiku berkata agar segera membuka ponse
"Heh?" Bukannya menjawab apakah bersedia pulang bersama Mas Hadza, aku justru menatapnya penuh keterkejutan. Otakku masih memproses apa yang Mas Hadza tawarkan ditengah rasa tidak percaya ini. Benarkah dia menawarkan jok belakang motornya untuk mengantarku pulang? Ya Tuhan, jika benar, tolong jangan buat aku pingsan dulu! Benar kata sang pujangga, kadang jatuh cinta itu bisa membuat seseorang tampak terlihat begitu bodoh sekali. Seperti saat ini contohnya. Aku justru menatap Mas Hadza yang sedang duduk di atas jok motor skuter warna biru miliknya. Bukannya menjawab apakah aku bersedia diantar pulang olehnya atau tidak. "Han?" Tanya Mas Hadza lagi dengan menggoyangkan tangan di depan mataku. Lalu tangan Fita menoel lenganku sedikit kasar hingga aku terbangun dari keterkejutan. Oh Tuhan, kebahagiaan apa yang akan Engkau berikan padaku? Tiba-tiba saja Mas Hadza menawarkan ajakan pulang. Seperti keajaiban yang luar biasa indahnya datang dalam waktu sesingkat-singkatnya. "Han
POV AKHTARA“Maaf katamu?” Tanya Farhan dengan suara sinis.“Waktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!”Aku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. “Aku!” Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.“Bukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!” ucapnya dengan menunjuk dadaku.“Kamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!”“Dan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!”Kepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.“Munafik!”“Saya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.”Tanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan eksp
POV AKHTARA [Pesan dariku : Han, saya mau ke rumahmu malam ini. Apa boleh?]Aku menunggu jawaban Jihan dengan sangat tidak sabaran. Menit demi menit itu terasa sangat lama sekali. Kemana dia? Mengapa sedang tidak online?Setelah lima menit dan mondar-mandir sendiri di dalam apartemen, aku kembali melihat ponsel yang masih saja belum menunjukkan ada notifikasi dari Jihan.Baru kemarin Jihan bertamu ke apartemenku, dan hari ini aku langsung bergerak cepat. Memangnya mau menunggu apa?Ting …Aku segera meraih ponsel yang ada di meja dengan harap-harap cemas semoga saja itu dari Jihan.Dan ...[Pesan dari Jihan : Maaf, Pak. Mau apa memangnya?]Kemudian aku langsung menekan gambar telfon dan terhubung ke nomer Jihan. Aku merasa berbicara langsung itu lebih jelas dan gamblang dari pada mengatakannya melalui pesan singkat.“Halo?”“Saya mencintai kamu, Han.”Ini mungkin terlihat sangat frontal dan tidak sabaran. Karena aku langsung mengatakan isi hatiku kepada Jihan tanpa ada basa basi sama
POV AKHTARAJihan kemudian menoleh dengan mata berkaca-kaca kemudian dia berdiri tanpa membawa paper bag. Lalu dia berjalan ke arahku hingga terlihat jelas ekspresi wajahnya.Kecewa, sedih, dan marah bercampur menjadi satu.“Ketika Bapak mau pergi meninggalkan saya dan Akhtira, setelah nyuruh Faris datang ke rumah dengan memberikan deretan surat berharga beserta rekening berisi uang yang nggak main-main banyaknya, kenapa Bapak nggak angkat telfon saya?”“Kenapa Bapak main pergi aja waktu itu?”Lalu air matanya kembali jatuh setetes membasahi pipi.“Bapak ngasih saya dan Akhtira harta sebanyak itu lalu pergi gitu aja, saya kayak merasa semuanya bisa Bapak hargai pakai uang!”Kemudian air mata Jihan makin deras membasahi pipinya. Bahkan bibirnya ikut bergetar menahan isak tangis.“Saya tahu Bapak itu kaya, tapi kenapa semuanya selalu Bapak putuskan sendiri tanpa dengerin saya dulu! Kenapa Bapak selalu menilainya pakai uang?! Bapak punya hati dan cinta kan?! Kenapa nggak mencoba menggunak
POV AKHTARATujuh hari aku berada di tanah suci untuk benar-benar menghambakan diri pada Tuhan. Segala urusan duniawi kukesampingkan.Aku benar-benar mengharap ampunan turun bersama dengan kesungguhanku saat bersujud, menengadahkan tangan, dan tetesan air mata penyesalan.Kugunakan waktu itu sebaik mungkin dengan memperbanyak ibadah. Aku hanya pulang ke hotel jika benar-benar mengantuk.Aku tidak tahu apakah pemeriksaan keseluruhan terhadap kesehatanku itu lolos ataukah tidak. Bila lolos dan dinyatakan cocok, setidaknya aku telah membasuh jiwaku di tanah suci sebelum kembali pada sang Khaliq.Tapi bila tidak lolos, aku harap Tuhan memberi jalan kehidupan yang lebih baik. Karena aku sudah tidak lagi muda dan waktunya lebih fokus pada ibadah serta keluarga.Faris melambaikan tangannya begitu aku keluar dari pintu kedatangan penerbangan luar negeri. Dengan menggeret koper, aku menghampirinya yang menatapku dengan pandangan berkaca-kaca.Dia sudah kuanggap seperti adik dan langsung merangk
POV AKHTARA Faris yang berdiri di samping itu kemudian menatapku penuh keterkejutan. Pun dengan dokter yang kuajak berbicara dan masih memegang hasil laboratorium pasien yang menderita sakit keras itu. "Pak, apa ... maksudnya?" Tanya dokter itu. "Maksud saya seperti yang dokter pikirkan."Dokter itu kemudian menatap Faris dengan penuh keterkejutan. Pasalnya mana ada orang yang sudi mendonorkan hatinya dengan terang-terangan seperti aku?Mungkin mereka pikir aku sedang main-main dengan hal ini. Padahal aku benar-benar merasa bahwa ini adalah titik balik untuk memperbaiki diri dan mendapatkan ampunan dari Tuhan atas semua kesalahanku. "Pak Akhtara, maaf. Ini bukan perkara sederhana, Pak. Mendonorkan hati itu tidak sama dengan mendonorkan ginjal. Manusia punya dua ginjal dan masih bisa bertahan hidup dengan satu ginjal. Tapi kalau hati ... manusia hanya punya satu, Pak. Kalau itu diambil, maka --- ""Saya mati. Begitu kan alurnya?" Jawabku tenang. Dokter dan Faris saling bertatapan d
POV AKHTARA“Mas, mau gendong Tira nggak?” Tanya Abid dengan suara sangat lirih.Aku yang tengah duduk di bangku belakang sambil menatap keluar jendela mobil pun beralih atensi pada adikku itu.Dia tengah memangku putraku, Akhtira, yang sudah tertidur dengan lelap. Sedang kedua anaknya masing-masing dipangku istrinya dan Papa. Hanya aku saja yang tidak memangku anak kecil.Kemudian aku melongok ke arah putraku itu. Dia benar-benar damai terlelap di atas pangkuan adikku. Dan selalu enggan untuk berdekatan denganku.“Apa dia nanti nggak kebangun, Bid?” Tanyaku dengan suara sama lirihnya.“Pelan-pelan aja, Mas.”Lalu aku mengusap pipi halusnya itu dengan ibu jari untuk memastikan apakah Akhtira benar-benar sangat terlelap. Ternyata putraku itu tetap tidur dengan sangat pulas.“Kayaknya dia kecapekan habis main air terus perutnya kenyang. Jadi deh ngorok.”Aku menahan tawa karena guyonan Abid lalu mengangguk dengan mengulurkan kedua tangan untuk menerima putraku.Galau di hati yang sedari
POV AKHTARAAku harus tetap professional dengan tidak mencampuradukkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Meski terasa sulit dengan tidak memikirkan penolakan Jihan saat aku sedang bekerja seperti ini.Permintaan Jihan yang tidak bersedia rujuk adalah sebuah keputusan yang tidak boleh kupaksa. Dia memiliki hak yang harus kuhormati sekalipun itu melukai hatiku.Cintaku pada sesama manusia telah habis di Jihan.Meski Humaira begitu baik secara sifat dan iman, tetap saja aku selalu terbayang Jihan. Bukankah akan makin menyakiti Humaira jika dia mengerti jika hatiku masih tertambat pada Jihan?“Mungkin jika Bu Jihan sudah menikah lagi, Bapak akan benar-benar bisa melepas dan melupakannya. Karena pintu untuk mendapatkannya benar-benar telah tertutup,” ucap Faris.Aku menghela nafas panjang dengan menatap gelas minumku yang mengembun. Kami sedang makan malam bersama karena aku tidak mau makan malam sendirian. Kebetulan tempat tinggal Faris tidak jauh dari apartemen tempatku berteduh.“M
POV AKHTARAKarena putraku, Akhtira, sedang duduk di pangkuan seorang lelaki dengan menghadap wajah orang itu. Bahkan senyum putraku terlihat mengembang penuh tawa apalagi saat lelaki itu menyerukkan kepalanya ke arah dada putraku.Tira kembali tertawa terpingkal karena geli dan mencengkeram rambut lelaki itu. Semakin Tira terpingkal, dia semakin menyerukkan kepalanya ke dada putraku hingga tawa keduanya menguar bebas dan membuatku … iri.Lelaki yang masih memakai kemeja putih dan celana kain hitam khas pakaian ASN itu, apakah dia yang bernama Farhan?Seorang aparatur sipil negara yang berstatus duda dan sedang mendekati Jihan.Karena lelaki itu sibuk menyerukkan kepalanya di dada putraku, dia tidak menyadari kehadiranku yang menatap ke arahnya dengan penuh rasa iri dan sedih.Iri karena putraku bisa seakrab itu dengannya. Padahal aku ini ayah biologisnya.Dan sedih karena aku belum pernah sekalipun menggendong putraku sama sekali.Sudah berapa lama mereka bersama? Sudah berapa lama le
POV AKHTARA“Saya panggilin Papa biar Tira dipangku Papa. Jadi Bapak bisa menyentuh Tira.”Aku sedikit mengerutkan kening mendapati jawaban Jihan.“Kenapa harus sama Papamu?”“Kita ini udah bukan suami istri secara agama, Pak. Kalau kita berdekatan, nanti jadi dosa.”Mulutku terkunci ketika Jihan berkata seperti itu. Satu kenyataan yang hampir kulupakan bahwa wanita yang sangat kucintai ini sebenarnya telah terlepas dari genggamanku secara agama.Statusnya hanya istri secara hukum negara.Tapi aku ingat perkataan Papa bahwa masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan Jihan kembali dengan rajin mengunjungi Tira.Ketika Jihan hendak berdiri, aku berkata …“Tolong kamu dudukkan aja Tira di kursi. Nggak usah panggil Papamu.”Karena aku yakin jika Papanya Jihan akan membuat pembatas antara aku dan Tira. Apalagi jika putraku itu menangis karena baru pertama kali bertemu denganku.Jihan mengangguk lalu membujuk Tira untuk duduk di kursi. Putraku itu nampak tidak kooperatif namun Jihan terus m