enjoy reading .... :-)
Aku batal menurunkan handle pintu lalu berbalik badan menatap Pak Akhtara yang duduk di kursi kebesarannya sebagai manajer di perusahaan ini. Kedua mata kami beradu. Tapi aku menunjukkan sorot setengah kesal sambil menghela nafas panjang menghadapi sikap Pak Akhtara yang selalu seenaknya saja. "Pak, ini jam istirahat. Dan ini adalah hak saya!" Tanpa sengaja aku memprotes sikap Pak Akhtara dengan nada bicara sedikit meninggi. Reflek! Kedua alisnya sedikit dinaikkan begitu mendengar keberatan yang baru saja kulayangkan. "Kamu mulai berani meninggikan suaramu di hadapan saya ya, Han?!" "Eh .... bukan begitu maksud saya, Pak. Maaf," ucapku setengah menyesal dengan menggoyangkan kedua tangan. Astaga, bagaimana bisa aku kelepasan mengontrol emosi di depan Pak Akhtara? Beliau ini adalah atasan atau manajerku di kantor sekaligus suami kontrakku. Firasatku berkata sepertinya setelah ini nasibku tidak akan baik-baik saja. "Setelah kamu bisa lunasi perumahan orang tuamu dari bonus yang s
"Bagian gudang selalu nggak cocok kalau nulis jumlah barang yang ada. Seringnya kelebihan terus, Han." Kepalaku mengangguk membenarkan, "Iya, Pak. Makanya setiap mau setor data ke Pak Akhtara, kalau ada jumlah yang selisihnya nggak sama kayak hari-hari sebelumnya, saya nekat datang langsung ke gudang lalu minta tolong sama Pak Hadza untuk audit ulang." Hanya di depan atasan saja aku memanggil Mas Hadza dengan sebutan Pak Hadza. Karena aku merasa dia terlalu muda untuk dipanggil 'Pak' dan terasa kurang akrab. "Dan hasilnya, selalu ada selisih kan?!" tanya Pak Akhtara usai membaca laporan yang kubuat. Kami juga baru saja menyelesaikan catatan yang kubuat saat meeting tadi. "Iya, Pak. Selalu ada selisih." Pak Akhtara menghela nafas panjang nan lelah lalu menyandarkan punggungnya di kursi kerja. Membuat kursi itu terpantul-pantul pelan. "Kinerja orang gudang makin kesini makin buruk. Dan kamu tahu sendiri kan gimana kritikan direktur utama waktu rapat tadi ke saya, Han? Saya kaya
"Keluarga pasien Akhtara!" Aku yang sedang duduk di kursi panjang depan IGD, langsung menoleh ke sumber suara kemudian menghampiri suster yang memanggil. "Saya, Sus!" "Silahkan masuk. Dokter akan menjelaskan." Aku meninggalkan Bik Wati duduk sendirian di kursi panjang lalu melangkah cepat masuk ke dalam UGD. Lalu suster menyibak tirai hijau dan terlihat Pak Akhtara masih memejamkan mata dengan cairan infus menggantung di tiang. Punggung tangan kirinya juga telah tertusuk jarum infus. "Keluarga pasien Akhtara?" Kemudian aku mengangguk, "Iya, Dokter. Saya." "Maaf, Mbaknya ini keponakan atau anaknya?" Kedua alisku terangkat begitu mendengar pertanyaan sang dokter jaga. "Saya ... ee ... saya istrinya, Dokter." Sebenarnya ada keraguan untuk mengakui status kami, namun bagaimana lagi? Dokter pasti tidak akan memberikan penjelasan detail terkait kesehatan Pak Akhtara dengan alasan bukan keluarga terdekat. Wajah sang dokter sedikit terkejut usai aku mengaku sebagai istri Pak Akht
"Mas Hadza?" Gumamku. Aku memejamkan mata sekilas lalu kembali membukanya lebar-lebar untuk memastikan pandangan jika yang sedang menaiki motor sekuter matic warna biru itu ada lelaki idamanku. Ia memakai helm standar warna hitam dengan menaikkan kacanya. Kedua mataku terus menatapnya tanpa melirik manapun, khawatir akan berpindah tempat lalu hilang dari pandangan. Maklum, Mas Hadza begitu memikat hati dan segala yang berhubungan dengan dirinya adalah magnet untukku. Hingga akhirnya dia menoleh ke kiri dan aku reflek melambaikan tangan padanya tanpa tahu malu.Dia menatapku sama terkejutnya lalu menunjukku. Tapi aku hanya mengangguk dan tersenyum karena jarak kami sedikit berjauhan. Kemudian aku melirik boncengannya yang kosong. 'Ya elah, andai Mas Hadza bilang mau bareng, nggak pakai lama langsung gue tinggalin nih ojek. Mayan kan bisa pedekate tipis-tipis ke dia.' Tapi sayang, setelah lampu hijau menyala tetap saja aku menaiki ojek hingga tiba di kantor. Lucunya dia menaiki mot
Perlahan aku merapikan rambut dan memperhatikan penampilanku yang tidak masalah sama sekali. Tapi mengapa Pak Akhtara terus menatapku. "Ehem ... Pak, karena data bulan lalu tidak bisa diaudit karena barang telah terjual, apa nilainya tetap ditulis di sini?" "Lewati aja, Han," ucapnya pelan dengan tetap menatapku sambil merebahkan diri di sofa. "Tapi kolomnya kosong banyak, Pak." "Itu yang dimau Pak Direktur. Kita nurut aja." Aku mengangguk dan melanjutkan lembur. Mengabaikan tatapan Pak Akhtara yang terus mengarah padaku. Ada apa sih memandangku terus?Hingga ponselku berdering nyaring. Abang go food telah tiba di depan perusahaan."Saya ambil makanan dulu, Pak." "Pakai uang saya aja, Han." Lalu Pak Akhtara berusaha duduk di tengah sakit kepala yang menyerang setelah mengambil dompetnya dari saku belakang celana. Aku hampir tidak percaya ketika beliau meletakkan dompetnya di meja begitu saja. Kemarin aku begitu lancang membuka dompetnya saat beliau dirawat di UGD. Sekarang, aku
"Eh ... saya tadi ... keluar bentar, Pak. Nyari angin habis buang air kecil." Kilahku. Jangan sampai! Jangan sampai Pak Akhtara mengetahui jika aku tadi berada di gudang bersama Mas Hadza. Persoalannya bisa panjang karena selain itu menyalahi kontrak perjanjian pra nikah kami, juga seperti menelantarkan beliau di situasi genting seperti ini. Salah satu pasal dalam perjanjian pra nikah kami menyebutkan jika tidak boleh memiliki pasangan baru selama menjalani pernikahan kontrak ini. Alasannya sederhana, agar kami bisa memerankan tugas masing-masing dengan optimal jika keluarga Pak Akhtara datang ke rumah. Tapi demi cintaku pada Mas Hadza, terpaksa aku hanya bisa mendekatinya tanpa berani terang-terangan mengatakan rasa terpendam ini. "Kamu sibuk nyari angin? Apa kamu nggak lihat gimana buntunya otak saya, Han?!" Aku segera mengambil duduk di depan Pak Akhtara lalu meraih dokumen yang ada di samping laptopnya. "Maaf, Pak. Mari kita kerjakan secepatnya dari pada memarahi saya. M
Aku bertanya apa, malah Pak Akhtara menjawab apa. Gimana sih orang ini?! "Eh … makan siang gimana maksudnya, Pak?" "Saya tanya apa kamu mau makan siang?" Aku masih bingung dengan pertanyaannya. "Eh .... iya, Pak. Saya mau makan siang. Kan emang jam makan siang." Ini maksudnya aku akan makan siang dengan siapa begitu kah? "Mau saya traktir nggak?" Aku melebarkan kedua mata dengan ponsel masih menempel di telinga. Tumben sekali mentraktirku? Apa presentasinya lancar?"Pak, apa Bapak aman? Maksud saya, Pak Akhtara nggak jadi dipecat kan?! Presentasinya lulus ya?" Pikirku jika beliau mentraktir makan siang, pastilah suasana hatinya sedang baik. Dan ini mungkin ada hubungannya dengan presentasi hari ini. "Apa kalau mau nraktir makan siang itu nunggu nggak dipecat dulu, Han?!" Ya Tuhan, aku bingung menghadapi ucapan Pak Akhtara. Karena korelasi hubungan sebab akibatnya tidak sinkron. "Jadi, Bapak tetap dipecat?" Tanyaku sungguh-sungguh. "Saya nraktir kamu sebagai bentuk terima ka
“Diem deh, Pak!” ucapku lirih namun tegas sambil tetap membungkuk di kursi penumpang sebelahnya.Telunjuk kananku juga memberi kode di depan bibir agar Pak Akhtara tidak berkata-kata lagi. “Oh … takut ketahuan?" “Jangan pura-pura nggak tahu deh, Pak!” ucapku ketus. Aku kembali mengintip sekeliling parkiran. Ternyata Mas Hadza baru saja melepas helm lalu pergi dari parkiran. Oh ... lelaki idamanku. Ingin rasanya berjalan di samping Mas Hadza yang sekarang berjalan seorang diri. Sedang karyawan lain juga baru berdatangan dari makan siang. Mereka memarkir motornya satu demi satu di lahan parkiran basement kantor hingga membuatku terjebak lebih lama di mobil Pak Akhtara. Kampret banget! "Ini semua gara-gara Bapak!" Gerutuku sambil menegakkan badan. Pak Akhtara yang sedang fokus pada ponselnya pun menoleh. "Saya? Emangnya saya ngapain, Han?" "Tau lah! Ngeselin!" "Kamu itu udah ditraktir makan siang masih aja marah-marah." Tetiba saja kata hatiku berkata agar segera membuka ponse