enjoy reading ... klik gem dan tinggalkan komentar yang mendukung. Makasiiiiihh..
“Duduk aja di situ! Bentar lagi Pak Akhtara juga datang. Aku capek! Mau istirahat!” ucapku setengah kesal. Lalu tanpa memperdulikan Sabrina, aku segera melangkah ke dalam rumah lalu menemui Bik Wati dan Rani yang sedang berbincang lirih di dapur. Melihat kehadiranku, kedua asisten rumah tangga Pak Akhtara itu langsung berdiri dari duduk lalu sedikit membungkukkn badan. “Ada yang bisa kami bantu, Mbak Jihan?” Aku menggeleng lalu menarik satu kursi yang berada di meja makan mini di dapur. Kemudian mendudukinya. “Kesel banget sama tamu yang itu, Bik! Masak baru datang langsung ngajak ribut?!” Bik Wati kemudian menatap Rani sekilas. “Mbak Jihan, saya minta maaf. Sebenarnya, Mbak Sabrina udah di sini dari tadi siang. Mendadak minta ketemu sama Mbak Jihan tapi saya nggak boleh ngasih tahu identitasnya.” “Bik Wati kenal Sabrina?” Kepala Bik Wati mengangguk pelan, “Kenal, Mbak.” Dengan menumpukan kedua tangan di meja, aku menatap Bik Wati dan Rani yang masih berdiri. “Berarti tahu do
"Saya juga nggak tahu, Han!" Kemudian Pak Akhtara mendesah lelah sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. Masih dengan kemeja kerja yang melekat di tubuhnya. Lalu kakinya menendang angin untuk meluapkan kekesalan. "Nikah kontrak sama kamu itu takut suatu saat kalau ketahuan bisa berabe. Nggak nikah sama kamu nanti saya dijodohin. Mau nyari pengganti Sabrina itu nggak mungkin secepat membalikkan telapak tangan. Semuanya kacau, Han!" Pak Akhtara kembali mendesah lelah sambil berkacak pinggang. Ekspresi wajahnya juga menyiratkan kelelahan batin yang membuatnya merasa tersiksa. Baru kali ini aku melihat beliau selelah ini. Meski pekerjaan di kantor itu berat dan penuh tanggung jawab, namun belum pernah sekalipun aku mendengar keluh kesah beliau seperti ini. Berbeda ketika beliau dihadapkan pada masalah asmara yang melibatkan keluarga besarnya. "Dan sekarang, ditambah Sabrina ngamuk nggak ketulungan! Saya capek banget!" Sedetik kemudian aku melihat kedatangan Sabrina ditengah kerema
"Eh ... sudah pulang? Ayo masuk, Tara, Jihan."Itu suara ibu mertua alias Mamanya Pak Akhtara. Beliau sedang di ruang tamu dan di sebelahnya terdapat sebuah stroller bayi. Bagian dalamnya terdapat baju-baju bayi yang masih berada di dalam plastik.Kemudian aku menoleh ke arah Pak Akhtara dengan jemari kami masih saling bertaut. Lalu berkedip cepat untuk memberi kode tentang ...'Untuk apa stroler dan baju-baju bayi itu, Pak?' tanyaku dalam hati.Namun Pak Akhtara hanya menghela nafas panjang nan lelah tanpa memberi jawaban. Aku segera melepas genggaman jemari kami lalu mencium punggung tangan Mamanya Pak Akhtara. Hal sama juga dilakukan Pak Akhtara."Kamu kayaknya lelah banget, Tar?" tanya Mamanya."Iya, Ma. Kerjaan lagi numpuk.""Ya udah, sana cepat mandi. Kamu bau loh."Setelah Pak Akhtara berlalu ke kamar, aku memberanikan diri bertanya. "Papa kemana, Ma?" "Tuh lagi nyiapin makan malam kita. Oh ya, Han, ini Mama bawain stroller sama baju-baju bayi. Kata orang-orang jaman dulu, be
"Pak Akhtara jahat!" ucapku penuh emosi lalu bersedekap dan memunggunginya. Aku berani berkata selantang ini karena kami sudah berada di dalam kamar setelah makan malam dengan kedua orang tuanya. Makan malam yang mengesalkan!!!Bagaimana tidak mengesalkan jika bukan karena ..."Coba kamu ada di posisi saya, Jihan. Kamu pasti bingung!" ucapnya tak kalah jengkel."Tapi kenapa Bapak bilang menyanggupi kedua orang tua Bapak kalau kita akan segera memberi mereka cucu!? Ini udah kejauhan dari perjanjian nikah kontrak kita, Pak! Saya nggak mau hamil anak Bapak!" "Itu hanya kata-kata penenang, Jihan! Kalau mereka nggak dikasih pengharapan yang ada status kita bisa ketahuan! Lagian saya juga nggak mungkin bisa gituan sama kamu!"Aku dan Pak Akhtara sama-sama mengedepankan ego hingga akhirnya kami kesal sendiri. Lalu kami memijat pelipis kepala masing-masing yang terasa pening. Apalagi mengingat wanti-wanti kedua orang tua Pak Akhtara agar kami berusaha lebih giat 'membuat' anak. Huuuuft!!!
"Kalau kamu nggak nyaman untuk cerita, nggak usah dijawab nggak apa-apa kok, Han." Tapi rasanya, aku lelah menanggung masalah ini sendirian selama ini. Ingin sekali bercerita pada satu orang saja setidaknya untuk mendengar kebenaran itu versiku. Juga untuk mendengar kritik dan saran dari orang lain tentang masa laluku agar tidak kembali mengulanginya. "Wanita kemarin itu, dia adalah ... istri kekasih saya, Pak." Kedua alis Pak Akhtara terangkat dengan mata menatapku lekat. "Kekasihmu, Han?" Kepalaku mengangguk tegas, "Itu dulu, Pak. Sekarang kami udah putus." "Oh ... " Lalu kepala Pak Akhtara mengangguk pelan dengan memalingkan tatapan. "Maaf ya, Han, apa saya boleh tanya lagi?" "Boleh, Pak. Sekalian saya ingin berbagi masalah ini untuk pertama kali. Nyesek rasanya kalau dipendam sendiri." "Dia pelangganmu? Atau ... gimana?" Aku mengambil nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Sembari menggali memori lamaku tentang pertemuan kami. "Kami ketemu di aplikasi ken
“Bisa gawat kan, Pak, kalau Sabrina kemari lalu bilang-bilang sama orang kantor yang tidak-tidak. Misal nih dia iseng bertanya, apa sih jabatan istri Bapak. Kan sekantor bisa heboh kalau ada yang tahu Bapak udah nikah tapi nggak pernah ada undangan.” “Benar juga kamu, Han.” “Nah itu lah, Pak. Jangan sampai dia nemuin resepsionis kantor lalu tanya yang tidak-tidak tentang Bapak dan saya. Atau pernikahan kontrak kita terbongkar dan itu justru bikin kita malu sejadi-jadinya. Saya tidak siap dihujat, Pak. Juga tidak siap kehilangan pekerjaan dari kantor ini.” "Nanti sore Sabrina akan saya atasi." "Begitu lebih baik, Pak." "Tapi ... nanti sore kamu bisa kan nemenin saya nemuin Sabrina?" Aku mengerjapkan mata berulang dengan ponsel masih menempel di telinga. "Kenapa saya juga ikut, Pak?" *** Kunjungan kerja yang dimaksud Pak Akhtara ternyata bukan berasal dari perusahaan kacangan. Melainkan dari salah satu perusahaan manufaktur besar yang akan menjalin kerja sama dengan perusahaan t
Lidahku terasa kelu untuk melanjutkan ucapan hingga akhirnya Pak Akhtara memarkir mobilnya di parkiran sebuah rumah makan tempatnya memiliki janji bertemu dengan Sabrina. "Kamu kenapa memangnya, Han?" tanya beliau lagi setelah menarik tuas rem mobil. Aku menatap Pak Akhtara takut-takut dengan melipat bibir ke dalam. "Jihan, saya tanya kenapa? Itu artinya saya butuh jawaban. Bukan lihatin kamu bungkam kayak gini." Ini benar-benar membuatku dilema. Pasalnya permintaan Pak Akhtara agar aku berakting seolah sangat mencintainya berbeda tiga ratus enam puluh derajat dengan kenyataan yang pernah kukatakan pada Sabrina. Bagaimana ini? Usai mengatakan apa yang pernah kukatakan pada Sabrina beberapa waktu yang lalu pada Pak Akhtara, kepalaku hanya menunduk takut. Sedang beliau menghela nafas panjang dengan tangan menyugar rambut dan ekspresi tidak tahu harus bagaimana. "Maaf, Pak. Saya bilang gitu soalnya nggak betah dikatain pelakor. Nggak Sabrina, nggak istri mantan pacar saya dulu,
"Kamu ---- " "Intinya gini, Sab. Jangan ganggu su-a-mi-ku! Paham?! Sekali lagi aku tegasin! Jangan ganggu su-a-mi-ku! Bagiku apapun Mas Akhtara adalah segalanya untukku. Aku nggak peduli sama masa lalunya sama sekali. Ngerti kamu?!" Potongku cepat. Lalu Sabrina menggebrak meja dan kembali menunjukku. "Harusnya Akhtara itu nikahin aku! Bukan kamu! Kamu itu cuma pelakor! Bisanya ngambil laki-laki milik perempuan lain aja! Apa kamu nggak punya hati?! Kita ini sesama perempuan!" Teriakan Sabrina menggema di rumah makan dengan air mata yang membasahi pipi. Sedang pengunjung mulai menatap perdebatan tidak tahu malu kami. Lebih tepatnya aku mulai tersudut dan dianggap sebagai perempuan yang seharusnya paling bertanggung jawab atas perpisahannya dengan Pak Akhtara. Astaga naga!!!! Aku ini hanya istri kontrak! Tapi kini harus berperan seperti istri sungguhan untuk mempertahankan suaminya! Sumpah! Sepulang dari rumah makan ini, jika aku bisa membuat serangan berbalik mengenai Sabrina,
POV AKHTARA Satu tahun kemudian ... "Selamat, Pak. Bayinya lahir sehat. Perempuan."Aku yang sedang menemani Jihan melahirkan secara sesar itu pun tidak kuasa menahan haru dan bahagia karena kami dipercaya Tuhan untuk merawat cipataan-Nya yang sangat lucu dan menggemaskan.Adiknya Akhtira. Setelah suster membersihkan putri kami tercinta, aku segera menggendongnya. Lalu melafadzkan suara adzan di telinganya. Dengan mata berkaca-kaca, aku mencium pipinya penuh cinta. Lalu memberikannya pada Jihan yang masih terbaring di atas meja operasi. "Mau Ayah kasih nama siapa?""Aksara Badsah Ubaid."Kemudian Jihan terlihat sedikit memanyunkan bibir."Aku yang hamil susah payah, tapi nama kedua anakku mirip Ayah semua." Protesnya. "Ya udah saya ganti.""Diganti apa?""Aksara Febriana Ubaid."Jihan menganggukkan kepala setuju dengan melakukan skin ship bersama putri kami. "Namanya kelihatan ada ceweknya. Kalau yang pertama kayak laki-laki, Yah.""Apapun yang kamu mau, Sayang."Kemudian aku da
POV AKHTARARumah megahku yang berada di Bogor terasa begitu sepi, dingin, dan mati. Tidak ada suara tawa atau celotehan Akhtira.Dulu aku mendiami rumah ini hanya untuk menaruh lelap, berganti pakaian, dan berpesta dengan rekan-rekan bisnis. Bukan sebagai tempat untuk melepas kepenatan atau mendulang kebahagiaan.“Dulu saya suka pulang ke rumah ini karena ada kamu, Han,” ucapku.Sambil bergelung dengan satu selimut yang sama dengan Jihan. Di kamar yang ia tempati dulu.“Gombal. Nyatanya Bapak juga masih keluar sama Merissa padahal ada saya di rumah.”Kemudian aku membawanya dalam pelukan hingga kulit kami saling bersentuhan.“Saya nemenin Merissa belanja doang. Dan sengaja pulang agak malam biar kamu cemburu.”Tangan Jihan kemudian memukul dadaku.“Jahat!”Aku tersenyum lalu mencium kening dan memeluknya.“Saya jahat sama kamu dan jahat sama diri saya sendiri. Saya pengen cepat pulang, ketemu kamu, lalu mendapatkan hak saya. Tapi saya sengaja ngulur-ngulur waktu biar kamu cemburu. Soa
POV AKHTARA“Pa, aku sama Ayahnya Tira mau ke Bogor,” ucap Jihan ketika kami semua duduk di kursi meja makan.“Ngapain ke Bogor?!” Tanya Papanya Jihan ketus.Jihan yang sedang menyuapi Akhtira kemudian menatapku yang duduk di sebelah putraku itu.Kemudian Papanya Jihan langsung menatapku dengan ekspresi tidak suka.“Mau merencanakan apa lagi kamu, Akhtara?! Nggak usah bawa-bawa Jihan pergi jauh dari kami! Kami nggak percaya sama kamu!”Inilah alasan kuat mengapa Jihan dan Akhtira tidak diperbolehkan untuk tinggal seatap saja denganku. Mereka berpikir jika aku masihlah jahat seperti dulu. Dan sudah pasti aku harus sabar dan kuat menghadapi sikap mereka.“Aku khawatir kamu udah bikin rencana di Bogor lalu Jihan sama Tira nggak pulang-pulang! Kalau kamu mau ke Bogor, pergi aja sendiri sana!”“Meski Jihan udah kembali jadi hakmu, tapi aku sebagai Papanya nggak mau kejadian buruk itu kembali terulang!”Usai menelan makanan, aku menatap Papanya Jihan, mertuaku.Aku menyadari mengapa amarah b
POV AKHTARA Dengan jarak sedekat ini sambil menatap wajah cantik Jihan, aku benar-benar terlena. Wanita yang ada di hadapanku saat ini telah resmi menjadi istriku, pendamping hidupku. Tidak ada kata terlarang untuk menyentuh wajahnya dengan kedua tanganku. Bahkan aku dihalalkan untuk menyentuhnya lebih dari ini. Andai tidak lupa akan janjiku untuk membuatnya nyaman terlebih dahulu, mungkin aku bisa memilikinya saat ini juga.Kemudian aku menurunkan kedua tangan dari wajahnya lalu berdiri dari bersimpu dan mundur dua langkah. Sungguh, berdekatan dengan Jihan membuat naluriku sebagai seorang pria tergugah sepenuhnya.Kini aku benar-benar tahu mengapa saat bersama Merissa, aku tidak pernah sukses menjadi pria sejati. Jawabannya sudah pasti karena aku tidak mencintai dia sama sekali dan hatiku benar-benar menginginkan Jihan seorang. "Kenapa, Pak?" Aku menggeleng sembari tersenyum. "Saya cuma mau kamu nyaman dulu, Han. Saya takut kalau nggak menjaga sikap, justru kamu yang terpaksa."
POV AKHTARA Usiaku hampir menyentuh angka empat puluh lima tahun. Sedang Jihan masih berusia tiga puluh tahun. Perbedaan usia kami membuat ia lebih cocok menjadi keponakanku. Dan sebagai pria yang sudah berumur, siapa yang tidak senang jika memiliki istri yang masih muda, cantik, dan solehah?Inilah yang disebut dengan perhiasan dunia. Apalagi dia telah melahirkan keturunanku yang sehat dan tampan, Akhtira."Khilaf?" Tanya Jihan keheranan.Dengan bersedekap sambil menyandarkan punggung pada pintu kamar hotel yang kami tempati, aku fokus menikmati wajah cantik Jihan yang penuh dengan riasan pengantin dari kejauhan.Sungguh cantik!Lalu aku mengangguk sekilas. "Maksudnya?""Kalau kemarin saya cuma bisa mencintai kamu tanpa bisa memiliki, maka berbeda dengan sekarang. Saya boleh mencintai kamu sedalam apapun karena kamu resmi hanya akan menjadi milik saya aja, Han."Jihan nampak sedikit salah tingkah dengan ucapanku lalu dia membuang muka. Imut dan menggemaskan sekali.Andai aku tidak
POV AKHTARA Aku sudah tidak merasa asing lagi dengan sebutan 'perjanjian pra nikah'. Karena ketika aku akan menikahi Jihan untuk kedua kalinya dan memberinya madu dengan menikahi Merissa, aku menggunakan perjanjian pra nikah dengan alasan untuk melindungi harta bendaku. Saat itu, aku mencampuradukkan hal yang disebut cinta dan sayang dengan racun bernama dendam. Hingga aku menganggap Jihan dan Merissa adalah sama-sama perempuan yang harus kuwaspadai mana kala akan mengeruk hartaku semata.Tapi ternyata, aku keliru besar. Karena saat menikahi Jihan untuk kedua kalinya, dia benar-benar sudah berubah. Hanya aku saja yang tidak menyadari. Hingga tega menduakannya dengan Merissa. "Aku restui niat baikmu kembali menikahi Jihan untuk ketiga kalinya, Akhtara."Aku langsung tersenyum lega dengan perasaan bahagia tiada terkira mendengar ucapan Papanya Jihan. Meski beliau mengatakannya dengan ekspresi yang datar dan acuh. "Agama cuma ngasih kamu batas menikahi Jihan hanya tiga kali. Dan jang
POV AKHTARA Satu unit motor untuk kaum lelaki baru saja kubayar lunas. Dan kini motor itu tengah dinaikkan ke mobil pick up menuju alamat Farhan. "Apa Farhan mau menerimanya, Pak?" Tanya Faris yang duduk di sebelahku."Saya nggak peduli dia mau menerima hadiah dari saya atau nggak, Ris. Karena saya berniat memberikan hadiah itu sebagai ucapan terima kasih ia pernah berjasa dalam kehidupan Jihan dan Akhtira. Saya nggak mau jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Kami duduk bersebelahan dengan menatap proses motor seharga lima puluh juta itu akhirnya berhasil dinaikkan ke atas bak mobil. Segala kelengkapannya kuserahkan pada pihak penjual motor. "Kamu urus sisanya ya, Ris. Saya mau ketemu Tira."Kemudian aku menyetir mobil dan sengaja singgah sebentar ke salah satu mall untuk mengunjungi salah satu gerai yang menjual mainan. Apalagi jika bukan untuk membelikan Tira mainan baru. Putraku itu ternyata tidak mudah untuk didekati. Dan sepertinya aku harus membelikan mainan yang sangat m
POV AKHTARA Sepasang tiket VIP dari biro perjalanan ke tanah suci sudah siap di tangan. "Apa kamu yakin ini adalah cara terbaik bikin kedua orang tua Jihan mau merestui hubungan saya sama Jihan, Ris?" Tanyaku."Kita coba saja dulu, Pak. Kalau Bapak ngasih harta atau rumah baru, belum tentu orang tua Bu Jihan luluh. Justru marah yang iya. Tapi kalau hadiah sepaket perjalanan ke tanah suci, saya rasa itu adalah hadiah terbaik sepanjang masa."Apa yang dikatakan Faris ada benarnya. "Oke. Saya akan hubungi Jihan kalau nanti malam mau bertamu ke rumahnya.""Semoga semuanya lancar, Pak."Hampir satu minggu ini aku dan Faris berpikir tentang hadiah terbaik untuk kedua orang tua Jihan agar sudi menerimaku lagi. Dan pilihan kami jatuh pada tanah suci. Dan selama satu minggu itu pula, aku selalu memikirkan Jihan dan Akhtira. Apakah Jihan mendapat omongan yang tidak mengenakkan dari kedua orang tuanya karena memilihku?Ataukah semuanya baik-baik saja tidak seperti dugaanku?Sebab, satu minggu
POV AKHTARA“Maaf katamu?” Tanya Farhan dengan suara sinis.“Waktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!”Aku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. “Aku!” Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.“Bukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!” ucapnya dengan menunjuk dadaku.“Kamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!”“Dan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!”Kepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.“Munafik!”“Saya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.”Tanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan ekspr