enjoy reading ... :-)
"Saya juga nggak tahu, Han!" Kemudian Pak Akhtara mendesah lelah sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. Masih dengan kemeja kerja yang melekat di tubuhnya. Lalu kakinya menendang angin untuk meluapkan kekesalan. "Nikah kontrak sama kamu itu takut suatu saat kalau ketahuan bisa berabe. Nggak nikah sama kamu nanti saya dijodohin. Mau nyari pengganti Sabrina itu nggak mungkin secepat membalikkan telapak tangan. Semuanya kacau, Han!" Pak Akhtara kembali mendesah lelah sambil berkacak pinggang. Ekspresi wajahnya juga menyiratkan kelelahan batin yang membuatnya merasa tersiksa. Baru kali ini aku melihat beliau selelah ini. Meski pekerjaan di kantor itu berat dan penuh tanggung jawab, namun belum pernah sekalipun aku mendengar keluh kesah beliau seperti ini. Berbeda ketika beliau dihadapkan pada masalah asmara yang melibatkan keluarga besarnya. "Dan sekarang, ditambah Sabrina ngamuk nggak ketulungan! Saya capek banget!" Sedetik kemudian aku melihat kedatangan Sabrina ditengah kerema
"Eh ... sudah pulang? Ayo masuk, Tara, Jihan."Itu suara ibu mertua alias Mamanya Pak Akhtara. Beliau sedang di ruang tamu dan di sebelahnya terdapat sebuah stroller bayi. Bagian dalamnya terdapat baju-baju bayi yang masih berada di dalam plastik.Kemudian aku menoleh ke arah Pak Akhtara dengan jemari kami masih saling bertaut. Lalu berkedip cepat untuk memberi kode tentang ...'Untuk apa stroler dan baju-baju bayi itu, Pak?' tanyaku dalam hati.Namun Pak Akhtara hanya menghela nafas panjang nan lelah tanpa memberi jawaban. Aku segera melepas genggaman jemari kami lalu mencium punggung tangan Mamanya Pak Akhtara. Hal sama juga dilakukan Pak Akhtara."Kamu kayaknya lelah banget, Tar?" tanya Mamanya."Iya, Ma. Kerjaan lagi numpuk.""Ya udah, sana cepat mandi. Kamu bau loh."Setelah Pak Akhtara berlalu ke kamar, aku memberanikan diri bertanya. "Papa kemana, Ma?" "Tuh lagi nyiapin makan malam kita. Oh ya, Han, ini Mama bawain stroller sama baju-baju bayi. Kata orang-orang jaman dulu, be
"Pak Akhtara jahat!" ucapku penuh emosi lalu bersedekap dan memunggunginya. Aku berani berkata selantang ini karena kami sudah berada di dalam kamar setelah makan malam dengan kedua orang tuanya. Makan malam yang mengesalkan!!!Bagaimana tidak mengesalkan jika bukan karena ..."Coba kamu ada di posisi saya, Jihan. Kamu pasti bingung!" ucapnya tak kalah jengkel."Tapi kenapa Bapak bilang menyanggupi kedua orang tua Bapak kalau kita akan segera memberi mereka cucu!? Ini udah kejauhan dari perjanjian nikah kontrak kita, Pak! Saya nggak mau hamil anak Bapak!" "Itu hanya kata-kata penenang, Jihan! Kalau mereka nggak dikasih pengharapan yang ada status kita bisa ketahuan! Lagian saya juga nggak mungkin bisa gituan sama kamu!"Aku dan Pak Akhtara sama-sama mengedepankan ego hingga akhirnya kami kesal sendiri. Lalu kami memijat pelipis kepala masing-masing yang terasa pening. Apalagi mengingat wanti-wanti kedua orang tua Pak Akhtara agar kami berusaha lebih giat 'membuat' anak. Huuuuft!!!
"Kalau kamu nggak nyaman untuk cerita, nggak usah dijawab nggak apa-apa kok, Han." Tapi rasanya, aku lelah menanggung masalah ini sendirian selama ini. Ingin sekali bercerita pada satu orang saja setidaknya untuk mendengar kebenaran itu versiku. Juga untuk mendengar kritik dan saran dari orang lain tentang masa laluku agar tidak kembali mengulanginya. "Wanita kemarin itu, dia adalah ... istri kekasih saya, Pak." Kedua alis Pak Akhtara terangkat dengan mata menatapku lekat. "Kekasihmu, Han?" Kepalaku mengangguk tegas, "Itu dulu, Pak. Sekarang kami udah putus." "Oh ... " Lalu kepala Pak Akhtara mengangguk pelan dengan memalingkan tatapan. "Maaf ya, Han, apa saya boleh tanya lagi?" "Boleh, Pak. Sekalian saya ingin berbagi masalah ini untuk pertama kali. Nyesek rasanya kalau dipendam sendiri." "Dia pelangganmu? Atau ... gimana?" Aku mengambil nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Sembari menggali memori lamaku tentang pertemuan kami. "Kami ketemu di aplikasi ken
“Bisa gawat kan, Pak, kalau Sabrina kemari lalu bilang-bilang sama orang kantor yang tidak-tidak. Misal nih dia iseng bertanya, apa sih jabatan istri Bapak. Kan sekantor bisa heboh kalau ada yang tahu Bapak udah nikah tapi nggak pernah ada undangan.” “Benar juga kamu, Han.” “Nah itu lah, Pak. Jangan sampai dia nemuin resepsionis kantor lalu tanya yang tidak-tidak tentang Bapak dan saya. Atau pernikahan kontrak kita terbongkar dan itu justru bikin kita malu sejadi-jadinya. Saya tidak siap dihujat, Pak. Juga tidak siap kehilangan pekerjaan dari kantor ini.” "Nanti sore Sabrina akan saya atasi." "Begitu lebih baik, Pak." "Tapi ... nanti sore kamu bisa kan nemenin saya nemuin Sabrina?" Aku mengerjapkan mata berulang dengan ponsel masih menempel di telinga. "Kenapa saya juga ikut, Pak?" *** Kunjungan kerja yang dimaksud Pak Akhtara ternyata bukan berasal dari perusahaan kacangan. Melainkan dari salah satu perusahaan manufaktur besar yang akan menjalin kerja sama dengan perusahaan t
Lidahku terasa kelu untuk melanjutkan ucapan hingga akhirnya Pak Akhtara memarkir mobilnya di parkiran sebuah rumah makan tempatnya memiliki janji bertemu dengan Sabrina. "Kamu kenapa memangnya, Han?" tanya beliau lagi setelah menarik tuas rem mobil. Aku menatap Pak Akhtara takut-takut dengan melipat bibir ke dalam. "Jihan, saya tanya kenapa? Itu artinya saya butuh jawaban. Bukan lihatin kamu bungkam kayak gini." Ini benar-benar membuatku dilema. Pasalnya permintaan Pak Akhtara agar aku berakting seolah sangat mencintainya berbeda tiga ratus enam puluh derajat dengan kenyataan yang pernah kukatakan pada Sabrina. Bagaimana ini? Usai mengatakan apa yang pernah kukatakan pada Sabrina beberapa waktu yang lalu pada Pak Akhtara, kepalaku hanya menunduk takut. Sedang beliau menghela nafas panjang dengan tangan menyugar rambut dan ekspresi tidak tahu harus bagaimana. "Maaf, Pak. Saya bilang gitu soalnya nggak betah dikatain pelakor. Nggak Sabrina, nggak istri mantan pacar saya dulu,
"Kamu ---- " "Intinya gini, Sab. Jangan ganggu su-a-mi-ku! Paham?! Sekali lagi aku tegasin! Jangan ganggu su-a-mi-ku! Bagiku apapun Mas Akhtara adalah segalanya untukku. Aku nggak peduli sama masa lalunya sama sekali. Ngerti kamu?!" Potongku cepat. Lalu Sabrina menggebrak meja dan kembali menunjukku. "Harusnya Akhtara itu nikahin aku! Bukan kamu! Kamu itu cuma pelakor! Bisanya ngambil laki-laki milik perempuan lain aja! Apa kamu nggak punya hati?! Kita ini sesama perempuan!" Teriakan Sabrina menggema di rumah makan dengan air mata yang membasahi pipi. Sedang pengunjung mulai menatap perdebatan tidak tahu malu kami. Lebih tepatnya aku mulai tersudut dan dianggap sebagai perempuan yang seharusnya paling bertanggung jawab atas perpisahannya dengan Pak Akhtara. Astaga naga!!!! Aku ini hanya istri kontrak! Tapi kini harus berperan seperti istri sungguhan untuk mempertahankan suaminya! Sumpah! Sepulang dari rumah makan ini, jika aku bisa membuat serangan berbalik mengenai Sabrina,
Usai menata baju-bajuku ke dalam lemari setelah disetrika oleh Bik Wati, ponselku kembali berdering. Aku segera memiringkan badan karena kebetulan ponsel berada di atas ranjang yang bersebelahan dengan lemari. "Rara?" gumamku setelah melihat siapa nama penelfonnya. Buru-buru aku segera menggeser tombol hijau ke atas dan menempelkan ponsel ke telinga. "Ya, Ra?" "Gimana, Han? Udah ada jawaban belum?" Aku menepuk jidat karena sedari tadi sibuk dengan urusan kamar dan lemari pakaian. "Sejam lagi gue kasih jawaban, ya?" "Lama bener sih?" Lagipula, aku tidak harus mengatakan pada Rara bukan jika aku dan Pak Akhtara memiliki perjanjian pra nikah yang melarangku untuk kembali menggeluti pekerjaan sampingan sebagai pacar sewaan selama menjadi istri kontraknya. Alasannya sederhana, aku tidak mau mengumbar masalah pribadiku dan Pak Akhtara pada siapapun. Ini privasi kami dan pak Akhtara pasti sependapat denganku. "I ... itu ... dari tadi gue sibuk beres-beres kamar." "Bukannya Pa