enjoy reading ... :-)
"Eh ... sudah pulang? Ayo masuk, Tara, Jihan."Itu suara ibu mertua alias Mamanya Pak Akhtara. Beliau sedang di ruang tamu dan di sebelahnya terdapat sebuah stroller bayi. Bagian dalamnya terdapat baju-baju bayi yang masih berada di dalam plastik.Kemudian aku menoleh ke arah Pak Akhtara dengan jemari kami masih saling bertaut. Lalu berkedip cepat untuk memberi kode tentang ...'Untuk apa stroler dan baju-baju bayi itu, Pak?' tanyaku dalam hati.Namun Pak Akhtara hanya menghela nafas panjang nan lelah tanpa memberi jawaban. Aku segera melepas genggaman jemari kami lalu mencium punggung tangan Mamanya Pak Akhtara. Hal sama juga dilakukan Pak Akhtara."Kamu kayaknya lelah banget, Tar?" tanya Mamanya."Iya, Ma. Kerjaan lagi numpuk.""Ya udah, sana cepat mandi. Kamu bau loh."Setelah Pak Akhtara berlalu ke kamar, aku memberanikan diri bertanya. "Papa kemana, Ma?" "Tuh lagi nyiapin makan malam kita. Oh ya, Han, ini Mama bawain stroller sama baju-baju bayi. Kata orang-orang jaman dulu, be
"Pak Akhtara jahat!" ucapku penuh emosi lalu bersedekap dan memunggunginya. Aku berani berkata selantang ini karena kami sudah berada di dalam kamar setelah makan malam dengan kedua orang tuanya. Makan malam yang mengesalkan!!!Bagaimana tidak mengesalkan jika bukan karena ..."Coba kamu ada di posisi saya, Jihan. Kamu pasti bingung!" ucapnya tak kalah jengkel."Tapi kenapa Bapak bilang menyanggupi kedua orang tua Bapak kalau kita akan segera memberi mereka cucu!? Ini udah kejauhan dari perjanjian nikah kontrak kita, Pak! Saya nggak mau hamil anak Bapak!" "Itu hanya kata-kata penenang, Jihan! Kalau mereka nggak dikasih pengharapan yang ada status kita bisa ketahuan! Lagian saya juga nggak mungkin bisa gituan sama kamu!"Aku dan Pak Akhtara sama-sama mengedepankan ego hingga akhirnya kami kesal sendiri. Lalu kami memijat pelipis kepala masing-masing yang terasa pening. Apalagi mengingat wanti-wanti kedua orang tua Pak Akhtara agar kami berusaha lebih giat 'membuat' anak. Huuuuft!!!
"Kalau kamu nggak nyaman untuk cerita, nggak usah dijawab nggak apa-apa kok, Han." Tapi rasanya, aku lelah menanggung masalah ini sendirian selama ini. Ingin sekali bercerita pada satu orang saja setidaknya untuk mendengar kebenaran itu versiku. Juga untuk mendengar kritik dan saran dari orang lain tentang masa laluku agar tidak kembali mengulanginya. "Wanita kemarin itu, dia adalah ... istri kekasih saya, Pak." Kedua alis Pak Akhtara terangkat dengan mata menatapku lekat. "Kekasihmu, Han?" Kepalaku mengangguk tegas, "Itu dulu, Pak. Sekarang kami udah putus." "Oh ... " Lalu kepala Pak Akhtara mengangguk pelan dengan memalingkan tatapan. "Maaf ya, Han, apa saya boleh tanya lagi?" "Boleh, Pak. Sekalian saya ingin berbagi masalah ini untuk pertama kali. Nyesek rasanya kalau dipendam sendiri." "Dia pelangganmu? Atau ... gimana?" Aku mengambil nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Sembari menggali memori lamaku tentang pertemuan kami. "Kami ketemu di aplikasi ken
“Bisa gawat kan, Pak, kalau Sabrina kemari lalu bilang-bilang sama orang kantor yang tidak-tidak. Misal nih dia iseng bertanya, apa sih jabatan istri Bapak. Kan sekantor bisa heboh kalau ada yang tahu Bapak udah nikah tapi nggak pernah ada undangan.” “Benar juga kamu, Han.” “Nah itu lah, Pak. Jangan sampai dia nemuin resepsionis kantor lalu tanya yang tidak-tidak tentang Bapak dan saya. Atau pernikahan kontrak kita terbongkar dan itu justru bikin kita malu sejadi-jadinya. Saya tidak siap dihujat, Pak. Juga tidak siap kehilangan pekerjaan dari kantor ini.” "Nanti sore Sabrina akan saya atasi." "Begitu lebih baik, Pak." "Tapi ... nanti sore kamu bisa kan nemenin saya nemuin Sabrina?" Aku mengerjapkan mata berulang dengan ponsel masih menempel di telinga. "Kenapa saya juga ikut, Pak?" *** Kunjungan kerja yang dimaksud Pak Akhtara ternyata bukan berasal dari perusahaan kacangan. Melainkan dari salah satu perusahaan manufaktur besar yang akan menjalin kerja sama dengan perusahaan t
Lidahku terasa kelu untuk melanjutkan ucapan hingga akhirnya Pak Akhtara memarkir mobilnya di parkiran sebuah rumah makan tempatnya memiliki janji bertemu dengan Sabrina. "Kamu kenapa memangnya, Han?" tanya beliau lagi setelah menarik tuas rem mobil. Aku menatap Pak Akhtara takut-takut dengan melipat bibir ke dalam. "Jihan, saya tanya kenapa? Itu artinya saya butuh jawaban. Bukan lihatin kamu bungkam kayak gini." Ini benar-benar membuatku dilema. Pasalnya permintaan Pak Akhtara agar aku berakting seolah sangat mencintainya berbeda tiga ratus enam puluh derajat dengan kenyataan yang pernah kukatakan pada Sabrina. Bagaimana ini? Usai mengatakan apa yang pernah kukatakan pada Sabrina beberapa waktu yang lalu pada Pak Akhtara, kepalaku hanya menunduk takut. Sedang beliau menghela nafas panjang dengan tangan menyugar rambut dan ekspresi tidak tahu harus bagaimana. "Maaf, Pak. Saya bilang gitu soalnya nggak betah dikatain pelakor. Nggak Sabrina, nggak istri mantan pacar saya dulu,
"Kamu ---- " "Intinya gini, Sab. Jangan ganggu su-a-mi-ku! Paham?! Sekali lagi aku tegasin! Jangan ganggu su-a-mi-ku! Bagiku apapun Mas Akhtara adalah segalanya untukku. Aku nggak peduli sama masa lalunya sama sekali. Ngerti kamu?!" Potongku cepat. Lalu Sabrina menggebrak meja dan kembali menunjukku. "Harusnya Akhtara itu nikahin aku! Bukan kamu! Kamu itu cuma pelakor! Bisanya ngambil laki-laki milik perempuan lain aja! Apa kamu nggak punya hati?! Kita ini sesama perempuan!" Teriakan Sabrina menggema di rumah makan dengan air mata yang membasahi pipi. Sedang pengunjung mulai menatap perdebatan tidak tahu malu kami. Lebih tepatnya aku mulai tersudut dan dianggap sebagai perempuan yang seharusnya paling bertanggung jawab atas perpisahannya dengan Pak Akhtara. Astaga naga!!!! Aku ini hanya istri kontrak! Tapi kini harus berperan seperti istri sungguhan untuk mempertahankan suaminya! Sumpah! Sepulang dari rumah makan ini, jika aku bisa membuat serangan berbalik mengenai Sabrina,
Usai menata baju-bajuku ke dalam lemari setelah disetrika oleh Bik Wati, ponselku kembali berdering. Aku segera memiringkan badan karena kebetulan ponsel berada di atas ranjang yang bersebelahan dengan lemari. "Rara?" gumamku setelah melihat siapa nama penelfonnya. Buru-buru aku segera menggeser tombol hijau ke atas dan menempelkan ponsel ke telinga. "Ya, Ra?" "Gimana, Han? Udah ada jawaban belum?" Aku menepuk jidat karena sedari tadi sibuk dengan urusan kamar dan lemari pakaian. "Sejam lagi gue kasih jawaban, ya?" "Lama bener sih?" Lagipula, aku tidak harus mengatakan pada Rara bukan jika aku dan Pak Akhtara memiliki perjanjian pra nikah yang melarangku untuk kembali menggeluti pekerjaan sampingan sebagai pacar sewaan selama menjadi istri kontraknya. Alasannya sederhana, aku tidak mau mengumbar masalah pribadiku dan Pak Akhtara pada siapapun. Ini privasi kami dan pak Akhtara pasti sependapat denganku. "I ... itu ... dari tadi gue sibuk beres-beres kamar." "Bukannya Pa
Belum sempat sarapan dan Pak Akhtara mengemudi layaknya orang kesetanan! Aku melirik jarum speedometer mobil sedannya ini hampir mendekati kecepatan delapan puluh kilometer per jam. Gila! Ini kencang sekali. "Pak, pelan, Pak!"Berkali-kali Pak Akhtara membunyikan klakson agar kendaraan yang berada di depan bersedia menepi dan memberi jalan. Terus seperti itu hingga aku merasa ketakutan saat beliau hampir saja menyenggol pengendara roda dua yang tetap menyebrang padahal Pak Akhtara sudah membunyikan klakson panjang."Astaga, Pak! Jantung saya lepas!" Aku memekik takut sambil mengusap dada berkali-kali.Tapi Pak Akhtara tetap melajukan mobilnya secepat yang beliau mampu tanpa mempedulikan protes yang kulayangkan. "Pak, saya masih pengen hidup! Saya ini anak tunggal dan punya dua orang tua yang masih pengen saya bahagiakan!" Pekikku. Begitu memasuki kluster perumahan super elite dengan satpam yang meminta pass code, beliau mulai mengurangi kecepatan hingga tiba di depan sebuah rumah
POV AKHTARA“Maaf katamu?” Tanya Farhan dengan suara sinis.“Waktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!”Aku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. “Aku!” Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.“Bukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!” ucapnya dengan menunjuk dadaku.“Kamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!”“Dan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!”Kepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.“Munafik!”“Saya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.”Tanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan eksp
POV AKHTARA [Pesan dariku : Han, saya mau ke rumahmu malam ini. Apa boleh?]Aku menunggu jawaban Jihan dengan sangat tidak sabaran. Menit demi menit itu terasa sangat lama sekali. Kemana dia? Mengapa sedang tidak online?Setelah lima menit dan mondar-mandir sendiri di dalam apartemen, aku kembali melihat ponsel yang masih saja belum menunjukkan ada notifikasi dari Jihan.Baru kemarin Jihan bertamu ke apartemenku, dan hari ini aku langsung bergerak cepat. Memangnya mau menunggu apa?Ting …Aku segera meraih ponsel yang ada di meja dengan harap-harap cemas semoga saja itu dari Jihan.Dan ...[Pesan dari Jihan : Maaf, Pak. Mau apa memangnya?]Kemudian aku langsung menekan gambar telfon dan terhubung ke nomer Jihan. Aku merasa berbicara langsung itu lebih jelas dan gamblang dari pada mengatakannya melalui pesan singkat.“Halo?”“Saya mencintai kamu, Han.”Ini mungkin terlihat sangat frontal dan tidak sabaran. Karena aku langsung mengatakan isi hatiku kepada Jihan tanpa ada basa basi sama
POV AKHTARAJihan kemudian menoleh dengan mata berkaca-kaca kemudian dia berdiri tanpa membawa paper bag. Lalu dia berjalan ke arahku hingga terlihat jelas ekspresi wajahnya.Kecewa, sedih, dan marah bercampur menjadi satu.“Ketika Bapak mau pergi meninggalkan saya dan Akhtira, setelah nyuruh Faris datang ke rumah dengan memberikan deretan surat berharga beserta rekening berisi uang yang nggak main-main banyaknya, kenapa Bapak nggak angkat telfon saya?”“Kenapa Bapak main pergi aja waktu itu?”Lalu air matanya kembali jatuh setetes membasahi pipi.“Bapak ngasih saya dan Akhtira harta sebanyak itu lalu pergi gitu aja, saya kayak merasa semuanya bisa Bapak hargai pakai uang!”Kemudian air mata Jihan makin deras membasahi pipinya. Bahkan bibirnya ikut bergetar menahan isak tangis.“Saya tahu Bapak itu kaya, tapi kenapa semuanya selalu Bapak putuskan sendiri tanpa dengerin saya dulu! Kenapa Bapak selalu menilainya pakai uang?! Bapak punya hati dan cinta kan?! Kenapa nggak mencoba menggunak
POV AKHTARATujuh hari aku berada di tanah suci untuk benar-benar menghambakan diri pada Tuhan. Segala urusan duniawi kukesampingkan.Aku benar-benar mengharap ampunan turun bersama dengan kesungguhanku saat bersujud, menengadahkan tangan, dan tetesan air mata penyesalan.Kugunakan waktu itu sebaik mungkin dengan memperbanyak ibadah. Aku hanya pulang ke hotel jika benar-benar mengantuk.Aku tidak tahu apakah pemeriksaan keseluruhan terhadap kesehatanku itu lolos ataukah tidak. Bila lolos dan dinyatakan cocok, setidaknya aku telah membasuh jiwaku di tanah suci sebelum kembali pada sang Khaliq.Tapi bila tidak lolos, aku harap Tuhan memberi jalan kehidupan yang lebih baik. Karena aku sudah tidak lagi muda dan waktunya lebih fokus pada ibadah serta keluarga.Faris melambaikan tangannya begitu aku keluar dari pintu kedatangan penerbangan luar negeri. Dengan menggeret koper, aku menghampirinya yang menatapku dengan pandangan berkaca-kaca.Dia sudah kuanggap seperti adik dan langsung merangk
POV AKHTARA Faris yang berdiri di samping itu kemudian menatapku penuh keterkejutan. Pun dengan dokter yang kuajak berbicara dan masih memegang hasil laboratorium pasien yang menderita sakit keras itu. "Pak, apa ... maksudnya?" Tanya dokter itu. "Maksud saya seperti yang dokter pikirkan."Dokter itu kemudian menatap Faris dengan penuh keterkejutan. Pasalnya mana ada orang yang sudi mendonorkan hatinya dengan terang-terangan seperti aku?Mungkin mereka pikir aku sedang main-main dengan hal ini. Padahal aku benar-benar merasa bahwa ini adalah titik balik untuk memperbaiki diri dan mendapatkan ampunan dari Tuhan atas semua kesalahanku. "Pak Akhtara, maaf. Ini bukan perkara sederhana, Pak. Mendonorkan hati itu tidak sama dengan mendonorkan ginjal. Manusia punya dua ginjal dan masih bisa bertahan hidup dengan satu ginjal. Tapi kalau hati ... manusia hanya punya satu, Pak. Kalau itu diambil, maka --- ""Saya mati. Begitu kan alurnya?" Jawabku tenang. Dokter dan Faris saling bertatapan d
POV AKHTARA“Mas, mau gendong Tira nggak?” Tanya Abid dengan suara sangat lirih.Aku yang tengah duduk di bangku belakang sambil menatap keluar jendela mobil pun beralih atensi pada adikku itu.Dia tengah memangku putraku, Akhtira, yang sudah tertidur dengan lelap. Sedang kedua anaknya masing-masing dipangku istrinya dan Papa. Hanya aku saja yang tidak memangku anak kecil.Kemudian aku melongok ke arah putraku itu. Dia benar-benar damai terlelap di atas pangkuan adikku. Dan selalu enggan untuk berdekatan denganku.“Apa dia nanti nggak kebangun, Bid?” Tanyaku dengan suara sama lirihnya.“Pelan-pelan aja, Mas.”Lalu aku mengusap pipi halusnya itu dengan ibu jari untuk memastikan apakah Akhtira benar-benar sangat terlelap. Ternyata putraku itu tetap tidur dengan sangat pulas.“Kayaknya dia kecapekan habis main air terus perutnya kenyang. Jadi deh ngorok.”Aku menahan tawa karena guyonan Abid lalu mengangguk dengan mengulurkan kedua tangan untuk menerima putraku.Galau di hati yang sedari
POV AKHTARAAku harus tetap professional dengan tidak mencampuradukkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Meski terasa sulit dengan tidak memikirkan penolakan Jihan saat aku sedang bekerja seperti ini.Permintaan Jihan yang tidak bersedia rujuk adalah sebuah keputusan yang tidak boleh kupaksa. Dia memiliki hak yang harus kuhormati sekalipun itu melukai hatiku.Cintaku pada sesama manusia telah habis di Jihan.Meski Humaira begitu baik secara sifat dan iman, tetap saja aku selalu terbayang Jihan. Bukankah akan makin menyakiti Humaira jika dia mengerti jika hatiku masih tertambat pada Jihan?“Mungkin jika Bu Jihan sudah menikah lagi, Bapak akan benar-benar bisa melepas dan melupakannya. Karena pintu untuk mendapatkannya benar-benar telah tertutup,” ucap Faris.Aku menghela nafas panjang dengan menatap gelas minumku yang mengembun. Kami sedang makan malam bersama karena aku tidak mau makan malam sendirian. Kebetulan tempat tinggal Faris tidak jauh dari apartemen tempatku berteduh.“M
POV AKHTARAKarena putraku, Akhtira, sedang duduk di pangkuan seorang lelaki dengan menghadap wajah orang itu. Bahkan senyum putraku terlihat mengembang penuh tawa apalagi saat lelaki itu menyerukkan kepalanya ke arah dada putraku.Tira kembali tertawa terpingkal karena geli dan mencengkeram rambut lelaki itu. Semakin Tira terpingkal, dia semakin menyerukkan kepalanya ke dada putraku hingga tawa keduanya menguar bebas dan membuatku … iri.Lelaki yang masih memakai kemeja putih dan celana kain hitam khas pakaian ASN itu, apakah dia yang bernama Farhan?Seorang aparatur sipil negara yang berstatus duda dan sedang mendekati Jihan.Karena lelaki itu sibuk menyerukkan kepalanya di dada putraku, dia tidak menyadari kehadiranku yang menatap ke arahnya dengan penuh rasa iri dan sedih.Iri karena putraku bisa seakrab itu dengannya. Padahal aku ini ayah biologisnya.Dan sedih karena aku belum pernah sekalipun menggendong putraku sama sekali.Sudah berapa lama mereka bersama? Sudah berapa lama le
POV AKHTARA“Saya panggilin Papa biar Tira dipangku Papa. Jadi Bapak bisa menyentuh Tira.”Aku sedikit mengerutkan kening mendapati jawaban Jihan.“Kenapa harus sama Papamu?”“Kita ini udah bukan suami istri secara agama, Pak. Kalau kita berdekatan, nanti jadi dosa.”Mulutku terkunci ketika Jihan berkata seperti itu. Satu kenyataan yang hampir kulupakan bahwa wanita yang sangat kucintai ini sebenarnya telah terlepas dari genggamanku secara agama.Statusnya hanya istri secara hukum negara.Tapi aku ingat perkataan Papa bahwa masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan Jihan kembali dengan rajin mengunjungi Tira.Ketika Jihan hendak berdiri, aku berkata …“Tolong kamu dudukkan aja Tira di kursi. Nggak usah panggil Papamu.”Karena aku yakin jika Papanya Jihan akan membuat pembatas antara aku dan Tira. Apalagi jika putraku itu menangis karena baru pertama kali bertemu denganku.Jihan mengangguk lalu membujuk Tira untuk duduk di kursi. Putraku itu nampak tidak kooperatif namun Jihan terus m