enjoy reading ... :-) Terima nggak ya? Kan saling cinta?
"Mas, aku ... aku bingung harus jawab apa." Sungguh aku bingung harus menjawab apa. Haruskah menerima cinta Mas Hadza secepat ini sedang aku sendiri masih terjebak dalam ikatan pernikahan dengan Pak Akhtara. Masalahnya aku juga harus memikirkan nasib kedua orang tuaku kalau Pak Akhtara meminta uang yang sudah diberikan padaku karena berkhianat. Banyak hal yang harus kupikirkan sebelum memilih 'menjadi egois'. Mas Hadza tersenyum sambil mengayunkan tanganku perlahan yang berada dalam genggaman. "Aku nggak maksa kamu harus jawab sekarang, Han. Cewek pasti butuh mikir. Yang penting, kamu udah tahu gimana perasaanku ke kamu. Harapanku, kamu nggak menjauh setelah tahu gimana aku dan keluargaku." "Karena aku ini cuma lelaki biasa. Bukan laki-laki kaya yang bisa ngajak kamu pergi keliling luar negeri. Apalagi kamu pernah nyicipi enaknya hidup jadi anak orang kaya." "Aku cuma punya kesungguhan, ketulusan, dan kesetiaan." Siapa yang tidak meleleh ketika lelaki idamannya berkata sed
Aku tidak memiliki cara selain ... "Kayaknya aku harus pulang aja. Dari pada Pak Akhtara makin marah." Kemudian aku bergegas kembali ke bioskop dengan langkah lebar sambil memikirkan ide apa untuk membuat Mas Hadza percaya dengan kebohongan yang kukarang lalu dia bersedia kuajak pulang. Baru saja aku melangkah ke dalam bioskop, penerangan kemudian dimatikan. Lalu terdengar suara dari ruang kontrol yang memberitahu pada para pengujung untuk mematikan handphone atau tidak membuat suara berisik yang mengganggu pengunjung lainnya. Begitu aku duduk di kursi yang bersebelahan dengan Mas Hadza, musik pembuka film terdengar sangat keras sekali. Lalu Mas Hadza menyodorkan pop corn dan aku menerimanya. "Toiletnya antri ya, Han? Kok lama banget." Aku mengerjapkan mata gugup di tengah gelapnya bioskop. Hanya berbekal penerangan dari cahaya layar bioskop yang mulai menampilkan pembukaan film. Dan semoga saja Mas Hadza tidak melihat ada yang tidak beres dengan ekspresiku. "Eh ... iya,
Pak Akhtara itu jika marah, tidak perlu menggunakan suara tinggi atau menggunakan kekerasan fisik. Cukup menggunakan aura tajamnya yang tidak bersahabat lalu menatap lawannya tanpa ampun. Seperti saat ini contohnya.Karena aku tidak kunjung menjawab, akhirnya beliau berdiri dari duduk dengan memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana rumahan yang dikenakan. Berjalan pelan ke arahku dengan dagu terangkat dan mata dipenuhi kilat amarah yang tertahan. Setelah tepat berdiri di depanku, beliau kembali membuka suara. "Jawab, Jihan! Jangan sampai saya mengulangi pertanyaan!"Setelah menghirup udara sebanyak mungkin untuk mengumpulkan keberanian, kemudian aku membuka suara. "Saya habis keluar sama teman, Pak. Bukan sama pelanggan yang minta saya temani seperti yang Bapak tuduhkan.""Kalau emang mau keluar, kenapa kamu nggak bilang sama saya?" Tanya dengan nada tenang tapi menakutkan. "Karena .... saya nggak punya kewajiban untuk bilang ke Bapak tentang apa yang mau saya lakukan.""Bera
Menyapu. Mengepel. Memasak. Mencuci. Menyetrika. Semua pekerjaan rumah itu kulakukan sendiri. Dari pagi bahkan lewat siang hari, pekerjaan itu seakan tidak ada habisnya. Apalagi sikap Pak Akhtara hari ini berubah ... kejam. Ya, aku menyebutnya kejam karena beliau memperlakukan aku layaknya robot rumah tangga. Melakukan pekerjaan rumah tangga tiada habisnya. Selesai memasak sarapan, beliau menyuruhku membersihkan kamar mandinya. Benar-benar seperti babu dan aku merasa cukup menyesal dengan mengambil alih tugas asisten rumah tangganya. "Bodoh banget sih gue? Mau-maunya ngambil tugasnya Bik Wati sama Rani. Harusnya kalau gue merasa bersalah sama Pak Akhtara tuh bisa ambil penebusan yang lain. Eror dah otak gue kemarin." Aku menggumam kesal sambil menyikat lantai kamar mandi Pak Akhtara. "Gue kayak bini sesungguhnya Pak Akhtara aja. Segala sesuatunya gue yang siapin dan layanin. Padahal ini tuh waktunya gue ngobrol sama Mas Hadza. Biar nambah semangat. Gue malah mbabu!" Tida
Setelah aku pingsan beberapa hari yang lalu, Pak Akhtara memutuskan untuk mempekerjakan asisten rumah tangga hanya untuk beberapa bulan saja sampai Bik Wati dan Rani kembali ke rumah ini. Mungkin beliau takut aku kembali kelelahan sehingga pekerjaan rumah tangga bisa terbengkalai. Sedang aku tetap menjalankan janji dengan membantu asisten rumah tangga yang baru itu. Afifah namanya. Seperti menata pakaian yang usai disetrika, mengelap perabotan rumah agar bebas debu, dan sebagainya. Intinya kami bekerja sama untuk membuat rumah Pak Akhtara selalu bersih dan nyaman. Tapi ada yang berbeda dengan sikap beliau ketika mempekerjakan Afifah. Beliau tidak mengizinkan asisten rumah tangga itu untuk membersihkan ruang kerja dan kamarnya. Kenapa ya? Ketika aku akan ke kamar Pak Akhtara untuk menata pakaiannya yang sehabis disetrika Afifah, beliau nampak mengelap sendiri lampu nakas dekat kasurnya itu. Bukankah jika menyuruh Afifah akan lebih cekatan? "Permisi, Pak," ucapku setelah mengetuk
"Pak, makan malamnya udah siap." Tidak berapa lama kemudian pintu kamar Pak Akhtara terbuka. Lalu aku sedikit mundur untuk memberinya ruang melangkah. Kemudian aku berjalan di samping beliau menuju ruang makan. "Apa sudah selesai bersih-bersih kamarnya, Pak?" Tanyaku. "Belum, Han. Kayaknya besok temani saya bersih-bersih kamar. Oh ya, kamu masak apa malam ini?" Begitu tiba di ruang makan, kami segera mengambil duduk di kursi masing-masing dengan saling berhadapan. Sedang Afifah memilih makan di dapur. "Udang saus padang sama sup brokoli." Kemudian kepala Pak Akhtara mengangguk sambil menatap menu yang tersaji di meja makan. Meski tidak sebanyak menu yang disiapkan Bik Wati dan Rani saat mereka masih bekerja di sini, tapi lumayan lah untuk kami mengisi perut. Pak Akhtara mengambil nasi lebih dulu sedang aku memilih meneguk teh hangat. Beliau menyendokkan sop itu ke atas nasi dan beralih mengambil udang saus padang buatanku. Tidak lupa beliau berdoa lebih dulu lalu mulai menye
Di supermarket yang kami kunjungi, ada sebuah mini kafe yang lucu dan instagramable. Di tempat itulah aku dan Mas Hadza kini tengah duduk berhadap-hadapan sambil mengaduk cappucino dingin kami. Sedang belanjaan kami diletakkan di pojok kafe. "Mau ngomong apa, Mas?" Mas Hadza nampak gusar sekali. Ekspresi wajahnya nampak seperti kebingungan. "Mas?" Kemudian ia menatapku dengan sorot bimbang. "Ada apa sih, Mas?" "Sebenarnya aku pengen mendam masalah ini sendirian, Han. Tapi ... kayaknya aku harus bilang ke kamu." Mendadak aku ikut menegang mendengar penuturan Mas Hadza. Apakah dia akan berkata jika tidak bisa melanjutkan hubungan denganku? "Tentang apa, Mas?" Mendadak es cappucino yang awalnya sangat segar itu mendadak tidak menarik lagi di mataku. Apalagi Mas Hadza terus berusaha menyembunyikan kecemasannya. "Aku takut kamu ---" "Aku janji nggak akan kenapa-kenapa, Mas." Lalu kepalanya mengangguk setelah aku berjanji akan menerima apa yang dia katakan padaku. Termasuk ha
"Semalam kamu pulang jam berapa, Han?" Tanya Pak Akhtara. Kini kami sedang sarapan bersama dengan menu roti bakar karena aku bangun kesiangan. Apalagi jika bukan karena semalam begadang merangkai banyak rencana dengan Rara, sahabatku. "Ehm ... jam sembilan lebih dikit, Pak." Beliau menatapku dengan mengunyah roti bakar buatanku. "Kenapa malam banget?" Aku segera menelan kunyahan roti bakar setelah merangkai alasan yang tepat. "Kasirnya antri, Pak. Maklum akhir bulan, udah banyak yang gajian." Setelah sarapan kami tandas, aku segera mengeluarkan struk dan kartu kredit Pak Akhtara dan menyerahkannya. Kemudian beliau membaca isi struk dengan cepat dengan satu tangannya memegang kartu kredit. "Isi belanjaanmu keperluan dapur semua." Kemudian kepalaku mengangguk tegas. "Katanya kamu mau beli keperluan wanita? Kenapa di struk nggak ada item yang berbau kebutuhan wanita?" Tanya Pak Akhtara seraya menunjukkan bukti struk itu padaku. Aku sedikit bingung dengan pertanyaan beliau y