enjoy reading .... :-)
Di supermarket yang kami kunjungi, ada sebuah mini kafe yang lucu dan instagramable. Di tempat itulah aku dan Mas Hadza kini tengah duduk berhadap-hadapan sambil mengaduk cappucino dingin kami. Sedang belanjaan kami diletakkan di pojok kafe. "Mau ngomong apa, Mas?" Mas Hadza nampak gusar sekali. Ekspresi wajahnya nampak seperti kebingungan. "Mas?" Kemudian ia menatapku dengan sorot bimbang. "Ada apa sih, Mas?" "Sebenarnya aku pengen mendam masalah ini sendirian, Han. Tapi ... kayaknya aku harus bilang ke kamu." Mendadak aku ikut menegang mendengar penuturan Mas Hadza. Apakah dia akan berkata jika tidak bisa melanjutkan hubungan denganku? "Tentang apa, Mas?" Mendadak es cappucino yang awalnya sangat segar itu mendadak tidak menarik lagi di mataku. Apalagi Mas Hadza terus berusaha menyembunyikan kecemasannya. "Aku takut kamu ---" "Aku janji nggak akan kenapa-kenapa, Mas." Lalu kepalanya mengangguk setelah aku berjanji akan menerima apa yang dia katakan padaku. Termasuk ha
"Semalam kamu pulang jam berapa, Han?" Tanya Pak Akhtara. Kini kami sedang sarapan bersama dengan menu roti bakar karena aku bangun kesiangan. Apalagi jika bukan karena semalam begadang merangkai banyak rencana dengan Rara, sahabatku. "Ehm ... jam sembilan lebih dikit, Pak." Beliau menatapku dengan mengunyah roti bakar buatanku. "Kenapa malam banget?" Aku segera menelan kunyahan roti bakar setelah merangkai alasan yang tepat. "Kasirnya antri, Pak. Maklum akhir bulan, udah banyak yang gajian." Setelah sarapan kami tandas, aku segera mengeluarkan struk dan kartu kredit Pak Akhtara dan menyerahkannya. Kemudian beliau membaca isi struk dengan cepat dengan satu tangannya memegang kartu kredit. "Isi belanjaanmu keperluan dapur semua." Kemudian kepalaku mengangguk tegas. "Katanya kamu mau beli keperluan wanita? Kenapa di struk nggak ada item yang berbau kebutuhan wanita?" Tanya Pak Akhtara seraya menunjukkan bukti struk itu padaku. Aku sedikit bingung dengan pertanyaan beliau y
"Coba pakai yang ini, Han. Cocok apa nggak?"Sedari tadi aku menjadi role model pakaian pilihan Pak Akhtara yang akan dihadiahkan untuk sepupunya. Katanya bentuk badanku sama dengan bentuk badan sepupunya. Anehnya, hanya sepupu saja mengapa Pak Akhtara menghadiahinya pakaian sebanyak dan sebagus ini?Ditambah pakaian yang dipilihnya adalah jenis pakaian berharga fantastis. Enak sekali sepupu Pak Akhtara karena akan mendapatkan pakaian-pakaian bagus ini. Sudah lima stel pula yang dimasukkan keranjang belanja. Huuuft!!! Andai aku diberi titah untuk memilih satu saja, sudah barang pasti akan bergerak cepat untuk memilih yang terbaik! Sekalipun hanya diberi waktu lima menit!"Gimana, Han? Cocok?"Kemudian aku menatap Pak Akhtara masih dengan pakaian indah seharga setengah juta yang melekat di badan. Tidak tahukah beliau jika sedari tadi aku memasang wajah lesu karena mendadak iri dengan sepupunya yang akan mendapat hadiah ini semua?"Kalau menurut saya sih ... bagus, Pak. Disini nggak a
Aku meliriknya tajam lalu masuk ke dalam bangku penumpang dan menutup pintunya keras. Sedang Pak Akhtara hanya tersenyum melihat kemarahanku lalu berjalan mengitari mobil dan duduk di bangku kemudi. Kemudian aku memalingkan wajah untuk menatap pemandangan di luar kaca jendela. Meski hanya lalu lalang kendaraan. Kesal, marah, dan ah .... entahlah. Intinya aku marah dan tidak mau berbicara dengan Pak Akhtara. Ketika setengah perjalanan dan berhenti di lampu merah, Pak Akhtara memanggil namaku. "Han?" Panggilnya lembut. Aku tidak akan terbujuk oleh rayuannya. Kecuali memberikan semua hadiah pakaian yang beliau beli untuk sepupunya atau untuk kekasihnya itu. Ah ... masa bodoh! "Han?" Panggilnya lagi. Tapi aku tidak menjawab dan tetap melihat keluar jendela. "Dipanggil suami tuh wajib jawab, Han." Barulah aku menoleh dan menatapnya dengan sorot kesal. "Suami kontrak! Bapak harus ingat!" "Sesuai kesepakatan sih ... kita emang suami istri kontrak. Tapi sesuai hukum negara dan ag
"Halo, dengan Jihan, staf inputan gudang. Ada yang bisa dibantu?" "Masuk ke ruangan saya, Han." Aku tertegun mendengar suara Pak Akhtara melalui sambungan telfon kabel kantor yang ada di mejaku. Pasalnya aku belum menyelesaikan laporan hari ini dan ... belum waktunya juga. Ini masih pukul dua siang dan biasanya akan kuserahkan ketika jam tiga. "Maaf, Pak. Laporannya belum selesai." "Saya butuh kamu. Bukan laporanmu." Heh?! Apalagi ini? "Saya tunggu. Sekarang!" Lalu sambungan telfon terputus dan aku kembali mendapat lirikan dari Vita, rekan kerja yang semalam memergokiku berjalan bersama Pak Akhtara di mall. Kebetulan kubikelnya bersebelahan tepat denganku. "Siapa, Han?" Aku segera menoleh tapi tidak segera menjawab. Bagaimana ini? Jika aku mengatakan yang baru saja menghubungiku adalah Pak Akhtara, sudah barang pasti dia akan makin curiga. Tapi jika aku tidak mengatakan sejujurnya, dia akan tahu jika aku berbohong. Karena pintu ruangan Pak Akhtara itu bisa dilihat dari k
"Mas, aku berangkat dulu ya?" Pamitku pada Mas Hadza begitu sudah selesai memoles wajah dengan make up. Sembari bercermin untuk memastikan jika penampilanku mengenakan pakaian baru nan indah pemberian Pak Akhtara secara cuma-cuma ini sudah pas sekali. "Hati-hati ya, Han. Jangan lupa berdoa dan kabari aku kalau udah sampai Maldives." "Oke, Mas Hadzaku sayang." Kemudian terdengar tawa lirihnya yang membuatku ikut tersenyum. "Selama aku nggak ada di kantor, jangan lirik-lirik cewek lain loh ya?" Aku memperingatkan. "Han, ini tuh kali kedua aku deket sama cewek. Dan syukurnya, aku nggak ada bakat jadi playboy atau sejenisnya." Ouwh .... so sweat. "Entah kalau kamu. Hayo??" Lah ... mengapa jadi senjata makan tuan? "Ye ... aku tuh juga setia loh, Mas. Buktinya, aku udah komitmen mau bantuin kamu ngembangin bisnis kuliner itu. Kok kamu jadi nganggepnya aku kayak playgirl sih, Mas?" Rencananya sepulang dari Maldives, aku akan memberikan suntikan modal untuk Mas Hadza. Semoga saja
"Han?" Aku mendongak lalu meraup udara yang ada di dalam kabin pesawat kelas VIP ini sebanyak mungkin untuk memberi keyakinan pada diri sendiri. Harus totalitas! "Saya butuh jawabanmu." Kepalaku mengangguk pelan. "Jelasin pelan-pelan. Yang penting pesannya sampai ke saya." Dan .... inilah saatnya melepaskan busur racun yang pertama dan semoga tepat sasaran di jantung Pak Akhtara. "Sebelumnya ... saya ucapin makasih banyak sama Bapak karena udah bantuin saya ngelunasi perumahan untuk kedua orang tua. Juga, saya merasa sangat diterima dengan baik sama kedua orang tua Bapak tanpa ngelihat status sosial keluarga saya yang udah ... bangkrut." Pak Akhtara tidak mengatakan apapun dan beliau hanya memperhatikanku. "Saya ini anak tunggal, Pak. Kadang capek juga kerja sendirian nggak ada yang bantuin untuk menghidupi kedua orang tua. Bahkan di ibu kota pun, saya sendirian. Nggak punya teman berkeluh kesah. Mau curhat sama sahabat, takutnya malah disebarluasin." "Tapi, saya bersyukur k
Bukan ciuman sekilas, tapi aku mencium pipi Pak Akhtara selama lima detik. Beliau tidak menolak ciuman yang kuberikan. Hanya saja ekspresi wajahnya tampak menegang karena sikapku yang bekerja diluar prediksi. Aku tidak pernah menunjukkan sisi romantis atau perhatian yang mendalam pada beliau. Tapi begitu kami berlibur ke Maldives, aku mendadak berubah seperti perempuan yang cinta mati padanya. Pantas dan wajar jika Pak Akhtara terkejut dan selalu berkata membutuhkan waktu untuk mengenalku. Tapi masalahnya, aku yang tidak mau menunggu lebih lama lagi. Karena aku juga dikejar oleh waktu. Usai mencium pipinya, aku kembali memeluk Pak Akhtara untuk menyembunyikan rasa malu karena berpikir ini terlalu agresif. Oh ayolah, ciuman! Bekerjalah dengan baik hingga ke dasar hati Pak Akhtara! Buat beliau bertekuk lutut padaku secepat mungkin! Aku kembali menyandarkan kepalaku di dada beliau dan lagi-lagi aku bisa mendengarkan detak jantungnya yang menggila. Semoga saja itu efek dari racu