enjoy reading
"Coba pakai yang ini, Han. Cocok apa nggak?"Sedari tadi aku menjadi role model pakaian pilihan Pak Akhtara yang akan dihadiahkan untuk sepupunya. Katanya bentuk badanku sama dengan bentuk badan sepupunya. Anehnya, hanya sepupu saja mengapa Pak Akhtara menghadiahinya pakaian sebanyak dan sebagus ini?Ditambah pakaian yang dipilihnya adalah jenis pakaian berharga fantastis. Enak sekali sepupu Pak Akhtara karena akan mendapatkan pakaian-pakaian bagus ini. Sudah lima stel pula yang dimasukkan keranjang belanja. Huuuft!!! Andai aku diberi titah untuk memilih satu saja, sudah barang pasti akan bergerak cepat untuk memilih yang terbaik! Sekalipun hanya diberi waktu lima menit!"Gimana, Han? Cocok?"Kemudian aku menatap Pak Akhtara masih dengan pakaian indah seharga setengah juta yang melekat di badan. Tidak tahukah beliau jika sedari tadi aku memasang wajah lesu karena mendadak iri dengan sepupunya yang akan mendapat hadiah ini semua?"Kalau menurut saya sih ... bagus, Pak. Disini nggak a
Aku meliriknya tajam lalu masuk ke dalam bangku penumpang dan menutup pintunya keras. Sedang Pak Akhtara hanya tersenyum melihat kemarahanku lalu berjalan mengitari mobil dan duduk di bangku kemudi. Kemudian aku memalingkan wajah untuk menatap pemandangan di luar kaca jendela. Meski hanya lalu lalang kendaraan. Kesal, marah, dan ah .... entahlah. Intinya aku marah dan tidak mau berbicara dengan Pak Akhtara. Ketika setengah perjalanan dan berhenti di lampu merah, Pak Akhtara memanggil namaku. "Han?" Panggilnya lembut. Aku tidak akan terbujuk oleh rayuannya. Kecuali memberikan semua hadiah pakaian yang beliau beli untuk sepupunya atau untuk kekasihnya itu. Ah ... masa bodoh! "Han?" Panggilnya lagi. Tapi aku tidak menjawab dan tetap melihat keluar jendela. "Dipanggil suami tuh wajib jawab, Han." Barulah aku menoleh dan menatapnya dengan sorot kesal. "Suami kontrak! Bapak harus ingat!" "Sesuai kesepakatan sih ... kita emang suami istri kontrak. Tapi sesuai hukum negara dan ag
"Halo, dengan Jihan, staf inputan gudang. Ada yang bisa dibantu?" "Masuk ke ruangan saya, Han." Aku tertegun mendengar suara Pak Akhtara melalui sambungan telfon kabel kantor yang ada di mejaku. Pasalnya aku belum menyelesaikan laporan hari ini dan ... belum waktunya juga. Ini masih pukul dua siang dan biasanya akan kuserahkan ketika jam tiga. "Maaf, Pak. Laporannya belum selesai." "Saya butuh kamu. Bukan laporanmu." Heh?! Apalagi ini? "Saya tunggu. Sekarang!" Lalu sambungan telfon terputus dan aku kembali mendapat lirikan dari Vita, rekan kerja yang semalam memergokiku berjalan bersama Pak Akhtara di mall. Kebetulan kubikelnya bersebelahan tepat denganku. "Siapa, Han?" Aku segera menoleh tapi tidak segera menjawab. Bagaimana ini? Jika aku mengatakan yang baru saja menghubungiku adalah Pak Akhtara, sudah barang pasti dia akan makin curiga. Tapi jika aku tidak mengatakan sejujurnya, dia akan tahu jika aku berbohong. Karena pintu ruangan Pak Akhtara itu bisa dilihat dari k
"Mas, aku berangkat dulu ya?" Pamitku pada Mas Hadza begitu sudah selesai memoles wajah dengan make up. Sembari bercermin untuk memastikan jika penampilanku mengenakan pakaian baru nan indah pemberian Pak Akhtara secara cuma-cuma ini sudah pas sekali. "Hati-hati ya, Han. Jangan lupa berdoa dan kabari aku kalau udah sampai Maldives." "Oke, Mas Hadzaku sayang." Kemudian terdengar tawa lirihnya yang membuatku ikut tersenyum. "Selama aku nggak ada di kantor, jangan lirik-lirik cewek lain loh ya?" Aku memperingatkan. "Han, ini tuh kali kedua aku deket sama cewek. Dan syukurnya, aku nggak ada bakat jadi playboy atau sejenisnya." Ouwh .... so sweat. "Entah kalau kamu. Hayo??" Lah ... mengapa jadi senjata makan tuan? "Ye ... aku tuh juga setia loh, Mas. Buktinya, aku udah komitmen mau bantuin kamu ngembangin bisnis kuliner itu. Kok kamu jadi nganggepnya aku kayak playgirl sih, Mas?" Rencananya sepulang dari Maldives, aku akan memberikan suntikan modal untuk Mas Hadza. Semoga saja
"Han?" Aku mendongak lalu meraup udara yang ada di dalam kabin pesawat kelas VIP ini sebanyak mungkin untuk memberi keyakinan pada diri sendiri. Harus totalitas! "Saya butuh jawabanmu." Kepalaku mengangguk pelan. "Jelasin pelan-pelan. Yang penting pesannya sampai ke saya." Dan .... inilah saatnya melepaskan busur racun yang pertama dan semoga tepat sasaran di jantung Pak Akhtara. "Sebelumnya ... saya ucapin makasih banyak sama Bapak karena udah bantuin saya ngelunasi perumahan untuk kedua orang tua. Juga, saya merasa sangat diterima dengan baik sama kedua orang tua Bapak tanpa ngelihat status sosial keluarga saya yang udah ... bangkrut." Pak Akhtara tidak mengatakan apapun dan beliau hanya memperhatikanku. "Saya ini anak tunggal, Pak. Kadang capek juga kerja sendirian nggak ada yang bantuin untuk menghidupi kedua orang tua. Bahkan di ibu kota pun, saya sendirian. Nggak punya teman berkeluh kesah. Mau curhat sama sahabat, takutnya malah disebarluasin." "Tapi, saya bersyukur k
Bukan ciuman sekilas, tapi aku mencium pipi Pak Akhtara selama lima detik. Beliau tidak menolak ciuman yang kuberikan. Hanya saja ekspresi wajahnya tampak menegang karena sikapku yang bekerja diluar prediksi. Aku tidak pernah menunjukkan sisi romantis atau perhatian yang mendalam pada beliau. Tapi begitu kami berlibur ke Maldives, aku mendadak berubah seperti perempuan yang cinta mati padanya. Pantas dan wajar jika Pak Akhtara terkejut dan selalu berkata membutuhkan waktu untuk mengenalku. Tapi masalahnya, aku yang tidak mau menunggu lebih lama lagi. Karena aku juga dikejar oleh waktu. Usai mencium pipinya, aku kembali memeluk Pak Akhtara untuk menyembunyikan rasa malu karena berpikir ini terlalu agresif. Oh ayolah, ciuman! Bekerjalah dengan baik hingga ke dasar hati Pak Akhtara! Buat beliau bertekuk lutut padaku secepat mungkin! Aku kembali menyandarkan kepalaku di dada beliau dan lagi-lagi aku bisa mendengarkan detak jantungnya yang menggila. Semoga saja itu efek dari racu
"Maaf, Han. Bukan maksud saya ambil kesempatan dalam kesempitan. Murni saya meluk kamu sambil tiduran karena tadi suhu badanmu turun. Saya cuma mau menjaga suhu tubuhmu biar nggak kedinginan. Tapi saya sendiri malah ketiduran. Sekali lagi, maaf." Perlahan Pak Akhtara bangun dari tidurnya di sebelahku dengan wajah kurang bersahabat. Apakah beliau merasa tertuduh dengan pertanyaanku? "Bapak mau kemana?" Beliau batal menurunkan kakinya ke lantai lalu menatapku. "Siap-siap mau makan malam. Saya lapar. Apa kamu nggak lapar?" Aku tidak memberi jawaban apapun namun hatiku berkata jika perbuatan baiknya tadi memiliki arti yang begitu besar terhadap kesehatanku. Beliau menjagaku dengan baik dan hanya Pak Akhtara sajalah satu-satunya penolongku di Maldives. Hanya beliau lah yang kukenal di sini. "Pak?" Panggilku dengan menahan lengan kanannya. Beliau kembali urung menurunkan kakinya ke lantai lalu menoleh ke arahku. "Apa?" Aku teringat akan tujuan besarku di Maldives dan sederet s
Tuna Stuffed Chapati. Salah satu menu makanan yang dipesan Pak Akhtara dan modelnya seperti sambal ikan klotok di Indonesia. Ada nasi dan sambalnya juga. "Kenapa, Han? Mau nyoba menu saya?" Sejujurnya ikan laut gorengnya sangat harum sekali. Tapi aku malu untuk mencicipinya. Dan aku merasa salah pilih menu Banana Flower Salad. Yaitu salad yang disajikan di lembaran kelopak bunga pisang dengan rasa sedikit kecut dan pedas. Cita rasa yang tidak sesuai dengan lidahku sama sekali. "Sini. Saya suapin." Pak Akhtara menyendokkan sesuap nasi dan lauk lalu menyodorkannya ke mulutku. "Enak?" Kepalaku mengangguk dengan terus mengunyahnya. "Mau saya pesenin kayak gini?" "Emang boleh, Pak?" "Yang penting bayar, Han." Jika tadi Pak Akhtara bersikap biasa saja, maka sekarang beliau menunjukkan sisi perhatiannya dengan memesankanku menu yang sama dengannya. "Habisin, Han. Biar kamu ada tenaga barangkali mau mendebat saya." Aku memanyunkan bibir sambil terus menikmati menu tuna stuf