enjoy reading ...
"Halo, dengan Jihan, staf inputan gudang. Ada yang bisa dibantu?" "Masuk ke ruangan saya, Han." Aku tertegun mendengar suara Pak Akhtara melalui sambungan telfon kabel kantor yang ada di mejaku. Pasalnya aku belum menyelesaikan laporan hari ini dan ... belum waktunya juga. Ini masih pukul dua siang dan biasanya akan kuserahkan ketika jam tiga. "Maaf, Pak. Laporannya belum selesai." "Saya butuh kamu. Bukan laporanmu." Heh?! Apalagi ini? "Saya tunggu. Sekarang!" Lalu sambungan telfon terputus dan aku kembali mendapat lirikan dari Vita, rekan kerja yang semalam memergokiku berjalan bersama Pak Akhtara di mall. Kebetulan kubikelnya bersebelahan tepat denganku. "Siapa, Han?" Aku segera menoleh tapi tidak segera menjawab. Bagaimana ini? Jika aku mengatakan yang baru saja menghubungiku adalah Pak Akhtara, sudah barang pasti dia akan makin curiga. Tapi jika aku tidak mengatakan sejujurnya, dia akan tahu jika aku berbohong. Karena pintu ruangan Pak Akhtara itu bisa dilihat dari k
"Mas, aku berangkat dulu ya?" Pamitku pada Mas Hadza begitu sudah selesai memoles wajah dengan make up. Sembari bercermin untuk memastikan jika penampilanku mengenakan pakaian baru nan indah pemberian Pak Akhtara secara cuma-cuma ini sudah pas sekali. "Hati-hati ya, Han. Jangan lupa berdoa dan kabari aku kalau udah sampai Maldives." "Oke, Mas Hadzaku sayang." Kemudian terdengar tawa lirihnya yang membuatku ikut tersenyum. "Selama aku nggak ada di kantor, jangan lirik-lirik cewek lain loh ya?" Aku memperingatkan. "Han, ini tuh kali kedua aku deket sama cewek. Dan syukurnya, aku nggak ada bakat jadi playboy atau sejenisnya." Ouwh .... so sweat. "Entah kalau kamu. Hayo??" Lah ... mengapa jadi senjata makan tuan? "Ye ... aku tuh juga setia loh, Mas. Buktinya, aku udah komitmen mau bantuin kamu ngembangin bisnis kuliner itu. Kok kamu jadi nganggepnya aku kayak playgirl sih, Mas?" Rencananya sepulang dari Maldives, aku akan memberikan suntikan modal untuk Mas Hadza. Semoga saja
"Han?" Aku mendongak lalu meraup udara yang ada di dalam kabin pesawat kelas VIP ini sebanyak mungkin untuk memberi keyakinan pada diri sendiri. Harus totalitas! "Saya butuh jawabanmu." Kepalaku mengangguk pelan. "Jelasin pelan-pelan. Yang penting pesannya sampai ke saya." Dan .... inilah saatnya melepaskan busur racun yang pertama dan semoga tepat sasaran di jantung Pak Akhtara. "Sebelumnya ... saya ucapin makasih banyak sama Bapak karena udah bantuin saya ngelunasi perumahan untuk kedua orang tua. Juga, saya merasa sangat diterima dengan baik sama kedua orang tua Bapak tanpa ngelihat status sosial keluarga saya yang udah ... bangkrut." Pak Akhtara tidak mengatakan apapun dan beliau hanya memperhatikanku. "Saya ini anak tunggal, Pak. Kadang capek juga kerja sendirian nggak ada yang bantuin untuk menghidupi kedua orang tua. Bahkan di ibu kota pun, saya sendirian. Nggak punya teman berkeluh kesah. Mau curhat sama sahabat, takutnya malah disebarluasin." "Tapi, saya bersyukur k
Bukan ciuman sekilas, tapi aku mencium pipi Pak Akhtara selama lima detik. Beliau tidak menolak ciuman yang kuberikan. Hanya saja ekspresi wajahnya tampak menegang karena sikapku yang bekerja diluar prediksi. Aku tidak pernah menunjukkan sisi romantis atau perhatian yang mendalam pada beliau. Tapi begitu kami berlibur ke Maldives, aku mendadak berubah seperti perempuan yang cinta mati padanya. Pantas dan wajar jika Pak Akhtara terkejut dan selalu berkata membutuhkan waktu untuk mengenalku. Tapi masalahnya, aku yang tidak mau menunggu lebih lama lagi. Karena aku juga dikejar oleh waktu. Usai mencium pipinya, aku kembali memeluk Pak Akhtara untuk menyembunyikan rasa malu karena berpikir ini terlalu agresif. Oh ayolah, ciuman! Bekerjalah dengan baik hingga ke dasar hati Pak Akhtara! Buat beliau bertekuk lutut padaku secepat mungkin! Aku kembali menyandarkan kepalaku di dada beliau dan lagi-lagi aku bisa mendengarkan detak jantungnya yang menggila. Semoga saja itu efek dari racu
"Maaf, Han. Bukan maksud saya ambil kesempatan dalam kesempitan. Murni saya meluk kamu sambil tiduran karena tadi suhu badanmu turun. Saya cuma mau menjaga suhu tubuhmu biar nggak kedinginan. Tapi saya sendiri malah ketiduran. Sekali lagi, maaf." Perlahan Pak Akhtara bangun dari tidurnya di sebelahku dengan wajah kurang bersahabat. Apakah beliau merasa tertuduh dengan pertanyaanku? "Bapak mau kemana?" Beliau batal menurunkan kakinya ke lantai lalu menatapku. "Siap-siap mau makan malam. Saya lapar. Apa kamu nggak lapar?" Aku tidak memberi jawaban apapun namun hatiku berkata jika perbuatan baiknya tadi memiliki arti yang begitu besar terhadap kesehatanku. Beliau menjagaku dengan baik dan hanya Pak Akhtara sajalah satu-satunya penolongku di Maldives. Hanya beliau lah yang kukenal di sini. "Pak?" Panggilku dengan menahan lengan kanannya. Beliau kembali urung menurunkan kakinya ke lantai lalu menoleh ke arahku. "Apa?" Aku teringat akan tujuan besarku di Maldives dan sederet s
Tuna Stuffed Chapati. Salah satu menu makanan yang dipesan Pak Akhtara dan modelnya seperti sambal ikan klotok di Indonesia. Ada nasi dan sambalnya juga. "Kenapa, Han? Mau nyoba menu saya?" Sejujurnya ikan laut gorengnya sangat harum sekali. Tapi aku malu untuk mencicipinya. Dan aku merasa salah pilih menu Banana Flower Salad. Yaitu salad yang disajikan di lembaran kelopak bunga pisang dengan rasa sedikit kecut dan pedas. Cita rasa yang tidak sesuai dengan lidahku sama sekali. "Sini. Saya suapin." Pak Akhtara menyendokkan sesuap nasi dan lauk lalu menyodorkannya ke mulutku. "Enak?" Kepalaku mengangguk dengan terus mengunyahnya. "Mau saya pesenin kayak gini?" "Emang boleh, Pak?" "Yang penting bayar, Han." Jika tadi Pak Akhtara bersikap biasa saja, maka sekarang beliau menunjukkan sisi perhatiannya dengan memesankanku menu yang sama dengannya. "Habisin, Han. Biar kamu ada tenaga barangkali mau mendebat saya." Aku memanyunkan bibir sambil terus menikmati menu tuna stuf
"Pak!" Tetiba saja Pak Akhtara menyingkirkan guling yang ada di tengah-tengah kasur lalu kini beliau berada di atasku. Mau apa memangnya? "Han, cukup! Jangan bilang cinta lagi ke saya atau lihatin wajah saya kayak tadi!" Beliau berkata pelan namun tegas dengan mata menatapku intens. Sedang kedua tangannya bertumpu di kedua sisi tubuhku yang setengah berbaring di kasur. "Ke ... kenapa, Pak?" Tanyaku lirih dengan perasaan gugup. "Karena ucapan cintamu dan perhatianmu yang betubi-tubi itu bikin saya bisa khilaf. Apa kamu siap kalau saya khilaf?" Kepalaku langsung menggeleng tegas dengan mata membola. Aku hanya mencintai hartanya, tidak lebih! "Makanya, jangan mancing-mancing saya terlalu jauh. Saya nggak mau kamu jadi nggak nyaman sama hubungan kita yang baru dimulai ini. Meski kamu itu sah mau saya apa-apakan, tapi saya mau ada keselarasan dalam pernikahan kita. Biar kamu dan saya sama-sama nyaman menjalaninya." "Kalau pun memang kamu jodoh saya tapi kita dipertemukan deng
"Mas, kok kamu bilang gitu?"Siapa yang tidak panas hati ketika baru menelfon Mas Hadza ditengah tidak tahunya aku bagaimana cara mencari sinyal, tapi begitu terhubung dia langsung marah dan main tuduh. "Ck! Siapa yang nggak bingung kalau kamu nggak ngabarin apapun dari kemarin! Entah kamu udah sampai Maldives atau pesawatmu ada masalah! Aku nungguin pesan dari kamu, Han! Mau tanya juga mau tanya siapa! Beneran, aku persis orang bego nungguin pesan dari kamu!" Ini adalah kali pertama aku mendengar Mas Hadza meluapkan emosinya. Kasar, menyakitkan, dan aku mendadak tidak nyaman. Tapi tidak salah karena yang membuatnya begini adalah akibat salahku yang tidak memberi kabar sejak kemarin."Aku nggak ada sinyal, Mas! Aku nggak ngerti kalau ke luar negeri harus pasang kartu yang bisa untuk di luar negeri juga.""Apa kamu nggak bisa minta sinyal dari saudaramu atau orang hotel cuma lima menit aja untuk ngabarin aku? Atau emang kamu terlalu sibuk sampai lupa ngasih kabar ke aku?! Jangankan ak