enjoy reading ....
"Pak!" Tetiba saja Pak Akhtara menyingkirkan guling yang ada di tengah-tengah kasur lalu kini beliau berada di atasku. Mau apa memangnya? "Han, cukup! Jangan bilang cinta lagi ke saya atau lihatin wajah saya kayak tadi!" Beliau berkata pelan namun tegas dengan mata menatapku intens. Sedang kedua tangannya bertumpu di kedua sisi tubuhku yang setengah berbaring di kasur. "Ke ... kenapa, Pak?" Tanyaku lirih dengan perasaan gugup. "Karena ucapan cintamu dan perhatianmu yang betubi-tubi itu bikin saya bisa khilaf. Apa kamu siap kalau saya khilaf?" Kepalaku langsung menggeleng tegas dengan mata membola. Aku hanya mencintai hartanya, tidak lebih! "Makanya, jangan mancing-mancing saya terlalu jauh. Saya nggak mau kamu jadi nggak nyaman sama hubungan kita yang baru dimulai ini. Meski kamu itu sah mau saya apa-apakan, tapi saya mau ada keselarasan dalam pernikahan kita. Biar kamu dan saya sama-sama nyaman menjalaninya." "Kalau pun memang kamu jodoh saya tapi kita dipertemukan deng
"Mas, kok kamu bilang gitu?"Siapa yang tidak panas hati ketika baru menelfon Mas Hadza ditengah tidak tahunya aku bagaimana cara mencari sinyal, tapi begitu terhubung dia langsung marah dan main tuduh. "Ck! Siapa yang nggak bingung kalau kamu nggak ngabarin apapun dari kemarin! Entah kamu udah sampai Maldives atau pesawatmu ada masalah! Aku nungguin pesan dari kamu, Han! Mau tanya juga mau tanya siapa! Beneran, aku persis orang bego nungguin pesan dari kamu!" Ini adalah kali pertama aku mendengar Mas Hadza meluapkan emosinya. Kasar, menyakitkan, dan aku mendadak tidak nyaman. Tapi tidak salah karena yang membuatnya begini adalah akibat salahku yang tidak memberi kabar sejak kemarin."Aku nggak ada sinyal, Mas! Aku nggak ngerti kalau ke luar negeri harus pasang kartu yang bisa untuk di luar negeri juga.""Apa kamu nggak bisa minta sinyal dari saudaramu atau orang hotel cuma lima menit aja untuk ngabarin aku? Atau emang kamu terlalu sibuk sampai lupa ngasih kabar ke aku?! Jangankan ak
Pak Akhtara itu sebenarnya lelaki yang cukup perhatian. Bagaimana tidak perhatian jika begitu keluar dari kamar, beliau langsung menggandeng tanganku sedang satu tangannya yang lajn membawa tas berisi pakaian ganti kami untuk menyelam.Bahkan beliau tidak melepaskan tanganku sama sekali begitu sampai di sebuah mini yacht yang disewa olehnya. "Ayo, Han."Beliau melompat lebih dulu ke atas yacht dengan mengulurkan tangannya padaku. Karena yacht sedikit terombang-ambing karena gelombang laut yang datang. "Saya takut, Pak!" "Pegang tangan saya lalu lompat. Nanti kamu saya tangkap. Tenang aja. Percaya sama saya."Bagaimana tidak takut jika yacht itu terus bergerak naik turun. "Takut, Pak!" Lalu hembusan angin pantai menerpa rambutku hingga setengah berantakan. "Ayo, Han! Ada saya!" Aku menggenggam tangan Pak Akhtara erat lalu melompat ke arah yacht. Tapi aku melompat di waktu yang salah hingga membuat kakiku menapak miring. Lalu Pak Akhtara meraihku dalam dekapannya ketika akan terg
Usai membersihkan diri dan petugas hotel membawakan makan siang, Pak Akhtara mengajakku kembali duduk di teras kamar kami yang menghadap laut. Sejuk dan menyenangkan sekali.Dengan memakai baby dol alias baju tidur warna biru dengan potongan pendek hingga terlihat jenjang kaki indahku, aku duduk bersila di hadapan Pak Akhtara. Di tengah-tengah kami tersaji makan siang khas Maldives. Belum selesai kami makan siang bersama, tiba-tiba saja Pak Akhtara memilih menyudahinya. "Kenapa, Pak?" Beliau menggeleng lalu menghadap lautan yang berkilau karena pantulan cahaya matahari."Apa menunya nggak cocok sama selera Bapak?" Lalu beliau menoleh ke arahku, "Lihat kamu pakai baju pendek-pendek bikin kepala saya pusing, Han."Aku menghentikan kunyahan lalu menatap Pak Akhtara dengan alis terangkat. Jujur sekali beliau ini?"Kamu tahu kenapa saya tadi diving sendirian? Hampir setengah jam lamanya."Kepalaku menggeleng sebagai jawaban dengan menatap beliau lekat."Karena kepala saya pusing banget,
"Pak, hujan."Rintik-rintik hujan mulai membasahi kawasan tempat kami menginap selama di Maldives. Rencananya Pak Akhtara yang akan mengajakku melihat Sea Of Star yang berada di Vaadhoo Island. Yaitu sejenis plankton yang mengeluarkan cahaya di malam hari hingga membuat lautan yang di Vaadhoo Island seperti dipenuhi lampu-lampu warna biru cantik. Atau sejenis kunang-kunang laut. Hal indah yang tidak ada di lautan Jakarta dan hanya ada di Maldives saja. Alhasil aku memberengut kecewa karena satu keindahan Maldives harus terlewat karena rintik hujan. Tidak mungkin jika kami nekat pergi ke sana saat hujan seperti ini. Beliau kemudian berjalan ke arahku yang berdiri di teras kamar lalu menengok ke luar. "Alamat batal lihat sea of star nih, Han.""Sayang banget, Pak. Padahal saya udah ngarep banget."Kemudian beliau menarik lenganku agar berdiri memunggunginya. Lalu beliau begitu saja melingkarkan tangannya di perutku dan menumpukan dagunya di pundakku. Sontak aku terkejut dan sediki
Apa katanya? Cemburu melihatku makan siang bersama Mas Hadza? Lalu aku memberanikan diri menatap kedua mata Pak Akhtara dengan keningnya masih ditempelkan dengan keningku. "Jangan dekat-dekat sama lelaki manapun, Han. Saya nggak suka." "Tapi ... saya punya teman, Pak." "Penting suamimu ini atau temanmu?" Pilihan apa ini? Tentu saja penting Mas Hadza dari siapapun! "Dosa besar kalau istri nggak nurut sama suaminya. Apalagi untuk menjaga martabat dan harga dirimu. Teman itu nggak selamanya ada buat kamu. Tapi kalau suami, saya bisa pastikan bakal bisa kamu andalin jadi teman hidup sampai maut memisahkan." Tetap saja aku tidak setuju dengan pemikiran Pak Akhtara. "Pak, saya ... juga butuh berteman. Saya ... " Aku tidak melanjutkan ucapan karena tangan Pak Akhtara yang berada di kedua pinggangku kini menekan bagian depan tubuhku hingga bersentuhan dengan bagian depan tubuhnya pula. "Saya nggak suka kalau dibantah, Han." Lalu aku menggunakan kedua telapak tangan untuk menaha
Sepanjang perjalanan udara, Pak Akhtara tidak pernah lama melepaskan tanganku. Beliau terus menggenggamnya. Terserah beliau saja lah! Yang penting dua cincin berwarna hijau tua oleh-oleh pilihanku dari Maldives telah kusimpan baik-baik di dalam tas. Besok saat di kantor, aku ingin memberikannya pada Mas Hadza. Ah ... hanya menyebut namanya saja, sudah membuat hatiku berbungah dan sangat merindukannya. Tidak siap menunggu esok hari. Dan akhirnya pesawat kami mendarat sempurna di bandara internasional Soekarno Hatta. Lalu Pak Akhtara kembali menggenggam tanganku sembari kami berjalan keluar pesawat. "Setelah ini kayaknya kita harus belajar banyak, Han." "Belajar apa, Pak?" "Kita mulai dari membuka hubungan kita dan mengatakannya pada siapapun. Termasuk orang kantor." Duar!!! Itu artinya, Mas Hadza akan mengetahui identitas pernikahan kami! BIG NO!!!! Aku langsung berhenti melangkah dan menatap Pak Akhtara cemas. "Jangan pernah Bapak ngelakuin itu! Jangan sekali-kali ya, P
Pernah dengar ulasan sebuah artikel kesehatan yang mengatakan performa ranjang lelaki berusia empat puluh tahun ke atas itu masih luar biasa? "Pak ... kan ... kita udah sepakat, kalau kita jalani pelan-pelan. Kok ... Bapak ... minta malam ini?" ucapku lirih dengan terbata-bata. Sejujurnya aku sangat takut dengan keinginan Pak Akhtara yang mengatakan tergantung bagaimana aku bisa membuatnya bertekuk lutut malam ini. Sumpah! Selama menjalani profesi sampingan, aku tidak pernah menghabiskan satu malam pun dengan lelaki yang membayar jasaku. Murni aku hanya menemani mereka lalu pulang! Tidak lebih. Jadi, bagaimana bisa aku membuat Pak Akhtara bertekuk lutut malam ini? Aku tidak memiliki keahlian atau pengalaman membuat pasangan merasa cukup diterbangkan dalam kenikmatan duniawi. Aku masih perawan! Kemudian beliau tertawa lirih dan aku hanya meliriknya. "Kamu tuh aneh, Han. Bilangnya cinta dan nyaman sama saya, tapi waktu diajak melakukan hubungan suami istri, kamu berubah kayak
POV AKHTARAâMaaf katamu?â Tanya Farhan dengan suara sinis.âWaktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!âAku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. âAku!â Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.âBukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!â ucapnya dengan menunjuk dadaku.âKamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!ââDan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!âKepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.âMunafik!ââSaya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.âTanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan eksp
POV AKHTARA [Pesan dariku : Han, saya mau ke rumahmu malam ini. Apa boleh?]Aku menunggu jawaban Jihan dengan sangat tidak sabaran. Menit demi menit itu terasa sangat lama sekali. Kemana dia? Mengapa sedang tidak online?Setelah lima menit dan mondar-mandir sendiri di dalam apartemen, aku kembali melihat ponsel yang masih saja belum menunjukkan ada notifikasi dari Jihan.Baru kemarin Jihan bertamu ke apartemenku, dan hari ini aku langsung bergerak cepat. Memangnya mau menunggu apa?Ting âŠAku segera meraih ponsel yang ada di meja dengan harap-harap cemas semoga saja itu dari Jihan.Dan ...[Pesan dari Jihan : Maaf, Pak. Mau apa memangnya?]Kemudian aku langsung menekan gambar telfon dan terhubung ke nomer Jihan. Aku merasa berbicara langsung itu lebih jelas dan gamblang dari pada mengatakannya melalui pesan singkat.âHalo?ââSaya mencintai kamu, Han.âIni mungkin terlihat sangat frontal dan tidak sabaran. Karena aku langsung mengatakan isi hatiku kepada Jihan tanpa ada basa basi sama
POV AKHTARAJihan kemudian menoleh dengan mata berkaca-kaca kemudian dia berdiri tanpa membawa paper bag. Lalu dia berjalan ke arahku hingga terlihat jelas ekspresi wajahnya.Kecewa, sedih, dan marah bercampur menjadi satu.âKetika Bapak mau pergi meninggalkan saya dan Akhtira, setelah nyuruh Faris datang ke rumah dengan memberikan deretan surat berharga beserta rekening berisi uang yang nggak main-main banyaknya, kenapa Bapak nggak angkat telfon saya?ââKenapa Bapak main pergi aja waktu itu?âLalu air matanya kembali jatuh setetes membasahi pipi.âBapak ngasih saya dan Akhtira harta sebanyak itu lalu pergi gitu aja, saya kayak merasa semuanya bisa Bapak hargai pakai uang!âKemudian air mata Jihan makin deras membasahi pipinya. Bahkan bibirnya ikut bergetar menahan isak tangis.âSaya tahu Bapak itu kaya, tapi kenapa semuanya selalu Bapak putuskan sendiri tanpa dengerin saya dulu! Kenapa Bapak selalu menilainya pakai uang?! Bapak punya hati dan cinta kan?! Kenapa nggak mencoba menggunak
POV AKHTARATujuh hari aku berada di tanah suci untuk benar-benar menghambakan diri pada Tuhan. Segala urusan duniawi kukesampingkan.Aku benar-benar mengharap ampunan turun bersama dengan kesungguhanku saat bersujud, menengadahkan tangan, dan tetesan air mata penyesalan.Kugunakan waktu itu sebaik mungkin dengan memperbanyak ibadah. Aku hanya pulang ke hotel jika benar-benar mengantuk.Aku tidak tahu apakah pemeriksaan keseluruhan terhadap kesehatanku itu lolos ataukah tidak. Bila lolos dan dinyatakan cocok, setidaknya aku telah membasuh jiwaku di tanah suci sebelum kembali pada sang Khaliq.Tapi bila tidak lolos, aku harap Tuhan memberi jalan kehidupan yang lebih baik. Karena aku sudah tidak lagi muda dan waktunya lebih fokus pada ibadah serta keluarga.Faris melambaikan tangannya begitu aku keluar dari pintu kedatangan penerbangan luar negeri. Dengan menggeret koper, aku menghampirinya yang menatapku dengan pandangan berkaca-kaca.Dia sudah kuanggap seperti adik dan langsung merangk
POV AKHTARA Faris yang berdiri di samping itu kemudian menatapku penuh keterkejutan. Pun dengan dokter yang kuajak berbicara dan masih memegang hasil laboratorium pasien yang menderita sakit keras itu. "Pak, apa ... maksudnya?" Tanya dokter itu. "Maksud saya seperti yang dokter pikirkan."Dokter itu kemudian menatap Faris dengan penuh keterkejutan. Pasalnya mana ada orang yang sudi mendonorkan hatinya dengan terang-terangan seperti aku?Mungkin mereka pikir aku sedang main-main dengan hal ini. Padahal aku benar-benar merasa bahwa ini adalah titik balik untuk memperbaiki diri dan mendapatkan ampunan dari Tuhan atas semua kesalahanku. "Pak Akhtara, maaf. Ini bukan perkara sederhana, Pak. Mendonorkan hati itu tidak sama dengan mendonorkan ginjal. Manusia punya dua ginjal dan masih bisa bertahan hidup dengan satu ginjal. Tapi kalau hati ... manusia hanya punya satu, Pak. Kalau itu diambil, maka --- ""Saya mati. Begitu kan alurnya?" Jawabku tenang. Dokter dan Faris saling bertatapan d
POV AKHTARAâMas, mau gendong Tira nggak?â Tanya Abid dengan suara sangat lirih.Aku yang tengah duduk di bangku belakang sambil menatap keluar jendela mobil pun beralih atensi pada adikku itu.Dia tengah memangku putraku, Akhtira, yang sudah tertidur dengan lelap. Sedang kedua anaknya masing-masing dipangku istrinya dan Papa. Hanya aku saja yang tidak memangku anak kecil.Kemudian aku melongok ke arah putraku itu. Dia benar-benar damai terlelap di atas pangkuan adikku. Dan selalu enggan untuk berdekatan denganku.âApa dia nanti nggak kebangun, Bid?â Tanyaku dengan suara sama lirihnya.âPelan-pelan aja, Mas.âLalu aku mengusap pipi halusnya itu dengan ibu jari untuk memastikan apakah Akhtira benar-benar sangat terlelap. Ternyata putraku itu tetap tidur dengan sangat pulas.âKayaknya dia kecapekan habis main air terus perutnya kenyang. Jadi deh ngorok.âAku menahan tawa karena guyonan Abid lalu mengangguk dengan mengulurkan kedua tangan untuk menerima putraku.Galau di hati yang sedari
POV AKHTARAAku harus tetap professional dengan tidak mencampuradukkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Meski terasa sulit dengan tidak memikirkan penolakan Jihan saat aku sedang bekerja seperti ini.Permintaan Jihan yang tidak bersedia rujuk adalah sebuah keputusan yang tidak boleh kupaksa. Dia memiliki hak yang harus kuhormati sekalipun itu melukai hatiku.Cintaku pada sesama manusia telah habis di Jihan.Meski Humaira begitu baik secara sifat dan iman, tetap saja aku selalu terbayang Jihan. Bukankah akan makin menyakiti Humaira jika dia mengerti jika hatiku masih tertambat pada Jihan?âMungkin jika Bu Jihan sudah menikah lagi, Bapak akan benar-benar bisa melepas dan melupakannya. Karena pintu untuk mendapatkannya benar-benar telah tertutup,â ucap Faris.Aku menghela nafas panjang dengan menatap gelas minumku yang mengembun. Kami sedang makan malam bersama karena aku tidak mau makan malam sendirian. Kebetulan tempat tinggal Faris tidak jauh dari apartemen tempatku berteduh.âM
POV AKHTARAKarena putraku, Akhtira, sedang duduk di pangkuan seorang lelaki dengan menghadap wajah orang itu. Bahkan senyum putraku terlihat mengembang penuh tawa apalagi saat lelaki itu menyerukkan kepalanya ke arah dada putraku.Tira kembali tertawa terpingkal karena geli dan mencengkeram rambut lelaki itu. Semakin Tira terpingkal, dia semakin menyerukkan kepalanya ke dada putraku hingga tawa keduanya menguar bebas dan membuatku ⊠iri.Lelaki yang masih memakai kemeja putih dan celana kain hitam khas pakaian ASN itu, apakah dia yang bernama Farhan?Seorang aparatur sipil negara yang berstatus duda dan sedang mendekati Jihan.Karena lelaki itu sibuk menyerukkan kepalanya di dada putraku, dia tidak menyadari kehadiranku yang menatap ke arahnya dengan penuh rasa iri dan sedih.Iri karena putraku bisa seakrab itu dengannya. Padahal aku ini ayah biologisnya.Dan sedih karena aku belum pernah sekalipun menggendong putraku sama sekali.Sudah berapa lama mereka bersama? Sudah berapa lama le
POV AKHTARAâSaya panggilin Papa biar Tira dipangku Papa. Jadi Bapak bisa menyentuh Tira.âAku sedikit mengerutkan kening mendapati jawaban Jihan.âKenapa harus sama Papamu?ââKita ini udah bukan suami istri secara agama, Pak. Kalau kita berdekatan, nanti jadi dosa.âMulutku terkunci ketika Jihan berkata seperti itu. Satu kenyataan yang hampir kulupakan bahwa wanita yang sangat kucintai ini sebenarnya telah terlepas dari genggamanku secara agama.Statusnya hanya istri secara hukum negara.Tapi aku ingat perkataan Papa bahwa masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan Jihan kembali dengan rajin mengunjungi Tira.Ketika Jihan hendak berdiri, aku berkata âŠâTolong kamu dudukkan aja Tira di kursi. Nggak usah panggil Papamu.âKarena aku yakin jika Papanya Jihan akan membuat pembatas antara aku dan Tira. Apalagi jika putraku itu menangis karena baru pertama kali bertemu denganku.Jihan mengangguk lalu membujuk Tira untuk duduk di kursi. Putraku itu nampak tidak kooperatif namun Jihan terus m