jangan lupa bahagia. :-)
Sepanjang perjalanan udara, Pak Akhtara tidak pernah lama melepaskan tanganku. Beliau terus menggenggamnya. Terserah beliau saja lah! Yang penting dua cincin berwarna hijau tua oleh-oleh pilihanku dari Maldives telah kusimpan baik-baik di dalam tas. Besok saat di kantor, aku ingin memberikannya pada Mas Hadza. Ah ... hanya menyebut namanya saja, sudah membuat hatiku berbungah dan sangat merindukannya. Tidak siap menunggu esok hari. Dan akhirnya pesawat kami mendarat sempurna di bandara internasional Soekarno Hatta. Lalu Pak Akhtara kembali menggenggam tanganku sembari kami berjalan keluar pesawat. "Setelah ini kayaknya kita harus belajar banyak, Han." "Belajar apa, Pak?" "Kita mulai dari membuka hubungan kita dan mengatakannya pada siapapun. Termasuk orang kantor." Duar!!! Itu artinya, Mas Hadza akan mengetahui identitas pernikahan kami! BIG NO!!!! Aku langsung berhenti melangkah dan menatap Pak Akhtara cemas. "Jangan pernah Bapak ngelakuin itu! Jangan sekali-kali ya, P
Pernah dengar ulasan sebuah artikel kesehatan yang mengatakan performa ranjang lelaki berusia empat puluh tahun ke atas itu masih luar biasa? "Pak ... kan ... kita udah sepakat, kalau kita jalani pelan-pelan. Kok ... Bapak ... minta malam ini?" ucapku lirih dengan terbata-bata. Sejujurnya aku sangat takut dengan keinginan Pak Akhtara yang mengatakan tergantung bagaimana aku bisa membuatnya bertekuk lutut malam ini. Sumpah! Selama menjalani profesi sampingan, aku tidak pernah menghabiskan satu malam pun dengan lelaki yang membayar jasaku. Murni aku hanya menemani mereka lalu pulang! Tidak lebih. Jadi, bagaimana bisa aku membuat Pak Akhtara bertekuk lutut malam ini? Aku tidak memiliki keahlian atau pengalaman membuat pasangan merasa cukup diterbangkan dalam kenikmatan duniawi. Aku masih perawan! Kemudian beliau tertawa lirih dan aku hanya meliriknya. "Kamu tuh aneh, Han. Bilangnya cinta dan nyaman sama saya, tapi waktu diajak melakukan hubungan suami istri, kamu berubah kayak
Tanpa mengetuk pintu, aku begitu saja membuka pintu ruang kerja Pak Akhtara. Pelan sekali hingga beliau tidak mendengar aku membuka pintunya. Karena berbarengan dengan itu pula, beliau memutar sebuah musik lirih sambil menatap keluar jendela dengan memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Beliau pasti sedang memikirkan sikapku yang berkebalikan dengan ucapan cintaku. Yeah, cinta palsu demi hartanya. "Pak?" Beliau seperti terkejut lalu menoleh dengan cepat. Kemudian mengambil sebuah map dari meja kerjanya. "Saya lagi sibuk, Han. Baru aja dihubungi Papa. Disuruh ngecek keuangan rumah sakit. Ada trouble," ucapnya tanpa menatapku. Beliau kemudian duduk di kursi kerjanya lalu mengambil laptop dari dalam tas dan segera menyalakannya. "Saya tahu Bapak bohong." Seketika beliau seperti membeku mendengar tebakanku. Hanya beberapa detik namun beliau kembali sok sibuk. "Buat apa saya bohongin kamu. Saya ini orang sibuk, Han." Kemudian aku berjalan mendekat ke samping beliau yang se
"Kamu mau kan jadi milik saya sepenuhnya, Han? Tanpa paksaan?" Aku mengangguk dengan seulas senyum palsu. "Saya bahagia banget, Han." Kemudian beliau mencium pipiku lalu berpindah ke leherku. Astaga, badanku langsung panas dingin dalam sekejap mata. Lalu nafasku mendadak seperti orang sedang berlatih senam pernafasan. Mengambil nafas panjang lalu dihembuskan perlahan dengan mata berketip cepat. Maklum, ini akan menjadi pengalaman pertamaku menghabiskan malam pertama dengan suami. Lebih tepatnya suami yang tidak kucintai namun aku benar-benar terpaksa melayaninya demi harta! Tapi itu hanya beberapa detik saja lalu beliau menarik wajahnya dan kembali menatapku dalam kegelapan kamar. "Kenapa, Pak?" Aku takut beliau kecewa lalu aku batal menikmati hartanya. "Nggak sekarang, Han." Apa maksudnya? Pak Akhtara tidak serta merta mewujudkan keinginan biologisnya begitu bisa membuatku tunduk. Yeah, pada akhirnya, akulah yang bertekuk lutut padanya. Bukan aku yang membuat beliau berte
Aku segera memegang lengan kokoh Pak Akhtara lalu mendorong tubuhnya yang menimpaku. "Pak? Pak Akhtara? Bangun, Pak?" Beliau tetap ambruk di atasku dengan nafas orang seperti sesak nafas! Astaga! Bagaimana ini? Kupikir berita tentang seorang pria dewasa usai bercinta di kamar hotel lalu meninggal dunia itu isapan jempol semata. Tapi ternyata, ini benar-benar terjadi padaku! Pak Akhtara pingsan atau justru meninggal dunia? Apa? Meninggal dunia? Ah .... polisi pasti bakal menangkapku karena yang membuat beliau meninggal setelah bercinta. Dan yang lebih buruk lagi, sudah dipenjara, kehilangan keperawanan, belum mendapatkan bisnis seperti yang dijanjikan beliau, lalu ditinggalkan Mas Hadza. Ini gila!!!! "Pak! Bangun, Pak!" Aku gugup dan terus berusaha membangunkan dan menyingkirkannya dari atasku. Nafasnya yang terdengar kasar itu menerpa kulit pundakku. Begitu aku berhasil menggulingkan Pak Akhtara ke sisi kiriku, tiba-tiba saja tangan beliau menarik badanku hingga aku yang
Aku memilih tidak terlelap lagi hingga subuh menjelang. Lalu menghidupkan televisi di ruang tengah. Mataku tertuju ke arah televisi tapi pikiranku melayang-layang kesana kemari. "Pagi, sayang," sapanya dari belakang. Kemudian beliau mencium pipi kiriku dengan kedua tangannya bertengger di pundakku. Aku sangat terkejut dengan morning kiss dan sapaan Pak Akhtara pagi ini. Pasalnya pikiranku sedang berkelana dan beliau datang mengagetkan. Aroma sabun yang segar dari tubuhnya tercium olehku. Itu artinya beliau usai menunaikan mandi besar. Lagi pula, mengapa juga sih main cium saja? Hatiku sedang tidak bersemangat meski memandangnya. "Saya pikir kamu kemana." "Saya ... pengen lihat tivi aja, Pak. Takut di kamar ganggu Bapak tidur." "Ayo kita ibadah subuh dulu, Han." Beliau kemudian berjalan mengitari sofa panjang yang kududuki lalu mengulurkan tangannya. Dan aku menerima tangannya kemudian menarikku kembali ke kamar untuk beribadah bersama. Dengan baju muslim dan peci putih d
"Afifah, mulai sekarang, Jihan udah pindah ke kamar saya. Pakaiannya tadi masih ada di koper. Tolong kamu masukin pakaiannya ke dalam lemari saya. Kalau masih ada barang-barangnya Jihan yang ada di kamar tamu, boleh kamu pindah ke kamar saya sekalian." Ucapan Pak Akhtara sontak membuat kedua mata Afifah berkedip cepat. Kemudian aku segera menundukkan kepala untuk menyembunyikan secuil kekesalanku. Bahkan sarapan yang ada di hadapanku kini terihat tidak menggugah selera. Mengapa sih, Pak Akhtara harus mengatakan itu pada Afifah?! Tanpa berkata pun, seiring berjalannya waktu dia pasti akan tahu kalau aku pada akhirnya satu kamar dengan Pak Akhtara. "Eh ... iya, Pak. Akan saya tata pakaiannya Mbak Jihan." "Makasih." "Semoga rumah tangganya langgeng sampai maut memisahkan, Pak, Mbak. Dan segera dikaruniai keturunan yang lucu, sehat, dan cerdas. Membanggakan keluarga." Pak Akhtara yang duduk di sebelahku langsung tertawa lebar. "Makasih banyak doanya, Fif. Kamu tulus banget doain
[Pesan dari Pak Akhtara : Sayang, saya nggak bisa ajak kamu makan siang. Saya ada rapat sama direksi. Mendadak banget. Kamu nggak masalah kan makan siang sama teman-temanmu?] Aku langsung lega sejadi-jadinya usai membaca pesan dari Pak Akhtara. Ini yang kuharapkan! Kalau bisa setiap hai lebih baik Pak Akhtara sibuk melulu saja. "Selamat." Gumamku dengan tangan kiri mengusap dada dan menghela nafas panjang.. "Mau dia makan siang sama direksi, mau rapat, atau apalah. Gue nggak peduli. Malah kalau bisa rapat aja tiap hari biar nggak ganggu gue keluar sama Mas Hadza." Tanpa membalas pesannya, aku segera melangkah keluar kantor dengan sedikit tergesa-gesa hingga ketukan sepatuku berhak tiga sentimeter beradu dengan lantai dan paving halaman kantor. Lalu aku menuju ke barat kantor dengan mata melirik kesana kemari barangkali ada rekan sesama kantor ada yang berada di sekitar sini. Hingga aku mencapai minimarket dan tatapan mataku langsung tertuju ke arah Mas Hadza yang sedang duduk
POV AKHTARA“Maaf katamu?” Tanya Farhan dengan suara sinis.“Waktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!”Aku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. “Aku!” Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.“Bukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!” ucapnya dengan menunjuk dadaku.“Kamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!”“Dan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!”Kepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.“Munafik!”“Saya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.”Tanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan eksp
POV AKHTARA [Pesan dariku : Han, saya mau ke rumahmu malam ini. Apa boleh?]Aku menunggu jawaban Jihan dengan sangat tidak sabaran. Menit demi menit itu terasa sangat lama sekali. Kemana dia? Mengapa sedang tidak online?Setelah lima menit dan mondar-mandir sendiri di dalam apartemen, aku kembali melihat ponsel yang masih saja belum menunjukkan ada notifikasi dari Jihan.Baru kemarin Jihan bertamu ke apartemenku, dan hari ini aku langsung bergerak cepat. Memangnya mau menunggu apa?Ting …Aku segera meraih ponsel yang ada di meja dengan harap-harap cemas semoga saja itu dari Jihan.Dan ...[Pesan dari Jihan : Maaf, Pak. Mau apa memangnya?]Kemudian aku langsung menekan gambar telfon dan terhubung ke nomer Jihan. Aku merasa berbicara langsung itu lebih jelas dan gamblang dari pada mengatakannya melalui pesan singkat.“Halo?”“Saya mencintai kamu, Han.”Ini mungkin terlihat sangat frontal dan tidak sabaran. Karena aku langsung mengatakan isi hatiku kepada Jihan tanpa ada basa basi sama
POV AKHTARAJihan kemudian menoleh dengan mata berkaca-kaca kemudian dia berdiri tanpa membawa paper bag. Lalu dia berjalan ke arahku hingga terlihat jelas ekspresi wajahnya.Kecewa, sedih, dan marah bercampur menjadi satu.“Ketika Bapak mau pergi meninggalkan saya dan Akhtira, setelah nyuruh Faris datang ke rumah dengan memberikan deretan surat berharga beserta rekening berisi uang yang nggak main-main banyaknya, kenapa Bapak nggak angkat telfon saya?”“Kenapa Bapak main pergi aja waktu itu?”Lalu air matanya kembali jatuh setetes membasahi pipi.“Bapak ngasih saya dan Akhtira harta sebanyak itu lalu pergi gitu aja, saya kayak merasa semuanya bisa Bapak hargai pakai uang!”Kemudian air mata Jihan makin deras membasahi pipinya. Bahkan bibirnya ikut bergetar menahan isak tangis.“Saya tahu Bapak itu kaya, tapi kenapa semuanya selalu Bapak putuskan sendiri tanpa dengerin saya dulu! Kenapa Bapak selalu menilainya pakai uang?! Bapak punya hati dan cinta kan?! Kenapa nggak mencoba menggunak
POV AKHTARATujuh hari aku berada di tanah suci untuk benar-benar menghambakan diri pada Tuhan. Segala urusan duniawi kukesampingkan.Aku benar-benar mengharap ampunan turun bersama dengan kesungguhanku saat bersujud, menengadahkan tangan, dan tetesan air mata penyesalan.Kugunakan waktu itu sebaik mungkin dengan memperbanyak ibadah. Aku hanya pulang ke hotel jika benar-benar mengantuk.Aku tidak tahu apakah pemeriksaan keseluruhan terhadap kesehatanku itu lolos ataukah tidak. Bila lolos dan dinyatakan cocok, setidaknya aku telah membasuh jiwaku di tanah suci sebelum kembali pada sang Khaliq.Tapi bila tidak lolos, aku harap Tuhan memberi jalan kehidupan yang lebih baik. Karena aku sudah tidak lagi muda dan waktunya lebih fokus pada ibadah serta keluarga.Faris melambaikan tangannya begitu aku keluar dari pintu kedatangan penerbangan luar negeri. Dengan menggeret koper, aku menghampirinya yang menatapku dengan pandangan berkaca-kaca.Dia sudah kuanggap seperti adik dan langsung merangk
POV AKHTARA Faris yang berdiri di samping itu kemudian menatapku penuh keterkejutan. Pun dengan dokter yang kuajak berbicara dan masih memegang hasil laboratorium pasien yang menderita sakit keras itu. "Pak, apa ... maksudnya?" Tanya dokter itu. "Maksud saya seperti yang dokter pikirkan."Dokter itu kemudian menatap Faris dengan penuh keterkejutan. Pasalnya mana ada orang yang sudi mendonorkan hatinya dengan terang-terangan seperti aku?Mungkin mereka pikir aku sedang main-main dengan hal ini. Padahal aku benar-benar merasa bahwa ini adalah titik balik untuk memperbaiki diri dan mendapatkan ampunan dari Tuhan atas semua kesalahanku. "Pak Akhtara, maaf. Ini bukan perkara sederhana, Pak. Mendonorkan hati itu tidak sama dengan mendonorkan ginjal. Manusia punya dua ginjal dan masih bisa bertahan hidup dengan satu ginjal. Tapi kalau hati ... manusia hanya punya satu, Pak. Kalau itu diambil, maka --- ""Saya mati. Begitu kan alurnya?" Jawabku tenang. Dokter dan Faris saling bertatapan d
POV AKHTARA“Mas, mau gendong Tira nggak?” Tanya Abid dengan suara sangat lirih.Aku yang tengah duduk di bangku belakang sambil menatap keluar jendela mobil pun beralih atensi pada adikku itu.Dia tengah memangku putraku, Akhtira, yang sudah tertidur dengan lelap. Sedang kedua anaknya masing-masing dipangku istrinya dan Papa. Hanya aku saja yang tidak memangku anak kecil.Kemudian aku melongok ke arah putraku itu. Dia benar-benar damai terlelap di atas pangkuan adikku. Dan selalu enggan untuk berdekatan denganku.“Apa dia nanti nggak kebangun, Bid?” Tanyaku dengan suara sama lirihnya.“Pelan-pelan aja, Mas.”Lalu aku mengusap pipi halusnya itu dengan ibu jari untuk memastikan apakah Akhtira benar-benar sangat terlelap. Ternyata putraku itu tetap tidur dengan sangat pulas.“Kayaknya dia kecapekan habis main air terus perutnya kenyang. Jadi deh ngorok.”Aku menahan tawa karena guyonan Abid lalu mengangguk dengan mengulurkan kedua tangan untuk menerima putraku.Galau di hati yang sedari
POV AKHTARAAku harus tetap professional dengan tidak mencampuradukkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Meski terasa sulit dengan tidak memikirkan penolakan Jihan saat aku sedang bekerja seperti ini.Permintaan Jihan yang tidak bersedia rujuk adalah sebuah keputusan yang tidak boleh kupaksa. Dia memiliki hak yang harus kuhormati sekalipun itu melukai hatiku.Cintaku pada sesama manusia telah habis di Jihan.Meski Humaira begitu baik secara sifat dan iman, tetap saja aku selalu terbayang Jihan. Bukankah akan makin menyakiti Humaira jika dia mengerti jika hatiku masih tertambat pada Jihan?“Mungkin jika Bu Jihan sudah menikah lagi, Bapak akan benar-benar bisa melepas dan melupakannya. Karena pintu untuk mendapatkannya benar-benar telah tertutup,” ucap Faris.Aku menghela nafas panjang dengan menatap gelas minumku yang mengembun. Kami sedang makan malam bersama karena aku tidak mau makan malam sendirian. Kebetulan tempat tinggal Faris tidak jauh dari apartemen tempatku berteduh.“M
POV AKHTARAKarena putraku, Akhtira, sedang duduk di pangkuan seorang lelaki dengan menghadap wajah orang itu. Bahkan senyum putraku terlihat mengembang penuh tawa apalagi saat lelaki itu menyerukkan kepalanya ke arah dada putraku.Tira kembali tertawa terpingkal karena geli dan mencengkeram rambut lelaki itu. Semakin Tira terpingkal, dia semakin menyerukkan kepalanya ke dada putraku hingga tawa keduanya menguar bebas dan membuatku … iri.Lelaki yang masih memakai kemeja putih dan celana kain hitam khas pakaian ASN itu, apakah dia yang bernama Farhan?Seorang aparatur sipil negara yang berstatus duda dan sedang mendekati Jihan.Karena lelaki itu sibuk menyerukkan kepalanya di dada putraku, dia tidak menyadari kehadiranku yang menatap ke arahnya dengan penuh rasa iri dan sedih.Iri karena putraku bisa seakrab itu dengannya. Padahal aku ini ayah biologisnya.Dan sedih karena aku belum pernah sekalipun menggendong putraku sama sekali.Sudah berapa lama mereka bersama? Sudah berapa lama le
POV AKHTARA“Saya panggilin Papa biar Tira dipangku Papa. Jadi Bapak bisa menyentuh Tira.”Aku sedikit mengerutkan kening mendapati jawaban Jihan.“Kenapa harus sama Papamu?”“Kita ini udah bukan suami istri secara agama, Pak. Kalau kita berdekatan, nanti jadi dosa.”Mulutku terkunci ketika Jihan berkata seperti itu. Satu kenyataan yang hampir kulupakan bahwa wanita yang sangat kucintai ini sebenarnya telah terlepas dari genggamanku secara agama.Statusnya hanya istri secara hukum negara.Tapi aku ingat perkataan Papa bahwa masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan Jihan kembali dengan rajin mengunjungi Tira.Ketika Jihan hendak berdiri, aku berkata …“Tolong kamu dudukkan aja Tira di kursi. Nggak usah panggil Papamu.”Karena aku yakin jika Papanya Jihan akan membuat pembatas antara aku dan Tira. Apalagi jika putraku itu menangis karena baru pertama kali bertemu denganku.Jihan mengangguk lalu membujuk Tira untuk duduk di kursi. Putraku itu nampak tidak kooperatif namun Jihan terus m