enjoy reading ... :-) Selingkuh itu effortnya luar biasa! Bikin hati nggak tenang!
"Vit, lo tadi makan siang dimana?" Tanyaku begitu tiba di kubikel. Kebetulan Vita juga baru datang ke kubikelnya. "Di luar nyari mie ayam, Han." Aku langsung menghela nafas lega sejadi-jadinya. Syukurlah, setidaknya Vita tidak berkeliaran di sekitar kantor ini. Setidaknya Pak Akhtara tidak melihat keberadaannya dan percaya sedang makan siang bersamaku. "Kenapa, Han?" "Nggak apa-apa kok." Kemudian aku mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menghadap komputer sembari membuka dokumen. Tiba-tiba saja Vita berucap ... "Apa ini?" Aku menoleh ke arah Vita dan betapa terkejutnya melihat obat pencegah kehamilan milikku jatuh di lantai! Kedua mataku membelalak ketika tangan Vita meraih obat itu. Lalu dengan cekatan aku meraih obat itu lebih dulu dan memasukkannya ke dalam tas. "Obat apa, Han? Kok kayak ada tulisan pencegah-pencegah gitu?" "Eh ... iya, Vit. Pencegah darah rendah." "Darah rendah? Kok kapsulnya seupil ya? Biasanya kan kapsul darah rendah itu gede dan warnanya mer
"Pak Akhtara!" Aku segera mendorong dadanya sekuat tenaga hingga tangannya terlepas dari rahangku. Bahkan kedua kakinya mundur selangkah. Dengan nafas sama-sama terengah-engah karena ulah Pak Akhtara, aku langsung bergerak menuju pintu tapi beliau dengan cepat menarik lenganku lalu merengkuhku dalam pelukannya. Erat sekali hingga kami sedekat ini dengan kedua tanganku dikunci Pak Akhtara ke belakang badan. "Lepas, Pak!" Pekikku. "Ada orang tua saya, Jihan! Jangan teriak-teriak!" ucapnya tajam dengan suara rendah. Aku melupakan itu lalu membuang muka. "Kamu kemana setelah dari ruangan saya tadi heh?!" Tatapan mataku tertuju ke arah lain dari pada menatap Pak Akhtara. Karena aku marah padanya! "Jihan, saya tanya!" Kedua tanganku masih dikunci di belakang badan dan aku memilih tidak memberontak minta dilepaskan. Percuma meminta beliau melepaskanku. Karena aku pasti tidak akan dilepaskan dengan mudah! Tapi aku tidak mau menjawab pertanyaannya. Aku kesal! "Jihan, saya hitung
"Hati-hati, Ma, Pa." "Jaga istrimu baik-baik, Tara! Jangan gila kerja! Buruan bikin anak!" Aku yang berdiri di sebelah Pak Akhtara hanya tersenyum canggung mendengar pesan beliau sebelum mobilnya keluar dari pelataran rumah Pak Akhtara. "Kamu dengar kan, sayang, Mama pengen kita segera punya anak." Kepalaku mengangguk seadanya lalu beliau menutup pintu rumah. Afifah, sudah kembali ke rumahnya dan akan kembali esok pagi untuk menyiapkan sarapan dan membersihkan rumah. Bagaimanapun, besok aku harus segera menemui petugas kesehatan agar segera mendapat suntikan pencegah kehamilan yang bertahan hingga tiga bulan lamanya. "Pak, besok jadi ketemu temannya Bapak yang punya bisnis itu kan?" Lalu beliau mendekatkan tubuhku ke tubuhnya kemudian jemarinya membelai lembut pipiku. "Apapun untukmu, sayang. Asal jangan ngambek lalu main pergi dari rumah. Saya nggak mau kejadian salah paham kayak gini terulang lagi." Ah .... leganya aku mendapat kepastian akan bertemu teman Pak Akhtara yan
"Ya, Pak?" "Bisa ke ruangan saya bentar, Han?" Itu suara Pak Akhtara dari sambungan telfon. Dari nada bicaranya saja aku sudah merasakan ada hal yang tidak beres. Pasti ini mengenai Mas Hadza yang tadi main tarik tanganku seenaknya saja. "Ya, Pak. Saya ... ke ruangan Bapak." Astaga ... masalah ini, mengapa datangnya silih berganti?! Hidupku seperti tidak ada tenangnya sama sekali. Belum selesai satu perkara sudah timbul masalah yang lain dan timbul lagi yang lain. Dan kecepatan tumbuhnya masalah itu seperti spora jamur di musim penghujan! Usai meletakkan tasku di kubikel, lalu aku melangkah ke ruangan Pak Akhtara dengan jantung tidak karuan berisiknya. Tapi bagaimanapun aku harus tenang! "Masuk!" Kemudian aku menutup pintu ruang kerja Pak Akhtara. Lalu ekor mataku melirik ke arah kursi sekretarisnya. Kosong! Pantas saja berani menyuruhku kemari padahal masih pagi. "Duduk, Han." Aku menurut lalu duduk di hadapannya. Meja kerjanya menjadi penghalang kami. "Saya lang
"Halo, Pak?" "Kamu dari mana?! Ditelfon nggak diangkat dari tadi! Ini yang bikin saya emosi, Han! Kamu kayak punya urusan rahasia dan nggak mau berbagi sama saya! Padahal saya suami kamu!" Nah kan?! Benar beliau marah. Ternyata serumit ini memiliki pasangan yang terlalu posesif dan protektif. "Saya baru beli pembalut, Pak. Saya ... datang bulan." Tidak ada jawaban darinya. "Itulah kenapa saya nggak ngajak Bapak. Saya pikir urusan pembalut itu hal yang sensitif. Masak gitu aja Bapak marah-marah sama saya?" Terdengar beliau menghela nafas lalu berkata ... "Ya sudah. Saya minta maaf." "Nanti malam jadi kan, Pak?" "Iya." Dari pada memperpanjang amarah Pak Akhtara lebih baik fokus pada bisnisku saja. Itu lebih menjanjikan dari pada sekedar meladeni amarahnya yang tidak kusukai. Siang itu hingga menjelang sore, aku bekerja seperti biasanya. Bertukar pesan dengan Mas Hadza untuk melupakan emosi Pak Akhtara. Sekaligus mempererat hubunganku dengannya yang tadi juga sempat mere
Baru kali ini aku begitu nakal, menggelora, dan banyak hal yang tidak bisa kujelaskan saat menjalankan tugas sebagai seorang istri. Ritmenya bisa membuatku mengimbangi permainan ini hingga terasa sangat seimbang antara aku dan Pak Akhtara. Mungkin karena aku melakukannya dengan ketulusan. Tidak seperti malam-malam sebelumnya yang terasa .... sedikit menyakitkan. Bahkan Pak Akhtara begitu bersemangat memimpin jalannya penyatuan ini hingga kamar ber-AC ini tidak mempan membendung rembesan keringat yang muncul dari permukaan kulitnya yang berwarna sawo matang. "Sayang ..... " Lenguhan panjang itu menjadi penanda jika kenikmatan yang diharapkan sudah mencapai puncaknya. Sedang aku entah sudah berapa kali dibawa Pak Akhtara terbang sampai memohon padanya untuk segera menyudahi permainan ini. Karena aku terlalu lelah mengimbanginya. Beliau tidak segera menyingkir dari atasku karena masih menetralkan deru nafasnya lalu menatapku dengan sorot lemas. "Istriku luar biasa." *** Pagi
Beberapa hari ini aku, Pak Akhtara, dan asisten pribadi Qhiyas bekerja bersama-sama hingga malam menjelang untuk mempersiapkan grand opening stand kulinerku. Enaknya berbisnis franchise, semua sudah disiapkan oleh ownernya. Bahkan seragam karyawan pun telah disiapkan dari sana beserta sumber tenaga manusianya. Aku dan Pak Akhtara benar-benar hanya melakukan finishing saja. Ada tiga pekerja yang bertugas di stand kulinerku. Dua lelaki dan satu perempuan yang sudah dilatih oleh anak buah Qhiyas. Bukan aku yang memberi arahan kerja pada mereka, melainkan Pak Akhtara dan asisten Qhiyas. Serta bagaimana menggunakan mesir kasir, menyalakan kompor listrik, mengolah bahan setengah jadi menjadi makanan siap saji, memperhatikan penyajian, kebersihan stand, dan sebagainya. Aku benar-benar tidak mengerti cara memulai bisnis andai tidak ada Pak Akhtara yang menjadi backingku. "Bahan setengah jadinya dalam perjalanan kemari, Pak Akhtara. Jadi kita bisa santai dulu," ucap asisten Qhiyas yang
Sekarang hari Sabtu, kami bekerja hanya sampai pukul sebelas siang saja. Namun sebelum pulang, aku nekat menuju gudang dengan membawa dokumen rekapan. Padahal tidak ada kesalahan apapun dalam proses rekapan karyawan gudang. Namun, aku menuju gudang karena ingin bertemu Mas Hadza. Sampai menit terakhir menjelang pulang kerja pun dia tidak mengangkat telfonku atau membalas pesanku. Siapa yang tidak meradang jika lelaki yang dicintai bersikap salah paham. Padahal perjuanganku untuk hubungan kami berdua, tidaklah main-main besarnya. Aku menyerahkan jiwa dan ragaku pada Pak Akhtara dengan imbalan bisnis kuliner yang hari ini akan dilakukan grand opening. "Lho, Jihan, ada yang salah rekapannya? Kok kemari?" Itu suara Mbak Adis, rekan kerja Mas Hadza di bagian gudang. "Eh ... ada dikit, Mbak. Makanya mau kroscek sama Pak Hadza. Orangnya dimana ya?" "Tuh." Jawabnya dengan menunjuk ke arah utara. Benar saja, lelaki itu nampak sedang serius bekerja mengatur penempatan barang di gudang
POV AKHTARA Satu tahun kemudian ... "Selamat, Pak. Bayinya lahir sehat. Perempuan."Aku yang sedang menemani Jihan melahirkan secara sesar itu pun tidak kuasa menahan haru dan bahagia karena kami dipercaya Tuhan untuk merawat cipataan-Nya yang sangat lucu dan menggemaskan.Adiknya Akhtira. Setelah suster membersihkan putri kami tercinta, aku segera menggendongnya. Lalu melafadzkan suara adzan di telinganya. Dengan mata berkaca-kaca, aku mencium pipinya penuh cinta. Lalu memberikannya pada Jihan yang masih terbaring di atas meja operasi. "Mau Ayah kasih nama siapa?""Aksara Badsah Ubaid."Kemudian Jihan terlihat sedikit memanyunkan bibir."Aku yang hamil susah payah, tapi nama kedua anakku mirip Ayah semua." Protesnya. "Ya udah saya ganti.""Diganti apa?""Aksara Febriana Ubaid."Jihan menganggukkan kepala setuju dengan melakukan skin ship bersama putri kami. "Namanya kelihatan ada ceweknya. Kalau yang pertama kayak laki-laki, Yah.""Apapun yang kamu mau, Sayang."Kemudian aku da
POV AKHTARARumah megahku yang berada di Bogor terasa begitu sepi, dingin, dan mati. Tidak ada suara tawa atau celotehan Akhtira.Dulu aku mendiami rumah ini hanya untuk menaruh lelap, berganti pakaian, dan berpesta dengan rekan-rekan bisnis. Bukan sebagai tempat untuk melepas kepenatan atau mendulang kebahagiaan.“Dulu saya suka pulang ke rumah ini karena ada kamu, Han,” ucapku.Sambil bergelung dengan satu selimut yang sama dengan Jihan. Di kamar yang ia tempati dulu.“Gombal. Nyatanya Bapak juga masih keluar sama Merissa padahal ada saya di rumah.”Kemudian aku membawanya dalam pelukan hingga kulit kami saling bersentuhan.“Saya nemenin Merissa belanja doang. Dan sengaja pulang agak malam biar kamu cemburu.”Tangan Jihan kemudian memukul dadaku.“Jahat!”Aku tersenyum lalu mencium kening dan memeluknya.“Saya jahat sama kamu dan jahat sama diri saya sendiri. Saya pengen cepat pulang, ketemu kamu, lalu mendapatkan hak saya. Tapi saya sengaja ngulur-ngulur waktu biar kamu cemburu. Soa
POV AKHTARA“Pa, aku sama Ayahnya Tira mau ke Bogor,” ucap Jihan ketika kami semua duduk di kursi meja makan.“Ngapain ke Bogor?!” Tanya Papanya Jihan ketus.Jihan yang sedang menyuapi Akhtira kemudian menatapku yang duduk di sebelah putraku itu.Kemudian Papanya Jihan langsung menatapku dengan ekspresi tidak suka.“Mau merencanakan apa lagi kamu, Akhtara?! Nggak usah bawa-bawa Jihan pergi jauh dari kami! Kami nggak percaya sama kamu!”Inilah alasan kuat mengapa Jihan dan Akhtira tidak diperbolehkan untuk tinggal seatap saja denganku. Mereka berpikir jika aku masihlah jahat seperti dulu. Dan sudah pasti aku harus sabar dan kuat menghadapi sikap mereka.“Aku khawatir kamu udah bikin rencana di Bogor lalu Jihan sama Tira nggak pulang-pulang! Kalau kamu mau ke Bogor, pergi aja sendiri sana!”“Meski Jihan udah kembali jadi hakmu, tapi aku sebagai Papanya nggak mau kejadian buruk itu kembali terulang!”Usai menelan makanan, aku menatap Papanya Jihan, mertuaku.Aku menyadari mengapa amarah b
POV AKHTARA Dengan jarak sedekat ini sambil menatap wajah cantik Jihan, aku benar-benar terlena. Wanita yang ada di hadapanku saat ini telah resmi menjadi istriku, pendamping hidupku. Tidak ada kata terlarang untuk menyentuh wajahnya dengan kedua tanganku. Bahkan aku dihalalkan untuk menyentuhnya lebih dari ini. Andai tidak lupa akan janjiku untuk membuatnya nyaman terlebih dahulu, mungkin aku bisa memilikinya saat ini juga.Kemudian aku menurunkan kedua tangan dari wajahnya lalu berdiri dari bersimpu dan mundur dua langkah. Sungguh, berdekatan dengan Jihan membuat naluriku sebagai seorang pria tergugah sepenuhnya.Kini aku benar-benar tahu mengapa saat bersama Merissa, aku tidak pernah sukses menjadi pria sejati. Jawabannya sudah pasti karena aku tidak mencintai dia sama sekali dan hatiku benar-benar menginginkan Jihan seorang. "Kenapa, Pak?" Aku menggeleng sembari tersenyum. "Saya cuma mau kamu nyaman dulu, Han. Saya takut kalau nggak menjaga sikap, justru kamu yang terpaksa."
POV AKHTARA Usiaku hampir menyentuh angka empat puluh lima tahun. Sedang Jihan masih berusia tiga puluh tahun. Perbedaan usia kami membuat ia lebih cocok menjadi keponakanku. Dan sebagai pria yang sudah berumur, siapa yang tidak senang jika memiliki istri yang masih muda, cantik, dan solehah?Inilah yang disebut dengan perhiasan dunia. Apalagi dia telah melahirkan keturunanku yang sehat dan tampan, Akhtira."Khilaf?" Tanya Jihan keheranan.Dengan bersedekap sambil menyandarkan punggung pada pintu kamar hotel yang kami tempati, aku fokus menikmati wajah cantik Jihan yang penuh dengan riasan pengantin dari kejauhan.Sungguh cantik!Lalu aku mengangguk sekilas. "Maksudnya?""Kalau kemarin saya cuma bisa mencintai kamu tanpa bisa memiliki, maka berbeda dengan sekarang. Saya boleh mencintai kamu sedalam apapun karena kamu resmi hanya akan menjadi milik saya aja, Han."Jihan nampak sedikit salah tingkah dengan ucapanku lalu dia membuang muka. Imut dan menggemaskan sekali.Andai aku tidak
POV AKHTARA Aku sudah tidak merasa asing lagi dengan sebutan 'perjanjian pra nikah'. Karena ketika aku akan menikahi Jihan untuk kedua kalinya dan memberinya madu dengan menikahi Merissa, aku menggunakan perjanjian pra nikah dengan alasan untuk melindungi harta bendaku. Saat itu, aku mencampuradukkan hal yang disebut cinta dan sayang dengan racun bernama dendam. Hingga aku menganggap Jihan dan Merissa adalah sama-sama perempuan yang harus kuwaspadai mana kala akan mengeruk hartaku semata.Tapi ternyata, aku keliru besar. Karena saat menikahi Jihan untuk kedua kalinya, dia benar-benar sudah berubah. Hanya aku saja yang tidak menyadari. Hingga tega menduakannya dengan Merissa. "Aku restui niat baikmu kembali menikahi Jihan untuk ketiga kalinya, Akhtara."Aku langsung tersenyum lega dengan perasaan bahagia tiada terkira mendengar ucapan Papanya Jihan. Meski beliau mengatakannya dengan ekspresi yang datar dan acuh. "Agama cuma ngasih kamu batas menikahi Jihan hanya tiga kali. Dan jang
POV AKHTARA Satu unit motor untuk kaum lelaki baru saja kubayar lunas. Dan kini motor itu tengah dinaikkan ke mobil pick up menuju alamat Farhan. "Apa Farhan mau menerimanya, Pak?" Tanya Faris yang duduk di sebelahku."Saya nggak peduli dia mau menerima hadiah dari saya atau nggak, Ris. Karena saya berniat memberikan hadiah itu sebagai ucapan terima kasih ia pernah berjasa dalam kehidupan Jihan dan Akhtira. Saya nggak mau jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Kami duduk bersebelahan dengan menatap proses motor seharga lima puluh juta itu akhirnya berhasil dinaikkan ke atas bak mobil. Segala kelengkapannya kuserahkan pada pihak penjual motor. "Kamu urus sisanya ya, Ris. Saya mau ketemu Tira."Kemudian aku menyetir mobil dan sengaja singgah sebentar ke salah satu mall untuk mengunjungi salah satu gerai yang menjual mainan. Apalagi jika bukan untuk membelikan Tira mainan baru. Putraku itu ternyata tidak mudah untuk didekati. Dan sepertinya aku harus membelikan mainan yang sangat m
POV AKHTARA Sepasang tiket VIP dari biro perjalanan ke tanah suci sudah siap di tangan. "Apa kamu yakin ini adalah cara terbaik bikin kedua orang tua Jihan mau merestui hubungan saya sama Jihan, Ris?" Tanyaku."Kita coba saja dulu, Pak. Kalau Bapak ngasih harta atau rumah baru, belum tentu orang tua Bu Jihan luluh. Justru marah yang iya. Tapi kalau hadiah sepaket perjalanan ke tanah suci, saya rasa itu adalah hadiah terbaik sepanjang masa."Apa yang dikatakan Faris ada benarnya. "Oke. Saya akan hubungi Jihan kalau nanti malam mau bertamu ke rumahnya.""Semoga semuanya lancar, Pak."Hampir satu minggu ini aku dan Faris berpikir tentang hadiah terbaik untuk kedua orang tua Jihan agar sudi menerimaku lagi. Dan pilihan kami jatuh pada tanah suci. Dan selama satu minggu itu pula, aku selalu memikirkan Jihan dan Akhtira. Apakah Jihan mendapat omongan yang tidak mengenakkan dari kedua orang tuanya karena memilihku?Ataukah semuanya baik-baik saja tidak seperti dugaanku?Sebab, satu minggu
POV AKHTARA“Maaf katamu?” Tanya Farhan dengan suara sinis.“Waktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!”Aku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. “Aku!” Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.“Bukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!” ucapnya dengan menunjuk dadaku.“Kamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!”“Dan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!”Kepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.“Munafik!”“Saya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.”Tanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan ekspr