:-0
Beberapa hari ini aku, Pak Akhtara, dan asisten pribadi Qhiyas bekerja bersama-sama hingga malam menjelang untuk mempersiapkan grand opening stand kulinerku. Enaknya berbisnis franchise, semua sudah disiapkan oleh ownernya. Bahkan seragam karyawan pun telah disiapkan dari sana beserta sumber tenaga manusianya. Aku dan Pak Akhtara benar-benar hanya melakukan finishing saja. Ada tiga pekerja yang bertugas di stand kulinerku. Dua lelaki dan satu perempuan yang sudah dilatih oleh anak buah Qhiyas. Bukan aku yang memberi arahan kerja pada mereka, melainkan Pak Akhtara dan asisten Qhiyas. Serta bagaimana menggunakan mesir kasir, menyalakan kompor listrik, mengolah bahan setengah jadi menjadi makanan siap saji, memperhatikan penyajian, kebersihan stand, dan sebagainya. Aku benar-benar tidak mengerti cara memulai bisnis andai tidak ada Pak Akhtara yang menjadi backingku. "Bahan setengah jadinya dalam perjalanan kemari, Pak Akhtara. Jadi kita bisa santai dulu," ucap asisten Qhiyas yang
Sekarang hari Sabtu, kami bekerja hanya sampai pukul sebelas siang saja. Namun sebelum pulang, aku nekat menuju gudang dengan membawa dokumen rekapan. Padahal tidak ada kesalahan apapun dalam proses rekapan karyawan gudang. Namun, aku menuju gudang karena ingin bertemu Mas Hadza. Sampai menit terakhir menjelang pulang kerja pun dia tidak mengangkat telfonku atau membalas pesanku. Siapa yang tidak meradang jika lelaki yang dicintai bersikap salah paham. Padahal perjuanganku untuk hubungan kami berdua, tidaklah main-main besarnya. Aku menyerahkan jiwa dan ragaku pada Pak Akhtara dengan imbalan bisnis kuliner yang hari ini akan dilakukan grand opening. "Lho, Jihan, ada yang salah rekapannya? Kok kemari?" Itu suara Mbak Adis, rekan kerja Mas Hadza di bagian gudang. "Eh ... ada dikit, Mbak. Makanya mau kroscek sama Pak Hadza. Orangnya dimana ya?" "Tuh." Jawabnya dengan menunjuk ke arah utara. Benar saja, lelaki itu nampak sedang serius bekerja mengatur penempatan barang di gudang
Pillow talk adalah kesukaan Pak Akhtara. Berbicara bersama di atas kasur setelah membersihkan diri. Terbukti, setelah aku keluar dari kamar mandi usai membersihkan badan, beliau yang tengah duduk di tepi ranjang langsung menepuk sebelah kanannya. "Sini, sayang." Aku menurut lalu duduk di sebelahnya. "Kenapa kok cemberut? Padahal hari ini seratus porsi terjual habis." Tanyanya dengan mengusap rambutku. "Kangen Mama Papa aja, Pak. Lama nggak pulang kampung." Bohongku. Padahal aku sedang memikirkan Mas Hadza dan sebaris kalimatnya yang meminta perpisahan. Mendadak bisnis yang sudah Pak Akhtara dirikan untukku menjadi tidak menarik sama sekali. "Kita bisa pulang kampung kalau kamu mau. Saya akan kosongkan jadwal di akhir pekan sama kita jalan-jalan. Gimana?" Kemudian beliau memberiku kecupan di rambut. Kita? Aku tertawa miris di dalam hati. Pasalnya bagaimana mungkin aku bisa menjelaskan segalanya pada Mas Hadza kalau Pak Akhtara selalu protektif dan posesif seperti in
Mas Hadza tidak munghubungiku sama sekali setelah pertemuan kami di lorong kantor. Dia benar-benar kekeh pada kesalahpahamannya dan aku merasa tidak puas jika tidak segera memamerkan keberhasilan bisnisku padanya. "Pak, gimana kalau menunya ditambah? Biar makin variatif?" Tanyaku pada Pak Akhtara.Kami sedang di kamar. Aku baru saja membuka laman internet tentang menu-menu kekinian yang disukai para muda-mudi dengan harga terjangkau. Sedang beliau baru keluar dari kamar mandi. Beliau mengambil tempat di sebelahku sembari menaikkan selimut sebatas pahanya lalu meraih ponselku dan melihat-lihat ide yang kugagas. "Kita konsultasikan sama Qhiyas dulu, sayang. Khawatirnya ini menu yang kurang diminati.""Pasti banyak yang suka lah, Pak.""Qhiyas lebih akurat karena dia pakai riset. Dia punya orang yang tugasnya melakukan riset kuliner yang lagi digandrungi, Han."Aku menghela nafas panjang dengan memanyunkan bibir lalu Pak Akhtara meletakkan ponselku di nakas dan memeluk perutku."Bisni
Pak Akhtara semakin menjadi menantu kesayangan karena berhasil menyelamatkan muka Mama dari amukan para Ibu-Ibu kompleks. Dengan nominal sepuluh juta untuk membayar biaya makan siang besok di salah satu rumah makan yang tidak jauh dari sini.Jika suamiku bukan Pak Akhtara, entah akan seperti apa wajah kedua orang tuaku itu! Karena sepuluh juta bukan uang yang sedikit kalau hanya untuk sekedar mengembalikan harga diri!“Bisa-bisanya Mama ngumbar janji kayak gitu! Gimana kalau hari ini kami nggak pulang kampung?!” Kesalku ketika tiba di rumah.Pak Akhtara langsung meraih pundakku dan sedikit meremasnya lalu tersenyum ke arah kedua orang tuaku.“Ma, Pa, kami pamit ke kamar dulu. Saya capek banget. Soalnya nyupir sendirian,” ucap Pak Akhtara.Lalu beliau segera membawaku ke dalam kamarku yang sempit. Tidak seperti kamar kami di rumahnya yang luas. Bahkan bisa digunakan untuk meletakkan tiga lemari sekaligus. Belum lagi ranjang king size-nya.Setelah menutup pintunya Pak Akhtara memandangku
Menangis untuk kedua kalinya karena putus cinta.Jika dulu aku berpisah dengan lelaki masa lalu karena pria itu ternyata sudah memiliki istri dan anak, maka sekarang aku berpisah dengan Mas Hadza karena kesalahpahaman.“Han, lo kenapa?” Tanya Vita, teman satu kubikelku.Kepalaku hanya menggeleng sembari menunduk dengan kedua siku tangan sebagai tumpuan di atas meja.Laptop yang sedari tadi menyala dan menunjukkan notifikasi inputan dari gudang, kubiarkan saja tanpa mengolahnya.“Lo sedih karena apa sih?! Gue perhatiin dari tadi lo nggak semangat,” ucapnya dengan menyentuh pundakku.Kembali aku hanya menggeleng tanpa mau bersuara. Atau air mata ini akan jatuh membasahi pipi.“Sekarang udah jam sembilan, Han. Kalau lo tetap kayak gini ntar pelaporan data ke Pak Akhtara nggak selesai. Orangnya bisa marah.”Nah ini ….Pak Akhtara adalah atasanku. Beliau yang akan menerima laporan audit gudang yang kukerjakan. Maka dari itulah, aku sedikit tidak memperdulikan pekerjaan ini karena beranggapa
[Pesan dariku : Pak, jadi jemput saya jam berapa?][Pesan dari Pak Akhtara : Satu jam-an lagi, sayang. Kenapa?]Aku menimbang-nimbang balasan pesan dari Pak Akhtara lalu kembali membalasnya.[Pesan dariku : Pengen martabak yang enak.][Pesan dari Pak Akhtara : Saya belikan. Ada lagi?][Pesan dariku : Kabari kalau udah dekat stand ya, Pak? Biar saya langsung ke depan.][Pesan dari Pak Akhtara : Oke, sayang.]Usai mendapat balasan dari Pak Akhtara, jantungku bertalu-talu tidak karuan sambil menatap ke arah jalanan. Tidak sadar aku meremas ponsel dengan kaki berjalan ke utara lalu ke selatan, kembali lagi ke utara lalu ke selatan lagi. Sedang kedua mataku tidak lepas dari menatap satu demi satu kendaraan yang melewati jalanan depan stand. Hingga ..."Mbak Jihan?"Aku terkejut setengah mati lalu menatap ketiga karyawanku yang sudah bersiap pulang. "Astaga!" ucapku dengan menegusap dada."Maaf, Mbak, ngagetin. Kami mau izin pulang dulu. Stand udah bersih."Kepalaku mengangguk lalu berkata
Kriingg ....Aku buru-buru membasuh wajah ketika panggilan dari ponselku mengalun keras. Usai mengusap wajah yang basah itu dengan tisyu, aku segera mengangkat panggilan."Halo.""Sayang, saya udah di depan."“Tunggu bentar, Pak."Aku segera mematikan lampu dapur lalu meraih tas kerja dan ....Mataku menatap paper bag berlogo pastry ternama berisi kue red velvet yang dibelikan Mas Hadza. Haruskah aku membawanya pulang?Tapi ....Ah, ya sudahlah. Lebih baik kubawa pulang saja kue ini dari pada dimakan semut.Aku segera menyambar paper bag itu lalu bergegas keluar dari stand. Lalu memasukkan kunci ke dalam tas usai memastikan pintu terkunci rapat.Mobil sedan hitam Pak Akhtara sudah terparkir di seberang jalan lalu aku menuruni tiga anak tangga teras menuju bahu jalan. Kemudian pintu bagian kemudi mobil terbuka, menampilkan Pak Akhtara yang masih memakai dasi dan kemeja biru bergarisnya.Beliau memberiku kode dari seberang agar aku tidak menyeberang. Kemudian beliau menyeberangi jalanan
POV AKHTARA“Maaf katamu?” Tanya Farhan dengan suara sinis.“Waktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!”Aku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. “Aku!” Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.“Bukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!” ucapnya dengan menunjuk dadaku.“Kamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!”“Dan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!”Kepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.“Munafik!”“Saya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.”Tanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan eksp
POV AKHTARA [Pesan dariku : Han, saya mau ke rumahmu malam ini. Apa boleh?]Aku menunggu jawaban Jihan dengan sangat tidak sabaran. Menit demi menit itu terasa sangat lama sekali. Kemana dia? Mengapa sedang tidak online?Setelah lima menit dan mondar-mandir sendiri di dalam apartemen, aku kembali melihat ponsel yang masih saja belum menunjukkan ada notifikasi dari Jihan.Baru kemarin Jihan bertamu ke apartemenku, dan hari ini aku langsung bergerak cepat. Memangnya mau menunggu apa?Ting …Aku segera meraih ponsel yang ada di meja dengan harap-harap cemas semoga saja itu dari Jihan.Dan ...[Pesan dari Jihan : Maaf, Pak. Mau apa memangnya?]Kemudian aku langsung menekan gambar telfon dan terhubung ke nomer Jihan. Aku merasa berbicara langsung itu lebih jelas dan gamblang dari pada mengatakannya melalui pesan singkat.“Halo?”“Saya mencintai kamu, Han.”Ini mungkin terlihat sangat frontal dan tidak sabaran. Karena aku langsung mengatakan isi hatiku kepada Jihan tanpa ada basa basi sama
POV AKHTARAJihan kemudian menoleh dengan mata berkaca-kaca kemudian dia berdiri tanpa membawa paper bag. Lalu dia berjalan ke arahku hingga terlihat jelas ekspresi wajahnya.Kecewa, sedih, dan marah bercampur menjadi satu.“Ketika Bapak mau pergi meninggalkan saya dan Akhtira, setelah nyuruh Faris datang ke rumah dengan memberikan deretan surat berharga beserta rekening berisi uang yang nggak main-main banyaknya, kenapa Bapak nggak angkat telfon saya?”“Kenapa Bapak main pergi aja waktu itu?”Lalu air matanya kembali jatuh setetes membasahi pipi.“Bapak ngasih saya dan Akhtira harta sebanyak itu lalu pergi gitu aja, saya kayak merasa semuanya bisa Bapak hargai pakai uang!”Kemudian air mata Jihan makin deras membasahi pipinya. Bahkan bibirnya ikut bergetar menahan isak tangis.“Saya tahu Bapak itu kaya, tapi kenapa semuanya selalu Bapak putuskan sendiri tanpa dengerin saya dulu! Kenapa Bapak selalu menilainya pakai uang?! Bapak punya hati dan cinta kan?! Kenapa nggak mencoba menggunak
POV AKHTARATujuh hari aku berada di tanah suci untuk benar-benar menghambakan diri pada Tuhan. Segala urusan duniawi kukesampingkan.Aku benar-benar mengharap ampunan turun bersama dengan kesungguhanku saat bersujud, menengadahkan tangan, dan tetesan air mata penyesalan.Kugunakan waktu itu sebaik mungkin dengan memperbanyak ibadah. Aku hanya pulang ke hotel jika benar-benar mengantuk.Aku tidak tahu apakah pemeriksaan keseluruhan terhadap kesehatanku itu lolos ataukah tidak. Bila lolos dan dinyatakan cocok, setidaknya aku telah membasuh jiwaku di tanah suci sebelum kembali pada sang Khaliq.Tapi bila tidak lolos, aku harap Tuhan memberi jalan kehidupan yang lebih baik. Karena aku sudah tidak lagi muda dan waktunya lebih fokus pada ibadah serta keluarga.Faris melambaikan tangannya begitu aku keluar dari pintu kedatangan penerbangan luar negeri. Dengan menggeret koper, aku menghampirinya yang menatapku dengan pandangan berkaca-kaca.Dia sudah kuanggap seperti adik dan langsung merangk
POV AKHTARA Faris yang berdiri di samping itu kemudian menatapku penuh keterkejutan. Pun dengan dokter yang kuajak berbicara dan masih memegang hasil laboratorium pasien yang menderita sakit keras itu. "Pak, apa ... maksudnya?" Tanya dokter itu. "Maksud saya seperti yang dokter pikirkan."Dokter itu kemudian menatap Faris dengan penuh keterkejutan. Pasalnya mana ada orang yang sudi mendonorkan hatinya dengan terang-terangan seperti aku?Mungkin mereka pikir aku sedang main-main dengan hal ini. Padahal aku benar-benar merasa bahwa ini adalah titik balik untuk memperbaiki diri dan mendapatkan ampunan dari Tuhan atas semua kesalahanku. "Pak Akhtara, maaf. Ini bukan perkara sederhana, Pak. Mendonorkan hati itu tidak sama dengan mendonorkan ginjal. Manusia punya dua ginjal dan masih bisa bertahan hidup dengan satu ginjal. Tapi kalau hati ... manusia hanya punya satu, Pak. Kalau itu diambil, maka --- ""Saya mati. Begitu kan alurnya?" Jawabku tenang. Dokter dan Faris saling bertatapan d
POV AKHTARA“Mas, mau gendong Tira nggak?” Tanya Abid dengan suara sangat lirih.Aku yang tengah duduk di bangku belakang sambil menatap keluar jendela mobil pun beralih atensi pada adikku itu.Dia tengah memangku putraku, Akhtira, yang sudah tertidur dengan lelap. Sedang kedua anaknya masing-masing dipangku istrinya dan Papa. Hanya aku saja yang tidak memangku anak kecil.Kemudian aku melongok ke arah putraku itu. Dia benar-benar damai terlelap di atas pangkuan adikku. Dan selalu enggan untuk berdekatan denganku.“Apa dia nanti nggak kebangun, Bid?” Tanyaku dengan suara sama lirihnya.“Pelan-pelan aja, Mas.”Lalu aku mengusap pipi halusnya itu dengan ibu jari untuk memastikan apakah Akhtira benar-benar sangat terlelap. Ternyata putraku itu tetap tidur dengan sangat pulas.“Kayaknya dia kecapekan habis main air terus perutnya kenyang. Jadi deh ngorok.”Aku menahan tawa karena guyonan Abid lalu mengangguk dengan mengulurkan kedua tangan untuk menerima putraku.Galau di hati yang sedari
POV AKHTARAAku harus tetap professional dengan tidak mencampuradukkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Meski terasa sulit dengan tidak memikirkan penolakan Jihan saat aku sedang bekerja seperti ini.Permintaan Jihan yang tidak bersedia rujuk adalah sebuah keputusan yang tidak boleh kupaksa. Dia memiliki hak yang harus kuhormati sekalipun itu melukai hatiku.Cintaku pada sesama manusia telah habis di Jihan.Meski Humaira begitu baik secara sifat dan iman, tetap saja aku selalu terbayang Jihan. Bukankah akan makin menyakiti Humaira jika dia mengerti jika hatiku masih tertambat pada Jihan?“Mungkin jika Bu Jihan sudah menikah lagi, Bapak akan benar-benar bisa melepas dan melupakannya. Karena pintu untuk mendapatkannya benar-benar telah tertutup,” ucap Faris.Aku menghela nafas panjang dengan menatap gelas minumku yang mengembun. Kami sedang makan malam bersama karena aku tidak mau makan malam sendirian. Kebetulan tempat tinggal Faris tidak jauh dari apartemen tempatku berteduh.“M
POV AKHTARAKarena putraku, Akhtira, sedang duduk di pangkuan seorang lelaki dengan menghadap wajah orang itu. Bahkan senyum putraku terlihat mengembang penuh tawa apalagi saat lelaki itu menyerukkan kepalanya ke arah dada putraku.Tira kembali tertawa terpingkal karena geli dan mencengkeram rambut lelaki itu. Semakin Tira terpingkal, dia semakin menyerukkan kepalanya ke dada putraku hingga tawa keduanya menguar bebas dan membuatku … iri.Lelaki yang masih memakai kemeja putih dan celana kain hitam khas pakaian ASN itu, apakah dia yang bernama Farhan?Seorang aparatur sipil negara yang berstatus duda dan sedang mendekati Jihan.Karena lelaki itu sibuk menyerukkan kepalanya di dada putraku, dia tidak menyadari kehadiranku yang menatap ke arahnya dengan penuh rasa iri dan sedih.Iri karena putraku bisa seakrab itu dengannya. Padahal aku ini ayah biologisnya.Dan sedih karena aku belum pernah sekalipun menggendong putraku sama sekali.Sudah berapa lama mereka bersama? Sudah berapa lama le
POV AKHTARA“Saya panggilin Papa biar Tira dipangku Papa. Jadi Bapak bisa menyentuh Tira.”Aku sedikit mengerutkan kening mendapati jawaban Jihan.“Kenapa harus sama Papamu?”“Kita ini udah bukan suami istri secara agama, Pak. Kalau kita berdekatan, nanti jadi dosa.”Mulutku terkunci ketika Jihan berkata seperti itu. Satu kenyataan yang hampir kulupakan bahwa wanita yang sangat kucintai ini sebenarnya telah terlepas dari genggamanku secara agama.Statusnya hanya istri secara hukum negara.Tapi aku ingat perkataan Papa bahwa masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan Jihan kembali dengan rajin mengunjungi Tira.Ketika Jihan hendak berdiri, aku berkata …“Tolong kamu dudukkan aja Tira di kursi. Nggak usah panggil Papamu.”Karena aku yakin jika Papanya Jihan akan membuat pembatas antara aku dan Tira. Apalagi jika putraku itu menangis karena baru pertama kali bertemu denganku.Jihan mengangguk lalu membujuk Tira untuk duduk di kursi. Putraku itu nampak tidak kooperatif namun Jihan terus m