enjoy reading ... :-) Jihan ... yakin setelah ini nggak ketahuan Akhtara?
Untuk sementara waktu, tanganku hanya berpegangan pada baju kerja yang dikenakan Mas Hadza dengan menahan senyum sedari tadi. Sungguh sederhana cintaku padanya dan cintanya padaku. Ternyata, jika sudah jatuh cinta itu, meski naik motor matic saja sudah terasa bahagia asal bersama si dia. "Lho, Mas, kita mau kemana?" "Ke rumahku bentar ya, Han? Aku mau ganti baju sama mandi." Aku makin bahagia saja ketika diajak Mas Hadza mampir ke rumahnya untuk pertama kali. Lalu ingatan tentang ucapan Ibunya yang kemarin berkata jika Mas Hadza tidak pernah membawa pulang seorang perempuan, membuatku merasa makin tersanjung. Bahwa akulah perempuan pertama yang dibawa pulang ke rumahnya. Dan semoga menjadi yang terakhir. Di sebuah kawasan rumah padat penduduk, kami tiba di rumah Mas Hadza. Satu-satunya rumah yang memiliki halaman di kawasan ini. Bangunannya terlihat sudah lama namun karena sudah di cat ulang, membuatnya tetap menarik. Ada sebuah pohon mangga besar dan jambu air yang rindang. L
"Mas, aku ... aku bingung harus jawab apa." Sungguh aku bingung harus menjawab apa. Haruskah menerima cinta Mas Hadza secepat ini sedang aku sendiri masih terjebak dalam ikatan pernikahan dengan Pak Akhtara. Masalahnya aku juga harus memikirkan nasib kedua orang tuaku kalau Pak Akhtara meminta uang yang sudah diberikan padaku karena berkhianat. Banyak hal yang harus kupikirkan sebelum memilih 'menjadi egois'. Mas Hadza tersenyum sambil mengayunkan tanganku perlahan yang berada dalam genggaman. "Aku nggak maksa kamu harus jawab sekarang, Han. Cewek pasti butuh mikir. Yang penting, kamu udah tahu gimana perasaanku ke kamu. Harapanku, kamu nggak menjauh setelah tahu gimana aku dan keluargaku." "Karena aku ini cuma lelaki biasa. Bukan laki-laki kaya yang bisa ngajak kamu pergi keliling luar negeri. Apalagi kamu pernah nyicipi enaknya hidup jadi anak orang kaya." "Aku cuma punya kesungguhan, ketulusan, dan kesetiaan." Siapa yang tidak meleleh ketika lelaki idamannya berkata sed
Aku tidak memiliki cara selain ... "Kayaknya aku harus pulang aja. Dari pada Pak Akhtara makin marah." Kemudian aku bergegas kembali ke bioskop dengan langkah lebar sambil memikirkan ide apa untuk membuat Mas Hadza percaya dengan kebohongan yang kukarang lalu dia bersedia kuajak pulang. Baru saja aku melangkah ke dalam bioskop, penerangan kemudian dimatikan. Lalu terdengar suara dari ruang kontrol yang memberitahu pada para pengujung untuk mematikan handphone atau tidak membuat suara berisik yang mengganggu pengunjung lainnya. Begitu aku duduk di kursi yang bersebelahan dengan Mas Hadza, musik pembuka film terdengar sangat keras sekali. Lalu Mas Hadza menyodorkan pop corn dan aku menerimanya. "Toiletnya antri ya, Han? Kok lama banget." Aku mengerjapkan mata gugup di tengah gelapnya bioskop. Hanya berbekal penerangan dari cahaya layar bioskop yang mulai menampilkan pembukaan film. Dan semoga saja Mas Hadza tidak melihat ada yang tidak beres dengan ekspresiku. "Eh ... iya,
Pak Akhtara itu jika marah, tidak perlu menggunakan suara tinggi atau menggunakan kekerasan fisik. Cukup menggunakan aura tajamnya yang tidak bersahabat lalu menatap lawannya tanpa ampun. Seperti saat ini contohnya. Karena aku tidak kunjung menjawab, akhirnya beliau berdiri dari duduk dengan memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana rumahan yang dikenakan. Berjalan pelan ke arahku dengan dagu terangkat dan mata dipenuhi kilat amarah yang tertahan. Setelah tepat berdiri di depanku, beliau kembali membuka suara. "Jawab, Jihan! Jangan sampai saya mengulangi pertanyaan!" Setelah menghirup udara sebanyak mungkin untuk mengumpulkan keberanian, kemudian aku membuka suara. "Saya habis keluar sama teman, Pak. Bukan sama pelanggan yang minta saya temani seperti yang Bapak tuduhkan." Bagaimanapun, aku harus melindungi Mas Hadza. Jangan sampai Pak Akhtara mencurigai perasaannya padaku. "Kalau emang mau keluar, kenapa kamu nggak bilang sama saya?!" Tanya dengan nada tenang tapi menak
Menyapu. Mengepel. Memasak. Mencuci. Menyetrika. Semua pekerjaan rumah itu kulakukan sendiri. Dari pagi bahkan lewat siang hari, pekerjaan itu seakan tidak ada habisnya. Apalagi sikap Pak Akhtara hari ini berubah ... kejam. Ya, aku menyebutnya kejam karena beliau memperlakukan aku layaknya robot rumah tangga. Melakukan pekerjaan rumah tangga tiada habisnya. Selesai memasak sarapan, beliau menyuruhku membersihkan kamar mandinya. Benar-benar seperti babu dan aku merasa cukup menyesal dengan mengambil alih tugas asisten rumah tangganya. "Bodoh banget sih gue? Mau-maunya ngambil tugasnya Bik Wati sama Rani. Harusnya kalau gue merasa bersalah sama Pak Akhtara tuh bisa ambil penebusan yang lain. Eror dah otak gue kemarin." Aku menggumam kesal sambil menyikat lantai kamar mandi Pak Akhtara. "Gue kayak bini sesungguhnya Pak Akhtara aja. Segala sesuatunya gue yang siapin dan layanin. Padahal ini tuh waktunya gue ngobrol sama Mas Hadza. Biar nambah semangat. Gue malah mbabu!" Tida
Setelah aku pingsan beberapa hari yang lalu, Pak Akhtara memutuskan untuk mempekerjakan asisten rumah tangga hanya untuk beberapa bulan saja sampai Bik Wati dan Rani kembali ke rumah ini. Mungkin beliau takut aku kembali kelelahan sehingga pekerjaan rumah tangga bisa terbengkalai. Sedang aku tetap menjalankan janji dengan membantu asisten rumah tangga yang baru itu. Afifah namanya. Seperti menata pakaian yang usai disetrika, mengelap perabotan rumah agar bebas debu, dan sebagainya. Intinya kami bekerja sama untuk membuat rumah Pak Akhtara selalu bersih dan nyaman. Tapi ada yang berbeda dengan sikap beliau ketika mempekerjakan Afifah. Beliau tidak mengizinkan asisten rumah tangga itu untuk membersihkan ruang kerja dan kamarnya. Kenapa ya? Ketika aku akan ke kamar Pak Akhtara untuk menata pakaiannya yang sehabis disetrika Afifah, beliau nampak mengelap sendiri lampu nakas dekat kasurnya itu. Bukankah jika menyuruh Afifah akan lebih cekatan? "Permisi, Pak," ucapku setelah mengetuk
"Pak, makan malamnya udah siap." Tidak berapa lama kemudian pintu kamar Pak Akhtara terbuka. Lalu aku sedikit mundur untuk memberinya ruang melangkah. Kemudian aku berjalan di samping beliau menuju ruang makan. "Apa sudah selesai bersih-bersih kamarnya, Pak?" Tanyaku. "Belum, Han. Kayaknya besok temani saya bersih-bersih kamar. Oh ya, kamu masak apa malam ini?" Begitu tiba di ruang makan, kami segera mengambil duduk di kursi masing-masing dengan saling berhadapan. Sedang Afifah memilih makan di dapur. "Udang saus padang sama sup brokoli." Kemudian kepala Pak Akhtara mengangguk sambil menatap menu yang tersaji di meja makan. Meski tidak sebanyak menu yang disiapkan Bik Wati dan Rani saat mereka masih bekerja di sini, tapi lumayan lah untuk kami mengisi perut. Pak Akhtara mengambil nasi lebih dulu sedang aku memilih meneguk teh hangat. Beliau menyendokkan sop itu ke atas nasi dan beralih mengambil udang saus padang buatanku. Tidak lupa beliau berdoa lebih dulu lalu mulai menye
Di supermarket yang kami kunjungi, ada sebuah mini kafe yang lucu dan instagramable. Di tempat itulah aku dan Mas Hadza kini tengah duduk berhadap-hadapan sambil mengaduk cappucino dingin kami. Sedang belanjaan kami diletakkan di pojok kafe. "Mau ngomong apa, Mas?" Mas Hadza nampak gusar sekali. Ekspresi wajahnya nampak seperti kebingungan. "Mas?" Kemudian ia menatapku dengan sorot bimbang. "Ada apa sih, Mas?" "Sebenarnya aku pengen mendam masalah ini sendirian, Han. Tapi ... kayaknya aku harus bilang ke kamu." Mendadak aku ikut menegang mendengar penuturan Mas Hadza. Apakah dia akan berkata jika tidak bisa melanjutkan hubungan denganku? "Tentang apa, Mas?" Mendadak es cappucino yang awalnya sangat segar itu mendadak tidak menarik lagi di mataku. Apalagi Mas Hadza terus berusaha menyembunyikan kecemasannya. "Aku takut kamu ---" "Aku janji nggak akan kenapa-kenapa, Mas." Lalu kepalanya mengangguk setelah aku berjanji akan menerima apa yang dia katakan padaku. Termasuk ha
POV AKHTARA“Maaf katamu?” Tanya Farhan dengan suara sinis.“Waktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!”Aku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. “Aku!” Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.“Bukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!” ucapnya dengan menunjuk dadaku.“Kamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!”“Dan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!”Kepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.“Munafik!”“Saya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.”Tanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan eksp
POV AKHTARA [Pesan dariku : Han, saya mau ke rumahmu malam ini. Apa boleh?]Aku menunggu jawaban Jihan dengan sangat tidak sabaran. Menit demi menit itu terasa sangat lama sekali. Kemana dia? Mengapa sedang tidak online?Setelah lima menit dan mondar-mandir sendiri di dalam apartemen, aku kembali melihat ponsel yang masih saja belum menunjukkan ada notifikasi dari Jihan.Baru kemarin Jihan bertamu ke apartemenku, dan hari ini aku langsung bergerak cepat. Memangnya mau menunggu apa?Ting …Aku segera meraih ponsel yang ada di meja dengan harap-harap cemas semoga saja itu dari Jihan.Dan ...[Pesan dari Jihan : Maaf, Pak. Mau apa memangnya?]Kemudian aku langsung menekan gambar telfon dan terhubung ke nomer Jihan. Aku merasa berbicara langsung itu lebih jelas dan gamblang dari pada mengatakannya melalui pesan singkat.“Halo?”“Saya mencintai kamu, Han.”Ini mungkin terlihat sangat frontal dan tidak sabaran. Karena aku langsung mengatakan isi hatiku kepada Jihan tanpa ada basa basi sama
POV AKHTARAJihan kemudian menoleh dengan mata berkaca-kaca kemudian dia berdiri tanpa membawa paper bag. Lalu dia berjalan ke arahku hingga terlihat jelas ekspresi wajahnya.Kecewa, sedih, dan marah bercampur menjadi satu.“Ketika Bapak mau pergi meninggalkan saya dan Akhtira, setelah nyuruh Faris datang ke rumah dengan memberikan deretan surat berharga beserta rekening berisi uang yang nggak main-main banyaknya, kenapa Bapak nggak angkat telfon saya?”“Kenapa Bapak main pergi aja waktu itu?”Lalu air matanya kembali jatuh setetes membasahi pipi.“Bapak ngasih saya dan Akhtira harta sebanyak itu lalu pergi gitu aja, saya kayak merasa semuanya bisa Bapak hargai pakai uang!”Kemudian air mata Jihan makin deras membasahi pipinya. Bahkan bibirnya ikut bergetar menahan isak tangis.“Saya tahu Bapak itu kaya, tapi kenapa semuanya selalu Bapak putuskan sendiri tanpa dengerin saya dulu! Kenapa Bapak selalu menilainya pakai uang?! Bapak punya hati dan cinta kan?! Kenapa nggak mencoba menggunak
POV AKHTARATujuh hari aku berada di tanah suci untuk benar-benar menghambakan diri pada Tuhan. Segala urusan duniawi kukesampingkan.Aku benar-benar mengharap ampunan turun bersama dengan kesungguhanku saat bersujud, menengadahkan tangan, dan tetesan air mata penyesalan.Kugunakan waktu itu sebaik mungkin dengan memperbanyak ibadah. Aku hanya pulang ke hotel jika benar-benar mengantuk.Aku tidak tahu apakah pemeriksaan keseluruhan terhadap kesehatanku itu lolos ataukah tidak. Bila lolos dan dinyatakan cocok, setidaknya aku telah membasuh jiwaku di tanah suci sebelum kembali pada sang Khaliq.Tapi bila tidak lolos, aku harap Tuhan memberi jalan kehidupan yang lebih baik. Karena aku sudah tidak lagi muda dan waktunya lebih fokus pada ibadah serta keluarga.Faris melambaikan tangannya begitu aku keluar dari pintu kedatangan penerbangan luar negeri. Dengan menggeret koper, aku menghampirinya yang menatapku dengan pandangan berkaca-kaca.Dia sudah kuanggap seperti adik dan langsung merangk
POV AKHTARA Faris yang berdiri di samping itu kemudian menatapku penuh keterkejutan. Pun dengan dokter yang kuajak berbicara dan masih memegang hasil laboratorium pasien yang menderita sakit keras itu. "Pak, apa ... maksudnya?" Tanya dokter itu. "Maksud saya seperti yang dokter pikirkan."Dokter itu kemudian menatap Faris dengan penuh keterkejutan. Pasalnya mana ada orang yang sudi mendonorkan hatinya dengan terang-terangan seperti aku?Mungkin mereka pikir aku sedang main-main dengan hal ini. Padahal aku benar-benar merasa bahwa ini adalah titik balik untuk memperbaiki diri dan mendapatkan ampunan dari Tuhan atas semua kesalahanku. "Pak Akhtara, maaf. Ini bukan perkara sederhana, Pak. Mendonorkan hati itu tidak sama dengan mendonorkan ginjal. Manusia punya dua ginjal dan masih bisa bertahan hidup dengan satu ginjal. Tapi kalau hati ... manusia hanya punya satu, Pak. Kalau itu diambil, maka --- ""Saya mati. Begitu kan alurnya?" Jawabku tenang. Dokter dan Faris saling bertatapan d
POV AKHTARA“Mas, mau gendong Tira nggak?” Tanya Abid dengan suara sangat lirih.Aku yang tengah duduk di bangku belakang sambil menatap keluar jendela mobil pun beralih atensi pada adikku itu.Dia tengah memangku putraku, Akhtira, yang sudah tertidur dengan lelap. Sedang kedua anaknya masing-masing dipangku istrinya dan Papa. Hanya aku saja yang tidak memangku anak kecil.Kemudian aku melongok ke arah putraku itu. Dia benar-benar damai terlelap di atas pangkuan adikku. Dan selalu enggan untuk berdekatan denganku.“Apa dia nanti nggak kebangun, Bid?” Tanyaku dengan suara sama lirihnya.“Pelan-pelan aja, Mas.”Lalu aku mengusap pipi halusnya itu dengan ibu jari untuk memastikan apakah Akhtira benar-benar sangat terlelap. Ternyata putraku itu tetap tidur dengan sangat pulas.“Kayaknya dia kecapekan habis main air terus perutnya kenyang. Jadi deh ngorok.”Aku menahan tawa karena guyonan Abid lalu mengangguk dengan mengulurkan kedua tangan untuk menerima putraku.Galau di hati yang sedari
POV AKHTARAAku harus tetap professional dengan tidak mencampuradukkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Meski terasa sulit dengan tidak memikirkan penolakan Jihan saat aku sedang bekerja seperti ini.Permintaan Jihan yang tidak bersedia rujuk adalah sebuah keputusan yang tidak boleh kupaksa. Dia memiliki hak yang harus kuhormati sekalipun itu melukai hatiku.Cintaku pada sesama manusia telah habis di Jihan.Meski Humaira begitu baik secara sifat dan iman, tetap saja aku selalu terbayang Jihan. Bukankah akan makin menyakiti Humaira jika dia mengerti jika hatiku masih tertambat pada Jihan?“Mungkin jika Bu Jihan sudah menikah lagi, Bapak akan benar-benar bisa melepas dan melupakannya. Karena pintu untuk mendapatkannya benar-benar telah tertutup,” ucap Faris.Aku menghela nafas panjang dengan menatap gelas minumku yang mengembun. Kami sedang makan malam bersama karena aku tidak mau makan malam sendirian. Kebetulan tempat tinggal Faris tidak jauh dari apartemen tempatku berteduh.“M
POV AKHTARAKarena putraku, Akhtira, sedang duduk di pangkuan seorang lelaki dengan menghadap wajah orang itu. Bahkan senyum putraku terlihat mengembang penuh tawa apalagi saat lelaki itu menyerukkan kepalanya ke arah dada putraku.Tira kembali tertawa terpingkal karena geli dan mencengkeram rambut lelaki itu. Semakin Tira terpingkal, dia semakin menyerukkan kepalanya ke dada putraku hingga tawa keduanya menguar bebas dan membuatku … iri.Lelaki yang masih memakai kemeja putih dan celana kain hitam khas pakaian ASN itu, apakah dia yang bernama Farhan?Seorang aparatur sipil negara yang berstatus duda dan sedang mendekati Jihan.Karena lelaki itu sibuk menyerukkan kepalanya di dada putraku, dia tidak menyadari kehadiranku yang menatap ke arahnya dengan penuh rasa iri dan sedih.Iri karena putraku bisa seakrab itu dengannya. Padahal aku ini ayah biologisnya.Dan sedih karena aku belum pernah sekalipun menggendong putraku sama sekali.Sudah berapa lama mereka bersama? Sudah berapa lama le
POV AKHTARA“Saya panggilin Papa biar Tira dipangku Papa. Jadi Bapak bisa menyentuh Tira.”Aku sedikit mengerutkan kening mendapati jawaban Jihan.“Kenapa harus sama Papamu?”“Kita ini udah bukan suami istri secara agama, Pak. Kalau kita berdekatan, nanti jadi dosa.”Mulutku terkunci ketika Jihan berkata seperti itu. Satu kenyataan yang hampir kulupakan bahwa wanita yang sangat kucintai ini sebenarnya telah terlepas dari genggamanku secara agama.Statusnya hanya istri secara hukum negara.Tapi aku ingat perkataan Papa bahwa masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan Jihan kembali dengan rajin mengunjungi Tira.Ketika Jihan hendak berdiri, aku berkata …“Tolong kamu dudukkan aja Tira di kursi. Nggak usah panggil Papamu.”Karena aku yakin jika Papanya Jihan akan membuat pembatas antara aku dan Tira. Apalagi jika putraku itu menangis karena baru pertama kali bertemu denganku.Jihan mengangguk lalu membujuk Tira untuk duduk di kursi. Putraku itu nampak tidak kooperatif namun Jihan terus m