“Jadi, kali ini gara-gara apa lagi?” tanya Vincent, salah satu sahabat Marcello, setelah meminum sedikit tequila yang dipesankan untuknya.
Laki-laki yang ditanya mengacak rambutnya kasar sebelum menjawab, “Gue salah kasih investasi ke startup. Bokap bilang, rancangan mereka masih mentah dan kalo venture capital gue ngasih modal ke mereka, udah pasti abis tanpa profit sama sekali. Uang ratusan juta yang kami investasiin bisa-bisa abis cuma buat bayar gaji pegawai aja.”
“Wajar, sih, kalo bokap lo marah,” sambung Noah sambil mengunyah truffle fries-nya. “Meskipun uang kalian nggak berseri, kalo diinvestasiin ke company yang mumpuni, uang ratusan juta yang lo pake buat sedekah itu bukan nggak mungkin bisa jadi milyaran.”
“You’re not helping at all, Dude,” keluh Marcello sambil menenggak habis irish whiskey yang dipesannya. “Gue tahu letak kesalahan gue di mana dan gue berusaha memperbaiki itu sebelum terlambat dengan mantau secara langsung perkembangan startup yang dikasih investasi sama venture capital gue. Tapi belom apa-apa, bokap udah bandingin gue sama kalian dan Kak Cella lagi. Gimana nggak sebel?”
“Bahas gue yang bisa tembus F1, Noah yang berhasil dapetin beasiswa kuliah kedokteran di Stanford, dan Kak Cella yang udah sanggup buka cabang ketiga di Los Angeles atau ada topik baru lagi?” tanya Vincent seolah sudah hafal betul kebiasaan Pak Atmaja ketika sedang dongkol dengan anak laki-laki bungsunya.
“Gak usah diperjelas bisa nggak?” gerutu Marcello sembari mendekatkan bibirnya ke pinggiran gelas untuk menenggak minuman yang sebenarnya sudah habis sejak beberapa saat yang lalu. Ketika laki-laki tersebut hendak memanggil pelayan untuk meminta isi ulang, Noah buru-buru mencegahnya dan menceramahi sahabat kecilnya itu.
“Gue tahu toleransi alkohol lo tinggi. Tapi inget, nanti lo mau nyetir dan jemput ibu negara. Kalo sampe lo kenapa-kenapa di jalan, bokap lo bisa tambah ngamuk dan nyita semua kartu kredit lo atau bahkan ngambil semua mobil yang beliau kasih ke lo. Mau?” Mata Noah seolah memancarkan kilat ketika menyampaikan hal tersebut. Auranya sebagai kakak pertama dari tiga bersaudara benar-benar terpancar dengan jelas.
“Meskipun bokap lo hobinya banding-bandingin achievement lo sama manusia lain, lo nggak perlu ngelakuin hal yang sama. Pace setiap manusia beda, nggak bisa dipukul rata. Yang penting udah ngelakuin yang terbaik aja,” tutur Vincent yang tiba-tiba mengaktifkan mode bijaknya.
“Tapi jangan lupa kalo lo udah dikasih segudang privilege sama keluarga,” tambah Noah. “Gak banyak orang yang bisa kuliah di President University tanpa harus mikirin biaya. Gak banyak orang yang selesai kuliah dikasih modal sampe empat kali buat diriin perusahaannya sendiri dan ketika gagal, masih ada venture capital bokapnya yang bisa diurus. Cuman segelintir orang yang abis kehilangan ratusan juta masih bisa traktir sahabatnya nongkrong di SCBD sambil minum-minum kayak gini. Mayoritas penduduk dunia harus banting tulang dan muter otak buat sekadar bertahan hidup.”
Marcello, Vincent, dan Noah sudah menjalin pertemanan sejak ketiganya masih duduk di bangku sekolah dasar. Dari dulu, kombinasinya selalu seperti ini, tidak pernah berubah sama sekali. Marcello yang cenderung melakukan segala sesuatu tanpa berpikir panjang dan menimbulkan masalah, Vincent yang lebih suka bermulut manis dan menganggap segala sesuatu terjadi karena takdir, dan Noah yang gemar berpikir kritis serta bermulut pedas untuk menyampaikan fakta. Walaupun kepribadian anak-anak orang kaya itu bertolak belakang, nyatanya ketiganya justru tidak terpisahkan.
“Udah, ah, jangan manyun lagi,” ucap Vincent sambil menepuk pundak Marcello. “Gue kenalin ke temen gue aja, deh. Mau nggak? Anaknya cantik, baik, asik lagi. Pasti lo have fun kalo spend time sama dia.”
“Namanya Winona Gayatri Wibowo bukan?” tanya Marcello dengan suara lemas.
“Yaelah, lo masih aja naksir sama si cupu,” celetuk Vincent yang langsung dihadiahi pelototan mata sahabatnya.
“Sekarang udah beda kali, Vin,” sahut Noah. “Lo nggak liat dia secantik apa di cover majalah Forbes bulan lalu?” Kini, giliran Noah yang mendapatkan tatapan nanar dari Marcello.
Laki-laki itu rasanya gusar jika ada yang berkomentar tidak enak atau memuji Winona. Pokoknya, ia ingin segera pergi atau menutup telinga begitu mendengar nama sang puan disebutkan oleh laki-laki lain. Berbanding terbalik sekali dengan dulu. Ia malah akan tertawa terpingkal-pingkal bersama siapa pun yang berkomentar pedas tentang penampilan Winona dan menunjukkan raut wajah keheranan jika ada yang memuji dirinya.
“Gue sampe sekarang masih nggak ngerti kenapa lo gagal move on gitu dari Winona,” komentar Vincent. “I mean, dia emang cantik, pinter, karirnya bagus, dan udah pasti calon menantu idaman semua orang tua. Tapi yang kayak gitu dan pasti mau sama lo banyak banget nggak, sih? What’s so special about her?”
Marcello menyandarkan tubuhnya ke sofa empuk yang sedari tadi menopang dirinya. Ia menatap langit-langit bar seolah mencari jawaban yang selama ini sudah terpatri dalam pikirannya.
“Dia yang paling tulus,” jawab Marcello pelan. “Semua perempuan spesial dengan caranya masing-masing, termasuk Winona. Di saat semua orang mandang gue rendah dan ngeraguin kapabilitas gue, dia doang yang tetep percaya dan dukung gue sepenuh hati. Di saat gue jelek-jelekkin dia di depan temen-temen kita waktu SMA dulu, ternyata dia malah banggain gue di depan siapa pun yang dia ajak ngobrol. Padahal, apa coba yang bisa dibanggain dari Marcello Atmaja selain muka sama nama belakang keluarga?”
“Tumben sadar diri,” kata Noah menghancurkan suasana haru yang tengah dibangun Marcello. Yang diledek hanya terkekeh kecil dan berkata bahwa sembilan tahun mengajarkannya banyak hal. Melihat sosok Winona yang berubah 180° juga memecut sesuatu dari dalam dirinya untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik walaupun tampaknya, ia butuh banyak waktu untuk mencapai keinginan tersebut.
“Lain kali, sebelum investasi ke company, pertimbangin semuanya mateng-mateng. Lo emang penerus Pak Atmaja, tapi jangan lupa kalo venture capital itu nggak dibangun sama bokap lo semata. Ada orang lain yang bantu beliau dan pasti mau bantu lo juga. Selama lo mintanya nggak songong, gue yakin mereka pasti terbuka,” pesan Noah yang ditanggapi anggukan Marcello.
Si dokter tahu betul sahabatnya itu suka meninggikan hati dan gengsi meminta pertolongan orang lain karena khawatir dianggap tidak mampu. Ujungnya, hal itu lebih sering merugikannya dan kekacauan yang harus dibereskan justru semakin besar.
“Abis ini pada mau ke mana?”
“Gue balik ke rumah sakit,” jawab Noah. “Ada jadwal operasi nanti malem.”
“Pantesan lo cuma minum air putih dari tadi,” komentar Vincent. “Takut salah belah organ orang, ya?”
“Gue udah gak tahu harus ngasih tahu lo berapa kali kalo gue ini ahli anestesi yang kerjaannya bius pasien, bukan dokter bedah,” ucap Noah. “Dan ya kali gue masuk ke ruang operasi dengan kondisi abis minum alkohol. Gak profesional, dong.” Urusan kedisiplinan dan etos kerja memang Noah jagonya.
“Kalo lo ke mana, Vin?” tanya Marcello lagi.
Vincent hanya mengangkat bahu dan berkata bahwa dirinya ingin menghabiskan waktu di unit apartemennya untuk menonton series atau bermain game. Tepat sebelum Marcello kembali menanyakan sesuatu, ponselnya berdering. Ia melihat kontak ibunya tertera di layar benda pipih tersebut.
“Kamu di mana, Cel? Kata papi tadi ngambek, ya?”
“Nggak ngambek, Mi,” gerutu Marcello. “Mami udah selesai urusannya? Mau dijemput sekarang?”
“Beneran nggak? Kalo mood kamu lagi nggak bagus, Mami sama sopir aja, ah. Nanti dibawanya ngebut lagi.”
“I’m fine, Mami Sayang. Jadinya mau dijemput sekarang nggak ini?”
“Boleh, deh. Yang wangi, ya, biar klien Mami nggak ilfeel liat kamu.”
Marcello hanya mengiyakannya dengan cepat lalu memutuskan panggilan telepon. Setelah berpamitan pada dua temannya yang juga tidak berniat untuk menghabiskan waktu lebih lama di bar itu, si laki-laki langsung mengendarai Mercedes C-Class Avantgarde miliknya. Ketika lampu merah membuatnya menghentikan laju mobil, perhatiannya langsung tersita ke layar ponsel setelah mendengar notifikasi update terbaru dari orang yang disukainya.
Iya. Marcello menyalakan lonceng akun I*******m Winona–yang diikutinya dengan akun keduanya mengingat perempuan itu memblokirnya entah sejak kapan–supaya selalu tahu kabarnya walau hanya dari media sosial.
Senyumnya mengembang begitu lebar ketika mendapati story yang menunjukkan foto dirinya tengah melakukan mirror selfie dalam balutan boots hitam tinggi, black mini dress, dan coat hitam yang terlihat sempurna di tubuhnya. Dirinya yang sempat lemas tadi seolah mendapatkan suntikan energi baru setelah melihat sosok itu.
Dengan menyetir mobilnya sendiri, Winona membelah jalanan Jakarta untuk bertemu dengan pemilik catering yang sudah membuat janji dengannya. Ia merasa lega karena tidak harus menghabiskan lebih banyak waktu dengan Andre dan bisa menyelesaikan jadwalnya dengan baik. Ia berkendara selama kurang lebih empat puluh lima menit dan setelah mobilnya terparkir di hadapan gedung berlantai tiga yang memang hendak didatanginya, seorang wanita yang terlihat anggun dan awet muda menyambutnya dengan senyum merekah. “Padahal nggak perlu kamu, lho, yang dateng ke sini,” ucap Karin Nirmala, sang empunya jasa catering. “Tante Karin, kan, udah menyempatkan waktu untuk ketemu langsung sama perwakilan perusahaan aku. Masa yang dateng bukan akunya langsung? Lagipula, aku juga kangen liat Tante Karin ngejelasin langsung soal menu-menu catering yang aku pesan. Keliatan banget passion-nya, nggak kalah sama anak muda,” kata Winona sambil menunjukkan senyum terbaiknya. Yang dipuji hanya tertawa gemas dan menc
Marcello masih kesulitan untuk menyingkirkan Winona dari pikirannya terlebih sejak pertemuan tidak sengaja beberapa saat yang lalu. Meskipun tangan dan pandangannya fokus pada setir dan jalan raya di hadapannya, pikirannya melanglang buana entah ke mana. Ia masih terus mengulang suaranya, senyumnya, bahkan wanginya. Perempuan tersebut sepertinya sudah mengirimkan mantra kepada sang pemuda sebelum ia menyadarinya. “Ngomong-ngomong, kamu udah dapet personal assistant, Cel?” tanya Karin setelah keduanya hanya diam dan membiarkan suara penyiar radio mengisi keheningan di antara mereka. Sebelum menjawab pertanyaan sang bunda, Marcello mengecilkan volume radio terlebih dahulu. “Tiga hari lalu aku ada minta tolong ke Mbak Dian untuk carikan dan katanya udah ketemu,” jawab Marcello. “Tinggal wawancara sama aku aja sebelum tanda tangan kontrak.” “Bagus, deh,” sahut Karin. “Mami juga lebih tenang kalau kamu ada yang bantu. Mami masih nggak bisa ngebayangin gimana caranya kamu bisa manage jadw
“Lo langsung ke lantai dua aja, Zet. Gue udah di tempat biasa,” pesan Winona melalui sambungan telepon. Meskipun ia memang berniat untuk menghabiskan waktu seorang diri dengan ditemani makanan hangat dan minuman manis kesukaannya, ia tidak bisa menolak ajakan Zetta, sahabatnya sejak kuliah, yang tiba-tiba ingin bertemu. Belum sampai lima menit sejak ia memutuskan sambungan telepon, perempuan yang tengah ditunggu Winona itu sudah berdiri tidak jauh darinya. Sama seperti hari-hari lainnya, Zetta selalu mengenakan pakaian yang penuh warna. Kali ini, ruffle sleeves top bernuansa pelangi dan rok plisket hijau membalut tubuhnya dengan sempurna. Hal ini tentunya sangat kontras dengan Winona yang cenderung memilih warna-warna earth tone dan monokrom. “Kangen banget, ih, sama lo!” seru Zetta heboh sambil menyampirkan lengannya di pundak sang sahabat. “Gak usah lebay, deh. Kita baru nggak ketemu sebulan, ya. Itu juga karena gue ada business trip ke Bali dan lo sibuk bikin konten,” jawab Win
“Ke ruangan gue sebentar, Hen,” perintah Marcello kepada Mahendra, executive assistant-nya yang baru saja bergabung kemarin. Laki-laki itu langsung meninggalkan ruangannya dan berjalan cepat menuju tempat bosnya memanggil. Tidak lupa ia membawa iPad yang berisi dokumen, jadwal, dan segala kepentingan Marcello yang lain. “Lo udah selesai rapiin jadwal gue hari ini belum?” tanya Marcello, tidak sabar mendengar tanggung jawab apa yang harus diselesaikannya hari ini. “Sudah, Mas,” jawab Mahendra sambil membuka G****e Calendar atasannya yang sudah penuh, “Dari jam 10 sampai jam 5 sore, kebetulan jadwal Mas Cello cukup padat. Jam 10 sampai 12 nanti, perusahaan yang beberapa waktu lalu mengirimkan pitch deck mau melakukan presentasi di hadapan Mas Cello dan C-level lainnya. Ruang meeting-nya sudah saya book juga pagi ini. Setelah lunch break, Mas Cello ada rapat dengan Seed Partner via Zoom karena beliau sedang ada di Jepang untuk business trip. Paling lama meeting-nya tiga puluh menit aj
“Ini apa, Na?” tanya Marcello kebingungan begitu menerima beberapa lembar kertas dari Winona. “Daftar peraturan yang harus kita ikuti selama jadi pasangan suami istri,” jawab Winona tegas. “Peraturan pertama, kedua belah pihak diharuskan tinggal di bawah atap yang sama untuk menghindari kecurigaan dan konflik dengan pihak keluarga masing-masing namun tidak diperbolehkan tidur di ruangan yang sama,” ucap Marcello membaca rentetan huruf di hadapannya. “Peraturan kedua, kedua belah pihak dilarang mencampuri urusan pribadi masing-masing. Baik Winona maupun Marcello diperbolehkan untuk pulang jam berapa saja, pergi dengan siapa saja, dan memutuskan apa saja untuk kebaikan dirinya tanpa mempertimbangkan keputusan pihak lain kecuali ada kaitannya dengan pihak keluarga,” tutur Winona yang juga memegang salinan dokumen yang sama. “Peraturan ketiga, kedua belah pihak sepakat untuk tidak melakukan interaksi jika tidak diperlukan. Baik Winona maupun Marcello setuju untuk bertindak layaknya pas
“Untuk Yola dan tim media sosial lainnya, fokuskan perhatian kalian ke I*******m dan TikTok yang growth-nya memang sedang cepat. Kalau merasa perlu tambahan orang untuk handle Twitter, LinkedIn, dan Quora, bisa langsung bilang ke saya,” ucap Winona memberi petuah setelah sesi presentasi masing-masing anggota selesai dilakukan. “Umay dan tim desain lainnya, keep up the good work. Kita dapat apresiasi dari warganet, all thanks to you. Untuk Tari dan tim writer, secara pribadi, saya suka dengan storyline yang kalian ajukan. Tapi, coba dibuat lebih manusiawi dan mudah dimengerti sama orang awam terlebih sama target pasar kita. Untuk Ody dan tim brand, besok kita meeting lagi. Jam dan ruangannya akan diatur sama Raka. Any question?” Semua yang hadir di ruang pertemuan kompak menjawab tidak. “Kalau begitu, silakan kembali bekerja. Jangan lupa ambil pie susu di pantry, saya ada bawa untuk kalian waktu ke Bali dua hari lalu. Thanks, ya, All,” ucap Winona sambil bangkit dari tempat duduknya d
“Ke ruangan gue sebentar, Hen,” perintah Marcello kepada Mahendra, executive assistant-nya yang baru saja bergabung kemarin. Laki-laki itu langsung meninggalkan ruangannya dan berjalan cepat menuju tempat bosnya memanggil. Tidak lupa ia membawa iPad yang berisi dokumen, jadwal, dan segala kepentingan Marcello yang lain. “Lo udah selesai rapiin jadwal gue hari ini belum?” tanya Marcello, tidak sabar mendengar tanggung jawab apa yang harus diselesaikannya hari ini. “Sudah, Mas,” jawab Mahendra sambil membuka G****e Calendar atasannya yang sudah penuh, “Dari jam 10 sampai jam 5 sore, kebetulan jadwal Mas Cello cukup padat. Jam 10 sampai 12 nanti, perusahaan yang beberapa waktu lalu mengirimkan pitch deck mau melakukan presentasi di hadapan Mas Cello dan C-level lainnya. Ruang meeting-nya sudah saya book juga pagi ini. Setelah lunch break, Mas Cello ada rapat dengan Seed Partner via Zoom karena beliau sedang ada di Jepang untuk business trip. Paling lama meeting-nya tiga puluh menit aj
“Lo langsung ke lantai dua aja, Zet. Gue udah di tempat biasa,” pesan Winona melalui sambungan telepon. Meskipun ia memang berniat untuk menghabiskan waktu seorang diri dengan ditemani makanan hangat dan minuman manis kesukaannya, ia tidak bisa menolak ajakan Zetta, sahabatnya sejak kuliah, yang tiba-tiba ingin bertemu. Belum sampai lima menit sejak ia memutuskan sambungan telepon, perempuan yang tengah ditunggu Winona itu sudah berdiri tidak jauh darinya. Sama seperti hari-hari lainnya, Zetta selalu mengenakan pakaian yang penuh warna. Kali ini, ruffle sleeves top bernuansa pelangi dan rok plisket hijau membalut tubuhnya dengan sempurna. Hal ini tentunya sangat kontras dengan Winona yang cenderung memilih warna-warna earth tone dan monokrom. “Kangen banget, ih, sama lo!” seru Zetta heboh sambil menyampirkan lengannya di pundak sang sahabat. “Gak usah lebay, deh. Kita baru nggak ketemu sebulan, ya. Itu juga karena gue ada business trip ke Bali dan lo sibuk bikin konten,” jawab Win
Marcello masih kesulitan untuk menyingkirkan Winona dari pikirannya terlebih sejak pertemuan tidak sengaja beberapa saat yang lalu. Meskipun tangan dan pandangannya fokus pada setir dan jalan raya di hadapannya, pikirannya melanglang buana entah ke mana. Ia masih terus mengulang suaranya, senyumnya, bahkan wanginya. Perempuan tersebut sepertinya sudah mengirimkan mantra kepada sang pemuda sebelum ia menyadarinya. “Ngomong-ngomong, kamu udah dapet personal assistant, Cel?” tanya Karin setelah keduanya hanya diam dan membiarkan suara penyiar radio mengisi keheningan di antara mereka. Sebelum menjawab pertanyaan sang bunda, Marcello mengecilkan volume radio terlebih dahulu. “Tiga hari lalu aku ada minta tolong ke Mbak Dian untuk carikan dan katanya udah ketemu,” jawab Marcello. “Tinggal wawancara sama aku aja sebelum tanda tangan kontrak.” “Bagus, deh,” sahut Karin. “Mami juga lebih tenang kalau kamu ada yang bantu. Mami masih nggak bisa ngebayangin gimana caranya kamu bisa manage jadw
Dengan menyetir mobilnya sendiri, Winona membelah jalanan Jakarta untuk bertemu dengan pemilik catering yang sudah membuat janji dengannya. Ia merasa lega karena tidak harus menghabiskan lebih banyak waktu dengan Andre dan bisa menyelesaikan jadwalnya dengan baik. Ia berkendara selama kurang lebih empat puluh lima menit dan setelah mobilnya terparkir di hadapan gedung berlantai tiga yang memang hendak didatanginya, seorang wanita yang terlihat anggun dan awet muda menyambutnya dengan senyum merekah. “Padahal nggak perlu kamu, lho, yang dateng ke sini,” ucap Karin Nirmala, sang empunya jasa catering. “Tante Karin, kan, udah menyempatkan waktu untuk ketemu langsung sama perwakilan perusahaan aku. Masa yang dateng bukan akunya langsung? Lagipula, aku juga kangen liat Tante Karin ngejelasin langsung soal menu-menu catering yang aku pesan. Keliatan banget passion-nya, nggak kalah sama anak muda,” kata Winona sambil menunjukkan senyum terbaiknya. Yang dipuji hanya tertawa gemas dan menc
“Jadi, kali ini gara-gara apa lagi?” tanya Vincent, salah satu sahabat Marcello, setelah meminum sedikit tequila yang dipesankan untuknya. Laki-laki yang ditanya mengacak rambutnya kasar sebelum menjawab, “Gue salah kasih investasi ke startup. Bokap bilang, rancangan mereka masih mentah dan kalo venture capital gue ngasih modal ke mereka, udah pasti abis tanpa profit sama sekali. Uang ratusan juta yang kami investasiin bisa-bisa abis cuma buat bayar gaji pegawai aja.” “Wajar, sih, kalo bokap lo marah,” sambung Noah sambil mengunyah truffle fries-nya. “Meskipun uang kalian nggak berseri, kalo diinvestasiin ke company yang mumpuni, uang ratusan juta yang lo pake buat sedekah itu bukan nggak mungkin bisa jadi milyaran.” “You’re not helping at all, Dude,” keluh Marcello sambil menenggak habis irish whiskey yang dipesannya. “Gue tahu letak kesalahan gue di mana dan gue berusaha memperbaiki itu sebelum terlambat dengan mantau secara langsung perkembangan startup yang dikasih investasi sam
“Untuk Yola dan tim media sosial lainnya, fokuskan perhatian kalian ke I*******m dan TikTok yang growth-nya memang sedang cepat. Kalau merasa perlu tambahan orang untuk handle Twitter, LinkedIn, dan Quora, bisa langsung bilang ke saya,” ucap Winona memberi petuah setelah sesi presentasi masing-masing anggota selesai dilakukan. “Umay dan tim desain lainnya, keep up the good work. Kita dapat apresiasi dari warganet, all thanks to you. Untuk Tari dan tim writer, secara pribadi, saya suka dengan storyline yang kalian ajukan. Tapi, coba dibuat lebih manusiawi dan mudah dimengerti sama orang awam terlebih sama target pasar kita. Untuk Ody dan tim brand, besok kita meeting lagi. Jam dan ruangannya akan diatur sama Raka. Any question?” Semua yang hadir di ruang pertemuan kompak menjawab tidak. “Kalau begitu, silakan kembali bekerja. Jangan lupa ambil pie susu di pantry, saya ada bawa untuk kalian waktu ke Bali dua hari lalu. Thanks, ya, All,” ucap Winona sambil bangkit dari tempat duduknya d
“Ini apa, Na?” tanya Marcello kebingungan begitu menerima beberapa lembar kertas dari Winona. “Daftar peraturan yang harus kita ikuti selama jadi pasangan suami istri,” jawab Winona tegas. “Peraturan pertama, kedua belah pihak diharuskan tinggal di bawah atap yang sama untuk menghindari kecurigaan dan konflik dengan pihak keluarga masing-masing namun tidak diperbolehkan tidur di ruangan yang sama,” ucap Marcello membaca rentetan huruf di hadapannya. “Peraturan kedua, kedua belah pihak dilarang mencampuri urusan pribadi masing-masing. Baik Winona maupun Marcello diperbolehkan untuk pulang jam berapa saja, pergi dengan siapa saja, dan memutuskan apa saja untuk kebaikan dirinya tanpa mempertimbangkan keputusan pihak lain kecuali ada kaitannya dengan pihak keluarga,” tutur Winona yang juga memegang salinan dokumen yang sama. “Peraturan ketiga, kedua belah pihak sepakat untuk tidak melakukan interaksi jika tidak diperlukan. Baik Winona maupun Marcello setuju untuk bertindak layaknya pas