“Untuk Yola dan tim media sosial lainnya, fokuskan perhatian kalian ke I*******m dan TikTok yang growth-nya memang sedang cepat. Kalau merasa perlu tambahan orang untuk handle Twitter, LinkedIn, dan Quora, bisa langsung bilang ke saya,” ucap Winona memberi petuah setelah sesi presentasi masing-masing anggota selesai dilakukan.
“Umay dan tim desain lainnya, keep up the good work. Kita dapat apresiasi dari warganet, all thanks to you. Untuk Tari dan tim writer, secara pribadi, saya suka dengan storyline yang kalian ajukan. Tapi, coba dibuat lebih manusiawi dan mudah dimengerti sama orang awam terlebih sama target pasar kita. Untuk Ody dan tim brand, besok kita meeting lagi. Jam dan ruangannya akan diatur sama Raka. Any question?” Semua yang hadir di ruang pertemuan kompak menjawab tidak.
“Kalau begitu, silakan kembali bekerja. Jangan lupa ambil pie susu di pantry, saya ada bawa untuk kalian waktu ke Bali dua hari lalu. Thanks, ya, All,” ucap Winona sambil bangkit dari tempat duduknya dan melenggang meninggalkan ruangan. Samar-samar, Winona masih mendengarkan seruan terima kasih anak buahnya ketika Raka menghampirinya dengan iPad dan satu cup dolce latte di tangan. Perempuan 27 tahun itu sudah paham bahwa dirinya masih mempunyai beberapa pertemuan lain untuk dihadiri hari ini.
“Di luar atau di kantor?” tanya Winona sebelum menyeruput minuman dingin yang disiapkan executive assistant-nya.
Raka tampak memencet layar iPad beberapa kali sebelum menjawab, “Setengah jam lagi, Mbak Nana ada meeting dengan Pak Andre di kafe dekat sini untuk bahas acara amal. Setelah makan siang, Mbak Nana perlu ketemu tim SEO untuk bahas optimasi website. Jam 3 sampai 4 sore sebenarnya kosong tapi Mbak Nana bilang, Mbak mau pakai waktunya untuk brainstorming ide campaign baru. Lalu terakhir, jam setengah enam, Mbak Nana perlu ketemu sama pemilik catering untuk acara amal kita.”
“Padet juga hari ini,” komentar Winona.
“Gak hari ini aja, Mbak. Jadwal harian Mbak Nana selalu sama padetnya kayak Stasiun Manggarai,” celetuk Raka yang disambut tawa perempuan di sebelahnya.
Meskipun kesibukan tidak pernah absen dari hidupnya, Winona tidak pernah terlalu lelah untuk memberikan senyum dan tawanya secara gratis. Sayangnya, ia sering kali tidak menyadari pesona yang terpancar dari dirinya sehingga banyak sekali orang yang menyalahartikan gestur baik dan manis itu.
“Ada request khusus nggak, Mbak, untuk lunch hari ini?” tanya Raka sambil bersiap memesan apa pun yang diinginkan atasannya. Selain mengatur jadwal, laki-laki yang usianya hanya selisih satu tahun lebih muda dari Winona itu juga bertugas untuk memantau kesehatan sang puan, termasuk memerhatikan pola makannya.
“Tolong siapin jus kiwi aja. Saya nggak pengen makan berat karena pasti nanti makan banyak camilan pas meeting sama Mas Andre,” ucap Winona setelah menyedot habis minuman yang tadi diberikan oleh Raka. Yang diajak bicara mengangguk dan segera memesan jus kiwi di tempat langganan bosnya.
“You can go back to your room. Thanks for helping me, Ka,” tutur Winona sambil masuk ke ruangannya untuk bersiap menuju kafe yang akan menjadi tempat pertemuannya dengan Andre, CEO tempatnya bekerja. Raka meresponsnya dengan anggukan dan dengan segera, ia kembali ke balik mejanya untuk mengerjakan segala sesuatu yang belum selesai dirampungkan.
“Kalah lebar bandara sama senyum lo,” komentar Bisma, executive assistant Andre yang kebetulan bekerja di ruangan yang sama dengan Raka. “Mbak Nana abis ngejanjiin bonus apa gimana?”
Raka menggeleng, masih dengan senyum lebar yang seolah terplester permanen di wajahnya. “Hari ini gue berhasil bikin Mbak Nana ketawa dan setelah gue bantu Mbak Nana review daily schedule-nya, Mbak Nana bilang terima kasih sambil senyum manis banget. Saking kagetnya gue cuman bisa ngangguk, gak sanggup ngomong apa-apa lagi.”
Sebuah jitakan mendarat di kening laki-laki yang baru saja menyelesaikan omongannya itu. “Gak usah kebanyakan drama. Mbak Nana mau orangnya gak lucu sekalipun pasti ketawa dan semua orang juga tahu kali kalo beliau hobi senyum sambil bilang makasih ke siapa pun.”
“Gak bisa banget liat orang seneng apa lo?” keluh Raka.
“Gue cuma menyadarkan lo, Ka,” balas Bisma. “Jangan sampe baper sama Mbak Nana kayak beberapa executive assistant sebelum lo. Mau kehilangan sumber cuan hanya gara-gara gak bisa nahan salting tiap Mbak Nana senyum?”
“Lo nggak ngerasain susahnya jadi gue, Bis.”
“Omongan lo kayak remaja puber tahu nggak?” celetuk Bisma. “Lagian, nggak usah mimpi ketinggian, deh. Mbak Nana tuh udah cantik, pinter, karirnya bagus, uangnya banyak, dari keluarga harmonis, personality-nya juara lagi. Mana mau sama kita yang jabatan dan gajinya lebih rendah? Ada juga Mbak Nana jadinya sama bos gue.”
Raka menghela napas dramatis yang kembali dihadiahi toyoran di kepala. Ia akhirnya mengunci mulutnya dan kembali berhadapan dengan G****e Calendar, aplikasi yang selalu membantunya mengatur jadwal Winona. Benar kata Bisma. Ia tidak bisa sembarangan naksir atasannya yang memang memukau dan baik kepada semua orang itu. Perasaan memang tidak bisa dibohongi, tapi logika tetap harus berjalan supaya terhindar dari sakit hati.
Saat Raka tengah sibuk dengan laptopnya, Winona baru saja tiba di kafe dekat kantor yang rupanya baru melakukan grand launching itu. Ia disambut aroma beraneka makanan dan wajah terkejut penjaga kasir ketika melihat dirinya membuka pintu depan. Winona hanya memberikan senyuman–yang membuat si penjaga kasir semakin kehilangan kata-kata–lalu mengedarkan pandangannya untuk mencari Andre. Beruntung ia tidak perlu waktu lama sebab laki-laki yang usianya tujuh tahun lebih tua darinya itu langsung melambaikan tangan.
“Tumben ngajak ngobrolnya di sini?” tanya Winona sambil menarik kursi yang posisinya berhadapan dengan Andre.
“Pengen ngobrol sama kamu tapi di tempat lain. Bosen di ruang rapat terus,” jawab Andre. “Help me choose. Ham and cheese croissant with egg atau egg benedict?” Winona langsung menjatuhkan pilihannya pada egg benedict tanpa banyak pertimbangan.
Ia hanya ingin segera menyudahi sesi pertemuannya hari itu karena sebenarnya ia tahu, perbincangan mengenai acara amal hanya akal-akalan Andre supaya bisa mengobrol berdua dengannya di luar kantor. Beberapa hari belakangan, Andre cukup sering mengiriminya pesan singkat yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan dan sejujurnya, ia sangat terganggu. Perempuan itu hanya menahan diri sebentar lagi sebelum meledak karena ia masih menghormati tiang-tiang profesionalisme di antara mereka.
“Oh, ya, Mas, persiapan acara amal sudah 90% even though sampai saat ini, aku masih nggak ngerti kenapa harus aku yang ngurusin padahal ada banyak orang yang bisa Mas Andre tugasin,” kata Winona sambil membelah chicken teriyaki wrap yang ia pesan. “Nanti sore aku mau ketemu langsung sama yang punya catering buat make sure everything’s ready.”
“Kamu selalu bisa diandalkan. Jadi, apa alasan saya gak menugaskan kamu?” balas Andre sambil memberikan kedipan mata yang membuat perut Winona bergejolak. Bukan, bukan karena ada ribuan kupu-kupu melainkan karena mual melihat mantan kakak tingkatnya itu bertingkah demikian di saat ia baru saja putus dari kekasih kesembilannya yang entah kali ini apa lagi alasannya.
“Nanti ketemu orang catering-nya sama aku aja. Kebetulan aku nggak ada jadwal apa-apa hari ini,” tawar Andre dengan mata berbinar.
Winona segera menolak gagasan tersebut dengan seribu satu alasan yang untungnya berhasil membuat si laki-laki mengurungkan niatnya. Kendati demikian, Andre tetap tidak menyerah. Ia masih akan terus berusaha untuk memikat hati Winona, perempuan yang paling banyak menjadi bahan pembicaraan di antara koleganya.
Well, good luck, Andre. Meruntuhkan tembok yang sudah dibangun Winona sejak sembilan tahun lalu hampir mendekati kata mustahil. Sampai saat ini, meskipun ia selalu ramah pada semua orang, belum ada yang berhasil mengetuk pintu hatinya. Penghuni pertama dan terakhirnya tetap Marcello Atmaja yang sekarang dibencinya setengah mati.
“Jadi, kali ini gara-gara apa lagi?” tanya Vincent, salah satu sahabat Marcello, setelah meminum sedikit tequila yang dipesankan untuknya. Laki-laki yang ditanya mengacak rambutnya kasar sebelum menjawab, “Gue salah kasih investasi ke startup. Bokap bilang, rancangan mereka masih mentah dan kalo venture capital gue ngasih modal ke mereka, udah pasti abis tanpa profit sama sekali. Uang ratusan juta yang kami investasiin bisa-bisa abis cuma buat bayar gaji pegawai aja.” “Wajar, sih, kalo bokap lo marah,” sambung Noah sambil mengunyah truffle fries-nya. “Meskipun uang kalian nggak berseri, kalo diinvestasiin ke company yang mumpuni, uang ratusan juta yang lo pake buat sedekah itu bukan nggak mungkin bisa jadi milyaran.” “You’re not helping at all, Dude,” keluh Marcello sambil menenggak habis irish whiskey yang dipesannya. “Gue tahu letak kesalahan gue di mana dan gue berusaha memperbaiki itu sebelum terlambat dengan mantau secara langsung perkembangan startup yang dikasih investasi sam
Dengan menyetir mobilnya sendiri, Winona membelah jalanan Jakarta untuk bertemu dengan pemilik catering yang sudah membuat janji dengannya. Ia merasa lega karena tidak harus menghabiskan lebih banyak waktu dengan Andre dan bisa menyelesaikan jadwalnya dengan baik. Ia berkendara selama kurang lebih empat puluh lima menit dan setelah mobilnya terparkir di hadapan gedung berlantai tiga yang memang hendak didatanginya, seorang wanita yang terlihat anggun dan awet muda menyambutnya dengan senyum merekah. “Padahal nggak perlu kamu, lho, yang dateng ke sini,” ucap Karin Nirmala, sang empunya jasa catering. “Tante Karin, kan, udah menyempatkan waktu untuk ketemu langsung sama perwakilan perusahaan aku. Masa yang dateng bukan akunya langsung? Lagipula, aku juga kangen liat Tante Karin ngejelasin langsung soal menu-menu catering yang aku pesan. Keliatan banget passion-nya, nggak kalah sama anak muda,” kata Winona sambil menunjukkan senyum terbaiknya. Yang dipuji hanya tertawa gemas dan menc
Marcello masih kesulitan untuk menyingkirkan Winona dari pikirannya terlebih sejak pertemuan tidak sengaja beberapa saat yang lalu. Meskipun tangan dan pandangannya fokus pada setir dan jalan raya di hadapannya, pikirannya melanglang buana entah ke mana. Ia masih terus mengulang suaranya, senyumnya, bahkan wanginya. Perempuan tersebut sepertinya sudah mengirimkan mantra kepada sang pemuda sebelum ia menyadarinya. “Ngomong-ngomong, kamu udah dapet personal assistant, Cel?” tanya Karin setelah keduanya hanya diam dan membiarkan suara penyiar radio mengisi keheningan di antara mereka. Sebelum menjawab pertanyaan sang bunda, Marcello mengecilkan volume radio terlebih dahulu. “Tiga hari lalu aku ada minta tolong ke Mbak Dian untuk carikan dan katanya udah ketemu,” jawab Marcello. “Tinggal wawancara sama aku aja sebelum tanda tangan kontrak.” “Bagus, deh,” sahut Karin. “Mami juga lebih tenang kalau kamu ada yang bantu. Mami masih nggak bisa ngebayangin gimana caranya kamu bisa manage jadw
“Lo langsung ke lantai dua aja, Zet. Gue udah di tempat biasa,” pesan Winona melalui sambungan telepon. Meskipun ia memang berniat untuk menghabiskan waktu seorang diri dengan ditemani makanan hangat dan minuman manis kesukaannya, ia tidak bisa menolak ajakan Zetta, sahabatnya sejak kuliah, yang tiba-tiba ingin bertemu. Belum sampai lima menit sejak ia memutuskan sambungan telepon, perempuan yang tengah ditunggu Winona itu sudah berdiri tidak jauh darinya. Sama seperti hari-hari lainnya, Zetta selalu mengenakan pakaian yang penuh warna. Kali ini, ruffle sleeves top bernuansa pelangi dan rok plisket hijau membalut tubuhnya dengan sempurna. Hal ini tentunya sangat kontras dengan Winona yang cenderung memilih warna-warna earth tone dan monokrom. “Kangen banget, ih, sama lo!” seru Zetta heboh sambil menyampirkan lengannya di pundak sang sahabat. “Gak usah lebay, deh. Kita baru nggak ketemu sebulan, ya. Itu juga karena gue ada business trip ke Bali dan lo sibuk bikin konten,” jawab Win
“Ke ruangan gue sebentar, Hen,” perintah Marcello kepada Mahendra, executive assistant-nya yang baru saja bergabung kemarin. Laki-laki itu langsung meninggalkan ruangannya dan berjalan cepat menuju tempat bosnya memanggil. Tidak lupa ia membawa iPad yang berisi dokumen, jadwal, dan segala kepentingan Marcello yang lain. “Lo udah selesai rapiin jadwal gue hari ini belum?” tanya Marcello, tidak sabar mendengar tanggung jawab apa yang harus diselesaikannya hari ini. “Sudah, Mas,” jawab Mahendra sambil membuka G****e Calendar atasannya yang sudah penuh, “Dari jam 10 sampai jam 5 sore, kebetulan jadwal Mas Cello cukup padat. Jam 10 sampai 12 nanti, perusahaan yang beberapa waktu lalu mengirimkan pitch deck mau melakukan presentasi di hadapan Mas Cello dan C-level lainnya. Ruang meeting-nya sudah saya book juga pagi ini. Setelah lunch break, Mas Cello ada rapat dengan Seed Partner via Zoom karena beliau sedang ada di Jepang untuk business trip. Paling lama meeting-nya tiga puluh menit aj
“Ini apa, Na?” tanya Marcello kebingungan begitu menerima beberapa lembar kertas dari Winona. “Daftar peraturan yang harus kita ikuti selama jadi pasangan suami istri,” jawab Winona tegas. “Peraturan pertama, kedua belah pihak diharuskan tinggal di bawah atap yang sama untuk menghindari kecurigaan dan konflik dengan pihak keluarga masing-masing namun tidak diperbolehkan tidur di ruangan yang sama,” ucap Marcello membaca rentetan huruf di hadapannya. “Peraturan kedua, kedua belah pihak dilarang mencampuri urusan pribadi masing-masing. Baik Winona maupun Marcello diperbolehkan untuk pulang jam berapa saja, pergi dengan siapa saja, dan memutuskan apa saja untuk kebaikan dirinya tanpa mempertimbangkan keputusan pihak lain kecuali ada kaitannya dengan pihak keluarga,” tutur Winona yang juga memegang salinan dokumen yang sama. “Peraturan ketiga, kedua belah pihak sepakat untuk tidak melakukan interaksi jika tidak diperlukan. Baik Winona maupun Marcello setuju untuk bertindak layaknya pas
“Ke ruangan gue sebentar, Hen,” perintah Marcello kepada Mahendra, executive assistant-nya yang baru saja bergabung kemarin. Laki-laki itu langsung meninggalkan ruangannya dan berjalan cepat menuju tempat bosnya memanggil. Tidak lupa ia membawa iPad yang berisi dokumen, jadwal, dan segala kepentingan Marcello yang lain. “Lo udah selesai rapiin jadwal gue hari ini belum?” tanya Marcello, tidak sabar mendengar tanggung jawab apa yang harus diselesaikannya hari ini. “Sudah, Mas,” jawab Mahendra sambil membuka G****e Calendar atasannya yang sudah penuh, “Dari jam 10 sampai jam 5 sore, kebetulan jadwal Mas Cello cukup padat. Jam 10 sampai 12 nanti, perusahaan yang beberapa waktu lalu mengirimkan pitch deck mau melakukan presentasi di hadapan Mas Cello dan C-level lainnya. Ruang meeting-nya sudah saya book juga pagi ini. Setelah lunch break, Mas Cello ada rapat dengan Seed Partner via Zoom karena beliau sedang ada di Jepang untuk business trip. Paling lama meeting-nya tiga puluh menit aj
“Lo langsung ke lantai dua aja, Zet. Gue udah di tempat biasa,” pesan Winona melalui sambungan telepon. Meskipun ia memang berniat untuk menghabiskan waktu seorang diri dengan ditemani makanan hangat dan minuman manis kesukaannya, ia tidak bisa menolak ajakan Zetta, sahabatnya sejak kuliah, yang tiba-tiba ingin bertemu. Belum sampai lima menit sejak ia memutuskan sambungan telepon, perempuan yang tengah ditunggu Winona itu sudah berdiri tidak jauh darinya. Sama seperti hari-hari lainnya, Zetta selalu mengenakan pakaian yang penuh warna. Kali ini, ruffle sleeves top bernuansa pelangi dan rok plisket hijau membalut tubuhnya dengan sempurna. Hal ini tentunya sangat kontras dengan Winona yang cenderung memilih warna-warna earth tone dan monokrom. “Kangen banget, ih, sama lo!” seru Zetta heboh sambil menyampirkan lengannya di pundak sang sahabat. “Gak usah lebay, deh. Kita baru nggak ketemu sebulan, ya. Itu juga karena gue ada business trip ke Bali dan lo sibuk bikin konten,” jawab Win
Marcello masih kesulitan untuk menyingkirkan Winona dari pikirannya terlebih sejak pertemuan tidak sengaja beberapa saat yang lalu. Meskipun tangan dan pandangannya fokus pada setir dan jalan raya di hadapannya, pikirannya melanglang buana entah ke mana. Ia masih terus mengulang suaranya, senyumnya, bahkan wanginya. Perempuan tersebut sepertinya sudah mengirimkan mantra kepada sang pemuda sebelum ia menyadarinya. “Ngomong-ngomong, kamu udah dapet personal assistant, Cel?” tanya Karin setelah keduanya hanya diam dan membiarkan suara penyiar radio mengisi keheningan di antara mereka. Sebelum menjawab pertanyaan sang bunda, Marcello mengecilkan volume radio terlebih dahulu. “Tiga hari lalu aku ada minta tolong ke Mbak Dian untuk carikan dan katanya udah ketemu,” jawab Marcello. “Tinggal wawancara sama aku aja sebelum tanda tangan kontrak.” “Bagus, deh,” sahut Karin. “Mami juga lebih tenang kalau kamu ada yang bantu. Mami masih nggak bisa ngebayangin gimana caranya kamu bisa manage jadw
Dengan menyetir mobilnya sendiri, Winona membelah jalanan Jakarta untuk bertemu dengan pemilik catering yang sudah membuat janji dengannya. Ia merasa lega karena tidak harus menghabiskan lebih banyak waktu dengan Andre dan bisa menyelesaikan jadwalnya dengan baik. Ia berkendara selama kurang lebih empat puluh lima menit dan setelah mobilnya terparkir di hadapan gedung berlantai tiga yang memang hendak didatanginya, seorang wanita yang terlihat anggun dan awet muda menyambutnya dengan senyum merekah. “Padahal nggak perlu kamu, lho, yang dateng ke sini,” ucap Karin Nirmala, sang empunya jasa catering. “Tante Karin, kan, udah menyempatkan waktu untuk ketemu langsung sama perwakilan perusahaan aku. Masa yang dateng bukan akunya langsung? Lagipula, aku juga kangen liat Tante Karin ngejelasin langsung soal menu-menu catering yang aku pesan. Keliatan banget passion-nya, nggak kalah sama anak muda,” kata Winona sambil menunjukkan senyum terbaiknya. Yang dipuji hanya tertawa gemas dan menc
“Jadi, kali ini gara-gara apa lagi?” tanya Vincent, salah satu sahabat Marcello, setelah meminum sedikit tequila yang dipesankan untuknya. Laki-laki yang ditanya mengacak rambutnya kasar sebelum menjawab, “Gue salah kasih investasi ke startup. Bokap bilang, rancangan mereka masih mentah dan kalo venture capital gue ngasih modal ke mereka, udah pasti abis tanpa profit sama sekali. Uang ratusan juta yang kami investasiin bisa-bisa abis cuma buat bayar gaji pegawai aja.” “Wajar, sih, kalo bokap lo marah,” sambung Noah sambil mengunyah truffle fries-nya. “Meskipun uang kalian nggak berseri, kalo diinvestasiin ke company yang mumpuni, uang ratusan juta yang lo pake buat sedekah itu bukan nggak mungkin bisa jadi milyaran.” “You’re not helping at all, Dude,” keluh Marcello sambil menenggak habis irish whiskey yang dipesannya. “Gue tahu letak kesalahan gue di mana dan gue berusaha memperbaiki itu sebelum terlambat dengan mantau secara langsung perkembangan startup yang dikasih investasi sam
“Untuk Yola dan tim media sosial lainnya, fokuskan perhatian kalian ke I*******m dan TikTok yang growth-nya memang sedang cepat. Kalau merasa perlu tambahan orang untuk handle Twitter, LinkedIn, dan Quora, bisa langsung bilang ke saya,” ucap Winona memberi petuah setelah sesi presentasi masing-masing anggota selesai dilakukan. “Umay dan tim desain lainnya, keep up the good work. Kita dapat apresiasi dari warganet, all thanks to you. Untuk Tari dan tim writer, secara pribadi, saya suka dengan storyline yang kalian ajukan. Tapi, coba dibuat lebih manusiawi dan mudah dimengerti sama orang awam terlebih sama target pasar kita. Untuk Ody dan tim brand, besok kita meeting lagi. Jam dan ruangannya akan diatur sama Raka. Any question?” Semua yang hadir di ruang pertemuan kompak menjawab tidak. “Kalau begitu, silakan kembali bekerja. Jangan lupa ambil pie susu di pantry, saya ada bawa untuk kalian waktu ke Bali dua hari lalu. Thanks, ya, All,” ucap Winona sambil bangkit dari tempat duduknya d
“Ini apa, Na?” tanya Marcello kebingungan begitu menerima beberapa lembar kertas dari Winona. “Daftar peraturan yang harus kita ikuti selama jadi pasangan suami istri,” jawab Winona tegas. “Peraturan pertama, kedua belah pihak diharuskan tinggal di bawah atap yang sama untuk menghindari kecurigaan dan konflik dengan pihak keluarga masing-masing namun tidak diperbolehkan tidur di ruangan yang sama,” ucap Marcello membaca rentetan huruf di hadapannya. “Peraturan kedua, kedua belah pihak dilarang mencampuri urusan pribadi masing-masing. Baik Winona maupun Marcello diperbolehkan untuk pulang jam berapa saja, pergi dengan siapa saja, dan memutuskan apa saja untuk kebaikan dirinya tanpa mempertimbangkan keputusan pihak lain kecuali ada kaitannya dengan pihak keluarga,” tutur Winona yang juga memegang salinan dokumen yang sama. “Peraturan ketiga, kedua belah pihak sepakat untuk tidak melakukan interaksi jika tidak diperlukan. Baik Winona maupun Marcello setuju untuk bertindak layaknya pas