Angel memegang pipinya yang baru saja memanas akibat tamparan dari Paman Johnson. Siang ini, dia sudah berada di mansion mewah milik pamannya. Angel menoleh paksa, merasakan panasnya tamparan sang paman. Sungguh, mungkin saja pipinya sudah semerah tomat sekarang. Merah bukan karena malu, tetapi ngilu.
"Sudah tiga bulan Angel! Kamu baru berhasil membunuh Yura saja. Apa kamu tidak kasihan dengan orang tuamu yang dibunuh keluarga mereka?!" Paman sangat marah. Angel menunduk, tetap memegangi pipinya. Kedua mata gadis itu berkaca-kaca. Dia takut, ketika pamannya berteriak seperti ini.
"Dari awal Paman tidak pernah percaya kamu bis melakukan ini. Dengan entengnya kamu ber-iya-iya akan membunuh mereka. Tapi apa? Sampe sekarang nihil! Ibarat tong sampah yang masih bersih, belum dilempari telur busuk!"
Angel tetap diam. Dia tidak mau membalas perkataan pamannya.
"Atau apa yang Paman pi
Berita meninggalnya Tuan Rajendra terdengar ke seluruh kota. Banyak kolega bisnis, reporter berdatangan memenuhi mansion. Suasana duka bertabur asa di dalam sana. Terlebih Lina, wanita itu sempat pingsan berkali-kali.Setelah pemakaman selesai. Seluruh keluarga berkumpul di ruang tamu seluas lapangan futsal itu. Angel, dia berdiri tidak melepas kacamatanya sejak tadi. Bibirnya berkedut, ingin tertawa kencang. Akhirnya dia bisa membunuh dua orang di sini. Namun, dia harus menahannya. Ini bukan waktu yang tepat.Di ruang tamu ini, Lina membuat semua orang terkejut. Tangannya melayang begitu saja ke pipi Ana dengan suara keras. Bahkan Angel bersuara kecil, seperti merasakan panas yang sama."Dasar menantu tidak tahu diuntungkan!" Lina menamparnya lagi. Ana terduduk, air matanya meluruh begitu saja.Sedang semua orang tak melepas pandangannya pada Lina dan Ana. Berbeda dengan Dami
Aneh, seminggu setelah insiden kematian Rajendra, Damian bersepakat untuk keluar dari mansion. Bahkan, ini lebih membingungkan Angel. Bingung dengan bagaimana rencana selanjutnya. Dendamnya belum terbalas semua. Damian memilih tinggal di apartemen yang Damian bangun sendiri. Wow, menakjubkan. Sudah kaya begini, tapi gila tahta.Angel menghela napas berat. Di dalam apartemen, yang begitu luasnya terdapat dua kamar. Angel tinggal di kamar bawah. Itu bukan kemauannya, ini mau Damian. Aneh kan? Biasanya dia ngotot ingin sekali sekamar bareng, maksudnya seranjang bersama. Namun ini? Dia mengatur semuanya.Yang lebih aneh lagi, kenapa Angel sulit tidur semalam? Seperti ada yang berbeda. Ketika kemarin-kemarin, ada yang sukarela menyelimutinya, mematikan AC untuknya, dan ini hanya khayalan Angel atau bukan, tetapi Angel rasa setiap mimpinya ada seseorang yang mengecup keningnya.Angel menaiki tangga. Dia yang
Minggu pagi, Angel mengelap keringat yang bercucuran di keningnya. Dia berada di taman, sedang maraton pagi. Semenjak tinggal di apartemen, Angel selalu bangun lebih awal. Bahkan dia juga yang memasak sarapan untuk dirinya juga Damian. Damian, laki-laki itu sendiri semakin terasa berbeda di mata Angel. Maksudnya, Damian semakin terlihat menyembunyikan sesuatu. Di dalam benak perempuan itu, apa Damian merencanakan suatu hal padanya? Kalau iya, maka Angel pasrah. Dirinya sudah tidak ada lagi rencana. Membunuh Damian di apartemennya sendiri? Mungkin ini jauh lebih sulit. Terlebih Damian adalah pion utama di sini.Beberapa hari yang lalu, Paman Johson bilang bahwa apartemen Damian begitu ketat. Bahkan ketika anak buahnya ingin meretas sandi untuk masuk dan memasang beberapa cctv atau bahkan mematikan cctv ketika mereka melanjutkan rencananya, mereka gagal. Paman Johson sendiri menyimpulkan, bahwa Damian juga orang pintar yang cukup sulit dibodohi.Angel memilih
Selesai mengisi perutnya, Damian berdiri dan menghampiri Pak Maman. Angel tidak berniat menguping, tetapi suara Damian berhasil ditangkap oleh pendengarannya."Pak, seperti biasa. Bungkus 10 ya. Jangan pedas," kata Damian. Angel ikut berdiri. Buburnya sudah habis, dia menghampiri Damian."Lo mau makan 10 bungkus sendiri? Hebat betul. Badan kaya gini makannya gotot!" sindir Angel. Damian menaikkan satu alisnya. Lalu menjawab, "Biar makin gede.""Apanya yang gede? Jawaban lo bikin ambigu tau!" Angel mengerutkan keningnya. Berkacak pinggang lalu mengeluarkan napas panjang."Kamu mikirnya negatif, makanya kamu kira saya semesum itu. Nanti ikut saya, ya.""Ke mana? Ungh, gue capek banget tau. Jalan terus dari tadi. Mana keringetan belum mandi. Mau ke mana si?""Kamu capek?" Angel mengangguk cepat. "ya udah saya gendong," kata Da
Angel mendudukkan dirinya di kursi goyang. Sambil memangku kepala dengan satu tangan. Dia begitu lelah, bahkan beberapa kali helaan napas berat dia keluarkan."Angel, kamu tidak mandi? Keringetan, nanti bau badan." Damian keluar dari kamar mandi. Laki-laki itu menyugar rambut basahnya tepat di wajah Angel. Membuat Angel berkedip-kedip terkena cipratan rambutnya. Angel mendengus. "Bisa nggak jangan di sini nganuin rambutnya?"Damian berhenti melakukannya. Lalu, dia mengerutkan kening. "Bahasa kamu ambigu. Saya berpikir ke hal yang bukan-bukan. Bagaimana, saya begitu tampan bukan?" Angel tertawa mendengarnya. Bahkan sampai terbahak-bahak. Menyeka air matanya yang menetes. Perutnya keram."Astaga, Damian. Lo berekspektasi jauh banget. Bahkan di mata gue lo cuma beleknya Taehyung," kata Angel."Taehyung. Laki-laki mana lagi dia? Ck, ck. Setelah dengan Gerald tidak ada kabar, kamu melaku
Angel berdiri menikmati semilir angin menerpa wajahnya. Dia menumpuk tangan di dada, memejamkan mata, lalu menghela napas panjang berkali-kali. Dia memilih untuk datang ke pantai malam-malam begini. Setelah Damian mengusirnya, dan itu membuat Angel merasakan nyeri di bagian dalam hatinya.Angin malam begitu dingin. Angel membuka matanya kembali, dia mengusap lengan untuk sekadar menghangatkan. Deru ombak, membasahi kakinya. Mungkin Angel rasa telapak kakinya sudah mengerut akibat air itu. Suasananya sepi, keadaan begitu gelap. Mungkin hanya ada pencahayaan lampu-lampu di seberang sana."Ma, Angel kangen banget sama mama. Sama papa juga. Angel tumbuh jadi gadis yang begitu jahat karena dendam, ma." Angel menjongkok. Dia memeluk lututnya yang perlahan menggigil. Tak terasa, buliran air jatuh dari matanya. Membasahi kulit pipi yang ikut dingin itu."Kenapa si, ma. Kenapa Angel hadepin hidup sesulit ini? Me
Angel terus saja merutuki dirinya yang tiba-tiba saja bersikap menjadi perempuan yang cemburu dengan suami. Padahal jika dibilang suami, Angel juga malas menghormatinya. Sejak tadi, yang dilakukan Angel hanya mondar-mandir sambil mengetuki dahinya. Bagaimana jika Damian pulang nanti? Apa yang akan dilakukan oleh Angel nanti? Alasan apa yang akan dirinya buat?Angel rasanya ingin tenggelam di Palung Mariana saja. Melihat balasan dari Damian yang sungguh memalukan itu, seolah sedang mengejeknya mentah-mentah. Sialan, sekali. Kalau saja Angel bisa menghapus ingatan seseorang seperti film duyung yang dirinya tonton. Sudah Angel lakukan sejak dulu. Namun, kembali. Dia hanya manusia biasa."Lebih baik gue pura-pura tidur. Lagi pula Damian kan langsung ke atas. Mana mungkin masuk ke kamar?" Angel berhenti. Dia bergumam sendirian. Lalu melihat jam yang ada di dinding. Sebentar lagi adalah waktu di mana Damian pulang. Tak menunggu lama, A
"Apa yang kamu inginkan sebenarnya?" Damian berdiri, melipat kedua tangan sambil memandang serius seseorang di hadapannya. Ini untuk pertama kalinya Damian mengajaknya bertemu. Damian sebenarnya sedikit menyesal, kenapa tidak saat papanya masih hidup dia memberanikan diri untuk bertemu. Namun, mungkin ini memang sudah jalannya. Sekarang, mereka berdua dipertemukan.Seseorang di hadapan Damian mengenakan masker. Dari matanya tercetak jelas, jika orang itu tengah tersenyum penuh licik. Dia mengambil korek antiknya, lalu memutar-mutar dan menghidupkannya. Disulutnya api itu pada rokok yang ada di tangannya. "Kamu ingin tahu mau saya? Mau saya, kamu dan keluargamu seperti ini." Orang itu menjatuhkan rokok yang hidup, dan menginjaknya dengan tragis hingga hancur."Ingin menghancurkan saya?" Damian maju perlahan. Senyumnya penuh arti kebencian. Lalu menepuk pundak orang itu, "kamu tidak akan menghancurkan saya. Bahkan ketika akhir ceri
Angelia. Di London namanya benar-benar sudah tidak disebut lagi oleh semua orang. Damian tidak pernah mendengarnya, Damian tidak pernah melihatnya. Bahkan, yang paling mengejutkan Damian. Ketika mengajak Delvira mengunjungi Skala, rumah itu sudah dikontrakkan oleh orang lain. Wanita itu benar-benar seperti orang yang tak sengaja bertemu di jalan. Damian bertanya pada Yolanda, pada teman-temannya yang lain. Nihil. Semua seolah menutup mulut. Layaknya mereka memang orang-orang yang tak saling mengenali.Sudah satu bulan, Damian menjalani kehidupannya yang baru bersama istri tercintanya—Delvira. Meski Delvira tidak seperti wanita di luaran sana, tetapi Damian begitu bangga. Setidaknya, Delvira tidak manja. Untuk memakaikan dasi, memberi nasi dan lauk di piring Damian, serta hal-hal sederhana lainnya masih ia lakukan sebagaimana istri sebenarnya. Satu bulan, pernikahannya, Damian dan Delvira belum berhubungan. Delvira menolak untuk melakukannya, lantaran dia b
Angel memandang surat gugatan cerai yang dirinya kirim pada Damian silam. Awalnya Damian yang bersikukuh untuk tidak menceraikannya, tetapi sekarang, justru menandatangani surat itu. Angel hancur. Apa ini balasan untuk wanita jahat sepertinya? Hidup dalam lubang kepedihan. Kalaupun iya, Angel berharap jangan bawa anak-anaknya. Jangan bawa Skala putra manisnya. Jangan bawa calon bayi mungilnya. Ini sungguh rumit. Tanpa alasan, tanpa penjelasan Damian benar-benar memutuskannya sepihak. Padahal Damian orang yang menyakinkan Angel jika mereka berdua harus memiliki kesempatan kedua. Memperbaiki keadaan. Menjalin hidup bahagia bersama buah hatinya.Hatinya remuk. Sama seperti dadanya yang sesak. Air matanya meluruh begitu saja, membasahi pipi mulusnya. Wajahnya kian pucat akibat hamil muda. Ditambah masalah begini, Angel rasanya ingin mati saja. Sejak di mana Damian mengusirnya mentah-mentah, Angel tak lagi bisa bertemu dengannya. Di kantor, Angel dihadang satpam. Di rumah, ger
Angel membocorkan haru pada alat tes kehamilan yang di genggamnya. Benar-benar tidak percaya jika dirinya akan hamil kembali. Tanpa sadar air jatuh begitu saja. Entah harus bagaimana entah bagaimana. Apa Tuhan ingin mereka memperbaiki keadaan. Di sela-selanya, Angel kabar kabar Damian. Sudah seminggu-laki itu tidak lagi film diri. Seperti hilang ditelan bumi. Malaikat benar-benar tidak tahu dengan perasaannya. Seperti dirinya itu plin-plan. ingin ingin segalanya. Namun sekarang melihat, melihat dirinya mengandung anak Damian kembali, Angel jadi membayangkan mau Damian kemarin. Mau Damian jika mereka memang harus diberi kesempatan untuk berulang kali lagi. Mengulangi hal-hal yang manis tanpa ada racun."Ibu! Apakah kamu baik-baik saja?" Malaikat sampai lupa, Skalanya untuk menunggu di luar sana. Angel melacak air matanya, lalu keluar dari kamar mandi.Dilihatnya bocah mungil itu, berdiri sambil mengemuti permen lolipop. Wajahnya merah kesal k
"Harusnya kamu tidak perlu beli ini semua untuk Skala, Mas." Angel membocorkan banyak sekali mainan yang baru dikirim oleh pekerja Damian. Angel sudah melarangnya. Namun, Damian itu kekeh. Dia tetap mau pada keinginannya untuk membeli Skala mainan yang banyak agar mendapat perhatian dari anak kecil itu—putranya sendiri."Angel, please. Beri saya kesempatan. Saya ingin menjalin hubungan baik dengan putra saya sendiri," balas Damian.Angel membocorkan Damian lekat. Tidak ada senyuman yang menghampiri dirinya. Lalu Angel bertanya, "Kenapa kamu bisa percaya kalau skala anak kamu? Bahkan kamu belum buktiin itu semua.""Tidak ada lagi yang perlu dibuktikan. Maaf, saya pernah hampir memaki. Saya begitu menyesal. Apa di sini sakit?" Damian menyentuh hati Angel. Malaikat hanya diam. Damian menatapnya dengan sendu, lalu memeluknya erat. "Beri saya kesempatan untuk memperbaiki semuanya.""Ja
Damian membuka matanya yang begitu terasa lengket. Dia masih mengantuk, tetapi cahaya matahari membuatnya harus bangun sekarang. Damian bangun. Kepalanya terasa begitu berat. Bahkan Damian memukul pelan kepalanya. Dia mengingat-ingat kejadian semalam. Saat sepenuhnya Damian sadar, laki-laki itu langsung berdiri dan berbalik menatap kasurnya.Ini bukan kasurnya? Benarkah dia ada di tempat Angelia? Seingat Damian, semalam dia pergi ke bar dan mabuk saat perjalanan pulang."Kalau Anda benar-benar tulus dengan Angelia. Saya akan memberi tahu di mana dia." Fanya akhirnya memberi peluang Damian untuk menebus kesalahannya."Ya, saya benar-benar tulus padanya," kata Damian.Fanya duduk. Dia menulis alamat di mana Angel tinggal selama ini. Lalu, Fanya memberikan sobekan kertas itu pada Damian. "Saya minta Bapak jaga Angelia. Ingat, Pak. Sesuatu yang salah tidak kemungkinan bisa dimaafkan. Sa
Damian tidak menerbitkan senyuman sependek pun pada pegawainya di kantor. Sejak dia masuk, dia hanya berjalan angkuh dan melirik begitu tajam pada mereka yang justru sibuk memandangi penampilannya. Cih, begitu membuat Damian risih."Maaf, Pak. Ada satu berkas yang dari kemarin belum Bapak tanda tangani juga. Berkas itu sangat penting. Jika Bapak tidak menandatangi segera, kantor ini akan kehilangan untung besar.""Kamu sedang mengajari saya?" Fanya terlonjak saat Damian bertanya padanya. Yang justru pertanyaannya, membuat Fanya ketakutan. Tatapan Damian seakan membunuhnya. Sialan. Jika bukan bosnya saja, Fanya sudah melemparkan tatapan yang sama. Melayangkan satu pasang sepatu yang dirinya pakai. Modal bos saja sombong sekali. Padahal dulu, banyak karyawan yang memujanya. Baik dari mana eh? Fanya bahkan akhir-akhir ini hanya dibentaknya saja."Ma-maaf, Pak. Saya hanya sekadar bicara. Kalau begitu ini be
Damian mengambil kertas yang sempat jatuh tadi. Tanpa basa-basi, dirinya langsung merobek habis hingga tidak tersisa. Damian tidak menginginkan ini.matanya basah, pipinya digenangi air. Hatinya sesak, mengapa dia juga menjadi orang yang menghancurkan segalanya? Dia jahat?Damian terduduk, mencengkeram kertas hancur itu dan berteriak. Wajahnya memerah, dia marah. Bukan kepada orang lain. dirinya sendiri yang begitu bodoh. Bahkan Damian berpikir dia seperti tidak punya akal.Damian segera mengambil ponselnya. Dia menelepon anak buahnya yang sampai sekarang tidak menemukan dua orang saja. Tidak mungkin Angel pergi jauh, atau keluar dari negara ini. Dia punya apa? Itu hanya sebatas asumsi Damian saja."Bagaimana? Sudah kalian temukan?" Damian bersuara sangat berat. Laki-laki itu memberikan waktu tiga hari lagi untuk menemukan Angelia juga Skala. Kalau sampai hari itu, belum juga ditemukan. Damian akan mencarinya send
"Asal kamu tahu. Anak yang kamu anggap tidak diinginkan ini. Anak kamu, Mas! Darah daging kamu sendiri!"Damian seperti dipukul palu yang begitu besar. Tubuhnya seakan tersengat listrik. Telinganya seakan tersumbat air yang diminta untuk mengulangi suaranya lagi agar jelas. Melihat Angelia yang berderai air mata, Damian enggan bergerak. Dia tetap diam, tubuhnya seperti membatu.Sementara, Angel. Napasnya tidak teratur, dia ikut marah saat anaknya disebut sebagai anak ... Angel tak kuasa mengingatnya lagi. Mendengarkannya lagi. Itu terlalu menyakitkan. Sungguh. Angel tidak bisa. Perempuan itu mengelap air matanya, lalu mengeratkan gendongannya pada Skala yang hanya diam saja. Mungkin, putranya itu dibayangi rasa kantuk meski sempat sadar akan percekcokan antara orang tuanya."Untuk apa aku di sini kalau tidak dihargai. Aku memang manusia penuh dosa, Tuan Damian. Tapi, apa dirimu juga bisa disebut manusia
Minggu pagi, Angelia mengajak Skala pergi ke gereja untuk beribadah. Cuacanya begitu cerah. Oleh karena itu, setelah dari gereja, Angel akan mengunjungi Yolanda.Angel berdoa begitu khusuk. Setiap minggunya selalu dengan doa yang sama. Meminta berkat Tuhan agar kehidupannya bahagia. Tidak ada lagi kesedihan. Berharap, Skala putranya bisa membuat Damian sadar dan kembali menjadi seperti dulu.Skala menatap Angel yang hanya diam saja sambil menautkan kedua tangannya. Hal itu dilakukan sama oleh Skala. Dia tidak tahu menahu soal ini, hanya memejamkan mata saja dan menggerakkan bibirnya."Skala." Angel sudah duduk sejajar dengannya. Skala membuka matanya, lalu mencium pipi Angel. "Mommy ngapain tadi?" tanya Skala."Berdoa. Bukankah Skala juga ikut berdoa tadi?"Skala menggeleng polos. "Tidak. Skala hanya ikut-ikutan mommy saja. Kalau begitu doa mommy apa?"&nbs