Angelia. Di London namanya benar-benar sudah tidak disebut lagi oleh semua orang. Damian tidak pernah mendengarnya, Damian tidak pernah melihatnya. Bahkan, yang paling mengejutkan Damian. Ketika mengajak Delvira mengunjungi Skala, rumah itu sudah dikontrakkan oleh orang lain. Wanita itu benar-benar seperti orang yang tak sengaja bertemu di jalan. Damian bertanya pada Yolanda, pada teman-temannya yang lain. Nihil. Semua seolah menutup mulut. Layaknya mereka memang orang-orang yang tak saling mengenali.
Sudah satu bulan, Damian menjalani kehidupannya yang baru bersama istri tercintanya—Delvira. Meski Delvira tidak seperti wanita di luaran sana, tetapi Damian begitu bangga. Setidaknya, Delvira tidak manja. Untuk memakaikan dasi, memberi nasi dan lauk di piring Damian, serta hal-hal sederhana lainnya masih ia lakukan sebagaimana istri sebenarnya. Satu bulan, pernikahannya, Damian dan Delvira belum berhubungan. Delvira menolak untuk melakukannya, lantaran dia b
Selesai. Angel menatap ruangan luas hotel yang keluarga Rajendra sewa untuk pernikahan putra tunggalnya. Indah, tetapi tidak dengan hati Angel yang terus membara seperti api yang sengaja dihidupkan di tengah-tengah bensin. Iya, dia gadis yang sekarang menyandang status sebagai istri dari Damian Rajendra. Tidak—Bukan karena cinta—Tetapi hanya untuk membalaskan dendamnya. Kepulangannya mendadak, hatinya hancur, tahu kertas yang sengaja ditaruh di air lalu diremas-remas? Seperti itulah keadaannya. Pamannya mengabarkan orang tua Angel meninggal karena kasus pembunuhan. Pamannya memberi tahu semuanya, Angel mendidih, ingin sekali melakukan hal yang sama dengan apa yang mereka lakukan kepada keluarganya. Satu cara, kebetulan keluarga Rajendra tengah mencari jodoh untuk anaknya. Dasar orang kaya, zaman sudah modern, tetapi perjodohan bak Siti Nurbaya masih saja berlaku. Dengan kecerdasannya, seorang Angelia Yofanka menyewa orang tua gadungan untuk datang ke rum
Angel mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan mansion yang baru saja ia tapaki setelah pergi bermalam di hotel. Senang? Jelas, karena ini permulaan untuknya balas dendam. Pakaiannya hari ini adalah levis biru dongker panjang sobek bagian lurus dengan atasan kaus dipadukan kemeja kotak-kotak yang ia tali bagian bawahnya. Mungkin semua orang akan mengira Angel adalah preman pasar yang akan malakin orang-orang. Sengaja, itu maunya. Angel mengangkat bibir kirinya ke atas. Dia tahu, banyak keluarga Damian tidak menyukainya. Jelas, ketika melaksanakan perjodohan, ada dua perempuan, lebih cantik, dan sopan, terutama baik, tetapi inilah kenyataannya. Angel yang kini menjadi istri Damian. Mungkin juga ayahnya setuju karena dia kaya. Munafik memang, lihatlah tidak ada sesi penyambutan. Rasanya Angel sedang berada di ruang penuh AC. Hawanya dingin, persis saat mereka menatap datar Angel. Bodo amat siapa yang peduli? Angel hanya mengangkat kedua bahunya lalu ber
Angel mengenakan dress yang ketat warna hitam tentu itu akan mencuri perhatian banyak orang. Iya, malam ini Angel setuju menemui Gerald di sebuah klub malam yang ada di sana. Tanpa izin Damian? Benar sekali, lagi pula pria itu belum pulang dari kerjanya.Angel menyelop kakinya di sepatu hak tinggi, itu akan memudahkannya interaksi dengan orang-orang yang bertubuh lebih tinggi darinya.Sejujurnya ini akan sulit, tapi bukan Angel namanya jika tidak tahu. Dia akan lewat pintu belakang, Gerald sudah menunggunya di gerbang belakang. Sulit, iya, tetapi jika Angel memilih lewat depan akan berdampak buruk dengan ribuan pertanyaan orang-orang.Sial! Angel jatuh. Gadis itu melihat lututnya. Berdarah. Ck, inilah akibatnya jika melompat dari jendela. Lututnya luka sedikit, Angel tidak peduli.Gerald Pamungkas. Laki-laki itu langsung memeluk Angel. Begitu merindukan gadisnya. Sudah tahu hubungan merek
"Kamu lapar?" Angel merutuki perutnya yang baru saja berguncang hingga terbawa angin, siap didengarkan oleh orang di dekatnya. Sial, dia baru saja terpaksa duduk di mobil Damian. Ya, terpaksa, kakinya sakit, tidak mungkin menunggu taksi sudah malam, lebih baik begini bukan? Bodohnya perut satu ini tidak bisa diajak kompromi. Bergemuruh, membuat Angel mau tidak mau menahan malu."Nggak! Apa si, telinga lo bermasalah itu!" Angel sudah seperti maling yang tertangkap basah, tetapi enggan menjawab sekedar 'iya' pada Damian. Ya, karena malu itu!"Nggak, saya dengar suara demo dari perut kamu. Ngomong-ngomong, nasi goreng yang saya buatkan kamu makan kan?""Nggak, gue kasih anjing di depan rumah. Nggak enak, lo kasih ke gue," alibi Angel. Malu hanya sekedar mengakui jika ia memakannya."Lantas kamu makan apa?""Lo kepo banget si. Tau gini gue cegat taksi di depan!"
"Tidur saja duluan, saya harus urus pekerjaan dulu.""Siapa juga yang mau nungguin lo begadang? Jangan macem-macem ya pas gue lagi tidur!" Angel menunjuk Damian sambil melotot."Iya, Sayang. Apa yang tidak buat kamu?" Angel melotot. Dirinya langsung menutupi tubuh dengan selimut membaringkan tubuh ke kiri membelakangi Damian.Sungguh Angel belum tidur. Dia benar-benar ingin mencakar, atau bahkan menusuk punggung Damian dari belakang. Sudah beberapa hari di sini, tetapi gerakannya belum juga terlaksana."Kalau kamu belum ngantuk jangan paksain tidur. Mending buatkan kopi untuk saya. Gulanya sedikit saja, saya tidak suka terlalu manis."Angel menyibak selimut dengan kasar. Ketahuan juga keresahannya sejak tadi yang tidak kunjung tidur. Dia menyatukan alisnya sambil memajukan bibir. "Ciah, siapa juga yang mau buatin kopi buat lo? Buat sendiri, manja banget. Gue tu ngantuk,
Angel berdiri tepat di sebuah ruangan musik milik keluarga Rajendra. Megah, bahkan ruangan ini terbuat dari kaca. Ditumbuhi tanaman bunga hias, setiap malam atapnya akan selalu dibuka untuk menampilkan deretan-deretan bintang juga sinar rembulan.Pintunya terbuka. Angel memelankan langkahnya. Ini klasik, tetapi unik. Ada gitar, biola, piano, bahkan sepatu balet. Angel bertanya, siapa yang menyukai balerina?Tatapannya jatuh pada piano di tengah ruangan. Malam ini begitu cerah, di bawah sinar rembulan dan gemerlap bintang Angel membuka penutup piano.Memainkannya dengan hati. Angel sangat menyukai musik. Ini mengingatkan dia tentang orang tuanya. Papanya menyukai musik, dan ibunya yang akan bernyanyi.Tanpa sadar, air mata Angel jatuh. Ini sulit, dia begitu membenci kematian orang tuanya yang begitu nahas itu. Dibunuh hanya karena tahta. Menjijikan!"Kamu begitu lihai me
Angel meraba benda yang melekat di dahinya. Kain lipat, Angel membuangnya. Kepala gadis itu pusing, terpaksa bangun karena cahaya matahari sudah menyilaukan. Menatap sebuah baskom berisi air di atas nakas. Siapa yang mengompresnya? Apa Damian?"Angel, sudah bangun?" Damian tiba-tiba saja datang dari arah kamar mandi."Aaaaa!" Angel berteriak menutup wajahnya. Damian datang hanya dengan lilitan handuk bagian bawahnya. Kurang ajar!"Lho, kamu kok teriak. Ada yang aneh sama saya?" Damian berdiri kikuk. Melihat istrinya yang justru tetap memilih menutupi wajahnya."Aneh banget! Lo kenapa nggak pake baju si? Mau pamer badan sama gue?" Angel berucap sambil menutup rapat matanya.Damian geli sendiri. Dia malah berjalan mendekat pada Angel. Tanpa ragu, Damian mengecup pipi Angel lalu pergi.Angel terkesiap. Dia melotot saat merasakan ada bibir yang menemp
Angel memainkan pisau lipat yang ia sembunyikan di dompetnya. Senyum gadis itu terlihat bahagia, bahkan wajahnya nampak berseri-seri.Pisau itu ia goreskan di lengan kirinya. Nampak darah keluar, tetapi Angel malah tertawa. "Darah dibalas darah. Begitu juga keluargamu Damian. Darah orang tuaku akan segera terbalaskan!""Angel sedang apa kamu?" Angel tersentak. Dirinya melempar pisau itu asal, lalu menyembunyikan kanan kiri yang terluka.Damian tiba-tiba saja datang dan mengejutkannya. Laki-laki itu memicingkan mata, gelagat Angel nampak mengherankan."Angel?" Damian mencoba memanggil Angel yang tidak menjawab pertanyaannya."Ah, apa?""Saya tanya sedang apa kamu? Di bawah semua orang sudah menunggu," ujar Damian diselingi pertanyaan yang sama."Ungh, gue lagi siap-siap. Lo kenapa ke sini si? Tanpa lo jemput juga gue dateng!"