Angel meraba benda yang melekat di dahinya. Kain lipat, Angel membuangnya. Kepala gadis itu pusing, terpaksa bangun karena cahaya matahari sudah menyilaukan. Menatap sebuah baskom berisi air di atas nakas. Siapa yang mengompresnya? Apa Damian?
"Angel, sudah bangun?" Damian tiba-tiba saja datang dari arah kamar mandi.
"Aaaaa!" Angel berteriak menutup wajahnya. Damian datang hanya dengan lilitan handuk bagian bawahnya. Kurang ajar!
"Lho, kamu kok teriak. Ada yang aneh sama saya?" Damian berdiri kikuk. Melihat istrinya yang justru tetap memilih menutupi wajahnya.
"Aneh banget! Lo kenapa nggak pake baju si? Mau pamer badan sama gue?" Angel berucap sambil menutup rapat matanya.
Damian geli sendiri. Dia malah berjalan mendekat pada Angel. Tanpa ragu, Damian mengecup pipi Angel lalu pergi.
Angel terkesiap. Dia melotot saat merasakan ada bibir yang menempel di pipinya baru saja. "Damian lancang lo ya!" Angel berteriak.
"Tidak lancang, saya hanya mengecup pipi istri sendiri, nggak salah," jawabnya santai sembari mengancingkan kemejanya.
Angel mengumpat. Berbicara kotor pada Damian. Bisa-bisanya, dia berani menyentuh pipi Angel. Angel turun dari ranjang dan berlalu ke kamar mandi. Memercikkan air, membasuh kasar pipinya agar bekas Damian hilang.
"Damian, laki-laki berdarah pembunuh lancang sekali dirimu!" Angel terus menggosokkan pipinya. Seperti benar-benar noda bagi Angel.
Selesai. Angel keluar. Tidak ada Damian, ke mana dia? Angel mulai berjalan, tiba-tiba pendengarannya mendengar sesuatu. Dari arah balkon. Angel mendekat, itu suara Damian.
"Jangan sampai orang tahu siapa saya. Pastikan mereka tetap mengenal saya seperti biasanya. Jaga rahasia ini, kalau tidak. Kamu saya pecat!"
Angel menutup mulutnya. Matanya menerawang tajam, mungkinkah Damian akan melakukan hal jahat lagi? Tapi, dengan siapa?
Angel melamun, sampai tidak sadar Damian berada di hadapannya. "Sedang apa kamu berdiri di sini?" Angel tersadar. Kini tatapannya beralih pada mata Damian yang terasa menusuk. Bahkan suaranya begitu dingin. Auranya juga seperti Angel tidak mengenali siapa Damian yang selalu meringis terus.
"Saya tanya. Kenapa berdiri di sini? Kamu sedang menguping pembicaraan saya di telpon?" tanya Damian lagi. Angel mundur, dia menyelipkan rambut kecilnya di belakang telinga. Dia gugup.
"Gu-gue berdiri doang cari angin. Memang salah!" alibi Angel. Damian tetap berjalan maju mendekati Angel.
"Tidak sopan menguping pembicaraan orang lain." Berucap seperti itu Damian langsung pergi tanpa pamit. Angel bisa bernapas. Dia memegang jantungnya yang berdegup kencang saat Damian tiba-tiba berubah seperti vampir yang akan menghisap darahnya. Euh, ngeri sekali!
"Apa si, nggak jelas lo!" Angel menendang angin. Dia kesal, terlihat seperti orang ketakutan tadi. Sialan, laki-laki itu benar-benar satu orang yang punya banyak kepribadian. Dikit-dikit meringis, cengar-cengir, dikit-dikit dingin. Manusia apa sebenarnya dia?
***
"Ada apa?" Angel menatap datar pada laki-laki di depannya. Dia bersedekap dada, lalu berujar kembali, "aku tidak punya banyak waktu."
"Maaf untuk hal menjijikkan yang seharusnya tidak pernah ada di otakku malam itu. Aku menyesal." Laki-laki itu Gerald. Kini dirinya memberikan ucapan maaf dengan sebuket bunga mawar. Tentu Gerald tahu, ini kelemahan Angel. Gadis itu penyuka bunga mawar. Apalagi merah dan biru. Itu benar-benar favoritnya.
"Apa ini? Tengah membujukku?"
Gerald tertawa, ketika melihat Angel akhirnya luluh. Dia menerima buket itu. "Maafkan aku. Aku benar-benar menyesal. Hubungan kita tetap berjalan kan, Sayang?"
"Em, itu begitu fatal, Ge. Bisakah aku percaya kamu tidak lagi melakukan itu?" tanya Angel.
Gerald mengangguk. "Percayalah. Aku berjanji tidak lagi melakukan itu. Aku akan setia menunggumu. Kamu tidak akan mencintai suamimu itu bukan?"
"Tidak akan pernah. Dia yang membunuh orang tuaku. Mana mungkin aku lebih memilih cinta darinya daripada mereka? Lagi pula paman sudah punya rencana untukku."
"Ungh, apa itu?" tanya Gerald.
"Paman minta aku harus melakukan ...." Angel menerangkan semuanya apa yang ia bicarakan pada pamannya beberapa hari yang lalu.
Gerald mengangguk. Lalu menggenggam tangan Angel. "Aku tidak bisa membantumu. Jangan khawatir, aku akan mendoakan mu. Besok aku harus kembali lagi. Kamu mau mengantarku?" tanya Gerald.
"Boleh. Ngomong-ngomong aku belum memaafkan dirimu!" Angel tertawa, dia menjulurkan lidahnya pada Gerald yang kini mengejar dirinya.
"Ada kedai es krim, kupikir kamu menyukai stroberi dan coklat!" Gerald berteriak. Membungkuk mengatur napasnya ketika melihat Angel berhenti ketika mendengar teriakannya mengenai es krim.
"Belikan aku lima mangkuk. Aku akan memaafkan mu!" balasnya dengan teriakan.
***
"Malam-malam begini, baru pulang. Kamu dari mana saja?" Damian berdiri di depan pintu. Seperti ayah yang tengah memergoki anaknya pulang larut malam bersama kekasihnya.
"Main sebentar. Kenapa, lo mau ngatur-ngatur gue?" Angel menatap sengit. Dirinya hendak melengos pergi, tetapi Damian mencekal lengannya.
"Dengan laki-laki itu lagi?" tanya Damian.
"Ya, dia pacar gue. Bukannya lo belum terlalu tua buat pikun ya? Ck ck makanya kerja mulu si!"
"Saya suami kamu kalau kamu lupa. Tidak ada yang boleh berpacaran ketika sudah menikah," ujar Damian.
"Lah kok ngatur? Ini kan udah jadi kesepakatan kita. Lo juga boleh kok pacaran. Mau satu, dua, bahkan tiga perempuan sekaligus."
"Kenapa kamu enteng sekali bicara seperti itu?"
"Karena lo nggak penting. Suami cuma status aja, Bapak Damian terhormat. Udah deh, jangan sok jadi suami beneran!"
"Saya memang suami kamu!"
"Lo kok bentak gue si?"
"Angel, hati saya sakit. Sungguh. Sepertinya alasan kamu membenci saya tidak hanya sekedar perjodohan."
Angel tersenyum mengejek. Lalu bertanya, "Lah punya hati lo? Gue pikir nggak. Udah ah, gue ngantuk. Jadi laki nggak boleh cerewet malu sama pisang!" Angel melengos pergi. Sedang Damian memilih berdiri di tempatnya.
"Saya tidak tahu apa alasan kebencian kamu pada saya, Angel. Tapi bukan itu yang jadi pertanyaan saya. Saya selalu bertanya. Kenapa saya bisa mencintai kamu? Bahkan sejak dulu."
"Sejak dulu? Gue bahkan baru kenal sama lo, Damian," beo Angel.
"Ada satu hal yang harus saya cari tahu."
"Soal?"
"Kamu penasaran ya bertanya pada saya?"
"Dih, orang gue cuma tanya doang. Salah siapa kalau ngomong banyak ngelanturnya!"
Di kamar, Damian menggelar karpet untuknya tidur. Dia sudah berjanji tidak akan tidur seranjang dengan Angel. Ya, tidak apa, setidaknya istrinya itu tidak akan merasa kedinginan dan kesakitan tidur di lantai.
"Mimpi indah. Kamu tahu, aku cemburu lagi melihatmu dengan laki-laki yang disebut pacar itu. Bisakah aku melenyapkannya dari bumi agar kamu berpaling darinya?"
Angel belum tidur sepenuhnya. Dia mengumpat dalam hati. Sialan. Dasar psychopath! Kalau hobinya membunuh begini, Angel tidak heran. Bahkan mereka dengan bangganya membunuh dua orang yang Angel sayang demi sebuah harta yang bahkan tidak akan mereka bawa mati.
"Saya punya rahasia. Tapi saya tidak ingin kamu tahu walaupun kamu istri saya. Em, sudahlah. Ini kebiasaan baru berbicara dengan orang yang sudah tidur. Selamat tidur, My Angel."
Angel memainkan pisau lipat yang ia sembunyikan di dompetnya. Senyum gadis itu terlihat bahagia, bahkan wajahnya nampak berseri-seri.Pisau itu ia goreskan di lengan kirinya. Nampak darah keluar, tetapi Angel malah tertawa. "Darah dibalas darah. Begitu juga keluargamu Damian. Darah orang tuaku akan segera terbalaskan!""Angel sedang apa kamu?" Angel tersentak. Dirinya melempar pisau itu asal, lalu menyembunyikan kanan kiri yang terluka.Damian tiba-tiba saja datang dan mengejutkannya. Laki-laki itu memicingkan mata, gelagat Angel nampak mengherankan."Angel?" Damian mencoba memanggil Angel yang tidak menjawab pertanyaannya."Ah, apa?""Saya tanya sedang apa kamu? Di bawah semua orang sudah menunggu," ujar Damian diselingi pertanyaan yang sama."Ungh, gue lagi siap-siap. Lo kenapa ke sini si? Tanpa lo jemput juga gue dateng!"
"Angel, saya sulit mengatakan ini, tapi saya diharuskan bicaranya." Angel memutar bola matanya malas. Sejak tadi Damian berbelit-belit tidak langsung ke dalam intinya saja. Membosankan!"Gue nggak ada waktu ya! Lagi pula lo kenapa nggak berangkat kerja si?" Gadis itu berkacak pinggang. Menatap jengkel pada Damian yang justru masih mengenakan pakaian santai."Nah itu masalahnya.""Apa?""Saya ambil cuti untuk tiket honey moon kita."Angel terbelalak. Tiket? Honey moon? Kurang ajar, apa lagi mau Damian ini."Bukan saya yang memesan. Itu anak-anak kantor, saya tidak bisa menolaknya. Tidak lama hanya dua hari satu malam," jelas Damian saat Angel mulai mengeluarkan tanduknya. Napasnya saja sudah menggebu-gebu. Siap-siap deh dapat semprotan lagi."Lo kan bosnya. Sok nggak enakan banget si. Pokoknya gue nggak mau! Udah ada perjanjian di awal s
Sore ini begitu cerah. Udara sejuk dengan angin yang menginginkan balasan sapa dari manusia. Burung-burung kecil berterbangan saling baris menghiasi angkasa. Awan-awan, seperti permen kapas yang disukai anak kecil. Membentang, berjalan saling berpelukan di atas sana.Damian mengajak Angel untuk mengunjungi pantai yang tempatnya tidak jauh dari penginapan yang ia seharusnya pakai untuk berbulan madu. Namun, ini kan bukan kisah percintaan seperti orang lain. Damian harus mengalah, jangankan untuk berbulan madu, untuk mendapatkan sekadar cinta dari Angel saja sangat sulit."Pantainya bagus ya?" Angel dan Damian duduk di batuan karang, mengamati gulungan ombak yang membasahi bibir pantai."Biasa aja. Lo nggak pernah main ke sini ya? Keliatan noraknya," ejek Angel. Namun, yang membuat Angel aneh, adalah Damian. Laki-laki itu malah tersenyum, lalu mengarahkan ponselnya ke pantai. Menekan icon kamera, lalu memotretnya.&nb
Damian menggenggam kotak berisi martabak ketan keju yang baru saja ia beli. Dia banyak bertanya pada sekretarisnya, apa yang membuat mood perempuan itu membaik. Katanya, perempuan identik dengan yang manis-manis. Semoga saja ini berhasil.Iya, Damian dan Angel sudah pulang dari bulan madu yang tidak bisa disebut bulan madu itu. Iya, mereka tetap melakukan hal yang sama di sana. Tidur pisah ranjang, Damian yang selalu mengalah untuk tidur di sofa."Pak, maaf jika saya lancang. Istri Bapak yang waktu itu pernah saya temui ketika kita mau bertemu client?"Damian berdeham, selanjutnya tersenyum tanpa ragu mengangguk. "Iya, dia istri saya. Kenapa?""Saya rasa dia tidak cocok dengan Anda, Pak. Sifatnya bertolak belakang dengan Bapak. Saya cukup terkejut ketika lihat tidak sopannya dia sama Bapak. Terlebih merokok, maaf jika saya berbicara cukup jauh, Pak."Damian memang menga
Malam ini, Angel harus benar-benar bisa melancarkan aksinya. Dia harus mendapatkan rekaman cctv yang sudah pasti diambil terlebih dahulu oleh keluarga Rajendra. Ruangan itu, menjadi tempat tersangka pertama bagi Angel masuk.Bermodalkan senter ponsel, memakai kardigan hitam dengan kupluk yang menutupi kepalanya. Angel keluar menutup pintu dengan pelan, karena Damian sudah benar-benar terlelap dalam tidur.Malam di mansion begitu gelap. Hampir seluruh ruangan dimatikan, ralat bukan hampir, tetapi semua. Bahkan Angel kesusahan untuk melihat. Sudah satu bulan, tidak terasa dia tinggal di sini. Dan parahnya belum mendapatkan apa-apa. Hatinya masih penuh luka belum satupun terjahit dibenahi.Angel, menghela napas berat. Dia menghidupkan senter ponselnya. Lalu berjalan menuruni tangga, ruangan itu ada di tangga sebelah sana. Menyebalkan memang, kenapa tempat seistimewa ini, dan keluarga sekaya ini ternyata didapatkan dar
Hari ini adalah hari yang ditunggu Angel, sebab kejutan yang sudah dijanjikan oleh Damian, lusa lalu. Tidak tahu kenapa, ini justru yang membuatnya menunggu seperti ini. Bahkan sekarang, Angel sering merasa jantungnya berdebar merasa aneh di dalam sana. Bukan cinta, karena Angel tahu betul dia benar-benar ingin membatasinya. Dia bukannya sudah berjanji untuk tetap membenci Damian dan keluarganya sampai kapanpun?Ponsel Angel berdering. Membuat pikirannya yang kosong terpenuhi oleh dengung suara yang ditimbulkan dari sang penelepon.'Halo, Sayang. Minggu depan aku pulang. Parfumnya udah aku beli buat kamu. Seneng nggak?'Gerald, kekasihnya yang menelpon. Angel senang, bahkan dia sudah memposisikan duduk dengan kaki kiri berada di atas kaki kanannya. Bibirnya melengkung sempurna lalu menjawab, "Halo, Ge. Iya seneng kok. Aku jemput ya?"'Emang gapapa sama suami kamu?'"Emang ada urusa
Seperti biasa, Damian meninggalkan note kecil di pintu kulkas. Sudah ada sepiring ketoprak yang ia beli dari mamang gerobak keliling. Mungkin, Damian tidak sempat untuk memasak. Angel baru bangun tidur jam delapan pagi. Kalau saja, dia bukan istri dari orang kaya. Angel sudah pasti dimarahi oleh mertuanya, terlebih mama Damian begitu sinisnya dengan Angel.Bersyukur seharusnya Angel. Makan ada yang masakin, baju ada yang nyuciin, bahkan lantai pun ada yang mengepel kalau Angel sudah malas-malas benar.Melihat ketoprak, membuat Angel hilang selera makan. Entah kenapa dia menginginkan nasi goreng buatan Damian. Padahal rasa ketoprak dan nasi goreng sangat jauh. "Ck, masih mending nggak kelaperan lo, Ngel." Dia bergumam sendiri, lantas menyendok sayuran ke mulutnya.Sekarang, Angel sudah selesai membersihkan diri. Dia mengambil ancang-ancang untuk duduk, sebelum akhirnya dibuat berdiri lagi lantaran ketukan pintu dari
Angel benar-benar mengunci pintu kamar mandi. Menghindar dari Damian. Kurang ajar, dia seperti psychopath sekarang. Mengerikan, senyumnya itu lho, yang membuat Angel parno sendiri. Mengingat perkataan Damian, "Bersiaplah, My Angel." Bukan, bukan jalan pikiran Angel yang kotor. Namun, siapa si yang tidak berpikir sejauh itu kalau keadaan Damian saja mabuk? Tentu, Angel takut jika pikirannya adalah benar. Kalau saja itu terjadi. Angel Pastikan, Damian mati ditempat. Tak peduli bagaimana hidupnya setelah itu di depan keluarga Rajendra. Ini demi harga dirinya.Angel takut. Damian tidak sekalipun menggedor pintu. Namun, gadis itu tetap memilih bermalam di kamar mandi. Untung saja orang kaya memiliki kamar mandi yang luas. Dingin serasa menusuk tulang-tulang Angel. Namun, tidak peduli, dia tetap akan berjaga malam ini. Siapa tahu, Damian nekat dan membobol pintunya. Atau bahkan dia punya kunci serep. Dari pada disuguhi semacam hantu dengan wajah berdarah-darah, Dami
Angelia. Di London namanya benar-benar sudah tidak disebut lagi oleh semua orang. Damian tidak pernah mendengarnya, Damian tidak pernah melihatnya. Bahkan, yang paling mengejutkan Damian. Ketika mengajak Delvira mengunjungi Skala, rumah itu sudah dikontrakkan oleh orang lain. Wanita itu benar-benar seperti orang yang tak sengaja bertemu di jalan. Damian bertanya pada Yolanda, pada teman-temannya yang lain. Nihil. Semua seolah menutup mulut. Layaknya mereka memang orang-orang yang tak saling mengenali.Sudah satu bulan, Damian menjalani kehidupannya yang baru bersama istri tercintanya—Delvira. Meski Delvira tidak seperti wanita di luaran sana, tetapi Damian begitu bangga. Setidaknya, Delvira tidak manja. Untuk memakaikan dasi, memberi nasi dan lauk di piring Damian, serta hal-hal sederhana lainnya masih ia lakukan sebagaimana istri sebenarnya. Satu bulan, pernikahannya, Damian dan Delvira belum berhubungan. Delvira menolak untuk melakukannya, lantaran dia b
Angel memandang surat gugatan cerai yang dirinya kirim pada Damian silam. Awalnya Damian yang bersikukuh untuk tidak menceraikannya, tetapi sekarang, justru menandatangani surat itu. Angel hancur. Apa ini balasan untuk wanita jahat sepertinya? Hidup dalam lubang kepedihan. Kalaupun iya, Angel berharap jangan bawa anak-anaknya. Jangan bawa Skala putra manisnya. Jangan bawa calon bayi mungilnya. Ini sungguh rumit. Tanpa alasan, tanpa penjelasan Damian benar-benar memutuskannya sepihak. Padahal Damian orang yang menyakinkan Angel jika mereka berdua harus memiliki kesempatan kedua. Memperbaiki keadaan. Menjalin hidup bahagia bersama buah hatinya.Hatinya remuk. Sama seperti dadanya yang sesak. Air matanya meluruh begitu saja, membasahi pipi mulusnya. Wajahnya kian pucat akibat hamil muda. Ditambah masalah begini, Angel rasanya ingin mati saja. Sejak di mana Damian mengusirnya mentah-mentah, Angel tak lagi bisa bertemu dengannya. Di kantor, Angel dihadang satpam. Di rumah, ger
Angel membocorkan haru pada alat tes kehamilan yang di genggamnya. Benar-benar tidak percaya jika dirinya akan hamil kembali. Tanpa sadar air jatuh begitu saja. Entah harus bagaimana entah bagaimana. Apa Tuhan ingin mereka memperbaiki keadaan. Di sela-selanya, Angel kabar kabar Damian. Sudah seminggu-laki itu tidak lagi film diri. Seperti hilang ditelan bumi. Malaikat benar-benar tidak tahu dengan perasaannya. Seperti dirinya itu plin-plan. ingin ingin segalanya. Namun sekarang melihat, melihat dirinya mengandung anak Damian kembali, Angel jadi membayangkan mau Damian kemarin. Mau Damian jika mereka memang harus diberi kesempatan untuk berulang kali lagi. Mengulangi hal-hal yang manis tanpa ada racun."Ibu! Apakah kamu baik-baik saja?" Malaikat sampai lupa, Skalanya untuk menunggu di luar sana. Angel melacak air matanya, lalu keluar dari kamar mandi.Dilihatnya bocah mungil itu, berdiri sambil mengemuti permen lolipop. Wajahnya merah kesal k
"Harusnya kamu tidak perlu beli ini semua untuk Skala, Mas." Angel membocorkan banyak sekali mainan yang baru dikirim oleh pekerja Damian. Angel sudah melarangnya. Namun, Damian itu kekeh. Dia tetap mau pada keinginannya untuk membeli Skala mainan yang banyak agar mendapat perhatian dari anak kecil itu—putranya sendiri."Angel, please. Beri saya kesempatan. Saya ingin menjalin hubungan baik dengan putra saya sendiri," balas Damian.Angel membocorkan Damian lekat. Tidak ada senyuman yang menghampiri dirinya. Lalu Angel bertanya, "Kenapa kamu bisa percaya kalau skala anak kamu? Bahkan kamu belum buktiin itu semua.""Tidak ada lagi yang perlu dibuktikan. Maaf, saya pernah hampir memaki. Saya begitu menyesal. Apa di sini sakit?" Damian menyentuh hati Angel. Malaikat hanya diam. Damian menatapnya dengan sendu, lalu memeluknya erat. "Beri saya kesempatan untuk memperbaiki semuanya.""Ja
Damian membuka matanya yang begitu terasa lengket. Dia masih mengantuk, tetapi cahaya matahari membuatnya harus bangun sekarang. Damian bangun. Kepalanya terasa begitu berat. Bahkan Damian memukul pelan kepalanya. Dia mengingat-ingat kejadian semalam. Saat sepenuhnya Damian sadar, laki-laki itu langsung berdiri dan berbalik menatap kasurnya.Ini bukan kasurnya? Benarkah dia ada di tempat Angelia? Seingat Damian, semalam dia pergi ke bar dan mabuk saat perjalanan pulang."Kalau Anda benar-benar tulus dengan Angelia. Saya akan memberi tahu di mana dia." Fanya akhirnya memberi peluang Damian untuk menebus kesalahannya."Ya, saya benar-benar tulus padanya," kata Damian.Fanya duduk. Dia menulis alamat di mana Angel tinggal selama ini. Lalu, Fanya memberikan sobekan kertas itu pada Damian. "Saya minta Bapak jaga Angelia. Ingat, Pak. Sesuatu yang salah tidak kemungkinan bisa dimaafkan. Sa
Damian tidak menerbitkan senyuman sependek pun pada pegawainya di kantor. Sejak dia masuk, dia hanya berjalan angkuh dan melirik begitu tajam pada mereka yang justru sibuk memandangi penampilannya. Cih, begitu membuat Damian risih."Maaf, Pak. Ada satu berkas yang dari kemarin belum Bapak tanda tangani juga. Berkas itu sangat penting. Jika Bapak tidak menandatangi segera, kantor ini akan kehilangan untung besar.""Kamu sedang mengajari saya?" Fanya terlonjak saat Damian bertanya padanya. Yang justru pertanyaannya, membuat Fanya ketakutan. Tatapan Damian seakan membunuhnya. Sialan. Jika bukan bosnya saja, Fanya sudah melemparkan tatapan yang sama. Melayangkan satu pasang sepatu yang dirinya pakai. Modal bos saja sombong sekali. Padahal dulu, banyak karyawan yang memujanya. Baik dari mana eh? Fanya bahkan akhir-akhir ini hanya dibentaknya saja."Ma-maaf, Pak. Saya hanya sekadar bicara. Kalau begitu ini be
Damian mengambil kertas yang sempat jatuh tadi. Tanpa basa-basi, dirinya langsung merobek habis hingga tidak tersisa. Damian tidak menginginkan ini.matanya basah, pipinya digenangi air. Hatinya sesak, mengapa dia juga menjadi orang yang menghancurkan segalanya? Dia jahat?Damian terduduk, mencengkeram kertas hancur itu dan berteriak. Wajahnya memerah, dia marah. Bukan kepada orang lain. dirinya sendiri yang begitu bodoh. Bahkan Damian berpikir dia seperti tidak punya akal.Damian segera mengambil ponselnya. Dia menelepon anak buahnya yang sampai sekarang tidak menemukan dua orang saja. Tidak mungkin Angel pergi jauh, atau keluar dari negara ini. Dia punya apa? Itu hanya sebatas asumsi Damian saja."Bagaimana? Sudah kalian temukan?" Damian bersuara sangat berat. Laki-laki itu memberikan waktu tiga hari lagi untuk menemukan Angelia juga Skala. Kalau sampai hari itu, belum juga ditemukan. Damian akan mencarinya send
"Asal kamu tahu. Anak yang kamu anggap tidak diinginkan ini. Anak kamu, Mas! Darah daging kamu sendiri!"Damian seperti dipukul palu yang begitu besar. Tubuhnya seakan tersengat listrik. Telinganya seakan tersumbat air yang diminta untuk mengulangi suaranya lagi agar jelas. Melihat Angelia yang berderai air mata, Damian enggan bergerak. Dia tetap diam, tubuhnya seperti membatu.Sementara, Angel. Napasnya tidak teratur, dia ikut marah saat anaknya disebut sebagai anak ... Angel tak kuasa mengingatnya lagi. Mendengarkannya lagi. Itu terlalu menyakitkan. Sungguh. Angel tidak bisa. Perempuan itu mengelap air matanya, lalu mengeratkan gendongannya pada Skala yang hanya diam saja. Mungkin, putranya itu dibayangi rasa kantuk meski sempat sadar akan percekcokan antara orang tuanya."Untuk apa aku di sini kalau tidak dihargai. Aku memang manusia penuh dosa, Tuan Damian. Tapi, apa dirimu juga bisa disebut manusia
Minggu pagi, Angelia mengajak Skala pergi ke gereja untuk beribadah. Cuacanya begitu cerah. Oleh karena itu, setelah dari gereja, Angel akan mengunjungi Yolanda.Angel berdoa begitu khusuk. Setiap minggunya selalu dengan doa yang sama. Meminta berkat Tuhan agar kehidupannya bahagia. Tidak ada lagi kesedihan. Berharap, Skala putranya bisa membuat Damian sadar dan kembali menjadi seperti dulu.Skala menatap Angel yang hanya diam saja sambil menautkan kedua tangannya. Hal itu dilakukan sama oleh Skala. Dia tidak tahu menahu soal ini, hanya memejamkan mata saja dan menggerakkan bibirnya."Skala." Angel sudah duduk sejajar dengannya. Skala membuka matanya, lalu mencium pipi Angel. "Mommy ngapain tadi?" tanya Skala."Berdoa. Bukankah Skala juga ikut berdoa tadi?"Skala menggeleng polos. "Tidak. Skala hanya ikut-ikutan mommy saja. Kalau begitu doa mommy apa?"&nbs