***Hansen datang ke butik karena sangat merindukan Sarah. Ancaman yang dikatakan Sean saat itu tak lagi digubris olehnya. Saat ini ia ingin melihat Sarah. Hansen membawa sebuket bunga Gardenia untuk Sarah. Ketika ia membuka pintu ruang kerja wanita itu, senyumnya yang tadi terus mengembang sirna seketika saat yang ia lihat bukanlah wanita yang ia harapkan.“Kamu siapa?” tanya Hansen dengan tatapan tak suka.“Saya Indah, Pak. Manajer baru di sini,” ucapnya ramah.Kening Hansen mengerut. Ia masih belum paham. Apakah Zeline menambah pegawai baru di butiknya? Batin Hansen terus bertanya-tanya.“Mana Sarah?” tanyanya dengan nada ketus.“Oh, Bu Sarah sudah resign, Pak,” jawab Indah pelan.“Apa?!” pekik Hansen, menatap marah ke arah manajer baru itu. “Siapa yang mengizinkannya keluar dari sini?” tanyanya dengan tatapan menakutkan.Manajer baru yang menggantikan Sarah sungguh takut luar biasa dengan kemarahan Hansen. Ia tak menyangka bahwa lelaki yang sering wara-wiri di majalah bisnis maupu
***"Apa?" pekik Nisa terkejut dengan kedua bola mata yang membulat."Biasa aja, teriakanmu itu membuat orang melirik ke arah kita," Sarah berdecak kesal."Aku kaget, kenapa harus di Jepang? Kamu mau ngadain pesta juga di sana? Wow, menikah dengan pebisnis seperti Kevin memang sangat menakjubkan," kagum Nisa."Di sana enggak ada pesta, cuma akad saja.""Masa cuma akad aja sampai semingguan di sana?" tanya Nisa penasaran."Kan di sana bukan hanya acara akad nikahku saja. Zeline dan Bastian mau mengadakan pesta pertunangan, dan Shopia juga sekalian berlibur," tutur Sarah.Raut wajah Nisa yang antusias berubah menjadi datar. Sarah langsung melirik ke arah Nisa, merasa bersalah karena menyebut nama Bastian di depannya. "Tapi jika memang kamu ada keperluan lain, aku tak masalah kamu tak datang juga. Beneran!" Sarah mencoba meyakinkan."Aku akan datang dan aku harus menjadi orang pertama yang melihat senyum bahagiamu setelah akad terucap," balas Nisa sambil tersenyum tulus."Tapi--""Tapi a
Sang waktu seolah memanggil, mengabsen luka dan memaksa untuk mengingatnya. Kenangan pun ikut tertawa, seolah meremehkan kesedihan yang menjadi mimpi buruk bagiku. Aku ingin melepas jerat itu yang selalu hadir saat aku memejam mata, aku ingin menghapusnya agar tidurku tak lagi bernyanyikan air mata.”***"Di sini sangat sepi, apa kehidupan manusia sebenarnya memang seperti ini?" gumam Sarah sambil menatap langit malam. Ia terbangun, mimpi buruk lagi. Mimpi yang sejak di panti asuhan sering ia alami itu kini kembali hadir, dengan rasa sesak luar biasa di hatinya dan kesedihan yang tak ia pahami asalnya.Sarah tak bisa menebak apa isi mimpinya, hanya ada suara teriakan, tangisan, dan ledakan. Selain itu, ia tak mengingat apa-apa. Sarah membencinya, ia tak mau mengingat mimpi itu."Apakah itu hanya bunga tidur dan sekedar mimpi? Kenapa mimpi itu kembali lagi dan kenapa harus sama persis dengan mimpiku yang dulu? Apakah aku melupakan sesuatu di ingatanku?” lirihnya.Semakin ia memaksa unt
***"Sayang, sini! Sarapannya sudah siap," panggil Sarah.Kevin menghampiri wanita itu yang sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi untuknya."Bagaimana, tidurmu nyenyak kan?" tanya Kevin sambil duduk mengambil sarapannya.Sarah mengangguk. "Sangat nyenyak dan tidak mimpi buruk lagi. Sepertinya kamu harus selalu ada di sampingku," jawab Sarah dengan senyum merekah."Sebentar lagi kita akan tidur bareng terus. Aku bahkan akan menguncimu di dalam kamar nantinya," Kevin mengedipkan sebelah matanya."Mana bisa setiap hari kita tidur bareng terus? Setelah kita menikah, bukankah kamu harus tinggal di Singapura?" tutur Sarah sambil memanyunkan bibirnya."Kamu harus ikut ke mana pun denganku. Kamu kan sudah tidak bekerja, aku ingin terus di dekatmu.""Tidak," balas Sarah cepat, membuat Kevin melirik ke arahnya."Kenapa?" tanya Kevin dengan tatapan penuh tanya."Kalau aku ikut kamu ke Singapura, nanti Shopia di sini sama siapa?" Sarah menjelaskan alasannya dengan singkat."Ada Zeline," jawab Kev
***Sean menghancurkan kamera seorang lelaki yang dari tadi membuntuti Kevin dan Sarah. Wajah lelaki itu kini babak belur dihajar oleh Sean."Sekali lagi kamu tak mengakui siapa kamu, bukan hanya kamera ini saja yang hancur tapi kamu juga akan bernasib sama," ancam Sean membuat lelaki itu gemetar ketakutan."Saya... saya hanya wartawan infotainment," lelaki itu menjawab dengan gugup.Sean tentu saja bukan manusia bodoh yang gampang percaya dengan satu alasan itu. Ia sangat pintar dan juga tahu gerak-gerik orang yang sedang berbohong.Sean menarik kerah kemeja lelaki itu dan dengan penuh amarah berkata, "Aku tahu kamu bukan wartawan. Dalam waktu tiga puluh menit aku bisa menghancurkanmu, dan besoknya keluargamu akan ikut menyusulmu," ancam Sean dengan senyum seringainya.Ancaman Sean membuat lelaki itu ketakutan. Ia sadar bahwa itu bukan ancaman kosong. Lelaki itu bisa merasakan aura monster yang tak punya hati ketika melihat sosok Sean."A-aku hanya disuruh saja," ucap lelaki itu deng
Sudah lama mendung menyelimuti langit bahagiaku. Aku lupa bagaimana pelangi datang dan bagaimana matahari bisa membuat hariku cerah. Aku hanya mengumpulkan luka, menjadikannya pekat. Aku tak ingin membuka kembali ingatan luka masa lalu, karena itu hanya membuat aku meragukan tujuan hidupku.***Hansen menerima banyak panggilan telepon hari ini, dan banyak wartawan menunggu di depan rumahnya. Beredar bukti bahwa Hansen memiliki bisnis ilegal yang merugikan negara dan keterlibatannya dalam kasus suap pada pejabat lima tahun lalu agar memenangkan proyek di Bali. Bahkan, kisruh keluarganya pun ramai tersebar, termasuk terkuaknya wajah ibu kandungnya. Hal ini membuat Hansen semakin gelisah.Hansen tak ingin siapapun mengusik ibunya, tidak mau ibunya jadi bahan konsumsi publik. Pintu kamarnya diketuk, asistennya masuk dengan wajah tegang."Ada apa?" tanya Hansen, seolah mengerti ada hal berat yang akan disampaikan."Harga saham kita anjlok, Tuan. Ayah Tuan di Inggris terus menghubungi saya,
***Sean terus saja berdiam diri, tak menggubris semua panggilan masuk yang terus berdering. Ia telah merapikan semua dokumen informasi tentang Sarah dalam satu map untuk diserahkan pada Kevin.Sean menghela napas berat ketika melihat sebuah nama tertera di layar ponselnya. Nama yang membuatnya menangis lagi, menangis karena kerinduan yang dulu sangat ia benci untuk merasakannya.Sean tak menggubris panggilan masuk dari wanita itu, ia sungguh tak sanggup untuk saat ini bertemu dengan wanita itu meski hanya mendengar suaranya. Ia mematikan ponselnya dan memutuskan akan ke Jepang hari ini. Ia ingin semuanya jelas dan bertanya pada Isamu. Sean tahu pasti Ojisan-nya itu mengetahui fakta dan jawaban dari semua pertanyaannya."Saat ini aku tak ingin bertemu denganmu, maafkan aku. Tapi, aku akan menjagamu meski aku jauh darimu. Aku akan menempatkan seseorang untuk memantau dan melindungimu," lirih Sean dengan menitikkan air mata.Di Penthouse, Sarah terus menghubungi Sean. Lelaki itu hari in
***Sarah menatap layar televisi tanpa berkedip. Hansen kini menjadi topik hangat pemberitaan. Ia terus menyimak berita itu dengan serius. Hansen tak menjawab setiap pertanyaan dari wartawan, hanya membalas dengan senyuman. Namun, ketika ada wartawan yang menanyakan perihal ibu kandungnya, senyumannya berubah menjadi amarah.Sarah merasa terenyuh, bukan karena kemarahan yang ditunjukkan lelaki itu, tetapi ada kesedihan di sorot matanya.Sarah tak bisa berbuat apa-apa, hanya mendoakan semoga semuanya baik-baik saja. Lift terbuka dan Kevin masuk menghampiri Sarah yang masih tidak sadar akan kedatangannya."Sayang," sapa Kevin, membuat Sarah menoleh ke arahnya dan terperanjat kaget."Kenapa kamu sudah datang?" tanya Sarah dengan polosnya.Kevin mengernyitkan kening, merasa aneh dengan pertanyaan Sarah. "Kamu tidak suka aku datang?""Suka! Tapi tumben kamu datang bukan di hari Sabtu?" tanya Sarah."Karena aku khawatir sama kamu.""Khawatir kenapa? Kan ada Sean yang menjagaku," ujar Sarah.