Mobil yang dilajukan oleh Sean mulai memasuki sebuah halaman parkir rumah yang ditempati oleh Mateo dan Miracle selama ada di Jakarta. Saat mobil sudah terparkir, Sean turun dari mobil dan segera masuk ke dalam rumah. Tampak para pelayan dan penjaga menundukan Sean yang baru saja masuk ke dalam rumah.“Selamat siang, Tuan Sean,” sapa sang pelayan dengan sopan.“Di mana Mateo dan Miracle?” tanya Sean dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Nyonya Miracle sedang pergi bersama dengan Nyonya Besar Marsha, Tuan. Kalau Tuan Mateo sedang berada di halaman belakang tengah latihan menembak,” jawab sang pelayan mememberitahu dengan sopan.Sean terdiam sejenak mendengar ucapan sang pelayan. Ya, berlatih menembak memang hobby Mateo bersama dengan Miracle. Baik adik perempuannya atau adik iparnya itu sama-sama memiliki hobby berlatih menembak“Aku akan menemui Mateo,” tukas Sean dingin.“Baik, Tuan.” Sang pelayan menundukan kepalanya kala Sean mulai melangkah menuju halaman belakang.Saat Sean m
Sean duduk di kursi kebesarannya dengan pikiran yang menerawang ke depan. Ya, sejak di mana Sean bertemu dengan sosok wanita paruh baya yang bernama ‘Helga Garcia’ membuat Sean seakan tak henti memikirkan wanita itu. Ditambah dengan ucapan Mateo—adik iparnya yang mengatakan pernah mendengar nama ‘Garcia’ yang seperti memiliki hubungan dengan Walter Group. Sean benar-benar seperti merasakan berada di sebuah labirin yang tak memiliki petunjuk sama sekali. Ada keraguan dalam diri Sean akan bisa dengan mudah memecahkan semua ini dengan mudah. Pasalnya Sean tahu, jika Tomy—asistennya itu mengalami kesulitan luar biasa maka ada sesuatu dibalik ini semua. Artinya memang ada yang menutupi semua ini.Hal yang membuat Sean curiga adalah ketika Helga meminta tanda tangan Stella. Sebuah dokumen yang tertuliskan dengan menggunakan Deutsch. Rasanya tidak mungkin ada sebuah perusahaan yang sedang tidak berada di negara asal perusahannya itu sendiri menggunakan bahasanya sendiri. Jelas, harusnya jika
“Stella, hari ini aku ada meeting pemegang saham. Kau berangkat kuliah bersama sopir. Aku tidak bisa mengantarmu.”Suara Sean berucap seraya menatap Stella yang tengah membetulkan dasinya yang kurang rapi. Sesekali Sean mencium kening Stella. Istrinya itu begitu cekatan dalam mengurusnya.“Iya, Sayang. Aku mengerti kesibukanmu.” Stella menepuk pelan dada Sean kala dirinya sudah merapikan dasi yang suami. “Nanti aku akan berangkat bersama sopir.”“Apa rencanamu sepulang kuliah? Apa kau ingin pergi?” tanya Sean sembari membelai pipi sang istri.“Hm, aku tidak memiliki rencana apa pun. Chery dan Alika masih izin masuk kuliah. Sedangkan Jenniver sepertinya sedang sibuk bertemu dengan teman-temannya di Jakarta, Sean,” ujar Stella memberitahu.Sean mengangguk singkat. “Kalau begitu pulang kuliah, kau langsung pulang saja. Jangan pergi ke mana-mana.”“Iya, Sean.” Stella mengecup rahang Sean. “Yasudah, lebih baik kita berangkat sekarang, Sean. Aku juga ada kelas pagi hari ini.”“Ya.” Sean men
“Jenniver, aku lupa bertanya Theo ada di mana? Apa Theo sekarang berada bersama dengan ibumu?” tanya Stella seray menatap Jenniver. Ya, kini Stella dan Jenniver tengah berada di dalam mobil. Hal yang pertama kali Stella ingat adalah Theo. Pasalnya kala Jenniver tadi menjemputnya; Jenniver tidak bersama dengan Theo.“Theo sedang diajak main temanku, Stella. Kasihan temanku sudah menikah sepuluh tahun tapi belum punya anak. Jadi setiap kali dia melihat Theo pasti selalu mengajak Theo jalan,” ujar Jenniver yang seketika membuat Stella diam membisu dengan sorot mata yang sulit diartikan.Dalam benak Stella ada rasa iba pada teman Jenniver. Ingatannya langsung berputar pada kehidupannya sendiri. Kala itu dokter mengatakan pada Stella tidak bisa mengandung. Seakan bumi berhenti pada porosnya; Stella benar-benar hancur ketika dokter memvonis dirinya tak bisa mengandung. Stella bahkan merasa tidak pantas untuk Sean yang begitu sempurna. Namun, ternyata takdir berkata lain; ditengah keputusasa
“Meeting kita lanjutkan besok ketika laporan laba perusahaan sudah ada di tanganku.”Sean menutup meeting para pemegang saham. Dia langsung bangkit dari tempat duduknya. Bersama dengan para pemegang saham lainnya yang juga bangkit berdiri. Kini Sean melangkah lebih dulu keluar dari ruang meeting bersama dengan Ken dan Kelvin yang mengikuti Sean. Tampak sang sekretaris memberikan dokumen yang dibutuhkan Sean, dan Sean hanya menerima dokumen itu—lalu meminta sang sekretaris untuk tak mengganggunya.Saat di ruang kerja, Sean tidak hanya sendiri tapi Ken dan Kelvin juga ikut ke dalam ruang kerjanya. Sean yang duduk di kursi kebesarannya sedangkan Ken dan Kelvin duduk tepat di depan Sean. Ya, harusnnya Ken dan Kelvin masih cuti bekerja namun Ken dan Kelvin memilih untuk tetap masuk bekerja karena hari ini adalah rapat pemegang saham. Lagi pula Ken dan Kelvin pun menunda bulan madu mereka. Itu yang membuat mereka memutuskan untuk datang ke perusahaan.“Sean, aku dengar tadi malam Paman Will
“Xian Lim. Saya sudah tahu tentang Xian Lim. Dan saya pun tahu dengan siapa Xian Lim bekerja.”Raut wajah Sean berubah mendengar apa yang diucapkan oleh Tomy. Tampak sepasang iris mata Sean begitu menghunus tajam. Pun sama halnya dengan Ken dan Kelvin yang memberikan tatapan lekat dan dingin pada Tomy. Tatapan yang tersirat jelas menuntut agar Tomy menjelaskan semuanya.“Katakan, apa yang kau ketahui tentang Xian Lim,” tukas Sean dingin, dan penuh ketegasan. Nada bicaranya tersirat tak sabar untuk mengetahui semua informasi yang memang telah lama Sean tunggu.Tomy terdiam sejenak. Dia mengumpulan semua keberanian dalam dirinya untuk menceritakan informasi yang dia dapatkan. Sebuah informasi yang nyaris membuat Tomy terbunuh. Andai tidak ada yang membantunya maka sudah dipastikan Tomy tak mungkin bisa selamat.“Xian Lim adalah orang kepercayaan dari Gilly Walter. Selama ini Gilly Walter memang sering menggunakan nama Braun di depan rekan bisnisnya. Gilly Walter adalah anak dari istri k
“Akh—” Jenniver meringis kala dia mulai membuka matanya. Perlahan Jenniver mulai mengerjapkan matanya beberapa kali. Dan seketika raut wajah Jenniver berubah kala melihat dirinya berada di sebuah kamar yang tak asing. Tampak jelas wajah Jenniver begitu terkejut dan bercampur dengan kepanikan yang melanda.Sejenak, Jenniver tampak berpikir kenapa dirinya bisa berada di dalam kamar ini. Namun, tiba-tiba dikala Jenniver berusaha menggali ingatannya, sesuatu muncul dalam benak Jenniver. Wajah Jenniver kian panik. Ya, dia mengingat dengan jelas terakhir dirinya tengah bersama dengan ibunya makan siang bersama dengan Stella. Tapi kenapa dirinya harus ada di kamar ini? Di mana Stella? Semua pertanyaan bercampur cemas melanda diri Jenniver.“Apa yang terjadi?” Jenniver terus mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Stella. “Stella? Stella?” Jenniver akhirnya mengeluarkan suara memanggil Stella dengan keras. Namun, sayangnya tak ada hasil. Napas Jenniver memburu. Dia mencurigai sesuatu. Bag
“Pembunuh utama ibumu adalah aku. Bukan Xian Lim.”Suara dari arah belakang menyentak mengejutkan Stella. Dengan mata yang masih memerah, Stella mengalihkan pandangannya menatap tajam sosok wanita paruh baya yang melangkah mendekat padanya. Sepasang iris mata abu-abu Stella tampak memendung kemarahan.“Nyonya?” Xian Lim bangkit berdiri. Dia menundukan kepala kala melihat Gilly datang di hadapannya.Gilly menggerakan kepalanya, meminta Xian Lim untuk berada di belakangnya. Pun Xian Lim segera menurut, dan segera berada tepat di belakang Gilly.“Apa maksud ucapanmu? Dan siapa sebenarnya kau!” seru Stella dengan nada meninggi. Napasnya memburu. Sorot matanya terbendung penuh amarah. Stella tidak pernah mampu mengendalikan emosi jika menyangkut ibunya.“Bukankah sebelumnya aku sudah mengatakan padamu?” Gilly tersenyum anggun. “Aku adalah saudara tiri ibumu, Stella. Dan kematian ibumu karena aku yang membunuhnya. Aku yang memerintahkan Xian Lim untuk membunuh ibumu tepat disaat melahirkanm