“Pembunuh utama ibumu adalah aku. Bukan Xian Lim.”Suara dari arah belakang menyentak mengejutkan Stella. Dengan mata yang masih memerah, Stella mengalihkan pandangannya menatap tajam sosok wanita paruh baya yang melangkah mendekat padanya. Sepasang iris mata abu-abu Stella tampak memendung kemarahan.“Nyonya?” Xian Lim bangkit berdiri. Dia menundukan kepala kala melihat Gilly datang di hadapannya.Gilly menggerakan kepalanya, meminta Xian Lim untuk berada di belakangnya. Pun Xian Lim segera menurut, dan segera berada tepat di belakang Gilly.“Apa maksud ucapanmu? Dan siapa sebenarnya kau!” seru Stella dengan nada meninggi. Napasnya memburu. Sorot matanya terbendung penuh amarah. Stella tidak pernah mampu mengendalikan emosi jika menyangkut ibunya.“Bukankah sebelumnya aku sudah mengatakan padamu?” Gilly tersenyum anggun. “Aku adalah saudara tiri ibumu, Stella. Dan kematian ibumu karena aku yang membunuhnya. Aku yang memerintahkan Xian Lim untuk membunuh ibumu tepat disaat melahirkanm
“Kau pikir semudah itu bisa membunuhku?”Suara Sean berseru dengan keras dan lantang memasuki ruangan di mana Stella disekap. Tampak Gilly dan Xian Lim terkejut melihat Sean bisa masuk ke dalam bersama dengan beberapa yang yang ikut di belakangnya.Anak buah Gilly segera memblokir jalan Sean kala mendekat. Ya, anak buah Sean tidak ada yang bisa ikut masuk ke dalam karena harus menghadapi anak buah Gilly di depan ruangan ini. Yang ada di belakang Sean hanya ada Tomy, Ken, dan Kelvin yang turut membantu.Gilly mengibaskan rambutnya dengan anggun. Keterkejutannya hanya beberapa detik. Kini Gilly tersenyum puas melihat kehadiaran Sean. Tepat di saat Gilly bergerak maju maka Xian Lim akan langsung mengikuti Gilly.“Welcome to my home, Sean Geovan.” Gilly menyambut dengan senyuman licik di wajahnya.“How dare you kidnap my wife. You know who am I, right?” Sean berdesis dengan nada penuh geraman kemarahan. Terlihat sepasang iris mata cokelat Sean terhunus begitu tajam pada Gilly.Gilly terta
“Dominic?”Sean terperanjat terkejut melihat adik bungsunya datang. Tak hanya Sean tapi Ken dan Tomy pun terkejut melihat kehadiran Dominic. Tampak Sean menatap dingin adiknya yang berani datang di tempat ini. Dalam benak Sean adalah bagaimana adiknya tahu dirinya ada di sini.“Kenapa kau di sini?” seru Sean seraya terus menghunuskan tatapan dingin pada Dominic yang mendekat padanya. Sesaat Sean menyipitkan matanya memberikan tatapan waspada. Ya, Sean takut ada yang menyerang adiknya tiba-tiba. Itu yang membuat Sean harus tetap waspada. Dia tak ingin musuhnya sampai mengambil kesempatan kala seperti ini.“Aku tidak ke sini sendirian.” Dominic menjawab dengan nada dingin, dan raut wajah tanpa ekspresi. Tatapannya tak lepas menatap Gilly yang kini menatapnya. “Dad dan Mateo ada di sini,” lanjutnya yang sontak membuat Sean, Ken, dan Tomy terkejut.“Ah, William ada di sini? Kenapa yang datang hanya putranya? Kenapa bukan dia langsung? Apa dia tega anak-anaknya mati terbunuh?” Gilly tertaw
“Frans, di mana putra kita? Kenapa Ken belum juga tiba juga?” Suara Karin terisak dalam pelukan Frans. Pun Alika menangis dalam pelukan Chery. Serta Charotte—kembaran Kelvin menangis dalam pelukan Arsen.“Sabar, Karin. Putra kita pasti baik-baik saja. Aku yakin Itu.” Frans mengecup kening Karin. Mengeratkan pelukan pada istrinya itu.Suasana di depan rumah sakit begitu mencekam dan penuh ketegangan. Mereka semua menunggu Ken dan Tomy yang tengah ada di perjalanan menuju rumah sakit membawa Kelvin yang terkena luka tembak. Ya, kini semua keluarga tengah berada di depan rumah sakit menunggu kehadiran Ken. Mereka sudah mendapatkan kabar kalau Kelvin tertembak kala membantu Sean menolong Stella. Pun Laura dan Raymond juga ada di rumah sakit itu. Beruntung Laura dan Raymond menunda keberangkatan mereka ke Yunani.Semua orang yang ada di sana di landa kecemasan. Frans, Karin, Laura, Raymond, Marsha, Selena, dan Miracle, Charlotte, Arsen, Lea, Regan—terlihat begitu cemas. Kelvin terkena luka
“Tidakkkk!!! Ini tidak mungkin! Kau bohong! Suamiku masih hidup! Kembalikan suamiku!” teriak Alika dengan tangis yang mendera. Tubuh Alika melemah. Kepalanya memberat. Hingga ketika Alika jatuh pingsan—Raymond langsung menangkap tubuh Alika. Tidak hanya Alika; Karin pun jatuh pingsan dalam pelukan Frans. Semua orang berduka. Charlotte menangis keras dalam pelukan Arsen. Sama halnya dengan Selena, Miracle, dan Marsha yang saling berpelukan menangis. Chery yang juga menangis dalam pelukan Ken. Pun Lea yang menangis dalam pelukan Regan.Para petugas medis langsung datang membawa Alika, dan Karin masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Sedangkan kini Frans merengkuh bahu Charlotte—putrinya. Ya, Karin dan Alika kini ditemani oleh Chery, Lea dan Laura. Frans dan Charlotte memilih untuk menatap terakhir Kelvin dari balik kaca. Terlihat wajah Frans tampak begitu frustasi. Beberapa kali Raymond berusaha menguatkan Frans tapi nyatanya pria paruh baya itu tak bisa tangguh jika menyangkut anak-anaknya
“Mom? Kenapa Daddy, Kak Sean, Domini, dan Mateo belum juga kembali? Ponsel mereka juga tidak bisa dihubungi, Mom. Ke mana mereka?” Bulir air mata Miracle tidak mampu tertahan. Dia bukan hanya mencemaskan keadaan suaminya saja, namun Miracle juga mencemaskan keadaan ayah dan juga saudara laki-lakinya. “Iya, Mom. Mereka ke mana? Kenapa belum juga datang? Semuanya baik-baik saja kan, Mom?” Air mata Selena pun menetes. Tak sanggup tertahan. Kecemasan dan ketakutan melanda dirinya. Sama seperti yang dirasakan oleh Miracle.Marsha terdiam sejenak. Tatapannya menatap hangat kedua putri kembarnya itu. Tak dipungkiri Marsha pun merasakan ketakutan yang dirasakan kedua putri kembarnya. Namun, Marsha harus tetap kuat dan tidak boleh membuat kedua putrinya semakin takut.“Sayang … tidak akan terjadi sesuatu pada mereka. Semuanya akan baik-baik saja. Sudah jangan sedih,” ucap Marsha seraya mengelus pipi kedua putri kembarnya itu.Miracle menyeka air matanya berusaha menguatkan diri. “Sekarang di
“Tuan Sean.” Sang pelayan berucap dengan sopan seraya menundukan kepalanya kala Sean melangkah masuk ke dalam ruang rawat Stella.“Di man Tomy?” tanya Sean dingin dengan sorot mata lekat pada pelayan yang ada di hadapannya.“Tuan Tomy sedang keluar sebentar, Tuan. Beliau ingin mengambil dokumen penting yang Anda butuhkan.” Sang pelayan menjawab dengan sopanSean terdiam sejenak mendengar apa yang diucapkan oleh pelayan itu. Tentu dia tidak perlu lagi bertanya. Karena Sean sudah mengerti dokumen apa yang dimaksud oleh pelayannya.“Kau boleh pergi sekarang. Biarkan aku yang menjaga istriku,” ucap Sean dingin dan tegas.“Baik, Tuan. Saya permisi.” Sang pelayan segera menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Sean.Kini Sean melangkah mendekat pada istrinya—yang sejak tadi tengah duduk di ranjang seraya menatap ke luar jendela. Sean sudah lihat istrinya itu terus melamun.“Kau lihat apa di luar?” Sean semakin mendekat, lalu duduk di tepi ranjang. Refleks, Stella mengalihkan
Sean membelai pipi Stella seraya merapikan anak rambut yang menutupi wajah cantik istrinya itu. Beberapa kali Sean memberikan kecupan di bibir sang istri. Ya, kini Stella tengah tertidur pulas dalam dekapannya. Sean bersyukur Stella mampu mengatasi emosinya. Setelah banyaknya masalah yang terjadi istrinya itu masih tetap berusaha kuat. Pun kandungan Stella baik-baik saja. Sepertinya ketiga bayinya yang ada di kandungan sang istri memberikan kekuatan pada Stella.“Hmmm…” Pelupuk mata Stella mulai bergerak. Dia menggeliat dalam pelukan Sean. Hingga ketika Stella membuka matanya tatapan matanya menangkap wajah sang suami. Dengan mata yang masih membengkak, Stella mengulas senyuman di wajahnya pada suaminya itu.“Kenapa kau tidur sebentar sekali, hm? Kau tidur hanya satu jam, Sayang.” Sean mencium hidung Stella. Lalu dia mengeratkan pelukannya pada sang istri. “Tidurlah. Aku akan menjagamu.”“Aku tidai mengantuk lagi, Sean. Istirahatku sudah cukup.” Stella mendongakan kepalanya, menatap s