Sean membelai pipi Stella seraya merapikan anak rambut yang menutupi wajah cantik istrinya itu. Beberapa kali Sean memberikan kecupan di bibir sang istri. Ya, kini Stella tengah tertidur pulas dalam dekapannya. Sean bersyukur Stella mampu mengatasi emosinya. Setelah banyaknya masalah yang terjadi istrinya itu masih tetap berusaha kuat. Pun kandungan Stella baik-baik saja. Sepertinya ketiga bayinya yang ada di kandungan sang istri memberikan kekuatan pada Stella.“Hmmm…” Pelupuk mata Stella mulai bergerak. Dia menggeliat dalam pelukan Sean. Hingga ketika Stella membuka matanya tatapan matanya menangkap wajah sang suami. Dengan mata yang masih membengkak, Stella mengulas senyuman di wajahnya pada suaminya itu.“Kenapa kau tidur sebentar sekali, hm? Kau tidur hanya satu jam, Sayang.” Sean mencium hidung Stella. Lalu dia mengeratkan pelukannya pada sang istri. “Tidurlah. Aku akan menjagamu.”“Aku tidai mengantuk lagi, Sean. Istirahatku sudah cukup.” Stella mendongakan kepalanya, menatap s
“Jenniver, aku harus kembali ke ruang rawatku. Kau istirahatlah dulu. Tidak usah pikirkan apa pun. Nanti aku akan meminta asistenku menjaga Theo selama kau ada di rumah sakit.”Suara lembut Stella berujar berpamitan pada Jenniver. Dia harus segera kembali ke ruang rawatnya. Dan tentu, Stella ingin Jenniver memulihkan keadaannya. Menerima kenyataan adalah hal yang tidak mudah.“Iya, Stella. Terima kasih. Kau juga jaga kesehatanmu, ya?” jawab Jenniver dengan begitu hangat dan tatapan lembut pada Stella.Stella tersenyum, dan menganggukan kepalanya. “Iya, Jenniver. Aku pasti menjaga kesehatanku. Kau tidak perlu cemas.”Kini Sean mendorong kursi roda Stella, dan hendak meninggalkan ruang rawat Jenniver. Namun tiba-tiba langkah Sean terhenti kala melihat Tomy berlari masuk ke dalam ruang rawat Jenniver dengan begitu tergesa-gesa. “Tuan,” sapa Tomy cepat kala tiba di depan Sean.“Ada apa, Tomy? Kenapa kau berlari seperti itu?” tanya Sean seraya menatap dingin Tomy yang berdiri di hadapan
“Sean? Bagaimana keadaan Stella?”Suara Marsha bertanya dengan raut wajah cemas menatap Sean yang baru saja keluar dari ruang rawat Stella. Ya, setelah bertemu dengan pengacara dari Hamilton Walter; Stella jatuh pingsan.“Stella baik-baik saja, Mom.” Sean menjawab dengan embusan napas kasar. Tadi Sean memang dilanda kepanikan kala Stella pingsan. Beruntung dokter mengatakan Stella dan kandunganya baik-baik saja. Apa yang didengar oleh Stella tadi memang mengguncang istrinya itu. Sean tidak pernah menyangka sang istri memiliki masalah keluarga di masa lalu yang begitu menyakitkan.“Biar Mommy saja yang menjaga Stella, Nak.” Marsha mengelus lengan putranya. “Saat ini dia pasti membutuhkan sosok ibu yang ada di sisinya. Biar Mommy saja yang menemani istrimu, ya?”Sean mengangguk, dan tersenyum. “Terima kasih, Mom.”“Tidak usah berterima kasih. Stella juga putri Mommy.” Marsha mengecup rahang Sean. Lalu dia melangkah masuk ke dalam ruang rawat Stella. Ya, Sean membiarkan Marsha menjaga St
“Tuan Sean.” Tomy melangkah mendekat pada Sean. Lalu menundukan kepalanya kala tiba di depan Sean. Ya, kini Sean berada di sebuah ruangan tepat di samping ruang rawat Stella. Dia sengaja menggunakan ruangan ini karena memang ada hal penting yang harus Sean bahas engan asistennya.“Kau sudah mendapatkan data yang aku minta?” tanya Sean dingin, dan sorot mata tegas pada Tomy yang berdiri di depannya.Tomy menganggukan kepalanya. Kemudian, dia memberikan dokumen yang ada di tangan kanannya pada Sean sambil berkata, “Ini adalah data mengenai Walter Group, Tuan. Saat ini yang memimpin Walter Group masih pejabat sementara.”Sean mengambil dokumen yang diberikan oleh Tomy. Lalu dia membuka setiap lembar bekas di hadapannya itu mengenai laporan keuangan Walter Group. Tampak Sean terdiam melihat angka-angka fantastis di hadapannya. Tak heran jika Walter Group merajai Eropa karena perusahaan ini memiliki laba yang luar biasa. Pun Sean yang melihat angka-angka di depannya cukup terkejut dan takj
Pelupuk mata Stella bergerak. Perlahan Stella mengerjapkan matanya beberapa kali. Hingga ketika Stella membuka matanya, dia melihat sebuah ruangan putih. Aroma rumah sakit yang menyengat bercampur dengan aroma segar pengharum ruangan menyeruak ke indra penciuman Stella. Sejenak Stella memijat pelipisnya kala merasakan kepalanya sedikit pusing.“Sayang? Kau sudah sadar?” Marsha tersenyum hangat. Dia duduk di tepi ranjang, menatap Stella yang baru saja membuka matanya itu.“Mom? Mommy di sini?” Stella berucap dengan suara pelan. Pun Stella menatap ibu mertuanya dengan sedikit bingung.“Iya, Nak. Mommy di sini. Tadi kau pingsan.” Marsha mengambil cangkir yang berisikan teh madu hangat yang ada di atas meja. Lalu memberikannya pada menantunya. “Minumlah, Sayang. Baru saja tadi Mommy meminta pelayan membuatkan teh madu untukmu. Ayo selagi masih hangat diminum, Sayang.”“Terima kasih, Mom.” Stella tersenyum hangat seraya menerima teh madu yang diberikan oleh Marsha dan meminumnya perlahan.
Alika menatap Kelvin yang masih memejamkan mata. Sekitar tiga puluh menit yang lalu seluruh keluarga telah pulang. Alika sengaja meminta keluarga dari sang suami untuk pulang. Tentu Alika merasa khawatir. Terutama pada ayah mertua, dan ibu mertuanya. Dan sekarang hanya Alika yang menunggu sang suami.“Sayang … apa kau tidak merindukanku? Buka matamu, Kelvin. Aku sangat teramat merindukanmu.” Alika membawa tangannya, menyentuh rahang sang suami. Wajah tampan suaminya itu terlihat pucat.Ya, meski dokter mengatakan Kelvin baik-baik saja tetapi kenyataanya hingga detik ini suaminya itu tak kunjung membuka mata. Setiap malam Alika begitu setia mengajak suaminya berbicara agar demi suaminya itu bisa membuka mata. Sungguh, Alika begitu merindukan Kelvin. Nyatanya, sifat sang suami yang menyebalkan dan selalu mengeluarkan lelucon itu membuat Alika sangat-sangat merindukan Kelvin. Seluruh keluarga selalu menyemangatinya memberikan kekuatan padanya tapi tak dipungkiri ketakutan dalam diri Alik
Sudah dua minggu Stella berada di rumah sakit. Kandungan Stella pun semakin membesar. Namun, hingga detik ini Stella belum pulang ke rumah. Meski kondisinya sudah membaik tapi tidak dengan mentalnya. Itu kenapa Sean masih belum mengizinkan Stella keluar dari rumah sakit. Setiap malam Stella banyak melamun. Dia hanya bisa tersenyum dikala keluarga sang suami datang menjenguknya. Pun beberapa hari lalu Stella sudah melihat keadaan Kelvin yang ternyata mulai pulih. Bukan tidak menerima kenyataan, hanya saja semuanya begitu mengejutkan Stella. Apa yang terjadi di hidup Stella seperti badai yang tiba-tiba datang. Begitu kencang menghantam dirinya. Andai tidak ada Sean di sisinya maka Stella pasti tidak mungkin bisa bertahan.Terkadang Stella merasa takdir begitu jahat padanya karena telah memisahkan dirinya dengan kedua orang tuanya. Namun, tak dipungkiri Stella merasa bersyukur karena memiliki Sean di hidupnya. Dibalik badai kehidupan yang datang, nyatanya Stella masih tetap mampu bertaha
Banyak orang mengatakan jodoh adalah cerminan diri. Tentu itu adalah hal yang benar. Tapi di mata Stella adalah jodoh bukan hanya sekedar cerminan diri. Tapi jodoh yang ditakdirkan pada setiap orang untuk saling melengkapi kekurangan satu sama lain. Di dunia ini tidak ada yang sempurna. Akan banyak jutaan manusia yang memiliki kekurangan. Seperti Sean dan Stella saling melengkapi satu sama lainnya. Mereka berdua memiliki jutaan kekurangan. Dan ketika mereka bersatu mereka saling menutupi kekuarangan masing-masing. Ya, terutama Stella yang selama ini merasa dirinya tak pernah beruntung. Namun, sejak ada Sean di hidupnya semua telah berubah. Masa lalu yang buruk telah tergantikan dengan kebahagiaan.Kini Stella tengah berdiri di ruang rawatnya. Tatapan wanita itu melihat ke luar jendela. Cuaca siang di Kota Jakarta sedang mendung. Awan cerah telah tertutupi awan gelap. Tampak senyuman di wajah Stella terlukis melihat cuaca mendung. Bukan menyukai turunnya hujan. Tetapi Stella menantikan