“Tidakkkk!!! Ini tidak mungkin! Kau bohong! Suamiku masih hidup! Kembalikan suamiku!” teriak Alika dengan tangis yang mendera. Tubuh Alika melemah. Kepalanya memberat. Hingga ketika Alika jatuh pingsan—Raymond langsung menangkap tubuh Alika. Tidak hanya Alika; Karin pun jatuh pingsan dalam pelukan Frans. Semua orang berduka. Charlotte menangis keras dalam pelukan Arsen. Sama halnya dengan Selena, Miracle, dan Marsha yang saling berpelukan menangis. Chery yang juga menangis dalam pelukan Ken. Pun Lea yang menangis dalam pelukan Regan.Para petugas medis langsung datang membawa Alika, dan Karin masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Sedangkan kini Frans merengkuh bahu Charlotte—putrinya. Ya, Karin dan Alika kini ditemani oleh Chery, Lea dan Laura. Frans dan Charlotte memilih untuk menatap terakhir Kelvin dari balik kaca. Terlihat wajah Frans tampak begitu frustasi. Beberapa kali Raymond berusaha menguatkan Frans tapi nyatanya pria paruh baya itu tak bisa tangguh jika menyangkut anak-anaknya
“Mom? Kenapa Daddy, Kak Sean, Domini, dan Mateo belum juga kembali? Ponsel mereka juga tidak bisa dihubungi, Mom. Ke mana mereka?” Bulir air mata Miracle tidak mampu tertahan. Dia bukan hanya mencemaskan keadaan suaminya saja, namun Miracle juga mencemaskan keadaan ayah dan juga saudara laki-lakinya. “Iya, Mom. Mereka ke mana? Kenapa belum juga datang? Semuanya baik-baik saja kan, Mom?” Air mata Selena pun menetes. Tak sanggup tertahan. Kecemasan dan ketakutan melanda dirinya. Sama seperti yang dirasakan oleh Miracle.Marsha terdiam sejenak. Tatapannya menatap hangat kedua putri kembarnya itu. Tak dipungkiri Marsha pun merasakan ketakutan yang dirasakan kedua putri kembarnya. Namun, Marsha harus tetap kuat dan tidak boleh membuat kedua putrinya semakin takut.“Sayang … tidak akan terjadi sesuatu pada mereka. Semuanya akan baik-baik saja. Sudah jangan sedih,” ucap Marsha seraya mengelus pipi kedua putri kembarnya itu.Miracle menyeka air matanya berusaha menguatkan diri. “Sekarang di
“Tuan Sean.” Sang pelayan berucap dengan sopan seraya menundukan kepalanya kala Sean melangkah masuk ke dalam ruang rawat Stella.“Di man Tomy?” tanya Sean dingin dengan sorot mata lekat pada pelayan yang ada di hadapannya.“Tuan Tomy sedang keluar sebentar, Tuan. Beliau ingin mengambil dokumen penting yang Anda butuhkan.” Sang pelayan menjawab dengan sopanSean terdiam sejenak mendengar apa yang diucapkan oleh pelayan itu. Tentu dia tidak perlu lagi bertanya. Karena Sean sudah mengerti dokumen apa yang dimaksud oleh pelayannya.“Kau boleh pergi sekarang. Biarkan aku yang menjaga istriku,” ucap Sean dingin dan tegas.“Baik, Tuan. Saya permisi.” Sang pelayan segera menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Sean.Kini Sean melangkah mendekat pada istrinya—yang sejak tadi tengah duduk di ranjang seraya menatap ke luar jendela. Sean sudah lihat istrinya itu terus melamun.“Kau lihat apa di luar?” Sean semakin mendekat, lalu duduk di tepi ranjang. Refleks, Stella mengalihkan
Sean membelai pipi Stella seraya merapikan anak rambut yang menutupi wajah cantik istrinya itu. Beberapa kali Sean memberikan kecupan di bibir sang istri. Ya, kini Stella tengah tertidur pulas dalam dekapannya. Sean bersyukur Stella mampu mengatasi emosinya. Setelah banyaknya masalah yang terjadi istrinya itu masih tetap berusaha kuat. Pun kandungan Stella baik-baik saja. Sepertinya ketiga bayinya yang ada di kandungan sang istri memberikan kekuatan pada Stella.“Hmmm…” Pelupuk mata Stella mulai bergerak. Dia menggeliat dalam pelukan Sean. Hingga ketika Stella membuka matanya tatapan matanya menangkap wajah sang suami. Dengan mata yang masih membengkak, Stella mengulas senyuman di wajahnya pada suaminya itu.“Kenapa kau tidur sebentar sekali, hm? Kau tidur hanya satu jam, Sayang.” Sean mencium hidung Stella. Lalu dia mengeratkan pelukannya pada sang istri. “Tidurlah. Aku akan menjagamu.”“Aku tidai mengantuk lagi, Sean. Istirahatku sudah cukup.” Stella mendongakan kepalanya, menatap s
“Jenniver, aku harus kembali ke ruang rawatku. Kau istirahatlah dulu. Tidak usah pikirkan apa pun. Nanti aku akan meminta asistenku menjaga Theo selama kau ada di rumah sakit.”Suara lembut Stella berujar berpamitan pada Jenniver. Dia harus segera kembali ke ruang rawatnya. Dan tentu, Stella ingin Jenniver memulihkan keadaannya. Menerima kenyataan adalah hal yang tidak mudah.“Iya, Stella. Terima kasih. Kau juga jaga kesehatanmu, ya?” jawab Jenniver dengan begitu hangat dan tatapan lembut pada Stella.Stella tersenyum, dan menganggukan kepalanya. “Iya, Jenniver. Aku pasti menjaga kesehatanku. Kau tidak perlu cemas.”Kini Sean mendorong kursi roda Stella, dan hendak meninggalkan ruang rawat Jenniver. Namun tiba-tiba langkah Sean terhenti kala melihat Tomy berlari masuk ke dalam ruang rawat Jenniver dengan begitu tergesa-gesa. “Tuan,” sapa Tomy cepat kala tiba di depan Sean.“Ada apa, Tomy? Kenapa kau berlari seperti itu?” tanya Sean seraya menatap dingin Tomy yang berdiri di hadapan
“Sean? Bagaimana keadaan Stella?”Suara Marsha bertanya dengan raut wajah cemas menatap Sean yang baru saja keluar dari ruang rawat Stella. Ya, setelah bertemu dengan pengacara dari Hamilton Walter; Stella jatuh pingsan.“Stella baik-baik saja, Mom.” Sean menjawab dengan embusan napas kasar. Tadi Sean memang dilanda kepanikan kala Stella pingsan. Beruntung dokter mengatakan Stella dan kandunganya baik-baik saja. Apa yang didengar oleh Stella tadi memang mengguncang istrinya itu. Sean tidak pernah menyangka sang istri memiliki masalah keluarga di masa lalu yang begitu menyakitkan.“Biar Mommy saja yang menjaga Stella, Nak.” Marsha mengelus lengan putranya. “Saat ini dia pasti membutuhkan sosok ibu yang ada di sisinya. Biar Mommy saja yang menemani istrimu, ya?”Sean mengangguk, dan tersenyum. “Terima kasih, Mom.”“Tidak usah berterima kasih. Stella juga putri Mommy.” Marsha mengecup rahang Sean. Lalu dia melangkah masuk ke dalam ruang rawat Stella. Ya, Sean membiarkan Marsha menjaga St
“Tuan Sean.” Tomy melangkah mendekat pada Sean. Lalu menundukan kepalanya kala tiba di depan Sean. Ya, kini Sean berada di sebuah ruangan tepat di samping ruang rawat Stella. Dia sengaja menggunakan ruangan ini karena memang ada hal penting yang harus Sean bahas engan asistennya.“Kau sudah mendapatkan data yang aku minta?” tanya Sean dingin, dan sorot mata tegas pada Tomy yang berdiri di depannya.Tomy menganggukan kepalanya. Kemudian, dia memberikan dokumen yang ada di tangan kanannya pada Sean sambil berkata, “Ini adalah data mengenai Walter Group, Tuan. Saat ini yang memimpin Walter Group masih pejabat sementara.”Sean mengambil dokumen yang diberikan oleh Tomy. Lalu dia membuka setiap lembar bekas di hadapannya itu mengenai laporan keuangan Walter Group. Tampak Sean terdiam melihat angka-angka fantastis di hadapannya. Tak heran jika Walter Group merajai Eropa karena perusahaan ini memiliki laba yang luar biasa. Pun Sean yang melihat angka-angka di depannya cukup terkejut dan takj
Pelupuk mata Stella bergerak. Perlahan Stella mengerjapkan matanya beberapa kali. Hingga ketika Stella membuka matanya, dia melihat sebuah ruangan putih. Aroma rumah sakit yang menyengat bercampur dengan aroma segar pengharum ruangan menyeruak ke indra penciuman Stella. Sejenak Stella memijat pelipisnya kala merasakan kepalanya sedikit pusing.“Sayang? Kau sudah sadar?” Marsha tersenyum hangat. Dia duduk di tepi ranjang, menatap Stella yang baru saja membuka matanya itu.“Mom? Mommy di sini?” Stella berucap dengan suara pelan. Pun Stella menatap ibu mertuanya dengan sedikit bingung.“Iya, Nak. Mommy di sini. Tadi kau pingsan.” Marsha mengambil cangkir yang berisikan teh madu hangat yang ada di atas meja. Lalu memberikannya pada menantunya. “Minumlah, Sayang. Baru saja tadi Mommy meminta pelayan membuatkan teh madu untukmu. Ayo selagi masih hangat diminum, Sayang.”“Terima kasih, Mom.” Stella tersenyum hangat seraya menerima teh madu yang diberikan oleh Marsha dan meminumnya perlahan.
Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t
Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell
“Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn
Stella mengembuskan napas panjang kala mengingat laporan dari pengawal sang suami tentang kejadian di Central Park. Kejadian di mana Stanley membuat seorang gadis kecil menangis karena membuang permen pemberian gadis itu. Sungguh, Stella sangat sedih karena putranya bertindak demikian. Meski mertuanya sudah memberikan nasehat pada ketiga putranya tapi tetap saja Stella merasa gagal mendidik ketiga putranya.“Apa kalian hanya ingin diam saja? Tidak mau bilang apa-apa pada, Mommy?”Suara Stella menegur ketiga putranya yang tengah duduk di hadapannya itu. Ya, kini Stella berada di kamar Shawn. Kamar Shawn, Stanley, dan Steve memang terpisah. Tetapi karena Stella ingin berbicara dengan ketiga putranya maka tanley dan Steve mendatangi kamar Shawn. Tampak ketiga bocah laki-laki kembar itu menunduk. Tentu mereka tahu mereka akan mendapatkan teguran dari ibu mereka.“Mommy ini salahku. Maafkan aku, Mommy,” ucap Stanley dengan suara polosnya.Stella menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan
Saat pagi menyapa Shawn, Stanley, dan Steve sudah begitu tampan dengan setelan celana pendek dan kaus berwarna hitam dengan logo Gucci di tengah baju ketiga bocah itu. Ya, Shawn, Stanley, dan Steve tampak begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi bersaam dengan kakek dan nenek mereka. Sejak tadi malam memang ketiga bocah itu sangat bersemangat.“Anak Mommy tampan sekali.” Suara Stella dengan lembut berucap sambil menatap ketiga putra kembarnya. Stella mendekat pada Shawn, Stanley, dan Steve bersama dengan Sean yang ada di sisinya.“Daddy … Mommy …” Shawn, Stanley, dan Steve menghamburkan tubuh mereka pada Sean dan Stella yang mengampiri mereka.“Kalian mirip sekali seperti Daddy,” ucap Stella sembari mengurai pelukan ketiga putranya itu. Sean yang ada di samping Stella sejak tadi melukiskan senyuman hangat pada Shawn, Stanley, dan Steve.“Tentu saja, Mommy. Nanti saat kami dewasa kami akan seperti Daddy. Kami akan hebat.” Shawn, Stanley, dan Steve berucap serempak dan penuh
“Mommy … akhirnya Mommy pulang. Kami merindukan, Mommy.”Stanley dan Steve menghamburkan tubuh mereka kala melihat Stella pulang bersama dengan Shawn. Sudah sejak tadi Stanley dan Steve menunggu ibu mereka pulang. Ya, Stella memang sengaja meminta Stanley dan Steve pulang lebih dulu bersama sopir kala tadi Stella harus menyelesaikan masalah Shawn yang memukul Felix. Tentu Stella tak membiarkan Stanley dan Steve menunggu di ruang guru. Pasalnya Stella tak ingin Stanley dan Steve membuat masalah. Sungguh, ketiga anak kembarnya itu sangatlah kompak. Sudah cukup masalah Shawn membuat Stella sakit kepala. Stella tidak ingin sampai Stanley dan Steve juga ikut membuat masalah.Stella membalas pelukan Stanley dan Steve sembari memberikan kecupan di puncak kepala kedua putranya itu. “Mommy juga merindukan kalian. Apa kalian sudah makan?”“Sudah, Mommy. Kami sudah makan.” Stanley dan Steve menjawab dengan kompak. Lalu mereka melihat ke atah Shawn yang sejak tadi hanya diam. “Kak, kami tadi mau
“Shawn, Mommy tidak mau kau menggunakan kekerasan lagi. Tidak bagus, Nak. Kalau pun temanmu salah, kau bisa menegurnya tanpa harus memukul. Kalau kau menggunakan kekerasan sama saja kau main hakim sendiri, Shawn. Mommy tidak pernah mengajarkanmu untuk seperti itu.”Suara Stella menegur putra pertamanya itu. Nada bicaranya tegas tapi tetap lembut. Ya, Stella dan Shawn baru saja keluar dari ruang guru. Jika Stanley, dan Steve sudah lebih dulu pulang lain halnya dengan Shawn yang tadi ditahan di ruang guru. Itu kenapa Stella datang ke sekolah karena ulah putra pertamanya yang memukul teman sekolahnya. Tentu saja Shawn memukul bukan tanpa alasan. Bocah laki-laki kecil itu memukul temannya karena teman sekolahnya itu berani mencium pipi Katharina—putri bungsu Ken dan Chery. Dan hari ini Stella ke sekolah mendatangi guru tidak bersama dengan Sean. Kesibukan Sean yang membuat suaminya itu tidak bisa hadir. Pun Stella tidak memaksa untuk Sean menemaninya. Mengingat belakangan ini Sean terlalu
Suara tangis bocah kecil perempuan memasuki mansion, membuat Chery yang tengah membaca laporan perkembangan butik miliknya langsung terkejut. Tampak Chery segera meletakan laporan di tangannya ke atas meja. Wanita itu terburu-buru menghampiri suara tangis itu. Tentu Chery tahu itu adalah suara tangis putri kecilnya.“Katharina … kau kenapa, Nak? Kenapa menangis, Sayang?” Chery bersimpuh di depan Katharina—putri kecilnya yang tak kunjung berhenti menangis.“Nyonya, tadi di sekolah ada sedikit masalah.” Sang pengasuh menundukan kepalanya di depan Chery. “Masalah?” Chery bangkit berdiri. Lalu dia menatap Clovis—putra sulungnya yang sejak tadi hanya diam. “Clovis, ada apa, Nak? Kenapa adikmu menangis seperti ini? Apa kau tidak menjaga adikmu? Kan Mommy sudah bilang, kau harus menjaga adikmu dengan baik.” Chery menegur putranya dengan nada yang pelan, namun tersirat sedikit marah.Clovis Kendrick Jefferson adalah anak laki-laki pertama dari Ken dan Chery. Saat ini Clovis berusia empat tah
PranggggSebuah guci mahal pecah begitu saja akibat tendangan seorang bocah perempuan kecil. Pecahan beling itu memenuhi lantai. Beruntung pecahan beling tak mengenai bocah perempuan cantik itu. Tidak hanya sendirian tapi bocah laki-laki yang merupakan saudara kembarnya juga ada di hadapannya. Mereka terlalu asik bermain sampai-sampai memecahkan guci di ruang keluarga. Ya, kini kedua bocah laki-laki dan perempuan itu begitu panik kala melihat guci pecah. Wajah mereka tampak ketakutan. Baru saja mereka melarikan diri dari pengasuh yang menjaga mereka. Tapi malah mereka mendapatkan masalah.“Tuan Muda … Nona Muda …” Seorang pengasuh terlihat sangat panik melihat pecahan guci itu.“Kami tidak sengaja.” Luke dan Lydia memasang wajah merengut agar tak disalahkan.“Astaagaaa Luke … Lydia … ada apa ini?” Suara Alika berseru seraya melangkah memasuki ruang keluarga. Seketika raut wajah Alika berubah melihat guci kesayangannya dengan harga fantastis itu pecah. Kini sepasang iris mata hitam Al