“Stella.”Suara bariton memanggil Stella sontak membuat Stella yang hendak menandatangani dokumen di hadapannya langsung terhenti. Tampak raut wajah Helga menjadi kesal kala Stella tidak jadi tanda tangan. Terlihat jelas, Helga berusaha mengendalikan dirinya.“Sean?” Wajah Stella terkejut kala melihat Sean melangkah mendekat padanya. Sepasang iris mata abu-abu Stella menunjukan keterkejutannya. Pasalnya, Stella tidak menyangka Sean ada di restoran ini. Padahal tadi suaminya itu tadi mengatakan akan langsung pulang, dan sore nanti Stella akan dijemput oleh sopir. Tapi kenapa sekarang dia melihat snag suami?Detik selanjutnya, Helga menoleh pada sumber suara itu. Wanita paruh baya itu duduk di depan Stella; sehigga tak bisa langsung melihat jika ada yang datang. Dan seketika raut wajah Helga berubah melihat sosok pria tampan bertubuh gagah mendekat padanya. Sepasang iris mata cokelat Sean terhunus begitu dingin padanya. Helga panik. Cemas. Semua bercampur menjadi satu. Akan tetapi Helga
Mobil yang dilajukan oleh Sean mulai memasuki sebuah halaman parkir rumah yang ditempati oleh Mateo dan Miracle selama ada di Jakarta. Saat mobil sudah terparkir, Sean turun dari mobil dan segera masuk ke dalam rumah. Tampak para pelayan dan penjaga menundukan Sean yang baru saja masuk ke dalam rumah.“Selamat siang, Tuan Sean,” sapa sang pelayan dengan sopan.“Di mana Mateo dan Miracle?” tanya Sean dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Nyonya Miracle sedang pergi bersama dengan Nyonya Besar Marsha, Tuan. Kalau Tuan Mateo sedang berada di halaman belakang tengah latihan menembak,” jawab sang pelayan mememberitahu dengan sopan.Sean terdiam sejenak mendengar ucapan sang pelayan. Ya, berlatih menembak memang hobby Mateo bersama dengan Miracle. Baik adik perempuannya atau adik iparnya itu sama-sama memiliki hobby berlatih menembak“Aku akan menemui Mateo,” tukas Sean dingin.“Baik, Tuan.” Sang pelayan menundukan kepalanya kala Sean mulai melangkah menuju halaman belakang.Saat Sean m
Sean duduk di kursi kebesarannya dengan pikiran yang menerawang ke depan. Ya, sejak di mana Sean bertemu dengan sosok wanita paruh baya yang bernama ‘Helga Garcia’ membuat Sean seakan tak henti memikirkan wanita itu. Ditambah dengan ucapan Mateo—adik iparnya yang mengatakan pernah mendengar nama ‘Garcia’ yang seperti memiliki hubungan dengan Walter Group. Sean benar-benar seperti merasakan berada di sebuah labirin yang tak memiliki petunjuk sama sekali. Ada keraguan dalam diri Sean akan bisa dengan mudah memecahkan semua ini dengan mudah. Pasalnya Sean tahu, jika Tomy—asistennya itu mengalami kesulitan luar biasa maka ada sesuatu dibalik ini semua. Artinya memang ada yang menutupi semua ini.Hal yang membuat Sean curiga adalah ketika Helga meminta tanda tangan Stella. Sebuah dokumen yang tertuliskan dengan menggunakan Deutsch. Rasanya tidak mungkin ada sebuah perusahaan yang sedang tidak berada di negara asal perusahannya itu sendiri menggunakan bahasanya sendiri. Jelas, harusnya jika
“Stella, hari ini aku ada meeting pemegang saham. Kau berangkat kuliah bersama sopir. Aku tidak bisa mengantarmu.”Suara Sean berucap seraya menatap Stella yang tengah membetulkan dasinya yang kurang rapi. Sesekali Sean mencium kening Stella. Istrinya itu begitu cekatan dalam mengurusnya.“Iya, Sayang. Aku mengerti kesibukanmu.” Stella menepuk pelan dada Sean kala dirinya sudah merapikan dasi yang suami. “Nanti aku akan berangkat bersama sopir.”“Apa rencanamu sepulang kuliah? Apa kau ingin pergi?” tanya Sean sembari membelai pipi sang istri.“Hm, aku tidak memiliki rencana apa pun. Chery dan Alika masih izin masuk kuliah. Sedangkan Jenniver sepertinya sedang sibuk bertemu dengan teman-temannya di Jakarta, Sean,” ujar Stella memberitahu.Sean mengangguk singkat. “Kalau begitu pulang kuliah, kau langsung pulang saja. Jangan pergi ke mana-mana.”“Iya, Sean.” Stella mengecup rahang Sean. “Yasudah, lebih baik kita berangkat sekarang, Sean. Aku juga ada kelas pagi hari ini.”“Ya.” Sean men
“Jenniver, aku lupa bertanya Theo ada di mana? Apa Theo sekarang berada bersama dengan ibumu?” tanya Stella seray menatap Jenniver. Ya, kini Stella dan Jenniver tengah berada di dalam mobil. Hal yang pertama kali Stella ingat adalah Theo. Pasalnya kala Jenniver tadi menjemputnya; Jenniver tidak bersama dengan Theo.“Theo sedang diajak main temanku, Stella. Kasihan temanku sudah menikah sepuluh tahun tapi belum punya anak. Jadi setiap kali dia melihat Theo pasti selalu mengajak Theo jalan,” ujar Jenniver yang seketika membuat Stella diam membisu dengan sorot mata yang sulit diartikan.Dalam benak Stella ada rasa iba pada teman Jenniver. Ingatannya langsung berputar pada kehidupannya sendiri. Kala itu dokter mengatakan pada Stella tidak bisa mengandung. Seakan bumi berhenti pada porosnya; Stella benar-benar hancur ketika dokter memvonis dirinya tak bisa mengandung. Stella bahkan merasa tidak pantas untuk Sean yang begitu sempurna. Namun, ternyata takdir berkata lain; ditengah keputusasa
“Meeting kita lanjutkan besok ketika laporan laba perusahaan sudah ada di tanganku.”Sean menutup meeting para pemegang saham. Dia langsung bangkit dari tempat duduknya. Bersama dengan para pemegang saham lainnya yang juga bangkit berdiri. Kini Sean melangkah lebih dulu keluar dari ruang meeting bersama dengan Ken dan Kelvin yang mengikuti Sean. Tampak sang sekretaris memberikan dokumen yang dibutuhkan Sean, dan Sean hanya menerima dokumen itu—lalu meminta sang sekretaris untuk tak mengganggunya.Saat di ruang kerja, Sean tidak hanya sendiri tapi Ken dan Kelvin juga ikut ke dalam ruang kerjanya. Sean yang duduk di kursi kebesarannya sedangkan Ken dan Kelvin duduk tepat di depan Sean. Ya, harusnnya Ken dan Kelvin masih cuti bekerja namun Ken dan Kelvin memilih untuk tetap masuk bekerja karena hari ini adalah rapat pemegang saham. Lagi pula Ken dan Kelvin pun menunda bulan madu mereka. Itu yang membuat mereka memutuskan untuk datang ke perusahaan.“Sean, aku dengar tadi malam Paman Will
“Xian Lim. Saya sudah tahu tentang Xian Lim. Dan saya pun tahu dengan siapa Xian Lim bekerja.”Raut wajah Sean berubah mendengar apa yang diucapkan oleh Tomy. Tampak sepasang iris mata Sean begitu menghunus tajam. Pun sama halnya dengan Ken dan Kelvin yang memberikan tatapan lekat dan dingin pada Tomy. Tatapan yang tersirat jelas menuntut agar Tomy menjelaskan semuanya.“Katakan, apa yang kau ketahui tentang Xian Lim,” tukas Sean dingin, dan penuh ketegasan. Nada bicaranya tersirat tak sabar untuk mengetahui semua informasi yang memang telah lama Sean tunggu.Tomy terdiam sejenak. Dia mengumpulan semua keberanian dalam dirinya untuk menceritakan informasi yang dia dapatkan. Sebuah informasi yang nyaris membuat Tomy terbunuh. Andai tidak ada yang membantunya maka sudah dipastikan Tomy tak mungkin bisa selamat.“Xian Lim adalah orang kepercayaan dari Gilly Walter. Selama ini Gilly Walter memang sering menggunakan nama Braun di depan rekan bisnisnya. Gilly Walter adalah anak dari istri k
“Akh—” Jenniver meringis kala dia mulai membuka matanya. Perlahan Jenniver mulai mengerjapkan matanya beberapa kali. Dan seketika raut wajah Jenniver berubah kala melihat dirinya berada di sebuah kamar yang tak asing. Tampak jelas wajah Jenniver begitu terkejut dan bercampur dengan kepanikan yang melanda.Sejenak, Jenniver tampak berpikir kenapa dirinya bisa berada di dalam kamar ini. Namun, tiba-tiba dikala Jenniver berusaha menggali ingatannya, sesuatu muncul dalam benak Jenniver. Wajah Jenniver kian panik. Ya, dia mengingat dengan jelas terakhir dirinya tengah bersama dengan ibunya makan siang bersama dengan Stella. Tapi kenapa dirinya harus ada di kamar ini? Di mana Stella? Semua pertanyaan bercampur cemas melanda diri Jenniver.“Apa yang terjadi?” Jenniver terus mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Stella. “Stella? Stella?” Jenniver akhirnya mengeluarkan suara memanggil Stella dengan keras. Namun, sayangnya tak ada hasil. Napas Jenniver memburu. Dia mencurigai sesuatu. Bag
Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t
Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell
“Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn
Stella mengembuskan napas panjang kala mengingat laporan dari pengawal sang suami tentang kejadian di Central Park. Kejadian di mana Stanley membuat seorang gadis kecil menangis karena membuang permen pemberian gadis itu. Sungguh, Stella sangat sedih karena putranya bertindak demikian. Meski mertuanya sudah memberikan nasehat pada ketiga putranya tapi tetap saja Stella merasa gagal mendidik ketiga putranya.“Apa kalian hanya ingin diam saja? Tidak mau bilang apa-apa pada, Mommy?”Suara Stella menegur ketiga putranya yang tengah duduk di hadapannya itu. Ya, kini Stella berada di kamar Shawn. Kamar Shawn, Stanley, dan Steve memang terpisah. Tetapi karena Stella ingin berbicara dengan ketiga putranya maka tanley dan Steve mendatangi kamar Shawn. Tampak ketiga bocah laki-laki kembar itu menunduk. Tentu mereka tahu mereka akan mendapatkan teguran dari ibu mereka.“Mommy ini salahku. Maafkan aku, Mommy,” ucap Stanley dengan suara polosnya.Stella menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan
Saat pagi menyapa Shawn, Stanley, dan Steve sudah begitu tampan dengan setelan celana pendek dan kaus berwarna hitam dengan logo Gucci di tengah baju ketiga bocah itu. Ya, Shawn, Stanley, dan Steve tampak begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi bersaam dengan kakek dan nenek mereka. Sejak tadi malam memang ketiga bocah itu sangat bersemangat.“Anak Mommy tampan sekali.” Suara Stella dengan lembut berucap sambil menatap ketiga putra kembarnya. Stella mendekat pada Shawn, Stanley, dan Steve bersama dengan Sean yang ada di sisinya.“Daddy … Mommy …” Shawn, Stanley, dan Steve menghamburkan tubuh mereka pada Sean dan Stella yang mengampiri mereka.“Kalian mirip sekali seperti Daddy,” ucap Stella sembari mengurai pelukan ketiga putranya itu. Sean yang ada di samping Stella sejak tadi melukiskan senyuman hangat pada Shawn, Stanley, dan Steve.“Tentu saja, Mommy. Nanti saat kami dewasa kami akan seperti Daddy. Kami akan hebat.” Shawn, Stanley, dan Steve berucap serempak dan penuh
“Mommy … akhirnya Mommy pulang. Kami merindukan, Mommy.”Stanley dan Steve menghamburkan tubuh mereka kala melihat Stella pulang bersama dengan Shawn. Sudah sejak tadi Stanley dan Steve menunggu ibu mereka pulang. Ya, Stella memang sengaja meminta Stanley dan Steve pulang lebih dulu bersama sopir kala tadi Stella harus menyelesaikan masalah Shawn yang memukul Felix. Tentu Stella tak membiarkan Stanley dan Steve menunggu di ruang guru. Pasalnya Stella tak ingin Stanley dan Steve membuat masalah. Sungguh, ketiga anak kembarnya itu sangatlah kompak. Sudah cukup masalah Shawn membuat Stella sakit kepala. Stella tidak ingin sampai Stanley dan Steve juga ikut membuat masalah.Stella membalas pelukan Stanley dan Steve sembari memberikan kecupan di puncak kepala kedua putranya itu. “Mommy juga merindukan kalian. Apa kalian sudah makan?”“Sudah, Mommy. Kami sudah makan.” Stanley dan Steve menjawab dengan kompak. Lalu mereka melihat ke atah Shawn yang sejak tadi hanya diam. “Kak, kami tadi mau
“Shawn, Mommy tidak mau kau menggunakan kekerasan lagi. Tidak bagus, Nak. Kalau pun temanmu salah, kau bisa menegurnya tanpa harus memukul. Kalau kau menggunakan kekerasan sama saja kau main hakim sendiri, Shawn. Mommy tidak pernah mengajarkanmu untuk seperti itu.”Suara Stella menegur putra pertamanya itu. Nada bicaranya tegas tapi tetap lembut. Ya, Stella dan Shawn baru saja keluar dari ruang guru. Jika Stanley, dan Steve sudah lebih dulu pulang lain halnya dengan Shawn yang tadi ditahan di ruang guru. Itu kenapa Stella datang ke sekolah karena ulah putra pertamanya yang memukul teman sekolahnya. Tentu saja Shawn memukul bukan tanpa alasan. Bocah laki-laki kecil itu memukul temannya karena teman sekolahnya itu berani mencium pipi Katharina—putri bungsu Ken dan Chery. Dan hari ini Stella ke sekolah mendatangi guru tidak bersama dengan Sean. Kesibukan Sean yang membuat suaminya itu tidak bisa hadir. Pun Stella tidak memaksa untuk Sean menemaninya. Mengingat belakangan ini Sean terlalu
Suara tangis bocah kecil perempuan memasuki mansion, membuat Chery yang tengah membaca laporan perkembangan butik miliknya langsung terkejut. Tampak Chery segera meletakan laporan di tangannya ke atas meja. Wanita itu terburu-buru menghampiri suara tangis itu. Tentu Chery tahu itu adalah suara tangis putri kecilnya.“Katharina … kau kenapa, Nak? Kenapa menangis, Sayang?” Chery bersimpuh di depan Katharina—putri kecilnya yang tak kunjung berhenti menangis.“Nyonya, tadi di sekolah ada sedikit masalah.” Sang pengasuh menundukan kepalanya di depan Chery. “Masalah?” Chery bangkit berdiri. Lalu dia menatap Clovis—putra sulungnya yang sejak tadi hanya diam. “Clovis, ada apa, Nak? Kenapa adikmu menangis seperti ini? Apa kau tidak menjaga adikmu? Kan Mommy sudah bilang, kau harus menjaga adikmu dengan baik.” Chery menegur putranya dengan nada yang pelan, namun tersirat sedikit marah.Clovis Kendrick Jefferson adalah anak laki-laki pertama dari Ken dan Chery. Saat ini Clovis berusia empat tah
PranggggSebuah guci mahal pecah begitu saja akibat tendangan seorang bocah perempuan kecil. Pecahan beling itu memenuhi lantai. Beruntung pecahan beling tak mengenai bocah perempuan cantik itu. Tidak hanya sendirian tapi bocah laki-laki yang merupakan saudara kembarnya juga ada di hadapannya. Mereka terlalu asik bermain sampai-sampai memecahkan guci di ruang keluarga. Ya, kini kedua bocah laki-laki dan perempuan itu begitu panik kala melihat guci pecah. Wajah mereka tampak ketakutan. Baru saja mereka melarikan diri dari pengasuh yang menjaga mereka. Tapi malah mereka mendapatkan masalah.“Tuan Muda … Nona Muda …” Seorang pengasuh terlihat sangat panik melihat pecahan guci itu.“Kami tidak sengaja.” Luke dan Lydia memasang wajah merengut agar tak disalahkan.“Astaagaaa Luke … Lydia … ada apa ini?” Suara Alika berseru seraya melangkah memasuki ruang keluarga. Seketika raut wajah Alika berubah melihat guci kesayangannya dengan harga fantastis itu pecah. Kini sepasang iris mata hitam Al