Chery terdiam dengan wajah yang muram dan pandangan yang menerawang ke depan. Tampak wanita itu tengah memikirkan sesuatu. Suatu hal yang membebani pikirannya. Tatapan Chery kini menoleh ke samping—menatap Ken yang masih tidur pulas di sampingnya dengan bertelanjang dada dan terbalut oleh selimut tebal. Ya, Chery tengah duduk di ranjang dan menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Tubuh polos Chery pun terbalut oleh selimut tebal.Sungguh, Chery tidak menyangka dirinya akan jatuh pada pelukan pria yang menorehkan luka untuknya. Lagi dan lagi Chery jatuh sedalam-dalamnya pada pria yang sama. Sejauh mana pun dia berusaha melupakan nyatanya mulut dan hati tidak pernah bisa disamakan. Chery selalu mengatakan tidak akan memberikan kesempatan untuk Ken. Namun nyatanya, hatinya tidak pernah bisa menolak Ken. Katakan dia bodoh. Chery pun mengakui itu. Hanya saja, Chery memilih untuk menjadi bodoh. Tenggelam dalam pria yang sama.Tak dipungkiri yang ada dalam pikiran Chery saat ini adalah D
“Ken, biarkan aku yang menemui Denis. Kau tidak perlu menemaniku.” Suara Chery berseru kala Ken baru saja membaca pesan masuk dari Denis. Ya, sejak tadi ponsel Chery ada di tangan Ken. Tentu kala ada panggilan atau pesan masuk maka Ken yang akan lebih dulu tahu. Seperti beberapa menit lalu ketika ada pesan masuk dari Denis yang mengatakan berada di rumah Chery, membuat raut wajah Ken langsung berubah. Namun Chery pun tidak bisa berbuat apa-apa. Pasalnya Ken tidak mau memberikan ponselnya. Ken memang berlebihan!“Aku akan tetap menemanimu, Chery,” jawab Ken menegaskan. Nada bicaranya lantang dan penuh penekanan di sana.Chery menghela napas dalam. “Ken, aku tidak ingin lagi terjadi keributan di antara kau dan Denis. Kau jelas tahu, aku sudah melukai Denis,” tuturnya menahan kesal.“Aku tetap akan menemanimu, Chery. Dengan atau tanpa persetujuan darimu,” kata Ken menegaskan.Chery mendesah frustasi. Bayangkan saja sejak tadi dirinya dan Ken terus berdebat karena ini. Berurusan dengan Ke
“Nyonya, ini rujaknya. Sesuai permintaan Anda, cabainya sepuluh,” kata sang pelayan seraya menyajikan rujak yang baru saja dibuatnya ke hadapan Stella.Ya, siang hari dengan matahari yang begitu terik membuat Stella ingin sekali menikmati rujak buah. Sepulang kuliah, dia langsung meminta pelayan membuatkan rujak untuknya. Sebenarnya Stella ingin membuat sendiri tapi para pelayan langsung melarangnya. Tentu karena para pelayan takut jika Tuan mereka marah. Mengingat Sean selalu menegaskan pada para pelayan untuk menjaga Stella dengan baik. Pun Stella dilarang melakukan pekerjaan rumah.“Terima kasih,” ucap Stella pada sang pelayan.“Sama-sama, Nyonya. Apa ada lagi yang Anda butuhkan, Nyonya?” tanya sang pelayan dengan sopan.“Tidak, terima kasih,” jawab Stella hangat.“Kalau begitu saya permisi.” Sang pelayan menundukan kepalanya, pamit undur diri dari hadapan Stella.Stella tersenyum. Kemudian, dia mulai menikmati rujak yang telah dibuat oleh pelayan. Makan buah di siang hari dan dipa
“Hati-hati, Sayang.”Stella melambaikan tangannya pada mobil Sean yang mulai meninggalkan lobby kampusnya. Ya, pagi ini Sean memang mengantarnya. Padahal suaminya itu memiliki meeting penting. Tapi tetap saja Sean mengantar dirinya. Well… Seperti biasa Sean memang selalu mengutamakannya.“Stella…” Alika berlari menghampiri Stella yang berada di area lobby. Tampak wanita itu begitu terburu-buru.“Alika?” Senyum di bibir Stella terukir kala melihat Alika mendekat ke arahnya.“Stella, apa kau diantar Sean?” tanya Alika sembari mengedarkan pandangan kesekelilingnya.Stella mengangguk pelan. “Iya, aku diantar Sean tadi. Oh, ya. Di mana Chery? Kau tidak bersamanya?”“Tidak. Aku hari ini membawa mobil sendiri, Stella,” ujar Alika memberitahu. “Tapi apa hari ini dia masuk kuliah? Kemarin saja tiba-tiba dia tidak masuk. Aku menghubunginya saja kemari, nyatanya tetap tidak ada jawaban.”Stella mengulum senyumannya. “Tidak mungkin Chery tidak masuk. Hari ini aku yakin, dia pasti masuk.”“Kenapa
“Sean, hari ini aku ada kelas siang tidak masuk pagi.”Stella berucap lembut seraya membantu Sean memasangkan dasi. Ya, seperti biasa Stella bangun lebih awal dan mempersiapkan segala kebutuhan sang suami. Menjadi seorang istri dan juga calon ibu tentunya membuat hidup Stella kini jauh lebih berwarna. Terkadang memang Stella bangun terlambat namun Sean tidak pernah mempermasalahkan itu.“Kau masuk siang hari ini?” tanya Sean seraya menatap manik mata abu-abu sang istri.Stella mengangguk pelan. “Iya, Sean. Hari ini aku masuk siang.”Sean membelai lembut pipi Stella. “Pagi ini aku memiliki meeting penting dengan rekan bisnisku dari Toronto. Dia datang ke sini karena hingga detik ini aku belum bisa kembali ke Toronto.”Sean sebenarnya berat meninggalkan Stella sendirian di rumah. Biasanya jika Stella masuk siang maka Sean pun akan memilih bekerja di siang hari.Stella kembali mengangguk pelan. “Yasudah tidak apa-apa, Sayang. Aku mengerti. Lagi pula aku juga bisa pergi bersama dengan sop
Stella tersenyum bahagia kala mendengar penjelasan dari Dokter Falisa yang mengatakan kandungannya baik-baik saja. Bahkan ketiga janin yang ada di kandungan Stella sangat bertumbuh dengan sehat. Ya, tentu setiap hari Stella selalu mengkonsumsi makanan yang bergizi. Selama ini memang Stella selalu mengkonsumsi vitamin untuk ibu hamil tanpa terlewat satu kali pun. Lebih tepatnya terlewat adalah hal yang tidak mungkin. Tentu karena Sean selalu meminta pelayan untuk tidak boleh lupa memberikan vitamin untuk Stella.Dan penjelasan dari sang dokter itu mengartikan Stella diperbolehkan untuk terbang ke Milan. Sean yang mendengar semua penjelasan dari Dokter Falisa—dia pun akhirnya menyetujui Stella ikut dengannya ke Milan. Namun, Sean meminta Dokter Falisa untuk terbang dengannya ke Milan. Sean tidak mau mengambil resiko. Dia tidak ingin sampai terjadi sesuatu pada anak-anaknya dan istrinya. Pun Stella tidak membantah. Stella menuruti perkataan sang suami.Keberangkatan kali ini, Sean memint
Milan – Italia. “Ah, welcome Milan. Aku sudah lama sekali tidak ke Milan, Sayang.” Alika berujar seraya memeluk lengan Kelvin. Tampak wajah Alika begitu bahagia. Pun Kelvin mengecup kening Alika dengan lembut.Ya, kini Sean, Stella, Ken, Chery, Kelvin, dan Alika telah tiba di Milan. Jika Alika dan Chery memeluk pasangan mereka masing-masing, lain halnya dengan Stella yang duduk di kursi roda. Well… Tentu saja Sean begitu overprotective. Perjalanan Jakarta ke Milan sangat jauh membuat Sean meminta dokter memberikan kursi roda. Sebelumnya, Sean memang meminta petugas medis menyiapkan segalanya yang dibutuhkan sang istri untuk pertolongan pertama jika terjadi sesuatu pada istrinya itu. Termasuk menyiapkan kursi roda.“Sean, apa kita akan langsung ke rumah sakit?” tanya Stella seraya melihat sang suami.“Ya, kita akan langsung ke rumah sakit. Tadi aku sudah mendapatkan pesan dari ibuku Miracle sudah melahirkan. Bayinya perempuan,” jawab Sean sambil terus mendorong kursi roda sang istri.
Sepulang dari rumah sakit, Sean langsung mengajak Stella pulang ke mansion-nya. Sama halnya dengan Ken dan Kelvin yang juga memiliki mansion pribadi mereka di Milan. Hanya saja jarak mansion milik Sean, Ken, dan Kelvin tidaklah berdekatan. Dan tidak bisa juga dibilang terlalu jauh. Chery dan Alika tentu ikut dengan Ken dan Kelvin. Ya, hari sudah gelap tentu Sean tidak mungkin membiarkan Stella berlama-lama di luar. Mengingat kondisi Stella saat ini sedang mengandung.Kini Stella baru saja membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dengan dress berbahan kaus nyaman khusus ibu hamil. Semakin hari kandungan Stella semakin bertumbuh besar. Tentu saja, perut Stella mudah membuncit. Usia kandungan masih memasuki bulan ketiga tapi perut sudah membuncit layaknya hamil lima bulan.“Nyonya Stella.” Seorang pelayan melangkah mendekat pada Stella seraya membawakan nampan yang berisikan jus apel.“Ya?” Stella mengalihkan pandangannya pada pelayan yang berdiri di hadapannya. Dia pun memberikan seny