Stella melirik arlojinya gelisah. Sudah hampir pukul lima sore tapi dosen tak kunjung menghentikan kelas. Padahal pembahasan teori begitu membosankan di telinga Stella. Ya, Stella lebih menyukai praktek langsung dari pada harus mendengarkan teori yang membosankan. Namun, dalam setiap bidang akademik tidak mungkin tidak ada teori. Tentunya itu adalah salah satu kewajiban para mahasiswa yang juga harus mampu mengerti tentang teori dalam sejarah fashion itu sendiri. Meski bosan, bukan artinya Stella tak pernah mempelajari teori. Stella tetap rajin mempelajari dengan baik pelajarannya.Tak berselang lama, sang dosen mengakhiri kelas; Stella langsung tergesa-gesa berjalan keluar dari ruang kelasnya. Ya, feeling Stella mengatakan Sean sudah menunggunya di lobby. Meski Sean tidak mengirimkan pesan padanya sudah ada di kampus tapi Stella yakin suaminya itu sudah datang. Alasan Stela begitu yakin adalah karena Sean mengatakan akan datang tepat waktu. Selama ini Sean tidak pernah mengikari janj
Stella menghela napas dalam kala melihat dirinya berada di pantulan cermin. Tampak raut wajahnya yang sedikit muram. Ya, hari ini Stella akan melakukan pemeriksaan kesehatannya untuk yang kesekian kalinya. Untuk kali ini Stella tidak lagi bertemu dengan dokter yang bisa menanganinya. Stella akan bertemu dengan dokter baru. Namun, dokter yang lama tetap menjadi bagian team dokter khusus yang menangani masalah kesetan Stella. Hal yang menjadi beban dalam diri Stella adalah dirinya begitu takut jika sampai mendengar hasil pemeriksaannya nanti. Stella tahu hasilnya akan tetap sama dan tidak berubah. Lagi dan lagi dokter akan mengatakan memiliki peluang untuk hamil meski itu sangat kecil. Itulah yang biasa Stella dengar. Akan tetapi meski Stella berkali-kali mendengar kata-kata itu yang keluar dari dokter; Stella tetap mengkonsumsi obat dengan rajin. Dia pun berjuang sekuat tenaga untuk sembuh. Hanya satu yang membuat Stella cepat muram yaitu ketika harus bertemu dengan dokter yang artinya
Hari demi hari Stella disibukan dengan membuat gaun yang dipesan oleh Diandra. Beruntung, dua penjahit yang diberikan Sean adalah penjahit yang cekatan dan pintar. Setiap kali Stella mengajarkan sesuatu maka penjahit itu sudah langsung memahaminya. Paling tidak Stella tidak perlu membutuhkan banyak energy hanya demi sebuah penjelasan tentang konsep yang dia inginkan. Jujur Stella sedikit takut dengan gaun yang dia buat ini. Dia takut jika pelanggan tidak menyukainya. Selama ini Stella berusaha keras menjahit sebaik mungkin. Dan selama proses pembuatan gaun, Alika dan Chery bukan hanya duduk diam menyaksikan Stella bekerja. Alika dan Chery pun turut belajar memasangkan berlian ke gaun yang telah Stella jahit. Tidak bisa dipungkiri, melihat berlian-belian tentu saja mata Alika dan Chery sepanjang harus selalu berdecak kagum. Bagamana tidak? Berlian yang biasanya dipakai untuk perhiasan tapi kini telah disulap menjadi hiasan pada sebuah gaun yang mewah.Ya, hari demi hari yang Stella lew
Stella menatap gaun yang telah dia jahit dibantu dengan kedua penjahitnya serta Alika dan juga Chery. Ya, jika tidak dibantu mungkin Stella membutuhkan waktu jauh lebih lama. Yang paling sulit adalah ketika memasangkan berlian ke gaun itu. Butuh ketelitian yang tinggi. Meski dibantu oleh kedua penjahit serta Alika dan Chery; Stella tetap memeriksanya dengan teliti. Stella tidak ingin membuat Diandra kecewa. Jika Alika, Chery dan kedua penjahitnya sudah pulang, biasanya Stella kembali memeriksa. Bahkan Stella memperbaiki jika ada penataan yang kurang rapi. Harus diakui gaun ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Ketelitian benar-benar harus diterapkan. Jika biasanya Stella hanya pernah menjahit gaun biasa atau paling tidak—gaun yang hanya berhiaskan manik-manik. Sedangkan kali ini gaun yang dihiaskan dengan berlian tentu saja membuat Stella begitu berhati-hati. Lebih tepatnya karena satu butir berlian saja sudah sangat mahal. Karena kalau sampai rusak itu akan menjadi sebuah kerug
Keesokan hari, Stella seperti biasa lebih dulu bangun mempersiapkan kebutuhan Sean sebelum berangkat bekerja. Ya, Stella begitu menikmati menjadi seorang istri. Setiap paginya dia bangun lebih awah, membantu sang suami yang tengah bersiap-siap. Walau terkadang, Stella pun beberapa kali bangun kesiangan namun Sean tidak pernah sedikit pun marah padanya. Mungkin lebih tepatnya, Sean senang jika Stella lebih banyak beristirahat di rumah dan tidak melakukan aktivitas berat. Tentu saja, hal itu akan membosankan bagi Stella. Sekarang Stella sudah terbiasa memiliki banyak peran. Sebagai mahasiwi, lalu sebagai perancang busana yang memiliki usaha meski masih baru memulainya. Dan terakhir yang paling penting yaitu sebagai seorang istri yang berkewajiban melayani dengan baik sang suami.Seperti pagi ini, Stella tengah membantu Sean memasangkan dasi…“Sean, apa malam ini kau akan pulang malam?” tanya Stella seraya merapikan kemeja Sean. Dia memastikan bahwa penampilan sang suami telah sempurna.
Menjelang keberangkatan ke Maldives, Stella disibukan dengan memilih-milih pakaian yang akan dibawa ke Maldives. Ya, cuaca di Maldives sangat panas. Tentu pakaian pantai yang nyaman harus Stella bawa cukup banyak. Meski sebenarnya Sean memintanya untuk tidak membawa banyak barang-barang—tetapi Stella tidak bisa. Dia tetap mempersiapkan banyak baju yang akan dibawa ke Maldives. Pun Stella menyiapkan cukup banyak baju untik Sean. Pelayan memang membantunya. Namun, Stella tetaplah Stella. Banyaknya pelayan yang membantunya sekali pun tetap saja Stella tidak bisa hanya menjadi penonton dan membiarkan pelayan mengemasi barang-barangnya. Stella sudah terbiasa sejak kecil mengemasi barang-barangnya sendiri. Jadi ada atau tidak adanya pelayan tetap saja Stella akan turun tangan. Terlebih untuk barang-barang yang dibutuhkan Sean; sebagai seorang istri tentu saja Stella ingin dirinya sendiri yang mempersiapkan untuk sang suami. Pelayan hanya membantu sekedarnya.“Sepertinya ini sudah semua. Aku
Matahari sudah tinggi menyinari bumi. Stella tengah duduk sebentar di sofa seraya memijat tengkuk lehernya pelan. Sesaat Stella menyandarkan punggungnya di sofa sambil memejamkan mata lelah. Ya, hari ini Sean dan Stella akan berangkat ke Maldives. Namun tubuh Stella benar-benar lelah. Bagaiman tidak? Tadi malam Sean sukses membuat Stella kelelahan. Suaminya itu menginginkannya lagi dan lagi. Padahal Stella sudah sangat lelah tapi tetap saja Sean tidak memberikannya istirahat. Seperti seekor harimau yang telah lama tak mendapatkan mangsa.“Rasanya aku ingin tidur saja.” Stella memilih kembali memejamkan mata. Jika saja hari ini bukan keberangkannya ke Maldives—sudah pasti Stella akan tidur seharian di rumah. Tubuhnya begitu enggan melangkah pergi. Namun, dia pun tidak mungkin membatalkan rencana liburannya.“Masih mengantuk?” Sean berdiri di ambang pintu, mendekat ke arah Stella. Lalu duduk di samping istrinya itu.Stella membuka matanya kala menyadari suara suaminya. “Sean?” panggilny
Bandar Udara Internasional Halim Perdanakusuma, Jakrta, Indonesia.Alika dan Chery mondar mandir gelisah di lobby bandara. Sudah sejak tadi mereka menunggu kedatangan Sean dan Stella. Namun kenyataannya Sean dan Stella tak kunjung datang. Sedangkan Kelvin tampak tenang dan terus berkutat pada ponsel di tangannya. Ya, apa lagi yang dikerjakan Kelvin selain membalas email dari sang sekretaris. Belakangan ini Kelvin memang disibukan dengan urusan perusahaan.“Alika, apa Sean dan Stella lupa kalau hari ini kita berangkat ke Maldives?” Chery bertanya dengan nada kesalnya.“Kau ini kenapa mengajukan pertanyaan bodohmu? Jelas kau tahu kita akan ke Maldives menggunakan pesawat pribadi Sean. Bagaimana Sean dan Stella lupa?” Alika membalikan ucapan Chery. Nada bicaranya pun kesal. Tentu saja dia kesal karena sejak tadi sudah menunggu tapi Stella dan Sean tak kunjung muncul.Kelvin mengembuskan napas kasar melihat Alika dan Chery sejak tadi berdebat. Dia memang sedang sibuk dengan pekerjaannya.
Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t
Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell
“Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn
Stella mengembuskan napas panjang kala mengingat laporan dari pengawal sang suami tentang kejadian di Central Park. Kejadian di mana Stanley membuat seorang gadis kecil menangis karena membuang permen pemberian gadis itu. Sungguh, Stella sangat sedih karena putranya bertindak demikian. Meski mertuanya sudah memberikan nasehat pada ketiga putranya tapi tetap saja Stella merasa gagal mendidik ketiga putranya.“Apa kalian hanya ingin diam saja? Tidak mau bilang apa-apa pada, Mommy?”Suara Stella menegur ketiga putranya yang tengah duduk di hadapannya itu. Ya, kini Stella berada di kamar Shawn. Kamar Shawn, Stanley, dan Steve memang terpisah. Tetapi karena Stella ingin berbicara dengan ketiga putranya maka tanley dan Steve mendatangi kamar Shawn. Tampak ketiga bocah laki-laki kembar itu menunduk. Tentu mereka tahu mereka akan mendapatkan teguran dari ibu mereka.“Mommy ini salahku. Maafkan aku, Mommy,” ucap Stanley dengan suara polosnya.Stella menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan
Saat pagi menyapa Shawn, Stanley, dan Steve sudah begitu tampan dengan setelan celana pendek dan kaus berwarna hitam dengan logo Gucci di tengah baju ketiga bocah itu. Ya, Shawn, Stanley, dan Steve tampak begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi bersaam dengan kakek dan nenek mereka. Sejak tadi malam memang ketiga bocah itu sangat bersemangat.“Anak Mommy tampan sekali.” Suara Stella dengan lembut berucap sambil menatap ketiga putra kembarnya. Stella mendekat pada Shawn, Stanley, dan Steve bersama dengan Sean yang ada di sisinya.“Daddy … Mommy …” Shawn, Stanley, dan Steve menghamburkan tubuh mereka pada Sean dan Stella yang mengampiri mereka.“Kalian mirip sekali seperti Daddy,” ucap Stella sembari mengurai pelukan ketiga putranya itu. Sean yang ada di samping Stella sejak tadi melukiskan senyuman hangat pada Shawn, Stanley, dan Steve.“Tentu saja, Mommy. Nanti saat kami dewasa kami akan seperti Daddy. Kami akan hebat.” Shawn, Stanley, dan Steve berucap serempak dan penuh
“Mommy … akhirnya Mommy pulang. Kami merindukan, Mommy.”Stanley dan Steve menghamburkan tubuh mereka kala melihat Stella pulang bersama dengan Shawn. Sudah sejak tadi Stanley dan Steve menunggu ibu mereka pulang. Ya, Stella memang sengaja meminta Stanley dan Steve pulang lebih dulu bersama sopir kala tadi Stella harus menyelesaikan masalah Shawn yang memukul Felix. Tentu Stella tak membiarkan Stanley dan Steve menunggu di ruang guru. Pasalnya Stella tak ingin Stanley dan Steve membuat masalah. Sungguh, ketiga anak kembarnya itu sangatlah kompak. Sudah cukup masalah Shawn membuat Stella sakit kepala. Stella tidak ingin sampai Stanley dan Steve juga ikut membuat masalah.Stella membalas pelukan Stanley dan Steve sembari memberikan kecupan di puncak kepala kedua putranya itu. “Mommy juga merindukan kalian. Apa kalian sudah makan?”“Sudah, Mommy. Kami sudah makan.” Stanley dan Steve menjawab dengan kompak. Lalu mereka melihat ke atah Shawn yang sejak tadi hanya diam. “Kak, kami tadi mau
“Shawn, Mommy tidak mau kau menggunakan kekerasan lagi. Tidak bagus, Nak. Kalau pun temanmu salah, kau bisa menegurnya tanpa harus memukul. Kalau kau menggunakan kekerasan sama saja kau main hakim sendiri, Shawn. Mommy tidak pernah mengajarkanmu untuk seperti itu.”Suara Stella menegur putra pertamanya itu. Nada bicaranya tegas tapi tetap lembut. Ya, Stella dan Shawn baru saja keluar dari ruang guru. Jika Stanley, dan Steve sudah lebih dulu pulang lain halnya dengan Shawn yang tadi ditahan di ruang guru. Itu kenapa Stella datang ke sekolah karena ulah putra pertamanya yang memukul teman sekolahnya. Tentu saja Shawn memukul bukan tanpa alasan. Bocah laki-laki kecil itu memukul temannya karena teman sekolahnya itu berani mencium pipi Katharina—putri bungsu Ken dan Chery. Dan hari ini Stella ke sekolah mendatangi guru tidak bersama dengan Sean. Kesibukan Sean yang membuat suaminya itu tidak bisa hadir. Pun Stella tidak memaksa untuk Sean menemaninya. Mengingat belakangan ini Sean terlalu
Suara tangis bocah kecil perempuan memasuki mansion, membuat Chery yang tengah membaca laporan perkembangan butik miliknya langsung terkejut. Tampak Chery segera meletakan laporan di tangannya ke atas meja. Wanita itu terburu-buru menghampiri suara tangis itu. Tentu Chery tahu itu adalah suara tangis putri kecilnya.“Katharina … kau kenapa, Nak? Kenapa menangis, Sayang?” Chery bersimpuh di depan Katharina—putri kecilnya yang tak kunjung berhenti menangis.“Nyonya, tadi di sekolah ada sedikit masalah.” Sang pengasuh menundukan kepalanya di depan Chery. “Masalah?” Chery bangkit berdiri. Lalu dia menatap Clovis—putra sulungnya yang sejak tadi hanya diam. “Clovis, ada apa, Nak? Kenapa adikmu menangis seperti ini? Apa kau tidak menjaga adikmu? Kan Mommy sudah bilang, kau harus menjaga adikmu dengan baik.” Chery menegur putranya dengan nada yang pelan, namun tersirat sedikit marah.Clovis Kendrick Jefferson adalah anak laki-laki pertama dari Ken dan Chery. Saat ini Clovis berusia empat tah
PranggggSebuah guci mahal pecah begitu saja akibat tendangan seorang bocah perempuan kecil. Pecahan beling itu memenuhi lantai. Beruntung pecahan beling tak mengenai bocah perempuan cantik itu. Tidak hanya sendirian tapi bocah laki-laki yang merupakan saudara kembarnya juga ada di hadapannya. Mereka terlalu asik bermain sampai-sampai memecahkan guci di ruang keluarga. Ya, kini kedua bocah laki-laki dan perempuan itu begitu panik kala melihat guci pecah. Wajah mereka tampak ketakutan. Baru saja mereka melarikan diri dari pengasuh yang menjaga mereka. Tapi malah mereka mendapatkan masalah.“Tuan Muda … Nona Muda …” Seorang pengasuh terlihat sangat panik melihat pecahan guci itu.“Kami tidak sengaja.” Luke dan Lydia memasang wajah merengut agar tak disalahkan.“Astaagaaa Luke … Lydia … ada apa ini?” Suara Alika berseru seraya melangkah memasuki ruang keluarga. Seketika raut wajah Alika berubah melihat guci kesayangannya dengan harga fantastis itu pecah. Kini sepasang iris mata hitam Al