Menjelang keberangkatan ke Maldives, Stella disibukan dengan memilih-milih pakaian yang akan dibawa ke Maldives. Ya, cuaca di Maldives sangat panas. Tentu pakaian pantai yang nyaman harus Stella bawa cukup banyak. Meski sebenarnya Sean memintanya untuk tidak membawa banyak barang-barang—tetapi Stella tidak bisa. Dia tetap mempersiapkan banyak baju yang akan dibawa ke Maldives. Pun Stella menyiapkan cukup banyak baju untik Sean. Pelayan memang membantunya. Namun, Stella tetaplah Stella. Banyaknya pelayan yang membantunya sekali pun tetap saja Stella tidak bisa hanya menjadi penonton dan membiarkan pelayan mengemasi barang-barangnya. Stella sudah terbiasa sejak kecil mengemasi barang-barangnya sendiri. Jadi ada atau tidak adanya pelayan tetap saja Stella akan turun tangan. Terlebih untuk barang-barang yang dibutuhkan Sean; sebagai seorang istri tentu saja Stella ingin dirinya sendiri yang mempersiapkan untuk sang suami. Pelayan hanya membantu sekedarnya.“Sepertinya ini sudah semua. Aku
Matahari sudah tinggi menyinari bumi. Stella tengah duduk sebentar di sofa seraya memijat tengkuk lehernya pelan. Sesaat Stella menyandarkan punggungnya di sofa sambil memejamkan mata lelah. Ya, hari ini Sean dan Stella akan berangkat ke Maldives. Namun tubuh Stella benar-benar lelah. Bagaiman tidak? Tadi malam Sean sukses membuat Stella kelelahan. Suaminya itu menginginkannya lagi dan lagi. Padahal Stella sudah sangat lelah tapi tetap saja Sean tidak memberikannya istirahat. Seperti seekor harimau yang telah lama tak mendapatkan mangsa.“Rasanya aku ingin tidur saja.” Stella memilih kembali memejamkan mata. Jika saja hari ini bukan keberangkannya ke Maldives—sudah pasti Stella akan tidur seharian di rumah. Tubuhnya begitu enggan melangkah pergi. Namun, dia pun tidak mungkin membatalkan rencana liburannya.“Masih mengantuk?” Sean berdiri di ambang pintu, mendekat ke arah Stella. Lalu duduk di samping istrinya itu.Stella membuka matanya kala menyadari suara suaminya. “Sean?” panggilny
Bandar Udara Internasional Halim Perdanakusuma, Jakrta, Indonesia.Alika dan Chery mondar mandir gelisah di lobby bandara. Sudah sejak tadi mereka menunggu kedatangan Sean dan Stella. Namun kenyataannya Sean dan Stella tak kunjung datang. Sedangkan Kelvin tampak tenang dan terus berkutat pada ponsel di tangannya. Ya, apa lagi yang dikerjakan Kelvin selain membalas email dari sang sekretaris. Belakangan ini Kelvin memang disibukan dengan urusan perusahaan.“Alika, apa Sean dan Stella lupa kalau hari ini kita berangkat ke Maldives?” Chery bertanya dengan nada kesalnya.“Kau ini kenapa mengajukan pertanyaan bodohmu? Jelas kau tahu kita akan ke Maldives menggunakan pesawat pribadi Sean. Bagaimana Sean dan Stella lupa?” Alika membalikan ucapan Chery. Nada bicaranya pun kesal. Tentu saja dia kesal karena sejak tadi sudah menunggu tapi Stella dan Sean tak kunjung muncul.Kelvin mengembuskan napas kasar melihat Alika dan Chery sejak tadi berdebat. Dia memang sedang sibuk dengan pekerjaannya.
Maamigili, Maldives. Setelah perjalanan cukup panjang akhirnya pesawat yang membawa Sean, Stella, Kelvin, Alika, dan Chery telah mendarat di Maamigili, Maldives. Kini Sean membawa Stella turun dari pesawat bersamaan dengan Kelvin, Alika, dan Chery yang mengikuti mereka. Tampa raut wajah Alika yang sedikit bingung kala melihat bandara ini.“Kelvin, kenapa kita langsung ke airport ini?” tanya Alika yang bingung sambil mentap Kelvin.“Apa kau sudah pernah ke Maldives sebelumnya?” tanya Kelvin sembari memeluk bahu Alika.“Belum. Aku belum pernah ke Maldives. Lagi pula ini negara yang paling sering dikunjungi untuk bulan madu. Bagaimana aku bisa ke sini?” jawab Alika degan nada sedikit kesal mendengar pertanyaan Kelvin.Kelvin menglum senyumannya. Lalu dia mengecup kening Alika dan menjawab, “Sebenarnya ini ide Sean. Bukan ideku. Sean mengajak kita untuk ke Sun Island Resort. Jika pesawat kita mendarat di Male Airport, kita akan tetap harus terbang ke Maamigili Airport karena letak Sun Is
Dering ponsel berbunyi, membuat Stella yang tengah tertidur pulas langsung terbangun. Stella mengerjapkan matanya beberapa kali, menggeliat dan menguap. Saat Stella sudah membuka matanya, dia sedikit terkejut kala mendapati dirinya berada di sebuah kamar yang berbeda. Ya, dia lupa kalau sekarang dirinya berada di Maldives. Perlahan, Stella mengalihkan pandangannya kala dering ponsel tak henti berdering. Dia mengambil ponselnya dan melihat ke layar. Senyum di bibir Stella terlukis kala melihat nomor Marsha, ibu mertuanya yang muncul di layar ponselnya. Tanpa menunggu, Stella langsung menggeser tombol merah sebelum kemudian meletakan ke telinganya.“Ya, Mom?” jawab Stella saat panggilan terhubung.“Sayang, apa Mommy mengganggumu?” ujar Marsha dari seberang sana.“Tidak, Mom. Mommy sama sekali tidak menggangguku. Mommy apa kabar?”“Baik, sayang. Mommy baik. Kau sendiri bagaimana, Stella?”“Aku baik, Mom.”“Mommy senang mendengarnya. Ah, ya. Mommy dengar kau dan Sean sedang berlibur ke Ma
Stella tidak lagi-lagi memakai bikini di depan banyak orang. Hanya cukup akan memakai bikini di depan Sean. Maksud tujuannya ingin belajar berenang nyatanya, Sean malah menghukumnya. Well, tentu saja hukuman Sean sukses membuat Stella kelelahan dan tak bergerak dari ranjang. Suaminya itu menyentuhnya seperti tidak pernah menyentuhnya. Begitu dalam dan kasar. Membuat tubuh Stella remuk. Apa yang dikatakan oleh Sean terbukti. Karena suaminya itu memang berhasil membuatnya tak beranjak sedikit pun dari ranjang. Seperti saat ini, Stella hanya terbaring di ranjang dengan tubuh polos dengan menggunakan selimut tebal. Rambut yang sedikit berantakan membuatnya tampak seksi. Bibir yang sedikit bengkak akibat Sean mencium bibirnya begitu liar.Sayup-sayup Stella mulai membuka matanya. Sedikit merentangkan kedua tangannya. Berusaha membuat tubuhnya sedikit lebih baik. Tepat di saat Stella sudah membuka kedua matanya, dia melihat Sean yang tengah duduk di sofa seraya menyesap kopi di tangannya. S
“Kelvin, Sean dan Stella ada di mana? Kenapa mereka belum juga muncul?” tanya Alika dengan nada kesal. Ya, kini Alika, Kelvin, dan Chery tengah menunggu Sean Stella. Sudah hampir lima belas menit mereka menunggu Sean dan Stella tapi mereka tetap tak melihat pasangan itu.“Sabar, sayang.” Kelvin merengkuh bahu Alika. Mengecupi kening Alika agar tidak lagi kesal. “Jangan cemberut, sayang. Wajahmu nanti cepat keriput. Memangnya kau mau cepat menjadi tua?”Bibir Alika mencebik sebal. “Kalau aku sudah tua, kau mau mencari wanita lain?”Kelvin mengembuskan napas kasar. Kalau seperti ini dia akan menjadi selalu salah. Padahal tujuannya hanya tidak ingin membuat Alika kesal saja. Tapi tetap saja kekasihnya itu akan memojokannya.“Kenapa kau diam, Kelvin? Apa kau berniat memiliki wanita lain?” seru Alika seraya memincingkan matanya.“Tidak, sayang. Memilikimu saja sudah membuatku sakit kepala. Kau adalah wanita yang berbeda dari yang lainnya. Satu-satunya wanita yang selalu membuatku kehabisan
Stella memijat pelipisnya, perutnya seperti begitu diaduk. Rasa mual Stella selalu muncul di pagi hari, membuatnya enggan untuk bangkit dari ranjang. Kini Stella memilih memejamkan mata. Memeluk bantal. Beruntung tadi pagi Sean mendapatkan panggilan telepon dari Tomy dan tidak melihat Stella mual. Ya, jika saja tadi pagi Sean melihatnya dalam keadaan mual, sudah pasti Sean akan memaksa Stella untuk ke dokter. Tak bisa dipungkiri Stella begitu malas jika harus ke dokter. Kembali harus mendengar apa yang dikatakan oleh dokter membuat Stella lelah. Pasalnya, Stella yakin apa yang dikatakan oleh sang dokter adalah sama. Tidak mungkin berbeda.Dan dia jenuh jika harus mendengarkan hal yang sama.Suara ketukan pintu terdengar, membuat Stella mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Dia mengembuskan napas panjang. Sebelum kemudian, menginterupsi untuk masuk.“Nyonya.” Seorang pelayan melangkah masuk ke dalam. Dia menundukan kepalanya sopan di hadapan Stella.“Iya, ada apa?” tanya Stella kala m