Stella memijat pelipisnya, perutnya seperti begitu diaduk. Rasa mual Stella selalu muncul di pagi hari, membuatnya enggan untuk bangkit dari ranjang. Kini Stella memilih memejamkan mata. Memeluk bantal. Beruntung tadi pagi Sean mendapatkan panggilan telepon dari Tomy dan tidak melihat Stella mual. Ya, jika saja tadi pagi Sean melihatnya dalam keadaan mual, sudah pasti Sean akan memaksa Stella untuk ke dokter. Tak bisa dipungkiri Stella begitu malas jika harus ke dokter. Kembali harus mendengar apa yang dikatakan oleh dokter membuat Stella lelah. Pasalnya, Stella yakin apa yang dikatakan oleh sang dokter adalah sama. Tidak mungkin berbeda.Dan dia jenuh jika harus mendengarkan hal yang sama.Suara ketukan pintu terdengar, membuat Stella mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Dia mengembuskan napas panjang. Sebelum kemudian, menginterupsi untuk masuk.“Nyonya.” Seorang pelayan melangkah masuk ke dalam. Dia menundukan kepalanya sopan di hadapan Stella.“Iya, ada apa?” tanya Stella kala m
Sejak kejadian Stella menangis, Sean jauh lebih berhati-hati dalam menjawab pertanyaan Stelal. Dia tidak ingin istrinya itu kembali menangis. Walau sebenarnya Sean sendiri tak mengerti kenapa Stella mudah sekali menangis belakangan ini. Jika Stella terbangun dari tidurnya, dan Sean tidak ada; istrinya itu pun langsung menangis. Membuat Sean benar-benar harus bersabar. Sean tidak lagi bisa menjawab telepon di pagi hari sebelum Stella bangun tidur. Karena jika sampai Stella melihat dirinya tidak ada maka istrinya itu bisa langsung menangis persis seperti anak kecil yang tidak dibelikan mainan. Ya, beberapa hari ini Stella sukses menguji kesabaran Sean.Sean duduk di sofa, menatap Stella yang kembali terlelap. Tadi pagi sebelumnya Stella terbangun dan tidak mengizinkanya pergi. Itu kenapa Sean harus menunggu Stella kembali tertidur. Jujur saja, meski sangat menyusahkan tapi Sean tetap menikmati sifat manja sang istri.Dering ponsel terdengar membuat Sean mengalihkan pandangannya. Dia men
Tanpa terasa Sean dan Stella sudah berada satu minggu di Maldives. Ya, kini waktunya mereka untuk kembali ke Jakarta. Setelah liburan panjang dan menyenangkan akhirnya mereka kembali ke Jakarta. Selama liburan kali ini banyak yang berubah dari Stella. Mulai dari minta makanan yang aneh yang tidak mungkin bisa ditemukan di Maldives. Selain itu, Stella pun mudah sekali menangis dan sangat sensitive. Jika Sean tidak menurutinya maka Stella akan menangis serta merajuk satu harian. Butuh pengorbanan agar Stella tidak lagi marah. Sean harus banyak mengalah dan membujuk sang istri. Seperti contoh Stella menginginkan lemper, salah satu makanan khas Indonesia. Lagi dan lagi Sean membujuk sang istri. Beruntung meski marah, Stella masih dengan mudahnya luluh.Dan hari ini adala hari yang ditunggu Sean. Waktu mereka kembali ke Jakarta. Sebenarnya Sean sudah ingin mempercepat kepulangan. Pasalnya Stella sering meminta makanan yang aneh-aneh. Membuatnya sakit kepala dengan permintaan istrinya itu.
Sean duduk di kursi kepemimpinan. Tatapannya teralih pada Mego, rekan bisnisnya dari Dubai yang tengah menjelaskan tentang project kerja sama yang baru saja dimulai. Sean mengetukan pelan jemarinya ke atas meja. Lalu memperhatikan dengan baik penjelasan dari rekan binisnya itu. Kelvin yang duduk tak jauh dari Sean pun tengah memperhatikan berkas kerja sama yang ada di hadapannya. Ya, di ruang meeting itu bukan hanya ada Sean dan rekan bisnisnya. Namun, Kelvin juga turut hadir dalam meeting tersebut. Alasannya tentu saja karena Kelvin memiliki peran penting di perusahaan. Walau tak dipungkiri, raut wajah Kelvin tampak begitu kesal. Bagaimana tidak? Baru saja kembali ke Jakarta sudah harus datang ke kantor. Jika Sean terlihat biasa, berbeda dengan Kelvin yang sejak tadi tampak enggan berlama-lama di ruang meeting.“Tuan Sean, sepertinya kita juga bisa membangun perusahaan teknologi di Mesir. Menurutku di sana tempat yang paling tepat,” ujar Mego seraya menatap Sean serius.Sean mengambi
Toronto, Kanada. William menyesap whisky di tangannya, tatapannya tak lepas menatap berkas yang tadi pagi diantar oleh Albert, asistennya. Ya, hari ini William tampak enggan untuk pergi ke kantor. Dia lebih menikmati bekerja di rumah. Sejak Sean memegang kendali perusahaan, William cukup terbantu. Meskipun Sean tinggal di Jakarta, tetapi Sean sangat banyak membantu perkembangan perusahaan. Paling tidak, kesibukan William mulai berkurang tidak sebanyak dulu saat dirinya masih mengurus perusahaan sendiri.“William...” Suara lembut Marsha melangkah masuk ke dalam ruang kerja William.William mengalihkan pandangannya pada sang istri. Senyuman di bibirnya terukir melihat Marsha membawakan nampan yang berisikan nasi goreng. Tentu dia tahu, pasti istrinya itu membawakan makanan untuknya.“Kau memasak apa untukku?” tanya William dengan senyuman hangat pada sang istri.“Aku membuatkan nasi goreng kepiting.” Marsha meletakan piring yang berisikan nasi goreng ke hadapan William seraya melanjutk
“Alika, kau benar Stella sedang hamil?” seru Chery dengan antusias kala mendengar apa yang diceritakan oleh Alika. Tampak wajah Chery begitu kegirangan. Bahkan dia sampai melompat mendengar kabar kehamilan Stella.Ya, Alika memberitahu pada Chery tentang kabar kehamilan Stella. Saat Alika sudah mendengar kabar kehamilan Stella dari Kelvin, dia hendak mengajak Chery untuk segera menjenguk Stella. Namun Kelvin melarangnya. Kekasihnya itu memintanya untuk tidak langsung datang. Meski berat, tapi akhirnya Alika mengerti. Karena bagaimanapun Alika tahu pasti Stella membutuhkan istirahat.Dan sekarang Alika tak bisa lagi menunggu, dia langsung mendatangi rumah Chery memberitahukan tentang Stella. Tak sabar menunggu di kampus, membuat Alika mendatangi rumah Chery di pagi hari.“Iya, Chery. Stella hamil. Kalau tidak salah kandungannya memasuki minggu keempat. Kelvin bilang padaku seperti itu,” jawab Alika yang tak kalah antusias.“Kalau begitu pantas saja kemarin saat kita di Maldives, Stel
Marsha merapikan rambut Stella yang berantakan di bantal. Tatapannya tak henti menatap Stella yang masih memejamkan mata. Dalam benak Marsha, memikirkan Stella kini telah mengandung. Ya, sepanjang perjalanan menuju Jakarta; Marsha sudah tak sabar melihat menantunya. Bahkan air mata Marsha pun terus berlinang mengingat dulu dokter memvonis Stella sulit memiliki anak. Namun kenyataan berkata lain. Takdir memihak putra dan menantunya. Sungguh, Marsha sangat bahagia mendengar tentang kehamilan menantunya.“Bibi Marsha, aku yakin Stella akan segera membuka matanya,” ucap Alika yang berdiri di sisi kiri ranjang Stella bersama dengan Chery. Mengatakan itu demi menenangkan hati Marsha.Marsha tersenyum sembari mengelus pipi Stella. “Iya, aku tahu pasti Stella akan segera membuka matanya. Stella tidak mungkin membuat semua orang bersedih.”“Saat ini pasti Stella tengah mendengar apa yang kita bicarakan, Bibi,” sambung Chery hangat.Marsha menganggukan kepalanya. “Kau benar, sayang. Stella past
Suara ketukan pintu terdengar membuat Alika yang tengah tertidur lelap harus terpaksa membuka kedua matanya. Alika mengerjap beberapa kali, menggeliat, dan menguap. Embusan napas kasar Alika terdengar kala mendengar suara ketukan pintu itu. Dia mengumpat pelan karean pagi hari seperti ini sudah ada yang mengganggunya. Dengan raut wajah yang kesal, terpaksa Alika menginterupsi yang mengetuk pintu itu untuk segera masuk.“Nona Alika.” Seorang pelayan melangkah menghampiri Alika, dia menundukan kepalanya menayap Alika dengan hormat.“Kenapa kau membangukanku sepagi ini? Bukannya kemarin aku sudah mengatakan padamu hari ini aku tidak memiliki jadwal kelas?” seru Alika dengan nada kesal. Ya, tadi malam Alika sudah memberitahu pada pelayannya bahwa hari ini tidak ada jadwal kelas. Itu kenapa dia kesal karena sepagi ini sudah dibangunkan. Padahal rencananya Alika ingin tidur sampai siang dan di sore hari nanti dia baru menjenguk Stella.“Nona Alika maaf saya membangunkan anda. Tapi di depan