Hari demi hari Stella disibukan dengan membuat gaun yang dipesan oleh Diandra. Beruntung, dua penjahit yang diberikan Sean adalah penjahit yang cekatan dan pintar. Setiap kali Stella mengajarkan sesuatu maka penjahit itu sudah langsung memahaminya. Paling tidak Stella tidak perlu membutuhkan banyak energy hanya demi sebuah penjelasan tentang konsep yang dia inginkan. Jujur Stella sedikit takut dengan gaun yang dia buat ini. Dia takut jika pelanggan tidak menyukainya. Selama ini Stella berusaha keras menjahit sebaik mungkin. Dan selama proses pembuatan gaun, Alika dan Chery bukan hanya duduk diam menyaksikan Stella bekerja. Alika dan Chery pun turut belajar memasangkan berlian ke gaun yang telah Stella jahit. Tidak bisa dipungkiri, melihat berlian-belian tentu saja mata Alika dan Chery sepanjang harus selalu berdecak kagum. Bagamana tidak? Berlian yang biasanya dipakai untuk perhiasan tapi kini telah disulap menjadi hiasan pada sebuah gaun yang mewah.Ya, hari demi hari yang Stella lew
Stella menatap gaun yang telah dia jahit dibantu dengan kedua penjahitnya serta Alika dan juga Chery. Ya, jika tidak dibantu mungkin Stella membutuhkan waktu jauh lebih lama. Yang paling sulit adalah ketika memasangkan berlian ke gaun itu. Butuh ketelitian yang tinggi. Meski dibantu oleh kedua penjahit serta Alika dan Chery; Stella tetap memeriksanya dengan teliti. Stella tidak ingin membuat Diandra kecewa. Jika Alika, Chery dan kedua penjahitnya sudah pulang, biasanya Stella kembali memeriksa. Bahkan Stella memperbaiki jika ada penataan yang kurang rapi. Harus diakui gaun ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Ketelitian benar-benar harus diterapkan. Jika biasanya Stella hanya pernah menjahit gaun biasa atau paling tidak—gaun yang hanya berhiaskan manik-manik. Sedangkan kali ini gaun yang dihiaskan dengan berlian tentu saja membuat Stella begitu berhati-hati. Lebih tepatnya karena satu butir berlian saja sudah sangat mahal. Karena kalau sampai rusak itu akan menjadi sebuah kerug
Keesokan hari, Stella seperti biasa lebih dulu bangun mempersiapkan kebutuhan Sean sebelum berangkat bekerja. Ya, Stella begitu menikmati menjadi seorang istri. Setiap paginya dia bangun lebih awah, membantu sang suami yang tengah bersiap-siap. Walau terkadang, Stella pun beberapa kali bangun kesiangan namun Sean tidak pernah sedikit pun marah padanya. Mungkin lebih tepatnya, Sean senang jika Stella lebih banyak beristirahat di rumah dan tidak melakukan aktivitas berat. Tentu saja, hal itu akan membosankan bagi Stella. Sekarang Stella sudah terbiasa memiliki banyak peran. Sebagai mahasiwi, lalu sebagai perancang busana yang memiliki usaha meski masih baru memulainya. Dan terakhir yang paling penting yaitu sebagai seorang istri yang berkewajiban melayani dengan baik sang suami.Seperti pagi ini, Stella tengah membantu Sean memasangkan dasi…“Sean, apa malam ini kau akan pulang malam?” tanya Stella seraya merapikan kemeja Sean. Dia memastikan bahwa penampilan sang suami telah sempurna.
Menjelang keberangkatan ke Maldives, Stella disibukan dengan memilih-milih pakaian yang akan dibawa ke Maldives. Ya, cuaca di Maldives sangat panas. Tentu pakaian pantai yang nyaman harus Stella bawa cukup banyak. Meski sebenarnya Sean memintanya untuk tidak membawa banyak barang-barang—tetapi Stella tidak bisa. Dia tetap mempersiapkan banyak baju yang akan dibawa ke Maldives. Pun Stella menyiapkan cukup banyak baju untik Sean. Pelayan memang membantunya. Namun, Stella tetaplah Stella. Banyaknya pelayan yang membantunya sekali pun tetap saja Stella tidak bisa hanya menjadi penonton dan membiarkan pelayan mengemasi barang-barangnya. Stella sudah terbiasa sejak kecil mengemasi barang-barangnya sendiri. Jadi ada atau tidak adanya pelayan tetap saja Stella akan turun tangan. Terlebih untuk barang-barang yang dibutuhkan Sean; sebagai seorang istri tentu saja Stella ingin dirinya sendiri yang mempersiapkan untuk sang suami. Pelayan hanya membantu sekedarnya.“Sepertinya ini sudah semua. Aku
Matahari sudah tinggi menyinari bumi. Stella tengah duduk sebentar di sofa seraya memijat tengkuk lehernya pelan. Sesaat Stella menyandarkan punggungnya di sofa sambil memejamkan mata lelah. Ya, hari ini Sean dan Stella akan berangkat ke Maldives. Namun tubuh Stella benar-benar lelah. Bagaiman tidak? Tadi malam Sean sukses membuat Stella kelelahan. Suaminya itu menginginkannya lagi dan lagi. Padahal Stella sudah sangat lelah tapi tetap saja Sean tidak memberikannya istirahat. Seperti seekor harimau yang telah lama tak mendapatkan mangsa.“Rasanya aku ingin tidur saja.” Stella memilih kembali memejamkan mata. Jika saja hari ini bukan keberangkannya ke Maldives—sudah pasti Stella akan tidur seharian di rumah. Tubuhnya begitu enggan melangkah pergi. Namun, dia pun tidak mungkin membatalkan rencana liburannya.“Masih mengantuk?” Sean berdiri di ambang pintu, mendekat ke arah Stella. Lalu duduk di samping istrinya itu.Stella membuka matanya kala menyadari suara suaminya. “Sean?” panggilny
Bandar Udara Internasional Halim Perdanakusuma, Jakrta, Indonesia.Alika dan Chery mondar mandir gelisah di lobby bandara. Sudah sejak tadi mereka menunggu kedatangan Sean dan Stella. Namun kenyataannya Sean dan Stella tak kunjung datang. Sedangkan Kelvin tampak tenang dan terus berkutat pada ponsel di tangannya. Ya, apa lagi yang dikerjakan Kelvin selain membalas email dari sang sekretaris. Belakangan ini Kelvin memang disibukan dengan urusan perusahaan.“Alika, apa Sean dan Stella lupa kalau hari ini kita berangkat ke Maldives?” Chery bertanya dengan nada kesalnya.“Kau ini kenapa mengajukan pertanyaan bodohmu? Jelas kau tahu kita akan ke Maldives menggunakan pesawat pribadi Sean. Bagaimana Sean dan Stella lupa?” Alika membalikan ucapan Chery. Nada bicaranya pun kesal. Tentu saja dia kesal karena sejak tadi sudah menunggu tapi Stella dan Sean tak kunjung muncul.Kelvin mengembuskan napas kasar melihat Alika dan Chery sejak tadi berdebat. Dia memang sedang sibuk dengan pekerjaannya.
Maamigili, Maldives. Setelah perjalanan cukup panjang akhirnya pesawat yang membawa Sean, Stella, Kelvin, Alika, dan Chery telah mendarat di Maamigili, Maldives. Kini Sean membawa Stella turun dari pesawat bersamaan dengan Kelvin, Alika, dan Chery yang mengikuti mereka. Tampa raut wajah Alika yang sedikit bingung kala melihat bandara ini.“Kelvin, kenapa kita langsung ke airport ini?” tanya Alika yang bingung sambil mentap Kelvin.“Apa kau sudah pernah ke Maldives sebelumnya?” tanya Kelvin sembari memeluk bahu Alika.“Belum. Aku belum pernah ke Maldives. Lagi pula ini negara yang paling sering dikunjungi untuk bulan madu. Bagaimana aku bisa ke sini?” jawab Alika degan nada sedikit kesal mendengar pertanyaan Kelvin.Kelvin menglum senyumannya. Lalu dia mengecup kening Alika dan menjawab, “Sebenarnya ini ide Sean. Bukan ideku. Sean mengajak kita untuk ke Sun Island Resort. Jika pesawat kita mendarat di Male Airport, kita akan tetap harus terbang ke Maamigili Airport karena letak Sun Is
Dering ponsel berbunyi, membuat Stella yang tengah tertidur pulas langsung terbangun. Stella mengerjapkan matanya beberapa kali, menggeliat dan menguap. Saat Stella sudah membuka matanya, dia sedikit terkejut kala mendapati dirinya berada di sebuah kamar yang berbeda. Ya, dia lupa kalau sekarang dirinya berada di Maldives. Perlahan, Stella mengalihkan pandangannya kala dering ponsel tak henti berdering. Dia mengambil ponselnya dan melihat ke layar. Senyum di bibir Stella terlukis kala melihat nomor Marsha, ibu mertuanya yang muncul di layar ponselnya. Tanpa menunggu, Stella langsung menggeser tombol merah sebelum kemudian meletakan ke telinganya.“Ya, Mom?” jawab Stella saat panggilan terhubung.“Sayang, apa Mommy mengganggumu?” ujar Marsha dari seberang sana.“Tidak, Mom. Mommy sama sekali tidak menggangguku. Mommy apa kabar?”“Baik, sayang. Mommy baik. Kau sendiri bagaimana, Stella?”“Aku baik, Mom.”“Mommy senang mendengarnya. Ah, ya. Mommy dengar kau dan Sean sedang berlibur ke Ma