Bandar Udara Internasional Soekarno–Hatta, Tangerang, Banten, Indonesia. Pesawat yang membawa Sean dan Stella telah mendarat di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta. Setelah menempuh perjalanan satu jam, akhirnya Sean dan Stella tiba di Jakarta. Dan untuk pertama kalinya, Sean menuruti permintaan Stella untuk naik pesawat komersial. Ya, ini adalah pertama kali bagi Sean menggunakan pesawat komersial. Selama ini Sean tidak pernah menggunakan pesawat komersial. Sean tidak menyukai banyaknya penumpang di pesawat. Itu kenapa sejak kecil Sean selalu menggunakan pesawat pribadi miliknya sendiri.Namun, meski menggunakan pesawat komersial Sean tetap memilih kursi first class. Tentu saja Stella tidak memiliki pilihan selain menuruti Sean. Padahal Stella ingin sekali mencoba kursi economy class. Lepas dari itu semua alasan Sean menerima permintaan Stella untuk naik pesawat komersial adalah karena jarak Yogyakarta dan Jakarta sangat dekat. Jadi tidak masalah Sean harus menaha diri selama
Keesokan hari saat pagi menyapa, Stella sudah lebih dulu bangun dari Sean. Hari ini Stella akan kembali masuk kuliah seperti biasa. Namun, sebelum bersiap-siap Stella ingin bermain dengan Alaska. Sungguh, dia merindukan Alaska yang dulunya sering melolong tiap kali bertemu dengannya.“Alaska…” Stella berjalan menghampiri rumah Alaska yang ada di halaman belakang. Sebenarnya Sean biasa menyebutnya kandang tapi bagi Stella tempat tinggal Alaska seperti rumah bukan kandang. Bayangkan saja Alaska tidur di ruang ber AC, ditambah dengan ranjang empuk mahal persis sama seperti ranjang manusia. Well, Sean memperilakukan Alaska benar-benar sangat luar biasa.“Nyonya.” Pengawal yang menjaga Alaska menundukan kepalanya kala melihat Stella mendekat ke arahnya.“Alaska…” Stella menundukan tubuhnya, merentangkan kedua tangan memanggil Alaska penuh dengan kasih sayang.Alaska yang melihat Stella datang. Langsung berlari dan masuk ke dalam pelukan Stella. Stella terduduk di tanah kala tubuhnya tidak
“Raynold?”Tubuh Stella mematung melihat Raynold melangkah mendekat ke arahnya. Sedangkan Alika dan Chery menyenggol lengan Stella. Tampak Alika dan Chery menjadi canggung. Pasalnya, Raynold berada di sini. Ditambah dengan masih banyak orang yang menggiring opini sendiri mengenai Stella dan Raynold. Meski sudah ada klarifikasi dari Aurora dan Alesya tetap saja tidak bisa membungkam mulut-mulut yang membicarakan negative tentang Stella dan Raynold.“Hi, Stella,” sapa Raynold kala tiba di hadapan Stella. Nadanya begitu ramah. Seperti biasa senyuman Raynold terlihat hangat.“Hi, Raynold,” jawab Stella dengan senyuman canggung. Sudah lebih dari satu bulan sejak kejadian yang menimpanya dan Raynold, mereka tidak lagi bertemu. Ini membuat Stella menjadi canggung jika kembali dipertemukan dengan Raynold. Namun, tentu saja Stella akan kembali bertemu dengan Raynold. Mengingat Raynold memiliki saham di Raffles Group.“Stella, bisa kita bicara sebentar?” pinta Raynold dengan nada yang serius.S
“Stella?”Alika dan Chery bersamaan memanggil Stella saat temannya itu melangkah masuk ke dalam kantin. Sesaat kening mereka tampak berkerut melihat wajah muram Stella. Ya, kelas kosong karena dosen berhalangan untuk hadir membuat Alika dan Chery memutuskan untuk menunggu Stella di kantin. Seperti sebelumnya mereka telah janjian untuk makan bersama.“Stella? Kau sudah selesai bicara dengan Raynold?” Alika bertanya kala Stella sudah duduk di hadapannya.“Apa terjadi sesuatu, Stella?” sambung Chery dengan raut wajah bingung melihat Stella.Stelal menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. “Aku sudah bicara dengan Raynold.”“Apa kalian membicarakan tentang gossip kalian itu?” tebak Alika ingin tahu. Pasalnya, meski berita tentang Stella dan Raynold sudah selesai, tetap masih banyak orang yang menggiring opini sendiri. Tidak sedikit pula banyak yang masih menjelek-jelekan nama Stella. Namun, foto-foto Stella dan Raynold yang seperti tengah tidur bersama sudah dihapus. Beberapa situs t
“Hari ini Raynold datang ke kampusku, dia berbicara denganku.”Seketika raut wajah Sean berubah mendengar apa yang dikatakan oleh Stella. Sorot matanya menjadi tajam. Rahangnya mengetat. Menatap Stella penuh dengan geraman yang Sean tahan. Amarah dalam dirinya membakar. Namun, Sean masih seolah tenang. Ya, Sean membenci Stella menyebut nama itu kembali. Meski kebenaran sudah terungkap, tidak ada hubungan apa pun dengan Raynold. Akan tetapi Sean tetap tidak akan pernah membiarkan Stella dekat dengan pria itu. Sean memilih diam beberapa hari ini, meredakan dirinya dan pikiranya karena Sean tidak ingin kembali membahas tentang masalah yang sudah berlalu.“Untuk apa dia datang menemuimu, Stella?” Sean bertanya dengan nada penuh ketegasan dan sorot mata tajam yang menuntut agar Stella menjelaskan padanya. “Bukannya kau tahu aku tidak suka kau bertemu dengannya tapi kenapa kau masih tetap bertemu dengannya?” lanjutnya dengan penuh kemarahan tertahan.Stella menarik napas panjang. Dia sudah
Stella berdiri di balkon kamar. Menatap langit gelap yang indah dengan bertaburan bintang dan bulan di sana. Udara malam yang menyejukan. Sesaat Stella menutup matanya, menikmati embusan angin yang menyentuh kulitnya. Sungguh, Stella begitu merindukan suasana malam seperti ini. Langit yang indah ini begitu Stella rindukan. Biasanya Stella selalu berdiri di balkon kamar jika menunggu Sean pulang dari kantor.Saat Stella tengah asik menikmati udara malam di balkon kamar, dia mendengar suaar dering ponsel berbunyi. Stella mengalihkan pandangannya pada ponsel yang tak kunjung berdering itu. Kini Stella berbalik dan mengambil ponselnya yang terletak di atas meja dan menatap ke layar ponsel, tertera nama Alika di sana. Tanpa menunggu, Stella menjawab panggilan telepon itu sebelum kemudian meletakan ke telinganya.“Ya, Alika?” jawab Stella saat panggilan terhubung.“Stella, kau mengirimkan uang ke rekeningku dan Chery?” tanya Alika dengan nada terkejutnya dari seberang sana.“Iya, aku memil
Pagi hari, Stella sudah berada di dapur membuatkan sarapan untuk Sean. Menu kali ini Stella khusus membuatkan Fettuccine Cream untuk Sean. Sebenarnya Stella ingin membuat nasi goreng di pagi hari, namun saat baru saja Stella ingin membuat nasi goreng sang pelayan sudah memberitahu bahwa Sean tidak menyukai makan nasi di pagi hari. Biasanya Sean akan makan nasi di siang hari. Pantas saja setiap kali Stella ingin membuat nasi goreng, Sean selalu memakan sandwich atau beef cheese potato.“Selesai,” ucap Stella dengan riang kala dirinya sudah selesai masak.“Nyonya, apa Nyonya butuh bantuan?” Seorang pelayan menawarkan diri. Dia menatap Stella yang tengah menata piring yang berisikan Fettuccine Cream ke atas meja makan.“Hm, boleh kau tolong ambilkan apel dan anggur?” pinta Stella dengan lembut.“Baik, Nyonya,” jawab sang pelayan itu. Kemudian, dia membuka kulkas. Menghidangkan apel dan anggur ke atas meja makan.Kini meja makan itu telah tertata masakan yang dibuat oleh Stella bersmaan d
Sean melangkah keluar dari ruang meeting. Sesaat dia melirik arloji—waktu menunjukan pukul lima sore. Ya, Sean tidak menyadari hari telah sore. Terlalu banyak pekerjaan yang dia selesaikan sampai membuat dirinya lupa akan waktu. Kini Sean hendak melanjutkan langkahnya menuju ruang kerja. Namun, tiba-tiba langkah Sean terhenti melihat Tomy, asistennya yang berlari cepat ke arahnya.“Tuan.” Tomy menyapa Sean dengan ketakutan yang menelusup di dalam dirinya. Tampak Tomy yang begitu panik dan cemas.“Ada apa, Tomy? Kenapa kau berlari seperti ini?” Sean bertanya dengan tatapan dingin pada asistennya itu.“T-Tuan.” Tomy menggaruk kepalanya tidak gatal, raut wajahnya bingung untuk mengutarakan apa yang akan dia katakan.Sean mengembuskan napas kasar. “Jika kau ingin bicara, maka bicaralah! Jangan membuang waktuku dengan menunggumu seperti ini!” serunya kesal.“M-Maaf, Tuan. Saya hanya ingin memberitahu di ruang kerja Tuan Kelvin ada dua orang wanita yang tengah rebut. Pengawal berusaha meler
Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t
Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell
“Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn
Stella mengembuskan napas panjang kala mengingat laporan dari pengawal sang suami tentang kejadian di Central Park. Kejadian di mana Stanley membuat seorang gadis kecil menangis karena membuang permen pemberian gadis itu. Sungguh, Stella sangat sedih karena putranya bertindak demikian. Meski mertuanya sudah memberikan nasehat pada ketiga putranya tapi tetap saja Stella merasa gagal mendidik ketiga putranya.“Apa kalian hanya ingin diam saja? Tidak mau bilang apa-apa pada, Mommy?”Suara Stella menegur ketiga putranya yang tengah duduk di hadapannya itu. Ya, kini Stella berada di kamar Shawn. Kamar Shawn, Stanley, dan Steve memang terpisah. Tetapi karena Stella ingin berbicara dengan ketiga putranya maka tanley dan Steve mendatangi kamar Shawn. Tampak ketiga bocah laki-laki kembar itu menunduk. Tentu mereka tahu mereka akan mendapatkan teguran dari ibu mereka.“Mommy ini salahku. Maafkan aku, Mommy,” ucap Stanley dengan suara polosnya.Stella menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan
Saat pagi menyapa Shawn, Stanley, dan Steve sudah begitu tampan dengan setelan celana pendek dan kaus berwarna hitam dengan logo Gucci di tengah baju ketiga bocah itu. Ya, Shawn, Stanley, dan Steve tampak begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi bersaam dengan kakek dan nenek mereka. Sejak tadi malam memang ketiga bocah itu sangat bersemangat.“Anak Mommy tampan sekali.” Suara Stella dengan lembut berucap sambil menatap ketiga putra kembarnya. Stella mendekat pada Shawn, Stanley, dan Steve bersama dengan Sean yang ada di sisinya.“Daddy … Mommy …” Shawn, Stanley, dan Steve menghamburkan tubuh mereka pada Sean dan Stella yang mengampiri mereka.“Kalian mirip sekali seperti Daddy,” ucap Stella sembari mengurai pelukan ketiga putranya itu. Sean yang ada di samping Stella sejak tadi melukiskan senyuman hangat pada Shawn, Stanley, dan Steve.“Tentu saja, Mommy. Nanti saat kami dewasa kami akan seperti Daddy. Kami akan hebat.” Shawn, Stanley, dan Steve berucap serempak dan penuh
“Mommy … akhirnya Mommy pulang. Kami merindukan, Mommy.”Stanley dan Steve menghamburkan tubuh mereka kala melihat Stella pulang bersama dengan Shawn. Sudah sejak tadi Stanley dan Steve menunggu ibu mereka pulang. Ya, Stella memang sengaja meminta Stanley dan Steve pulang lebih dulu bersama sopir kala tadi Stella harus menyelesaikan masalah Shawn yang memukul Felix. Tentu Stella tak membiarkan Stanley dan Steve menunggu di ruang guru. Pasalnya Stella tak ingin Stanley dan Steve membuat masalah. Sungguh, ketiga anak kembarnya itu sangatlah kompak. Sudah cukup masalah Shawn membuat Stella sakit kepala. Stella tidak ingin sampai Stanley dan Steve juga ikut membuat masalah.Stella membalas pelukan Stanley dan Steve sembari memberikan kecupan di puncak kepala kedua putranya itu. “Mommy juga merindukan kalian. Apa kalian sudah makan?”“Sudah, Mommy. Kami sudah makan.” Stanley dan Steve menjawab dengan kompak. Lalu mereka melihat ke atah Shawn yang sejak tadi hanya diam. “Kak, kami tadi mau
“Shawn, Mommy tidak mau kau menggunakan kekerasan lagi. Tidak bagus, Nak. Kalau pun temanmu salah, kau bisa menegurnya tanpa harus memukul. Kalau kau menggunakan kekerasan sama saja kau main hakim sendiri, Shawn. Mommy tidak pernah mengajarkanmu untuk seperti itu.”Suara Stella menegur putra pertamanya itu. Nada bicaranya tegas tapi tetap lembut. Ya, Stella dan Shawn baru saja keluar dari ruang guru. Jika Stanley, dan Steve sudah lebih dulu pulang lain halnya dengan Shawn yang tadi ditahan di ruang guru. Itu kenapa Stella datang ke sekolah karena ulah putra pertamanya yang memukul teman sekolahnya. Tentu saja Shawn memukul bukan tanpa alasan. Bocah laki-laki kecil itu memukul temannya karena teman sekolahnya itu berani mencium pipi Katharina—putri bungsu Ken dan Chery. Dan hari ini Stella ke sekolah mendatangi guru tidak bersama dengan Sean. Kesibukan Sean yang membuat suaminya itu tidak bisa hadir. Pun Stella tidak memaksa untuk Sean menemaninya. Mengingat belakangan ini Sean terlalu
Suara tangis bocah kecil perempuan memasuki mansion, membuat Chery yang tengah membaca laporan perkembangan butik miliknya langsung terkejut. Tampak Chery segera meletakan laporan di tangannya ke atas meja. Wanita itu terburu-buru menghampiri suara tangis itu. Tentu Chery tahu itu adalah suara tangis putri kecilnya.“Katharina … kau kenapa, Nak? Kenapa menangis, Sayang?” Chery bersimpuh di depan Katharina—putri kecilnya yang tak kunjung berhenti menangis.“Nyonya, tadi di sekolah ada sedikit masalah.” Sang pengasuh menundukan kepalanya di depan Chery. “Masalah?” Chery bangkit berdiri. Lalu dia menatap Clovis—putra sulungnya yang sejak tadi hanya diam. “Clovis, ada apa, Nak? Kenapa adikmu menangis seperti ini? Apa kau tidak menjaga adikmu? Kan Mommy sudah bilang, kau harus menjaga adikmu dengan baik.” Chery menegur putranya dengan nada yang pelan, namun tersirat sedikit marah.Clovis Kendrick Jefferson adalah anak laki-laki pertama dari Ken dan Chery. Saat ini Clovis berusia empat tah
PranggggSebuah guci mahal pecah begitu saja akibat tendangan seorang bocah perempuan kecil. Pecahan beling itu memenuhi lantai. Beruntung pecahan beling tak mengenai bocah perempuan cantik itu. Tidak hanya sendirian tapi bocah laki-laki yang merupakan saudara kembarnya juga ada di hadapannya. Mereka terlalu asik bermain sampai-sampai memecahkan guci di ruang keluarga. Ya, kini kedua bocah laki-laki dan perempuan itu begitu panik kala melihat guci pecah. Wajah mereka tampak ketakutan. Baru saja mereka melarikan diri dari pengasuh yang menjaga mereka. Tapi malah mereka mendapatkan masalah.“Tuan Muda … Nona Muda …” Seorang pengasuh terlihat sangat panik melihat pecahan guci itu.“Kami tidak sengaja.” Luke dan Lydia memasang wajah merengut agar tak disalahkan.“Astaagaaa Luke … Lydia … ada apa ini?” Suara Alika berseru seraya melangkah memasuki ruang keluarga. Seketika raut wajah Alika berubah melihat guci kesayangannya dengan harga fantastis itu pecah. Kini sepasang iris mata hitam Al