Tanpa pikir panjang, Belle bangkit dari kursinya. "Liam, selesaikan makananmu," katanya buru-buru.Liam mengangkat alis, bingung. "Belle, kau mau ke mana?""Aku akan kembali," jawab Belle singkat sebelum berlari keluar restoran.Angin malam menerpa wajahnya saat dia menyeberang jalan dengan cepat. Langkahnya mantap menuju mobil yang terparkir agak jauh dari restoran.Saat dia semakin mendekat, dia bisa melihat siluet seseorang di balik kaca gelap mobil itu. Dante.Belle tidak ragu. Dia berdiri di sisi pintu pengemudi, mengetuk kaca mobil dengan kuat. "Dante!" teriak Belle.Tidak ada respons.Belle mengetuk lagi, lebih keras kali ini. "
Belle melangkah keluar dari rumah sakit dengan napas yang berat. Dadanya terasa sesak oleh penghinaan yang baru saja dia terima. Dia tidak tahu apa yang lebih menyakitkan. Kenyataan bahwa dia dianggap tidak pantas berada di dekat Eddie, atau bahwa seseorang dengan mudah menilainya hanya berdasarkan latar belakangnya.Langkahnya semakin cepat saat dia menuju halte bus di seberang jalan. Dia tidak ingin Eddie tahu tentang ini.Belle menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Konyol. Seharusnya dia sudah terbiasa dengan dunia seperti ini—dunia orang-orang kaya yang menganggap segalanya bisa diatur. Termasuk siapa yang boleh dan tidak boleh masuk dalam kehidupan mereka.Bus berhenti di depannya. Dengan cepat, Belle naik dan duduk di dekat jendela. Menatap ke luar tanpa benar-benar
Nate duduk sendirian di pojok bar, jemarinya melingkari gelas bourbon yang sudah setengah kosong. Musik jazz mengalun pelan di latar belakang, bercampur dengan suara gelak tawa dan dentingan gelas dari meja-meja di sekitarnya. Tetapi Nate tidak memedulikan semua itu.Matanya menatap kosong ke dalam gelas, pikirannya dipenuhi oleh satu nama—Dante.Dante Hudson.Dulu, Nate mengaguminya. Menghormatinya. Bahkan menganggap Dante sebagai seseorang yang tak tersentuh. Tapi sekarang? Pria itu telah berubah.Semuanya dimulai sejak Belle masuk ke dalam kehidupan Dante. Sejak saat itu, Dante tidak lagi sama. Tidak lagi menjadi pria yang dulu Nate kenal—seseorang yang berdiri tanpa ragu di puncak kekuasaan, seseorang yang mengendalikan segalanya dengan tangan besi.
Dante duduk di kursi utama ruang rapat, satu tangan menggenggam pena sementara yang lain bertumpu di meja kayu gelap. Para eksekutif di sekelilingnya tengah membahas strategi ekspansi bisnis.Kemudian, ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah panggilan masuk.Dante melirik layar dan langsung mengerutkan kening. Nate.Dia bisa merasakan tatapan Fabian dari sisi kanan, tetapi Dante tidak memberikan reaksi apa pun. Dia meraih ponselnya dengan gerakan santai, tetapi hatinya mulai merasakan sesuatu yang ganjil. Nate tidak pernah menghubunginya lagi setelah dipecat.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Dante bangkit dari kursinya dan berjalan keluar ruang rapat."Apa maumu, Nate?" sentak Dante emosi.
Bab 1 Pesta MewahBelle Monaghan berdiri di sudut ruangan, mengenakan gaun hitam sederhana. Mungkin cocok dengan perannya sebagai seorang asisten eksekutif. Bukan sebagai seorang tamu yang datang menikmati kemewahan malam ini. Belle menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatasi rasa gugup. Dia tidak terbiasa berada di tengah keramaian seperti ini. Tempat orang-orang kaya dan berpengaruh saling memamerkan status mereka.Namun, sebagai asisten eksekutif Nate Whitmore—COO perusahaan tempat Belle bekerja, dia harus bertahan. Tugasnya adalah memastikan segala kebutuhan atasannya, Nate, terpenuhi sepanjang malam.Nate—pria berusia tiga puluhan dengan senyum percaya diri, berdiri beberapa meter darinya. Pria itu sedang berbincang dengan seorang investor potensial. Sesekali Nate melirik ke arah Belle, memberinya isyarat saat dia membutuhkan sesuatu.Belle melangkah mendekat dengan iPad di tangan. Dia mencatat jadwal dan rincian percakapan yang harus dia ingat untuk dilaporkan pada Nate nanti.
Bab 2 Kalangan Bawah“Siapa kau?” tanya pria itu dengan suara berat.Pria itu tinggi. Dengan setelan hitam yang sempurna membungkus tubuhnya. Matanya yang tajam seperti menyelidik ke dalam jiwa Belle. Aura kekuasaan dan dominasi memancar dari setiap gerakan pria itu.“Saya Isabella Monaghan. Asisten Pak Whitmore,” jawab Belle polos. Seperti anak kecil ketika berhadapan dengan pria tinggi itu. “Dan Anda siapa?”Pria itu tersenyum tipis. “Apa Nate tidak bilang padamu tentang aku?” Dia kemudian melirik Nate. “Perkenalkan, aku Dante Hudson. Sudah tahu?”Belle menelan ludah. Dia tidak tahu siapa Dante Hudson. Yang dia tahu, Dante pasti sama saja dengan Nate dan orang-orang kaya lain. “Tentu saja,” jawab Belle, tidak ingin terintimidasi. “Anda adalah orang kaya yang merasa berhak memandang rendah orang-orang seperti saya,”Dante mendekati Belle perlahan, postur tubuhnya tegap seperti seorang raja. “Keberanianmu itu menarik. Tapi jadi bodoh jika tidak digunakan pada tempatnya,” Belle menga
Belle berdiri diam sejenak. Matanya terpaku pada Vicky yang masih memasang ekspresi puas. Cairan sampanye yang dingin dan lengket mengalir di kulit Belle. Punggungnya panas. Rasanya Belle ingin meledak, menangis karena malu. Namun dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan orang-orang itu.Belle memutuskan untuk segera memutar tubuh dan berjalan cepat menuju pintu keluar. Kepalanya tertunduk, sedikit berlari agar segera bebas dari mereka.Begitu Belle keluar dari aula itu dan menemukan sudut sunyi di lorong belakang, dia berhenti. Kemarahan, penghinaan, dan rasa sakit bercampur menjadi satu dalam dadanya. Dia merasa seperti tak mampu bernapas.“Kenapa harus seperti ini?” gumamnya pelan di antara isak tangisnya.Belle baru saja melangkah pergi dari sudut lorong, mencoba menghapus sisa air mata dengan tangan. Namun, cairan lengket dari sampanye di gaunnya membuat semua menjadi tidak nyaman.“Sepertinya kau membutuhkan ini,”Sebuah suara lembut memecah keheningan. Belle menghentik
Bab 4 Peringatan KecilDante duduk di kursi besar di ujung ruangan, memandang gelas kristalnya dengan tatapan menggelap. Di dalam pikirannya, perkataan Belle terus terulang. Seperti gema yang tak mau hilang.“Itu lebih dari cukup dibandingkan Anda yang memiliki kekayaan … tapi saya yakin … itu bukan hasil kerja keras Anda sendiri,”Kata-kata itu membakar ego Dante. Wanita itu, seorang rendahan, berani menghinanya. Di depan teman-temannya. Dalam mimpi terburuk Dante sekalipun, itu semua tidak pernah terbayangkan.Lex yang sedang berbincang dengan Nate dan Jamie, melirik ke arah Dante. Dia menyadari perubahan hati pria itu.“Apa kau ingin membunuh seseorang, Dan?” tegur Lex sambil menepuk bahu Dante.Dante mendongak, menatap Lex dengan mata yang penuh amarah. “Wanita itu harus diberi pelajaran. Siapa dia hingga berani menamparku seperti itu?”Vicky yang duduk di dekat mereka mendengus, menuangkan anggur ke gelasnya. “Dia memang tidak bisa dibiarkan,” sahutnya.James Calloway—Jamie yang
Dante duduk di kursi utama ruang rapat, satu tangan menggenggam pena sementara yang lain bertumpu di meja kayu gelap. Para eksekutif di sekelilingnya tengah membahas strategi ekspansi bisnis.Kemudian, ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah panggilan masuk.Dante melirik layar dan langsung mengerutkan kening. Nate.Dia bisa merasakan tatapan Fabian dari sisi kanan, tetapi Dante tidak memberikan reaksi apa pun. Dia meraih ponselnya dengan gerakan santai, tetapi hatinya mulai merasakan sesuatu yang ganjil. Nate tidak pernah menghubunginya lagi setelah dipecat.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Dante bangkit dari kursinya dan berjalan keluar ruang rapat."Apa maumu, Nate?" sentak Dante emosi.
Nate duduk sendirian di pojok bar, jemarinya melingkari gelas bourbon yang sudah setengah kosong. Musik jazz mengalun pelan di latar belakang, bercampur dengan suara gelak tawa dan dentingan gelas dari meja-meja di sekitarnya. Tetapi Nate tidak memedulikan semua itu.Matanya menatap kosong ke dalam gelas, pikirannya dipenuhi oleh satu nama—Dante.Dante Hudson.Dulu, Nate mengaguminya. Menghormatinya. Bahkan menganggap Dante sebagai seseorang yang tak tersentuh. Tapi sekarang? Pria itu telah berubah.Semuanya dimulai sejak Belle masuk ke dalam kehidupan Dante. Sejak saat itu, Dante tidak lagi sama. Tidak lagi menjadi pria yang dulu Nate kenal—seseorang yang berdiri tanpa ragu di puncak kekuasaan, seseorang yang mengendalikan segalanya dengan tangan besi.
Belle melangkah keluar dari rumah sakit dengan napas yang berat. Dadanya terasa sesak oleh penghinaan yang baru saja dia terima. Dia tidak tahu apa yang lebih menyakitkan. Kenyataan bahwa dia dianggap tidak pantas berada di dekat Eddie, atau bahwa seseorang dengan mudah menilainya hanya berdasarkan latar belakangnya.Langkahnya semakin cepat saat dia menuju halte bus di seberang jalan. Dia tidak ingin Eddie tahu tentang ini.Belle menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Konyol. Seharusnya dia sudah terbiasa dengan dunia seperti ini—dunia orang-orang kaya yang menganggap segalanya bisa diatur. Termasuk siapa yang boleh dan tidak boleh masuk dalam kehidupan mereka.Bus berhenti di depannya. Dengan cepat, Belle naik dan duduk di dekat jendela. Menatap ke luar tanpa benar-benar
Tanpa pikir panjang, Belle bangkit dari kursinya. "Liam, selesaikan makananmu," katanya buru-buru.Liam mengangkat alis, bingung. "Belle, kau mau ke mana?""Aku akan kembali," jawab Belle singkat sebelum berlari keluar restoran.Angin malam menerpa wajahnya saat dia menyeberang jalan dengan cepat. Langkahnya mantap menuju mobil yang terparkir agak jauh dari restoran.Saat dia semakin mendekat, dia bisa melihat siluet seseorang di balik kaca gelap mobil itu. Dante.Belle tidak ragu. Dia berdiri di sisi pintu pengemudi, mengetuk kaca mobil dengan kuat. "Dante!" teriak Belle.Tidak ada respons.Belle mengetuk lagi, lebih keras kali ini. "
Setelah seharian bekerja, Dante duduk di kursi kantornya dengan tangan yang bertaut di depan wajah. Fabian berdiri di dekat pintu, memegang tabletnya sambil melirik sekilas jadwal sang majikan.“Jadwal Anda kosong malam ini,” kata Fabian tenang.Dante terdiam beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat kepala. “Antar aku ke rumah Belle,” ucapnya pelan.Fabian tidak menunjukkan ekspresi terkejut. Dalam hati dia sudah menduga ini akan terjadi. Dante bisa saja berusaha bersikap seolah Belle tidak berarti apa-apa, tetapi tindakannya selalu berlawanan dengan kata-katanya.Tanpa banyak bicara, Fabian mengangguk dan segera mengatur perjalanan mereka. Mobil melaju tenang di bawah langit malam yang gelap, lampu-lampu kota berkedip samar di kejauhan. Dante duduk di kursi belakang, pandangannya kosong menatap ke luar jendela.Sesampainya di depan rumah Belle, mobil berhenti perlahan. Dante tidak langsung turun. Dia hanya duduk di sana, menatap rumah yang tampak sunyi dari balik kaca. Lampu di dal
Keesokan paginya, Belle keluar dari rumah dengan wajah yang tampak lelah dan mata yang sedikit sembab. Dia bahkan tidak sempat sarapan. Pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran tentang cara membantu keluarganya yang sedang hancur.Namun saat Belle melangkah keluar dari pintu rumah, dia terkejut melihat sosok Eddie yang berdiri di depan pagar. Bersandar pada mobilnya."Eddie?" Belle mengernyit, bingung."Kau mau ke mana?" tanya Eddie."Aku... ingin mencari pekerjaan. Aku harus melakukan sesuatu untuk membantu Mom dan Dad,"Eddie mendekat, berdiri tepat di hadapan Belle. "Jangan selalu berlagak kalau kau sendirian," ucapnya. “Aku akan selalu melindungimu,”Belle terdiam. Hatinya bergetar mendengar kata-kata Eddie. “Bagaimana kalau kau coba ini?” Eddie menyerahkan ponselnya, yang menunjukkan sebuah posisi di rumah sakit milik keluarga Kingsley.Belle terdiam menatap Eddie. "Kau tahu aku bukan dokter atau perawat, kan? Aku bahkan tidak punya pengalaman di bidang medis," ujar Belle dengan
Belle duduk di sudut kamar, memeluk kedua lututnya sambil menatap kosong ke luar jendela. Langit senja yang seharusnya indah terasa kelabu di matanya.Semuanya terjadi begitu cepat. Terlalu rapi. Terlalu sempurna untuk disebut sebagai kebetulan. Namun, siapa yang membenci keluarganya sampai tega menghancurkan mereka seperti ini?Tanpa sadar, air mata Belle kembali mengalir. "Apakah ini hukuman darimu, Dante?" isaknya.Belle menggigit bibirnya. Dia tahu Dante pria yang kejam, tapi... tidak mungkin Dante tega menghancurkan hidupnya sampai seperti ini, kan? Tapi siapa lagi yang bisa melakukannya?Di luar, Eddie masih berdiri di depan rumah Belle. Dia tahu wanita itu sedang terluka. Tetapi Belle terlalu keras kepala untuk membiarkan siapa pun masuk ke dalam dinding pertahanannya.“Apa benar ini ulahmu, Dan?” gumam Eddie, mendongak menatap rumah Belle.***Malam itu, Eddie langsung menghubungi seseorang yang selama ini menjadi "telinga dan mata" Dominion Club di balik layar, Alexander Har
Sofia berdiri dengan wajah tegang sambil menyerahkan sebuah map tebal berisi semua informasi tentang Belle. Evelyn duduk di kursi beludru berwarna gading, dengan secangkir teh di tangan. Wanita itu tampak tenang."Sudah kau dapatkan semuanya?" tanya Evelyn tanpa menoleh.Sofia mengangguk sambil meletakkan map itu di meja. "Semua yang Anda minta,”Evelyn meletakkan cangkir tehnya dan membuka map itu perlahan.Di sana ada foto Belle yang tersenyum lembut di depan toko bunga miliknya, Emily's Garden. Foto keluarganya. Foto bengkel kecil milik Patrick, ayahnya. Bahkan informasi tentang Belle yang sempat putus kuliah karena ibunya sakit keras juga ada di dalam laporan itu.Evelyn tersenyum miring.“Dia menyedihkan… tapi justru itu yang membuat Dante begitu terikat padanya," gumam Evelyn sambil membolak-balik halaman."Saya juga menemukan sesuatu yang... menarik, Nyonya," ujar Sofia.Sofia menarik napas dalam, lalu menyerahkan sebuah amplop lain yang berisi foto-foto lama."Isabella pernah
Eddie memperhatikan Belle yang sejak tadi diam dan terus melirik ke arah Dante. mendekatkan wajahnya ke Belle. “Apa kau ingin pergi dari sini?”Belle tersentak. "Hah? Tidak... Aku baik-baik saja."Eddie tersenyum kecil. "Kalau begitu... ayo berdansa," ajak Eddie, menarik tangan Belle menuju lantai dansa.Belle terkejut. "Eddie, aku—"Tapi Eddie sudah terlanjur menarik tangan Belle ke tengah lantai dansa. Dan Belle tidak bisa menolak lagi.Dante yang sejak tadi memperhatikan mereka dari kejauhan, matanya semakin gelap saat melihat Eddie memeluk pinggang Belle dan mulai berdansa. Dante meremas gelas wine di tangannya hingga retak.Lex bersandar di bar dengan gelas