Nate duduk sendirian di pojok bar, jemarinya melingkari gelas bourbon yang sudah setengah kosong. Musik jazz mengalun pelan di latar belakang, bercampur dengan suara gelak tawa dan dentingan gelas dari meja-meja di sekitarnya. Tetapi Nate tidak memedulikan semua itu.
Matanya menatap kosong ke dalam gelas, pikirannya dipenuhi oleh satu nama—Dante.
Dante Hudson.
Dulu, Nate mengaguminya. Menghormatinya. Bahkan menganggap Dante sebagai seseorang yang tak tersentuh. Tapi sekarang? Pria itu telah berubah.
Semuanya dimulai sejak Belle masuk ke dalam kehidupan Dante. Sejak saat itu, Dante tidak lagi sama. Tidak lagi menjadi pria yang dulu Nate kenal—seseorang yang berdiri tanpa ragu di puncak kekuasaan, seseorang yang mengendalikan segalanya dengan tangan besi.
Dante duduk di kursi utama ruang rapat, satu tangan menggenggam pena sementara yang lain bertumpu di meja kayu gelap. Para eksekutif di sekelilingnya tengah membahas strategi ekspansi bisnis.Kemudian, ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah panggilan masuk.Dante melirik layar dan langsung mengerutkan kening. Nate.Dia bisa merasakan tatapan Fabian dari sisi kanan, tetapi Dante tidak memberikan reaksi apa pun. Dia meraih ponselnya dengan gerakan santai, tetapi hatinya mulai merasakan sesuatu yang ganjil. Nate tidak pernah menghubunginya lagi setelah dipecat.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Dante bangkit dari kursinya dan berjalan keluar ruang rapat."Apa maumu, Nate?" sentak Dante emosi.
Dante bergerak tanpa peringatan, melayangkan pukulan keras ke wajah Nate. Membuat pria itu tersungkur ke lantai dengan darah merembes dari bibirnya.Salah satu pria berbadan besar mencoba menyerang dari samping, tetapi Dante dengan gesit menghindar, lalu menghantam rahang pria itu dengan tinjunya. Satu pukulan lagi ke perut, dan pria itu jatuh berlutut sambil terbatuk-batuk kesakitan.“Berhenti!” teriak Nate keras.Dante berhenti. Napasnya berat, dadanya naik-turun seiring dengan amarah yang dia tahan. Matanya beralih ke Belle, yang kini lemas penuh luka. Salah satu anak buah Nate menekan pisau ke leher Belle. Ujungnya cukup tajam hingga meninggalkan goresan tipis di kulit wanita itu.Belle menahan napas, tubuhnya menegang. Dia bisa merasakan dinginnya bilah
Belle menjerit, terpaku di kursinya. Selama ini, Dante adalah pria yang selalu dia lihat sebagai seseorang yang arogan, angkuh, dan tak tersentuh. Seseorang yang tidak peduli pada siapa pun selain dirinya sendiri. Namun di hadapan Belle sekarang, Dante adalah pria yang rela berlutut, dihancurkan tanpa melawan, dan menawarkan nyawanya sendiri hanya agar dirinya tidak tersentuh.Matanya membelalak ketika tongkat besi itu diayunkan ke tubuh Dante.Brak!Suara hantaman keras menggema di gudang kosong itu, membuat Belle menahan napas. Dante terhuyung, tetapi tetap tidak jatuh. Darah segar menetes dari sudut bibirnya, tetapi dia tetap menatap Nate dengan seringaian. Seolah menantang."Berhenti! Nate, hentikan ini!" pekik Belle, begitu keras.
Suara sirene polisi terdengar di kejauhan, semakin mendekat. Beberapa mobil polisi berhenti di depan gudang, dan sekelompok petugas bersenjata turun dengan sigap."Letakkan tangan di atas kepala! Jangan bergerak!" perintah salah satu petugas dengan tegas.Fabian segera maju, menunjukkan dokumen yang membuktikan bahwa mereka adalah korban dalam situasi ini. Sementara itu, paramedis yang ikut datang bersama polisi langsung menghampiri Dante dan Belle."Tuan Hudson, Anda terluka cukup parah. Anda harus segera diperiksa," kata salah satu paramedis, bersiap membantu Dante berdiri.Namun, Dante menepis tangan mereka. "Aku baik-baik saja," katanya dingin.Saat polisi akhirnya berhasil menemukan dan memborgol Nate, pria itu bukannya
Tengah malam, Belle memutuskan untuk keluar kamar karena tidak bisa tidur. Memejamkan mata di ruangan sebesar dan semewah itu, membuat tubuh Belle mendadak tidak nyaman.Belle hendak menuju ruang tamu, dan melihat Dante masih di sana. Pria itu menyandarkan punggungnya di sofa.“Kau belum mengobati lukamu, kan?” tegur Belle, perlahan mendekat.Dante membuka mata perlahan, menatap Belle yang berdiri di depannya dengan botol antiseptik di tangan. Dante mengangkat satu alis, tapi tidak berkata apa-apa saat Belle duduk di sampingnya.“Jangan bergerak,” perintah Belle, menuangkan sedikit antiseptik ke kapas sebelum menyentuh luka di pelipis Dante.Pria itu tidak bereaksi saat Belle membersihkan goresan di wa
"Kau tidak akan terlambat ke kantor?" tanya Belle, masih di bawah tubuh Dante.Dante hanya tersenyum kecil, matanya berkilat nakal. "Aku cuti hari ini," jawabnya santai.Belle mengerutkan kening. "Kenapa?"Dante mengangkat alis, lalu menunjuk wajahnya sendiri. "Menurutmu? Aku tidak bisa datang ke kantor dengan wajah seperti ini,"Belle baru sadar bahwa meski sebagian luka di wajah Dante mulai mereda, lebam di sudut bibir dan rahangnya masih terlihat jelas. Belle mengulurkan tangan untuk menyentuh luka itu. Tapi sebelum jari-jari Belle menyentuh kulitnya, Dante menangkap pergelangan tangan Belle."Aku lebih memilih menghabiskan hari ini bersamamu," katanya, lalu mengecup punggung tangan Belle dengan lembut.Lalu tanpa peringatan, Dante mendorong tubuh Belle lebih keras, membuatnya tersentak."D-Dante—""Aku masih belum puas," bisik Dante dengan suara yang rendah dan dalam, membuat kulit Belle meremang."Jangan melawan," gumam Dante di sela ciuman mereka. "Karena aku tidak akan berhenti
Ketukan di pintu menggema di seluruh ruangan. Belle yang masih terbaring di ranjang dengan selimut membungkus tubuhnya langsung menegang. Sementara itu Dante hanya menghela napas malas, tampak enggan beranjak dari tempat tidur."Masuk," perintahnya santai.Pintu terbuka dan Fabian melangkah masuk dengan ekspresi datar. Membawa nampan berisi makanan. Namun, begitu matanya menangkap pemandangan di hadapannya—Dante yang duduk dengan rambut berantakan dan tubuh santai bersandar di kepala ranjang, sementara Belle tampak sibuk merapatkan selimut ke tubuhnya dengan pipi memerah, Fabian hanya menghela napas kecil."Saya membawa makanan, Tuan," ujarnya formal. "Anda harus makan sebelum keadaan semakin memburuk,""Bagus," katanya, menaruh nampan di meja kecil di samping ranj
Di sebuah ruangan eksklusif di salah satu restoran mewah, Evelyn duduk dengan anggun. Jemarinya memainkan gelas anggur merah, sementara tatapan matanya tetap tenang namun tajam. Di hadapannya, Sofia berdiri dengan ekspresi puas. Seolah baru saja menyelesaikan tugas besar yang membanggakan."Sudah selesai Nyonya," ujar Sofia pelan.Evelyn mengangkat alis sedikit, lalu meletakkan gelas anggurnya ke meja. "Kau berhasil?" tanyanya dengan nada santai.Sofia mengangguk kecil. "Tentu saja. Patrick sudah tertembak. Saat ini dia terkapar di rumah sakit, berjuang antara hidup dan mati,"Evelyn menghela napas ringan. "Bagus," katanya pelan. "Isabella akan semakin terpuruk. Dan Dante…" Dia tersenyum tipis, "akan semakin sibuk mengurusnya,"
Kondisi Patrick mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Setelah melewati masa kritis, dokter akhirnya memberi kabar baik kepada keluarga Belle bahwa operasi berjalan sukses dan tidak ada komplikasi serius. Meskipun masih harus menjalani perawatan intensif, Patrick sudah mulai sadar dan bisa merespons dengan baik.Di kamar rumah sakit, Belle duduk di samping tempat tidur ayahnya. Menggenggam tangan Patrick dengan erat. Emily berdiri di sisi lain tempat tidur, matanya masih sembab karena kurang tidur. Liam berdiri tak jauh dari mereka, berusaha terlihat kuat meskipun jelas-jelas dia juga sangat cemas.“Dad,” suara Belle lirih. Matanya berkaca-kaca saat Patrick akhirnya membuka mata dengan lemah.Patrick tersenyum samar. "Kalian semua… ada di sini…" Suaranya masih serak, tetapi itu sudah cukup untuk membuat Belle merasa lega.Emily menutup mulut, berusaha menahan tangis bahagia.Belle mengusap air matanya. "Dad istirahat saja dulu, jangan khawatirkan yang lain. Yang penting sekarang Dad
Keesokan paginya, dokter keluar dari ruang ICU dengan ekspresi lebih tenang. Belle yang semalaman tidak tidur langsung berdiri. Matanya penuh harap dan ketakutan."Dokter, bagaimana kondisi ayah saya?" tanya Belle, tak sabar.Dokter itu mengangguk kecil. "Syukurlah, beliau berhasil melewati 24 jam krusial. Meski masih harus dalam pengawasan ketat, kondisinya mulai stabil,"Belle langsung menutup mulut dengan tangan, air matanya jatuh begitu saja. Beban yang semalam menyesakkan dada perlahan terasa lebih ringan.Dante yang berdiri di samping Belle langsung meraih bahunya. Menahan agar tetap tegak. "Kau dengar itu? Ayahmu akan baik-baik saja," katanya lembut.Emily langsung memeluk Belle, ikut merasa lega karena Patrick berhasi
Sementara mereka berpelukan dalam diam, suara langkah kaki mendekat. Seorang perawat keluar dari ruang ICU, membawa berkas di tangannya.“Dokter masih memeriksa kondisi ayah Anda,” kata perawat itu dengan suara lembut pada Belle. “Mungkin butuh beberapa menit lagi sebelum Anda bisa masuk,”Belle mengangguk, mencoba melepaskan diri dari Dante. Tetapi pria itu masih enggan melepaskan tangannya. Bahkan ketika Belle akhirnya mundur, Dante tetap menggenggam jemarinya erat. Seolah takut Belle akan runtuh jika dia lepaskan.“Dan … “ gumam Belle. Memberi isyarat pada Dante kalau dia baik-baik saja.Tak lama kemudian, pintu terbuka. Dan seorang dokter keluar dengan ekspresi serius. Belle langsung menghampiri, begitu juga dengan Dante yan
Di sebuah ruangan eksklusif di salah satu restoran mewah, Evelyn duduk dengan anggun. Jemarinya memainkan gelas anggur merah, sementara tatapan matanya tetap tenang namun tajam. Di hadapannya, Sofia berdiri dengan ekspresi puas. Seolah baru saja menyelesaikan tugas besar yang membanggakan."Sudah selesai Nyonya," ujar Sofia pelan.Evelyn mengangkat alis sedikit, lalu meletakkan gelas anggurnya ke meja. "Kau berhasil?" tanyanya dengan nada santai.Sofia mengangguk kecil. "Tentu saja. Patrick sudah tertembak. Saat ini dia terkapar di rumah sakit, berjuang antara hidup dan mati,"Evelyn menghela napas ringan. "Bagus," katanya pelan. "Isabella akan semakin terpuruk. Dan Dante…" Dia tersenyum tipis, "akan semakin sibuk mengurusnya,"
Ketukan di pintu menggema di seluruh ruangan. Belle yang masih terbaring di ranjang dengan selimut membungkus tubuhnya langsung menegang. Sementara itu Dante hanya menghela napas malas, tampak enggan beranjak dari tempat tidur."Masuk," perintahnya santai.Pintu terbuka dan Fabian melangkah masuk dengan ekspresi datar. Membawa nampan berisi makanan. Namun, begitu matanya menangkap pemandangan di hadapannya—Dante yang duduk dengan rambut berantakan dan tubuh santai bersandar di kepala ranjang, sementara Belle tampak sibuk merapatkan selimut ke tubuhnya dengan pipi memerah, Fabian hanya menghela napas kecil."Saya membawa makanan, Tuan," ujarnya formal. "Anda harus makan sebelum keadaan semakin memburuk,""Bagus," katanya, menaruh nampan di meja kecil di samping ranj
"Kau tidak akan terlambat ke kantor?" tanya Belle, masih di bawah tubuh Dante.Dante hanya tersenyum kecil, matanya berkilat nakal. "Aku cuti hari ini," jawabnya santai.Belle mengerutkan kening. "Kenapa?"Dante mengangkat alis, lalu menunjuk wajahnya sendiri. "Menurutmu? Aku tidak bisa datang ke kantor dengan wajah seperti ini,"Belle baru sadar bahwa meski sebagian luka di wajah Dante mulai mereda, lebam di sudut bibir dan rahangnya masih terlihat jelas. Belle mengulurkan tangan untuk menyentuh luka itu. Tapi sebelum jari-jari Belle menyentuh kulitnya, Dante menangkap pergelangan tangan Belle."Aku lebih memilih menghabiskan hari ini bersamamu," katanya, lalu mengecup punggung tangan Belle dengan lembut.Lalu tanpa peringatan, Dante mendorong tubuh Belle lebih keras, membuatnya tersentak."D-Dante—""Aku masih belum puas," bisik Dante dengan suara yang rendah dan dalam, membuat kulit Belle meremang."Jangan melawan," gumam Dante di sela ciuman mereka. "Karena aku tidak akan berhenti
Tengah malam, Belle memutuskan untuk keluar kamar karena tidak bisa tidur. Memejamkan mata di ruangan sebesar dan semewah itu, membuat tubuh Belle mendadak tidak nyaman.Belle hendak menuju ruang tamu, dan melihat Dante masih di sana. Pria itu menyandarkan punggungnya di sofa.“Kau belum mengobati lukamu, kan?” tegur Belle, perlahan mendekat.Dante membuka mata perlahan, menatap Belle yang berdiri di depannya dengan botol antiseptik di tangan. Dante mengangkat satu alis, tapi tidak berkata apa-apa saat Belle duduk di sampingnya.“Jangan bergerak,” perintah Belle, menuangkan sedikit antiseptik ke kapas sebelum menyentuh luka di pelipis Dante.Pria itu tidak bereaksi saat Belle membersihkan goresan di wa
Suara sirene polisi terdengar di kejauhan, semakin mendekat. Beberapa mobil polisi berhenti di depan gudang, dan sekelompok petugas bersenjata turun dengan sigap."Letakkan tangan di atas kepala! Jangan bergerak!" perintah salah satu petugas dengan tegas.Fabian segera maju, menunjukkan dokumen yang membuktikan bahwa mereka adalah korban dalam situasi ini. Sementara itu, paramedis yang ikut datang bersama polisi langsung menghampiri Dante dan Belle."Tuan Hudson, Anda terluka cukup parah. Anda harus segera diperiksa," kata salah satu paramedis, bersiap membantu Dante berdiri.Namun, Dante menepis tangan mereka. "Aku baik-baik saja," katanya dingin.Saat polisi akhirnya berhasil menemukan dan memborgol Nate, pria itu bukannya
Belle menjerit, terpaku di kursinya. Selama ini, Dante adalah pria yang selalu dia lihat sebagai seseorang yang arogan, angkuh, dan tak tersentuh. Seseorang yang tidak peduli pada siapa pun selain dirinya sendiri. Namun di hadapan Belle sekarang, Dante adalah pria yang rela berlutut, dihancurkan tanpa melawan, dan menawarkan nyawanya sendiri hanya agar dirinya tidak tersentuh.Matanya membelalak ketika tongkat besi itu diayunkan ke tubuh Dante.Brak!Suara hantaman keras menggema di gudang kosong itu, membuat Belle menahan napas. Dante terhuyung, tetapi tetap tidak jatuh. Darah segar menetes dari sudut bibirnya, tetapi dia tetap menatap Nate dengan seringaian. Seolah menantang."Berhenti! Nate, hentikan ini!" pekik Belle, begitu keras.