Belle berdiri diam sejenak. Matanya terpaku pada Vicky yang masih memasang ekspresi puas. Cairan sampanye yang dingin dan lengket mengalir di kulit Belle. Punggungnya panas. Rasanya Belle ingin meledak, menangis karena malu. Namun dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan orang-orang itu.
Belle memutuskan untuk segera memutar tubuh dan berjalan cepat menuju pintu keluar. Kepalanya tertunduk, sedikit berlari agar segera bebas dari mereka.
Begitu Belle keluar dari aula itu dan menemukan sudut sunyi di lorong belakang, dia berhenti. Kemarahan, penghinaan, dan rasa sakit bercampur menjadi satu dalam dadanya. Dia merasa seperti tak mampu bernapas.
“Kenapa harus seperti ini?” gumamnya pelan di antara isak tangisnya.
Belle baru saja melangkah pergi dari sudut lorong, mencoba menghapus sisa air mata dengan tangan. Namun, cairan lengket dari sampanye di gaunnya membuat semua menjadi tidak nyaman.
“Sepertinya kau membutuhkan ini,”
Sebuah suara lembut memecah keheningan. Belle menghentikan langkah dan menoleh ke sumber suara. Di hadapannya berdiri seorang pria yang mengenakan setelan jas hitam. Wajahnya tampan, dengan senyum yang hangat.
Pria itu mengulurkan sapu tangan berwarna putih bersih ke arah Belle.
Belle menatap sapu tangan itu ragu. Dia mengerutkan alis, tidak yakin apakah harus menerimanya.
“Ini hanya sapu tangan,” kata pria itu.
Akhirnya Belle menerima. “Terima kasih,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.
Pria itu tersenyum lagi. “Kau baik-baik saja?” tanyanya.
Belle mengangguk, meskipun matanya masih sembab dan tubuhnya terasa lengket akibat insiden tadi. “Aku akan baik-baik saja,” katanya.
Pria itu perlahan mundur. Saat dia pergi, Belle merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah rasa hangat yang jarang dia rasakan sebelumnya, di tempat mewah penuh kekejaman seperti ini.
***
Keesokan harinya, Belle duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota. Tempat dia dan sahabatnya, Lila, sering bertemu. Lila Stewart, seorang wanita yang berprofesi sebagai pengacara magang. Dia sosok ceria dengan rambut keriting dan senyum yang selalu ramah. Sesekali Lila menyesap latte-nya sambil menatap Belle dengan penuh antusias.
“Jadi, bagaimana rasanya bekerja di salah satu perusahaan paling bergengsi di kota ini?” tanya Lila sambil menyandarkan dagunya di tangan.
Belle tersenyum kecil, meskipun dia masih teringat kejadian semalam. Beruntung hari ini adalah akhir pekan, yang artinya dia tidak perlu bertemu Nate.
“Hudson Group memang nama besar,” timpal Belle. Dia mengaduk cappuccino-nya perlahan. “Tapi berada di sana tidak seindah yang kamu bayangkan, Lila. Percayalah,”
Lila mengernyitkan kening. “Kenapa?” tanyanya. “Rapat mewah, atasan tampan, naik jet pribadi ... begitu, kan?”
Belle tertawa kecil, menggelengkan kepalanya. “Atasanku bernama Nate Whitmore. Dia memang tampan, kalau itu yang kau maksud,” Belle meringis membayangkan wajah Nate yang marah. “Tapi dia juga salah satu orang paling perfeksionis yang pernah aku temui. Kerja di bawahnya itu seperti tidak ada habisnya. Dia terus-menerus meminta ini dan itu, bahkan di tengah acara gala tadi malam,”
“Dia menyebalkan?” tanya Lila, alisnya terangkat.
“Bukan menyebalkan, lebih ke ... menantang,” Belle memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Aku harus selalu siap menjawab, selalu tahu apa yang dia butuhkan. Bahkan sebelum dia meminta. Dan itu melelahkan,”
Lila mengangguk. “Tapi kau bisa mengatasinya, kan? Kau selalu pintar dan cepat belajar,”
“Ya, aku bisa,” kata Belle dengan nada yakin, meskipun senyumnya masih samar. “Aku hanya harus terus bertahan,” Untuk kalimat satu ini, Belle merasa tidak yakin.
Lila meletakkan cangkir latte-nya. Matanya berbinar penuh semangat. “Belle, kau tahu tentang The Dominion Club, kan?” tanyanya, sedikit mencondongkan tubuh ke depan. Suaranya nyaris berbisik.
Belle memiringkan kepala, mengerutkan dahi. “The Dominion Club?”
“Itu adalah klub paling eksklusif yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang super kaya dan berpengaruh di kota ini. Dan aku tidak bicara soal orang kaya biasa, aku bicara tentang para pewaris kerajaan bisnis, CEO besar, atau mereka yang memiliki kekuasaan politik,” Lila menjelaskan dengan penuh semangat.
Belle mendengarkan meskipun sedikit skeptis. “Lalu apa yang mereka lakukan di klub itu?”
Lila melirik sekeliling kafe, seolah memastikan tidak ada yang mendengarkan. “Aku dengar dari temanku yang bekerja di salah satu gala mereka. Klub itu seperti ... tempat di mana mereka merasa bisa melakukan apa saja. Mereka punya pesta mewah, membuat taruhan besar dan ... yah, kadang-kadang mereka mempermainkan orang seperti kita. Orang-orang biasa,”
Belle menelan ludah. Dia tiba-tiba teringat akan percakapan Dante dan kawan-kawannya tadi malam. Tentang orang-orang kelas bawah yang disebut sebagai ‘beban’.
“Dan siapa saja anggota klub itu?” tanya Belle.
Lila menghela napas. “Aku tahu beberapa nama anggota inti. Ada Dante Hudson, misalnya. Dia ketua klub itu. Pewaris Hudson Group. Semua orang bilang dia sangat berkuasa, tidak hanya di klub tapi juga di banyak aspek bisnis di kota ini,”
Belle terdiam, hatinya mencelos. Nama itu terdengar familiar. Perlahan wajah pria sombong yang mendebatnya tadi malam muncul di pikiran Belle.
“Lalu ada Alexander Harrington. Terkenal dengan nama Lex,” lanjut Lila. “Dia sahabat dekat Dante dan mungkin orang yang paling bisa menyaingi Dante dalam hal kekuasaan dan pengaruh. Dia dikenal sebagai otak di balik banyak keputusan penting di klub,”
Lila berhenti sejenak, menyesap kopinya sebelum melanjutkan. “Ada juga Edward Kingsley. Dia anak konglomerat properti terkenal. Dia lebih pendiam dibandingkan yang lain, tapi kabarnya dia masih setia pada tradisi dan aturan klub,”
“Siapa lagi?” tanya Belle, merasa penjelasan Lila cukup menarik.
“Victoria Albright,” kata Lila, suaranya lebih pelan. “Dia salah satu wanita di lingkaran inti mereka. Keluarganya punya bisnis mode internasional. Dia terkenal angkuh dan tidak segan-segan menggunakan pengaruhnya untuk menghancurkan orang yang dia tidak suka,”
Lila mengambil ponsel. Wajahnya berseri-seri seperti seorang konspirator yang siap membocorkan rahasia besar. “Kau tidak akan percaya ini, Belle. Aku bahkan punya foto-foto mereka,”
Belle mengangkat alis. Dia mendekat, menatap layar ponsel Lila yang kini menampilkan foto sekelompok pria dan dua orang wanita. Mereka terlihat elegan, mengenakan setelan formal mahal dengan ekspresi dingin khas para orang kaya.
Mata Belle melebar saat mengenali seseorang. Itu pria yang semalam memberinya sapu tangan di lorong belakang!
“Dia siapa?” Belle menunjuk wajah pria itu.
“Yang ini Edward Kingsley. Orang mengenalnya dengan nama Eddie. Dia terlihat lebih tenang dibanding yang lain, kan? Tapi jangan tertipu. Dia tetap bagian dari mereka,” jawab Lila.
“Apa kau yakin dia bagian dari klub itu?” Suara Belle gemetar.
“Eddie?” Lila menatap Belle, bingung. “Tentu saja. Kenapa?”
Belle menggigit bibir. Bagaimana mungkin pria yang terlihat begitu baik hati—begitu berbeda dari Dante dan Nate, bisa menjadi anggota dari grup yang menganggap kelas bawah sebagai beban?
Bab 4 Peringatan KecilDante duduk di kursi besar di ujung ruangan, memandang gelas kristalnya dengan tatapan menggelap. Di dalam pikirannya, perkataan Belle terus terulang. Seperti gema yang tak mau hilang.“Itu lebih dari cukup dibandingkan Anda yang memiliki kekayaan … tapi saya yakin … itu bukan hasil kerja keras Anda sendiri,”Kata-kata itu membakar ego Dante. Wanita itu, seorang rendahan, berani menghinanya. Di depan teman-temannya. Dalam mimpi terburuk Dante sekalipun, itu semua tidak pernah terbayangkan.Lex yang sedang berbincang dengan Nate dan Jamie, melirik ke arah Dante. Dia menyadari perubahan hati pria itu.“Apa kau ingin membunuh seseorang, Dan?” tegur Lex sambil menepuk bahu Dante.Dante mendongak, menatap Lex dengan mata yang penuh amarah. “Wanita itu harus diberi pelajaran. Siapa dia hingga berani menamparku seperti itu?”Vicky yang duduk di dekat mereka mendengus, menuangkan anggur ke gelasnya. “Dia memang tidak bisa dibiarkan,” sahutnya.James Calloway—Jamie yang
Dante menegakkan tubuhnya, melipat tangan di dada. “Kenapa sekarang kau diam? Mana keberanianmu?” tantangnya. “Bukankah, orang-orang sepertimu harus mempunyai prinsip?”Belle tidak bergerak. Dia mengepalkan tangan erat, mencoba menahan amarahnya sendiri. Bukan berarti dia tidak berani melawan Dante, namun posisinya kini tidak bagus. Karyawan lain memasang telinga begitu tajam, menguping pembicaraan Dante dan Belle.“Kalau Anda datang ke sini untuk mengancam saya, maaf, saya sedang sibuk,” ucap Belle pelan. Mendongak untuk menatap langsung ke mata Dante. “Ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan,”Dante tertawa kecil, nadanya penuh ejekan. “Sibuk? Dengan pekerjaan kecilmu ini?” oloknya. Dia bahkan melempar catatan di meja Belle. “Kau harus tahu satu hal, Monaghan. Aku bisa menendangmu sekarang juga dari perusahaan,”Belle mengangkat dagunya pelan. Jika bukan karena dia menghargai karyawan lain, Belle pasti sudah melawan. “Silahkan, Pak Hudson,” gumamnya pelan. Cukup untuk didengar
Di sekitar meja, para anggota The Dominion Club duduk menikmati malam dengan minuman di tangan masing-masing. Dante duduk di ujung meja. Posturnya santai tetapi auranya tetap mendominasi. Dia mengetukkan jari di sisi gelas anggurnya. Tatapannya tajam saat mengamati setiap orang di ruangan itu.“Jadi,” Dante memulai, suaranya rendah tetapi menarik perhatian semua orang. “Apa yang kalian lakukan tadi malam?”Percakapan ringan sebelumnya langsung terhenti. Semua orang tahu bahwa Dante bukan tipe yang melontarkan pertanyaan remeh semacam itu.Lex tertawa kecil, mengangkat gelasnya. “Aku? Aku sibuk mengurus acara amal perusahaan. Jangan tanya berapa banyak foto yang harus kuambil bersama orang-orang yang bahkan tidak kukenal,” kelakarnya.Jamie menyusul dengan cerita tentang koleksi mobil barunya, tetapi Dante tidak terlihat tertarik. Matanya bergerak ke arah Eddie, yang duduk di ujung lain meja dengan ekspresi tenang.“Eddie,” panggil Dante. “Apa yang kau lakukan semalam?”Semua mata di r
Vicky tersenyum puas, memainkan ponselnya sambil melihat unggahan forum itu. “Bagaimana?” tanyanya, menatap Lex. “Cukup untuk ‘peringatan kecil’, kan?”Lex menyeringai. “Sempurna,” balasnya. “Meski aku tidak yakin berita seperti ini akan berdampak besar?”“Tentu saja!” sahut Vicky cepat. “Orang rendahan seperti dia, akan menganggap gosip ini seperti aib,”Lex manggut-manggut dengan bibir melengkung. Dia tidak mengerti tentang pertikaian sesama wanita. “Dan, bagaimana menurutmu?” Lex kini memusatkan perhatian pada Dante.Dante yang duduk di sudut dengan tatapan gelap, tidak mengatakan apa-apa. Meski ini sesuai dengan rencananya untuk mengintimidasi Belle, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.“Aku mau semua beres. Jangan sampai nama kita dibawa,”“Tentu saja tidak, Dan! Kau tahu betapa jeniusnya Vicky, kan?” Lex melirik Vicky sambil menyeringai. Lalu keduanya saling adu kepalan tangan. Cara kerja otak Lex dan Vicky memang hampir sama.***Di meja kopi, sekelompok karyawan tertawa k
Langit sore tampak kelabu. Angin dingin menyapu atap gedung Hudson Group. Di sudut yang sepi, Belle duduk dengan lutut ditekuk. Memeluk dirinya sendiri. Pipinya basah oleh air mata yang tak henti-hentinya mengalir.Gosip kejam di kantor, Nate yang memintanya mengundurkan diri dan reputasinya yang tercoreng membuatnya merasa seolah-olah sedang dihakimi. Dia tidak tahu bagaimana harus menghadapi keluarganya di rumah.Namun, suara langkah kaki di belakangnya membuat Belle mengangkat kepala. Belle menghapus air mata dengan cepat dan bangkit berdiri.“Maaf, aku tidak tahu ada orang di sini,”Belle menoleh dan melihat seorang pria berdiri beberapa langkah darinya. Eddie. Dengan jaket kulit hitam dan senyum yang samar, dia terlihat begitu tenang. Hampir seperti tidak nyata.“Maaf, aku akan pergi,” tukas Belle. Mengemasi tasnya.“Tidak masalah,” sahut Eddie.Ucapan itu membuat langkah Belle terhenti.“Aku melihatmu menangis dari jauh,” kata Eddie. “Kupikir kamu butuh seseorang untuk diajak bi
Malam itu juga Belle berdiri di depan The Dominion Club, sebuah bangunan megah dengan lampu-lampu kristal. Pintu masuknya dijaga oleh dua pria berseragam. Keduanya memandang Belle dengan tatapan penuh curiga. Belle menarik napas panjang, membenahi blazer tipis yang dia kenakan. Ini bukan tempatnya, dia tahu itu. Tapi dia tidak peduli.“Maaf, Nona. Ini tempat khusus untuk anggota dan tamu undangan,” Salah satu penjaga menghentikannya.Belle menatap penjaga itu dengan mata melotot. “Aku di sini untuk bertemu Dante Hudson,” katanya dengan suara ketus.Penjaga itu mengerutkan dahi, tampak ragu. “Nama Anda?”“Belle. Bilang itu,”Setelah jeda singkat, penjaga itu berbicara melalui earpiece-nya. Beberapa saat kemudian, dia membuka pintu.“Silahkan masuk, Nona Belle,”Belle melangkah masuk. Musik jazz lembut mengalun dan kelompok-kelompok kecil orang berpakaian mahal mengobrol sambil menikmati minuman mereka. Namun, perhatian Belle hanya tertuju pada satu orang: Dante.Di tengah ruangan, Dan
Belle tiba di rumah dengan langkah gontai. Tubuhnya terasa begitu lelah. Bukan hanya karena perjalanan panjang, tetapi juga karena beban yang menekan pikirannya. Aroma masakan ibunya bercampur dengan suara televisi yang samar-samar terdengar dari ruang keluarga."Belle, kau sudah pulang?" seru ibunya–Emily, keluar dari dapur. “Kenapa malam sekali?”Belle memaksakan senyuman kecil. “Apa Ayah belum pulang?” jawabnya singkat sambil melepas sepatu di dekat pintu.Emily menggeleng. “Ayahmu sibuk di bengkel. Katanya ada yang harus diselesaikan sebelum besok pagi,”“Lagi?” sahut Belle dengan alis terangkat.Emily angkat bahu, lalu kembali ke dapur. “Belle, besok kau mau sarapan apa?”Belle merasa dadanya semakin sesak. Dia ingin menangis, ingin mengakui semuanya—bahwa dia telah dipecat karena tuduhan kejam yang bahkan tidak benar. Tapi dia tidak tega. Keluarganya sudah cukup cemas memikirkan ekonomi.“Tidak perlu,” jawab Belle pelan. “Aku harus berangkat sangat pagi besok,”“Jangan bilang ka
Belle meletakkan kartu itu di meja. "Tapi kenapa aku diundang? Aku tidak kenal dia,"Liam mengangkat bahu. “Mungkin seseorang ingin kamu ada di sana?”Ucapan itu membuat Belle tertegun. Pikirannya langsung melayang ke sosok Eddie. Tatapan hangatnya, senyum samar yang Eddie berikan saat menyerahkan sapu tangan, dan caranya memberikan jaket tanpa basa-basi.Apakah Eddie yang mengirim gaun ini? pikir Belle, hatinya tiba-tiba berdebar.Belle bisa membayangkan Eddie, dengan caranya yang tenang dan misterius, memikirkan cara agar Belle bisa datang ke pesta Cassie Beaumont.Wajah Belle sedikit memerah saat bayangan itu memenuhi pikirannya. Dia tersipu, dan senyum kecil tak sengaja merekah di bibirnya. Mungkin, ini adalah bentuk perhatian Eddie. Mungkin, dia ingin Belle hadir di pesta itu agar mereka bisa bertemu lagi.“Jangan mimpi, Belle!” Belle menepuk pelan pipinya sendiri. Mencoba mengusir perasaan itu.“Ada apa?” Liam menatap Belle dengan dahi berkerut. “Dasar aneh!” celetuknya, lalu ke
“Apa yang kau pikirkan? Kau sengaja mempermalukannya di depan semua orang?” serang Dante pada Vicky. Saat mereka berada di sudut ruangan, jauh dari keramaian pesta. “Dia pantas mendapatkannya. Wanita itu tidak tahu tempatnya. Berani sekali datang ke pesta ini seakan dia bagian dari kita,” Vicky justru makin muntab.“Itu bukan urusanmu!” bentak Dante, nadanya kini naik. “Kau memalukan dirimu sendiri dengan tingkah seperti itu,”“Kenapa kau begitu peduli padanya, Dan?” Vicky mendekat. “Setahuku, kau tidak akan membiarkan siapapun membuatmu tampak lemah. Tapi yang kulihat sekarang, kau sedang dikuasai wanita rendahan itu,”Rahang Dante mengeras. “Aku memperingatkanmu, Vicky,” Dante mendekatkan wajahnya ke wajah Vicky. “Jika kau menyentuhnya lagi, atau mencoba mempermalukannya, kau akan berurusan denganku,” ancamnya lirih.Vicky mendengus kecil, kemudian melangkah menjauh. “Lakukan saja apa yang kau mau, Dan. Kau tahu aku tidak bisa dihentikan!”Dante mengepalkan tangan, mengawasi Vicky
Dante berdiri di salah satu sudut ruangan, gelas kristal berisi minuman berwarna keemasan berada di tangannya. Matanya tak pernah lepas dari Belle, yang kini berdiri sendirian di tengah pesta. Wajah Belle masih terlihat sedikit pucat setelah apa yang baru saja terjadi.Sorot mata Dante penuh dengan campuran emosi yang sulit dijelaskan. Belle bukan wanita yang biasa dia temui di lingkungan seperti ini. Ada sesuatu tentang keberanian dan keteguhan Belle yang terus-menerus menarik perhatian Dante, meskipun dia ingin menyangkalnya.Dante meneguk minuman, membiarkan cairan itu meluncur melewati tenggorokannya. Demi mencoba mengusir pikiran yang tak diinginkan. Namun, pandangan Dante tetap terkunci pada Belle. Gaun itu membingkai tubuh Belle dengan sempurna, membuat hati Dante berdesir hebat.“Kau tidak bisa berhenti memandangnya, ya?” goda Jamie, menyadari perubahan sikap Dante.Dante mendengus ringan. “Ya, aku akui itu,” jawabnya. “Tapi dia juga terlalu keras kepala,”Jamie tertawa pelan,
“Ah, Belle?!” Lex juga ikut terkejut. “Kenapa dia di sini?”“Itu yang kutanyakan sejak tadi!” teriak Nate, kesal.Lex segera berjalan cepat masuk ke dalam. Dia tentu saja ingin melaporkan temuannya pada Dante dan yang lain. Sementara Nate mengikuti langkah Lex, namun lebih pelan.Dante sedang berdiri di dekat meja bar, berbicara santai dengan Jamie tentang bisnis keluarga mereka yang terus berkembang. Pandangan Dante acuh tak acuh, seperti biasa. Hingga Jamie yang sedang menyesap champagne mendadak bersiul pelan dan mengangguk ke arah pintu masuk ballroom.“Lihat siapa yang datang,” gumam Jamie sambil tersenyum kecil.Dante mengerutkan alis, menoleh dengan sedikit rasa ingin tahu. Namun, saat matanya menangkap sosok Belle yang melangkah masuk ke ruangan, seluruh fokusnya langsung tertuju pada wanita itu.Belle terlihat berbeda malam ini. Gaun berwarna biru gelap yang membalut tubuhnya memancarkan kesan anggun. Rambutnya yang biasanya diikat rapi kini tergerai lembut, dengan gelombang
Belle meletakkan kartu itu di meja. "Tapi kenapa aku diundang? Aku tidak kenal dia,"Liam mengangkat bahu. “Mungkin seseorang ingin kamu ada di sana?”Ucapan itu membuat Belle tertegun. Pikirannya langsung melayang ke sosok Eddie. Tatapan hangatnya, senyum samar yang Eddie berikan saat menyerahkan sapu tangan, dan caranya memberikan jaket tanpa basa-basi.Apakah Eddie yang mengirim gaun ini? pikir Belle, hatinya tiba-tiba berdebar.Belle bisa membayangkan Eddie, dengan caranya yang tenang dan misterius, memikirkan cara agar Belle bisa datang ke pesta Cassie Beaumont.Wajah Belle sedikit memerah saat bayangan itu memenuhi pikirannya. Dia tersipu, dan senyum kecil tak sengaja merekah di bibirnya. Mungkin, ini adalah bentuk perhatian Eddie. Mungkin, dia ingin Belle hadir di pesta itu agar mereka bisa bertemu lagi.“Jangan mimpi, Belle!” Belle menepuk pelan pipinya sendiri. Mencoba mengusir perasaan itu.“Ada apa?” Liam menatap Belle dengan dahi berkerut. “Dasar aneh!” celetuknya, lalu ke
Belle tiba di rumah dengan langkah gontai. Tubuhnya terasa begitu lelah. Bukan hanya karena perjalanan panjang, tetapi juga karena beban yang menekan pikirannya. Aroma masakan ibunya bercampur dengan suara televisi yang samar-samar terdengar dari ruang keluarga."Belle, kau sudah pulang?" seru ibunya–Emily, keluar dari dapur. “Kenapa malam sekali?”Belle memaksakan senyuman kecil. “Apa Ayah belum pulang?” jawabnya singkat sambil melepas sepatu di dekat pintu.Emily menggeleng. “Ayahmu sibuk di bengkel. Katanya ada yang harus diselesaikan sebelum besok pagi,”“Lagi?” sahut Belle dengan alis terangkat.Emily angkat bahu, lalu kembali ke dapur. “Belle, besok kau mau sarapan apa?”Belle merasa dadanya semakin sesak. Dia ingin menangis, ingin mengakui semuanya—bahwa dia telah dipecat karena tuduhan kejam yang bahkan tidak benar. Tapi dia tidak tega. Keluarganya sudah cukup cemas memikirkan ekonomi.“Tidak perlu,” jawab Belle pelan. “Aku harus berangkat sangat pagi besok,”“Jangan bilang ka
Malam itu juga Belle berdiri di depan The Dominion Club, sebuah bangunan megah dengan lampu-lampu kristal. Pintu masuknya dijaga oleh dua pria berseragam. Keduanya memandang Belle dengan tatapan penuh curiga. Belle menarik napas panjang, membenahi blazer tipis yang dia kenakan. Ini bukan tempatnya, dia tahu itu. Tapi dia tidak peduli.“Maaf, Nona. Ini tempat khusus untuk anggota dan tamu undangan,” Salah satu penjaga menghentikannya.Belle menatap penjaga itu dengan mata melotot. “Aku di sini untuk bertemu Dante Hudson,” katanya dengan suara ketus.Penjaga itu mengerutkan dahi, tampak ragu. “Nama Anda?”“Belle. Bilang itu,”Setelah jeda singkat, penjaga itu berbicara melalui earpiece-nya. Beberapa saat kemudian, dia membuka pintu.“Silahkan masuk, Nona Belle,”Belle melangkah masuk. Musik jazz lembut mengalun dan kelompok-kelompok kecil orang berpakaian mahal mengobrol sambil menikmati minuman mereka. Namun, perhatian Belle hanya tertuju pada satu orang: Dante.Di tengah ruangan, Dan
Langit sore tampak kelabu. Angin dingin menyapu atap gedung Hudson Group. Di sudut yang sepi, Belle duduk dengan lutut ditekuk. Memeluk dirinya sendiri. Pipinya basah oleh air mata yang tak henti-hentinya mengalir.Gosip kejam di kantor, Nate yang memintanya mengundurkan diri dan reputasinya yang tercoreng membuatnya merasa seolah-olah sedang dihakimi. Dia tidak tahu bagaimana harus menghadapi keluarganya di rumah.Namun, suara langkah kaki di belakangnya membuat Belle mengangkat kepala. Belle menghapus air mata dengan cepat dan bangkit berdiri.“Maaf, aku tidak tahu ada orang di sini,”Belle menoleh dan melihat seorang pria berdiri beberapa langkah darinya. Eddie. Dengan jaket kulit hitam dan senyum yang samar, dia terlihat begitu tenang. Hampir seperti tidak nyata.“Maaf, aku akan pergi,” tukas Belle. Mengemasi tasnya.“Tidak masalah,” sahut Eddie.Ucapan itu membuat langkah Belle terhenti.“Aku melihatmu menangis dari jauh,” kata Eddie. “Kupikir kamu butuh seseorang untuk diajak bi
Vicky tersenyum puas, memainkan ponselnya sambil melihat unggahan forum itu. “Bagaimana?” tanyanya, menatap Lex. “Cukup untuk ‘peringatan kecil’, kan?”Lex menyeringai. “Sempurna,” balasnya. “Meski aku tidak yakin berita seperti ini akan berdampak besar?”“Tentu saja!” sahut Vicky cepat. “Orang rendahan seperti dia, akan menganggap gosip ini seperti aib,”Lex manggut-manggut dengan bibir melengkung. Dia tidak mengerti tentang pertikaian sesama wanita. “Dan, bagaimana menurutmu?” Lex kini memusatkan perhatian pada Dante.Dante yang duduk di sudut dengan tatapan gelap, tidak mengatakan apa-apa. Meski ini sesuai dengan rencananya untuk mengintimidasi Belle, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.“Aku mau semua beres. Jangan sampai nama kita dibawa,”“Tentu saja tidak, Dan! Kau tahu betapa jeniusnya Vicky, kan?” Lex melirik Vicky sambil menyeringai. Lalu keduanya saling adu kepalan tangan. Cara kerja otak Lex dan Vicky memang hampir sama.***Di meja kopi, sekelompok karyawan tertawa k
Di sekitar meja, para anggota The Dominion Club duduk menikmati malam dengan minuman di tangan masing-masing. Dante duduk di ujung meja. Posturnya santai tetapi auranya tetap mendominasi. Dia mengetukkan jari di sisi gelas anggurnya. Tatapannya tajam saat mengamati setiap orang di ruangan itu.“Jadi,” Dante memulai, suaranya rendah tetapi menarik perhatian semua orang. “Apa yang kalian lakukan tadi malam?”Percakapan ringan sebelumnya langsung terhenti. Semua orang tahu bahwa Dante bukan tipe yang melontarkan pertanyaan remeh semacam itu.Lex tertawa kecil, mengangkat gelasnya. “Aku? Aku sibuk mengurus acara amal perusahaan. Jangan tanya berapa banyak foto yang harus kuambil bersama orang-orang yang bahkan tidak kukenal,” kelakarnya.Jamie menyusul dengan cerita tentang koleksi mobil barunya, tetapi Dante tidak terlihat tertarik. Matanya bergerak ke arah Eddie, yang duduk di ujung lain meja dengan ekspresi tenang.“Eddie,” panggil Dante. “Apa yang kau lakukan semalam?”Semua mata di r