Belle berdiri diam sejenak. Matanya terpaku pada Vicky yang masih memasang ekspresi puas. Cairan sampanye yang dingin dan lengket mengalir di kulit Belle. Punggungnya panas. Rasanya Belle ingin meledak, menangis karena malu. Namun dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan orang-orang itu.
Belle memutuskan untuk segera memutar tubuh dan berjalan cepat menuju pintu keluar. Kepalanya tertunduk, sedikit berlari agar segera bebas dari mereka.
Begitu Belle keluar dari aula itu dan menemukan sudut sunyi di lorong belakang, dia berhenti. Kemarahan, penghinaan, dan rasa sakit bercampur menjadi satu dalam dadanya. Dia merasa seperti tak mampu bernapas.
“Kenapa harus seperti ini?” gumamnya pelan di antara isak tangisnya.
Belle baru saja melangkah pergi dari sudut lorong, mencoba menghapus sisa air mata dengan tangan. Namun, cairan lengket dari sampanye di gaunnya membuat semua menjadi tidak nyaman.
“Sepertinya kau membutuhkan ini,”
Sebuah suara lembut memecah keheningan. Belle menghentikan langkah dan menoleh ke sumber suara. Di hadapannya berdiri seorang pria yang mengenakan setelan jas hitam. Wajahnya tampan, dengan senyum yang hangat.
Pria itu mengulurkan sapu tangan berwarna putih bersih ke arah Belle.
Belle menatap sapu tangan itu ragu. Dia mengerutkan alis, tidak yakin apakah harus menerimanya.
“Ini hanya sapu tangan,” kata pria itu.
Akhirnya Belle menerima. “Terima kasih,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.
Pria itu tersenyum lagi. “Kau baik-baik saja?” tanyanya.
Belle mengangguk, meskipun matanya masih sembab dan tubuhnya terasa lengket akibat insiden tadi. “Aku akan baik-baik saja,” katanya.
Pria itu perlahan mundur. Saat dia pergi, Belle merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah rasa hangat yang jarang dia rasakan sebelumnya, di tempat mewah penuh kekejaman seperti ini.
***
Keesokan harinya, Belle duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota. Tempat dia dan sahabatnya, Lila, sering bertemu. Lila Stewart, seorang wanita yang berprofesi sebagai pengacara magang. Dia sosok ceria dengan rambut keriting dan senyum yang selalu ramah. Sesekali Lila menyesap latte-nya sambil menatap Belle dengan penuh antusias.
“Jadi, bagaimana rasanya bekerja di salah satu perusahaan paling bergengsi di kota ini?” tanya Lila sambil menyandarkan dagunya di tangan.
Belle tersenyum kecil, meskipun dia masih teringat kejadian semalam. Beruntung hari ini adalah akhir pekan, yang artinya dia tidak perlu bertemu Nate.
“Hudson Group memang nama besar,” timpal Belle. Dia mengaduk cappuccino-nya perlahan. “Tapi berada di sana tidak seindah yang kamu bayangkan, Lila. Percayalah,”
Lila mengernyitkan kening. “Kenapa?” tanyanya. “Rapat mewah, atasan tampan, naik jet pribadi ... begitu, kan?”
Belle tertawa kecil, menggelengkan kepalanya. “Atasanku bernama Nate Whitmore. Dia memang tampan, kalau itu yang kau maksud,” Belle meringis membayangkan wajah Nate yang marah. “Tapi dia juga salah satu orang paling perfeksionis yang pernah aku temui. Kerja di bawahnya itu seperti tidak ada habisnya. Dia terus-menerus meminta ini dan itu, bahkan di tengah acara gala tadi malam,”
“Dia menyebalkan?” tanya Lila, alisnya terangkat.
“Bukan menyebalkan, lebih ke ... menantang,” Belle memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Aku harus selalu siap menjawab, selalu tahu apa yang dia butuhkan. Bahkan sebelum dia meminta. Dan itu melelahkan,”
Lila mengangguk. “Tapi kau bisa mengatasinya, kan? Kau selalu pintar dan cepat belajar,”
“Ya, aku bisa,” kata Belle dengan nada yakin, meskipun senyumnya masih samar. “Aku hanya harus terus bertahan,” Untuk kalimat satu ini, Belle merasa tidak yakin.
Lila meletakkan cangkir latte-nya. Matanya berbinar penuh semangat. “Belle, kau tahu tentang The Dominion Club, kan?” tanyanya, sedikit mencondongkan tubuh ke depan. Suaranya nyaris berbisik.
Belle memiringkan kepala, mengerutkan dahi. “The Dominion Club?”
“Itu adalah klub paling eksklusif yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang super kaya dan berpengaruh di kota ini. Dan aku tidak bicara soal orang kaya biasa, aku bicara tentang para pewaris kerajaan bisnis, CEO besar, atau mereka yang memiliki kekuasaan politik,” Lila menjelaskan dengan penuh semangat.
Belle mendengarkan meskipun sedikit skeptis. “Lalu apa yang mereka lakukan di klub itu?”
Lila melirik sekeliling kafe, seolah memastikan tidak ada yang mendengarkan. “Aku dengar dari temanku yang bekerja di salah satu gala mereka. Klub itu seperti ... tempat di mana mereka merasa bisa melakukan apa saja. Mereka punya pesta mewah, membuat taruhan besar dan ... yah, kadang-kadang mereka mempermainkan orang seperti kita. Orang-orang biasa,”
Belle menelan ludah. Dia tiba-tiba teringat akan percakapan Dante dan kawan-kawannya tadi malam. Tentang orang-orang kelas bawah yang disebut sebagai ‘beban’.
“Dan siapa saja anggota klub itu?” tanya Belle.
Lila menghela napas. “Aku tahu beberapa nama anggota inti. Ada Dante Hudson, misalnya. Dia ketua klub itu. Pewaris Hudson Group. Semua orang bilang dia sangat berkuasa, tidak hanya di klub tapi juga di banyak aspek bisnis di kota ini,”
Belle terdiam, hatinya mencelos. Nama itu terdengar familiar. Perlahan wajah pria sombong yang mendebatnya tadi malam muncul di pikiran Belle.
“Lalu ada Alexander Harrington. Terkenal dengan nama Lex,” lanjut Lila. “Dia sahabat dekat Dante dan mungkin orang yang paling bisa menyaingi Dante dalam hal kekuasaan dan pengaruh. Dia dikenal sebagai otak di balik banyak keputusan penting di klub,”
Lila berhenti sejenak, menyesap kopinya sebelum melanjutkan. “Ada juga Edward Kingsley. Dia anak konglomerat properti terkenal. Dia lebih pendiam dibandingkan yang lain, tapi kabarnya dia masih setia pada tradisi dan aturan klub,”
“Siapa lagi?” tanya Belle, merasa penjelasan Lila cukup menarik.
“Victoria Albright,” kata Lila, suaranya lebih pelan. “Dia salah satu wanita di lingkaran inti mereka. Keluarganya punya bisnis mode internasional. Dia terkenal angkuh dan tidak segan-segan menggunakan pengaruhnya untuk menghancurkan orang yang dia tidak suka,”
Lila mengambil ponsel. Wajahnya berseri-seri seperti seorang konspirator yang siap membocorkan rahasia besar. “Kau tidak akan percaya ini, Belle. Aku bahkan punya foto-foto mereka,”
Belle mengangkat alis. Dia mendekat, menatap layar ponsel Lila yang kini menampilkan foto sekelompok pria dan dua orang wanita. Mereka terlihat elegan, mengenakan setelan formal mahal dengan ekspresi dingin khas para orang kaya.
Mata Belle melebar saat mengenali seseorang. Itu pria yang semalam memberinya sapu tangan di lorong belakang!
“Dia siapa?” Belle menunjuk wajah pria itu.
“Yang ini Edward Kingsley. Orang mengenalnya dengan nama Eddie. Dia terlihat lebih tenang dibanding yang lain, kan? Tapi jangan tertipu. Dia tetap bagian dari mereka,” jawab Lila.
“Apa kau yakin dia bagian dari klub itu?” Suara Belle gemetar.
“Eddie?” Lila menatap Belle, bingung. “Tentu saja. Kenapa?”
Belle menggigit bibir. Bagaimana mungkin pria yang terlihat begitu baik hati—begitu berbeda dari Dante dan Nate, bisa menjadi anggota dari grup yang menganggap kelas bawah sebagai beban?
Bab 4 Peringatan KecilDante duduk di kursi besar di ujung ruangan, memandang gelas kristalnya dengan tatapan menggelap. Di dalam pikirannya, perkataan Belle terus terulang. Seperti gema yang tak mau hilang.“Itu lebih dari cukup dibandingkan Anda yang memiliki kekayaan … tapi saya yakin … itu bukan hasil kerja keras Anda sendiri,”Kata-kata itu membakar ego Dante. Wanita itu, seorang rendahan, berani menghinanya. Di depan teman-temannya. Dalam mimpi terburuk Dante sekalipun, itu semua tidak pernah terbayangkan.Lex yang sedang berbincang dengan Nate dan Jamie, melirik ke arah Dante. Dia menyadari perubahan hati pria itu.“Apa kau ingin membunuh seseorang, Dan?” tegur Lex sambil menepuk bahu Dante.Dante mendongak, menatap Lex dengan mata yang penuh amarah. “Wanita itu harus diberi pelajaran. Siapa dia hingga berani menamparku seperti itu?”Vicky yang duduk di dekat mereka mendengus, menuangkan anggur ke gelasnya. “Dia memang tidak bisa dibiarkan,” sahutnya.James Calloway—Jamie yang
Dante menegakkan tubuhnya, melipat tangan di dada. “Kenapa sekarang kau diam? Mana keberanianmu?” tantangnya. “Bukankah, orang-orang sepertimu harus mempunyai prinsip?”Belle tidak bergerak. Dia mengepalkan tangan erat, mencoba menahan amarahnya sendiri. Bukan berarti dia tidak berani melawan Dante, namun posisinya kini tidak bagus. Karyawan lain memasang telinga begitu tajam, menguping pembicaraan Dante dan Belle.“Kalau Anda datang ke sini untuk mengancam saya, maaf, saya sedang sibuk,” ucap Belle pelan. Mendongak untuk menatap langsung ke mata Dante. “Ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan,”Dante tertawa kecil, nadanya penuh ejekan. “Sibuk? Dengan pekerjaan kecilmu ini?” oloknya. Dia bahkan melempar catatan di meja Belle. “Kau harus tahu satu hal, Monaghan. Aku bisa menendangmu sekarang juga dari perusahaan,”Belle mengangkat dagunya pelan. Jika bukan karena dia menghargai karyawan lain, Belle pasti sudah melawan. “Silahkan, Pak Hudson,” gumamnya pelan. Cukup untuk didengar
Di sekitar meja, para anggota The Dominion Club duduk menikmati malam dengan minuman di tangan masing-masing. Dante duduk di ujung meja. Posturnya santai tetapi auranya tetap mendominasi. Dia mengetukkan jari di sisi gelas anggurnya. Tatapannya tajam saat mengamati setiap orang di ruangan itu.“Jadi,” Dante memulai, suaranya rendah tetapi menarik perhatian semua orang. “Apa yang kalian lakukan tadi malam?”Percakapan ringan sebelumnya langsung terhenti. Semua orang tahu bahwa Dante bukan tipe yang melontarkan pertanyaan remeh semacam itu.Lex tertawa kecil, mengangkat gelasnya. “Aku? Aku sibuk mengurus acara amal perusahaan. Jangan tanya berapa banyak foto yang harus kuambil bersama orang-orang yang bahkan tidak kukenal,” kelakarnya.Jamie menyusul dengan cerita tentang koleksi mobil barunya, tetapi Dante tidak terlihat tertarik. Matanya bergerak ke arah Eddie, yang duduk di ujung lain meja dengan ekspresi tenang.“Eddie,” panggil Dante. “Apa yang kau lakukan semalam?”Semua mata di r
Vicky tersenyum puas, memainkan ponselnya sambil melihat unggahan forum itu. “Bagaimana?” tanyanya, menatap Lex. “Cukup untuk ‘peringatan kecil’, kan?”Lex menyeringai. “Sempurna,” balasnya. “Meski aku tidak yakin berita seperti ini akan berdampak besar?”“Tentu saja!” sahut Vicky cepat. “Orang rendahan seperti dia, akan menganggap gosip ini seperti aib,”Lex manggut-manggut dengan bibir melengkung. Dia tidak mengerti tentang pertikaian sesama wanita. “Dan, bagaimana menurutmu?” Lex kini memusatkan perhatian pada Dante.Dante yang duduk di sudut dengan tatapan gelap, tidak mengatakan apa-apa. Meski ini sesuai dengan rencananya untuk mengintimidasi Belle, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.“Aku mau semua beres. Jangan sampai nama kita dibawa,”“Tentu saja tidak, Dan! Kau tahu betapa jeniusnya Vicky, kan?” Lex melirik Vicky sambil menyeringai. Lalu keduanya saling adu kepalan tangan. Cara kerja otak Lex dan Vicky memang hampir sama.***Di meja kopi, sekelompok karyawan tertawa k
Langit sore tampak kelabu. Angin dingin menyapu atap gedung Hudson Group. Di sudut yang sepi, Belle duduk dengan lutut ditekuk. Memeluk dirinya sendiri. Pipinya basah oleh air mata yang tak henti-hentinya mengalir.Gosip kejam di kantor, Nate yang memintanya mengundurkan diri dan reputasinya yang tercoreng membuatnya merasa seolah-olah sedang dihakimi. Dia tidak tahu bagaimana harus menghadapi keluarganya di rumah.Namun, suara langkah kaki di belakangnya membuat Belle mengangkat kepala. Belle menghapus air mata dengan cepat dan bangkit berdiri.“Maaf, aku tidak tahu ada orang di sini,”Belle menoleh dan melihat seorang pria berdiri beberapa langkah darinya. Eddie. Dengan jaket kulit hitam dan senyum yang samar, dia terlihat begitu tenang. Hampir seperti tidak nyata.“Maaf, aku akan pergi,” tukas Belle. Mengemasi tasnya.“Tidak masalah,” sahut Eddie.Ucapan itu membuat langkah Belle terhenti.“Aku melihatmu menangis dari jauh,” kata Eddie. “Kupikir kamu butuh seseorang untuk diajak bi
Malam itu juga Belle berdiri di depan The Dominion Club, sebuah bangunan megah dengan lampu-lampu kristal. Pintu masuknya dijaga oleh dua pria berseragam. Keduanya memandang Belle dengan tatapan penuh curiga. Belle menarik napas panjang, membenahi blazer tipis yang dia kenakan. Ini bukan tempatnya, dia tahu itu. Tapi dia tidak peduli.“Maaf, Nona. Ini tempat khusus untuk anggota dan tamu undangan,” Salah satu penjaga menghentikannya.Belle menatap penjaga itu dengan mata melotot. “Aku di sini untuk bertemu Dante Hudson,” katanya dengan suara ketus.Penjaga itu mengerutkan dahi, tampak ragu. “Nama Anda?”“Belle. Bilang itu,”Setelah jeda singkat, penjaga itu berbicara melalui earpiece-nya. Beberapa saat kemudian, dia membuka pintu.“Silahkan masuk, Nona Belle,”Belle melangkah masuk. Musik jazz lembut mengalun dan kelompok-kelompok kecil orang berpakaian mahal mengobrol sambil menikmati minuman mereka. Namun, perhatian Belle hanya tertuju pada satu orang: Dante.Di tengah ruangan, Dan
Belle tiba di rumah dengan langkah gontai. Tubuhnya terasa begitu lelah. Bukan hanya karena perjalanan panjang, tetapi juga karena beban yang menekan pikirannya. Aroma masakan ibunya bercampur dengan suara televisi yang samar-samar terdengar dari ruang keluarga."Belle, kau sudah pulang?" seru ibunya–Emily, keluar dari dapur. “Kenapa malam sekali?”Belle memaksakan senyuman kecil. “Apa Ayah belum pulang?” jawabnya singkat sambil melepas sepatu di dekat pintu.Emily menggeleng. “Ayahmu sibuk di bengkel. Katanya ada yang harus diselesaikan sebelum besok pagi,”“Lagi?” sahut Belle dengan alis terangkat.Emily angkat bahu, lalu kembali ke dapur. “Belle, besok kau mau sarapan apa?”Belle merasa dadanya semakin sesak. Dia ingin menangis, ingin mengakui semuanya—bahwa dia telah dipecat karena tuduhan kejam yang bahkan tidak benar. Tapi dia tidak tega. Keluarganya sudah cukup cemas memikirkan ekonomi.“Tidak perlu,” jawab Belle pelan. “Aku harus berangkat sangat pagi besok,”“Jangan bilang ka
Belle meletakkan kartu itu di meja. "Tapi kenapa aku diundang? Aku tidak kenal dia,"Liam mengangkat bahu. “Mungkin seseorang ingin kamu ada di sana?”Ucapan itu membuat Belle tertegun. Pikirannya langsung melayang ke sosok Eddie. Tatapan hangatnya, senyum samar yang Eddie berikan saat menyerahkan sapu tangan, dan caranya memberikan jaket tanpa basa-basi.Apakah Eddie yang mengirim gaun ini? pikir Belle, hatinya tiba-tiba berdebar.Belle bisa membayangkan Eddie, dengan caranya yang tenang dan misterius, memikirkan cara agar Belle bisa datang ke pesta Cassie Beaumont.Wajah Belle sedikit memerah saat bayangan itu memenuhi pikirannya. Dia tersipu, dan senyum kecil tak sengaja merekah di bibirnya. Mungkin, ini adalah bentuk perhatian Eddie. Mungkin, dia ingin Belle hadir di pesta itu agar mereka bisa bertemu lagi.“Jangan mimpi, Belle!” Belle menepuk pelan pipinya sendiri. Mencoba mengusir perasaan itu.“Ada apa?” Liam menatap Belle dengan dahi berkerut. “Dasar aneh!” celetuknya, lalu ke
Belle duduk di sudut kamar, memeluk kedua lututnya sambil menatap kosong ke luar jendela. Langit senja yang seharusnya indah terasa kelabu di matanya.Semuanya terjadi begitu cepat. Terlalu rapi. Terlalu sempurna untuk disebut sebagai kebetulan. Namun, siapa yang membenci keluarganya sampai tega menghancurkan mereka seperti ini?Tanpa sadar, air mata Belle kembali mengalir. "Apakah ini hukuman darimu, Dante?" isaknya.Belle menggigit bibirnya. Dia tahu Dante pria yang kejam, tapi... tidak mungkin Dante tega menghancurkan hidupnya sampai seperti ini, kan? Tapi siapa lagi yang bisa melakukannya?Di luar, Eddie masih berdiri di depan rumah Belle. Dia tahu wanita itu sedang terluka. Tetapi Belle terlalu keras kepala untuk membiarkan siapa pun masuk ke dalam dinding pertahanannya.“Apa benar ini ulahmu, Dan?” gumam Eddie, mendongak menatap rumah Belle.***Malam itu, Eddie langsung menghubungi seseorang yang selama ini menjadi "telinga dan mata" Dominion Club di balik layar, Alexander Har
Sofia berdiri dengan wajah tegang sambil menyerahkan sebuah map tebal berisi semua informasi tentang Belle. Evelyn duduk di kursi beludru berwarna gading, dengan secangkir teh di tangan. Wanita itu tampak tenang."Sudah kau dapatkan semuanya?" tanya Evelyn tanpa menoleh.Sofia mengangguk sambil meletakkan map itu di meja. "Semua yang Anda minta,”Evelyn meletakkan cangkir tehnya dan membuka map itu perlahan.Di sana ada foto Belle yang tersenyum lembut di depan toko bunga miliknya, Emily's Garden. Foto keluarganya. Foto bengkel kecil milik Patrick, ayahnya. Bahkan informasi tentang Belle yang sempat putus kuliah karena ibunya sakit keras juga ada di dalam laporan itu.Evelyn tersenyum miring.“Dia menyedihkan… tapi justru itu yang membuat Dante begitu terikat padanya," gumam Evelyn sambil membolak-balik halaman."Saya juga menemukan sesuatu yang... menarik, Nyonya," ujar Sofia.Sofia menarik napas dalam, lalu menyerahkan sebuah amplop lain yang berisi foto-foto lama."Isabella pernah
Eddie memperhatikan Belle yang sejak tadi diam dan terus melirik ke arah Dante. mendekatkan wajahnya ke Belle. “Apa kau ingin pergi dari sini?”Belle tersentak. "Hah? Tidak... Aku baik-baik saja."Eddie tersenyum kecil. "Kalau begitu... ayo berdansa," ajak Eddie, menarik tangan Belle menuju lantai dansa.Belle terkejut. "Eddie, aku—"Tapi Eddie sudah terlanjur menarik tangan Belle ke tengah lantai dansa. Dan Belle tidak bisa menolak lagi.Dante yang sejak tadi memperhatikan mereka dari kejauhan, matanya semakin gelap saat melihat Eddie memeluk pinggang Belle dan mulai berdansa. Dante meremas gelas wine di tangannya hingga retak.Lex bersandar di bar dengan gelas
Dante dan Evelyn tiba di pesta eksklusif yang diadakan oleh salah satu anggota The Dominion Club. Di sebuah ballroom mewah dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan malam kota yang berkilauan.Evelyn mengenakan gaun hitam sederhana, tanpa banyak detail berlebihan. Tetapi caranya melangkah dengan penuh percaya diri membuat semua orang di ruangan itu terdiam. Bahkan para wanita sosialita yang selama ini memuja Dante.Evelyn bukan sekadar wanita cantik. Dia berbahaya. Elegan, cerdas, dan tak terjamah.Dante yang berdiri di samping Evelyn dalam setelan jas hitam, terlihat semakin dingin dan tak tersentuh. Namun di balik matanya yang tajam, ada kekacauan berkecamuk di hatinya. Sejak Belle menolaknya, Dante kehilangan arah.Lex dan Jamie yang memperhatikan dari
"Belle, kau sakit?" tanya Emily khawatir.“Tidak, Mom... Aku hanya... lelah,” jawab Belle dengan suara parau. Dia tidak ingin bangun. Tidak ingin menghadapi dunia setelah kejadian semalam.Ibunya membuka pintu dan melangkah masuk. Dengan lembut, Emily duduk di tepi ranjang dan mengelus rambut putrinya."Kau tidak perlu memaksakan diri untuk ke toko hari ini," ucap Emily lembut. "Kalau kau butuh waktu untuk sendiri, istirahatlah," Meski tidak terlalu tahu apa yang terjadi, namun Emily bisa menebak jika ini ada hubungannya dengan kisah cinta anaknya.“Terima kasih, Mom,” bisik B
“Tidak!” Belle berkata dengan suara bergetar. “Kau … kau sudah milik orang lain. Aku tidak mungkin—”"Siapa yang memberitahumu?" sambar Dante, cukup terkejut."Apakah itu penting?" Belle menatapnya penuh luka. "Kau pikir aku ini apa? Tempat pelarian saat kau bosan dengan wanita kaya pilihan keluargamu?"Dante mendekat, tetapi Belle melangkah mundur.“Kau salah paham,” terang Dante."Tidak ada yang perlu dijelaskan," Belle memotong. “Harusnya memang sejak awal aku mengerti, dunia kita terlalu berbeda,”Dante terdiam. Rahangnya mengeras menahan emosi yang bergejolak. Sementara Belle menahan air matanya yang hampir jatuh.
Eddie bersandar di ambang pintu toko bunga milik Belle, memperhatikan wanita itu yang sibuk merangkai bunga. Jari-jari Belle yang lentik dengan cekatan memilih kelopak demi kelopak, mengatur warna, tekstur, dan aroma dengan keahlian yang membuat Eddie terpesona.Cahaya matahari sore membiaskan sinar keemasan yang membingkai sosok Belle dengan indah. Eddie merasa hatinya menghangat hanya dengan melihat Belle begitu damai di tengah kesibukannya.“Kenapa kau terus menatapku seperti itu?” tanya Belle tanpa menoleh.Eddie tersenyum kecil, lalu mendekat. “Karena aku suka melihatmu bekerja. Kau terlihat... hidup,”Belle terkekeh pelan, tapi wajahnya sedikit memerah. “Aku hanya merangkai bunga, Eddie,”
Dante melangkah keluar dari Dominion Club, menyusul Eddi yang keluar lebih dulu. Udara malam yang dingin menyambut mereka. Tetapi ketegangan di antara dua pria itu jauh lebih menusuk.Dante berhenti di tangga depan club, menyalakan rokoknya dengan gerakan santai, tetapi matanya tetap tajam seperti biasa."Jadi ... dia benar-benar calon istrimu?" tanya Eddie tanpa basa-basi, matanya menatap lurus ke depan.Dante menghela napas pelan, menghembuskan asap rokoknya ke udara. "Valeria yang mengatur ini. Aku hanya mengikutinya,”Eddie mendengus sinis. “Mengikuti? Sejak kapan kau menuruti ucapan Valeria?” ejeknya.Dante menegang. Mata gelapnya beralih ke Eddie dengan tatapan tajam, tetapi Eddie tidak gentar. M
Sofia—asisten Evelyn, berdiri dengan ekspresi serius. Di tangannya terdapat sebuah folder hitam tebal berisi informasi yang baru saja dikumpulkan tentang Dante Hudson.“Ini semua tentang Dante Hudson, dan wanita yang Anda tanyakan, Nyonya” ucap Sofia sambil menyerahkan folder itu pada Evelyn.Evelyn menerima folder tersebut dan membukanya dengan penuh rasa ingin tahu. Matanya tajam menelusuri setiap lembar informasi yang telah dikumpulkan Sofia.“Isabella Monaghan … “ Evelyn membaca nama itu dengan nada meremehkan. “Si gadis toko bunga yang berhasil membuat pria seperti Dante Hudson jatuh cinta?”Sofia mengangguk pelan. “Sepertinya Dante Hudson terobsesi padanya. Berdasarkan catatan yang berhasil saya kumpulkan, Dant