Keesokan paginya, Belle keluar dari rumah dengan wajah yang tampak lelah dan mata yang sedikit sembab. Dia bahkan tidak sempat sarapan. Pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran tentang cara membantu keluarganya yang sedang hancur.Namun saat Belle melangkah keluar dari pintu rumah, dia terkejut melihat sosok Eddie yang berdiri di depan pagar. Bersandar pada mobilnya."Eddie?" Belle mengernyit, bingung."Kau mau ke mana?" tanya Eddie."Aku... ingin mencari pekerjaan. Aku harus melakukan sesuatu untuk membantu Mom dan Dad,"Eddie mendekat, berdiri tepat di hadapan Belle. "Jangan selalu berlagak kalau kau sendirian," ucapnya. “Aku akan selalu melindungimu,”Belle terdiam. Hatinya bergetar mendengar kata-kata Eddie. “Bagaimana kalau kau coba ini?” Eddie menyerahkan ponselnya, yang menunjukkan sebuah posisi di rumah sakit milik keluarga Kingsley.Belle terdiam menatap Eddie. "Kau tahu aku bukan dokter atau perawat, kan? Aku bahkan tidak punya pengalaman di bidang medis," ujar Belle dengan
Setelah seharian bekerja, Dante duduk di kursi kantornya dengan tangan yang bertaut di depan wajah. Fabian berdiri di dekat pintu, memegang tabletnya sambil melirik sekilas jadwal sang majikan.“Jadwal Anda kosong malam ini,” kata Fabian tenang.Dante terdiam beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat kepala. “Antar aku ke rumah Belle,” ucapnya pelan.Fabian tidak menunjukkan ekspresi terkejut. Dalam hati dia sudah menduga ini akan terjadi. Dante bisa saja berusaha bersikap seolah Belle tidak berarti apa-apa, tetapi tindakannya selalu berlawanan dengan kata-katanya.Tanpa banyak bicara, Fabian mengangguk dan segera mengatur perjalanan mereka. Mobil melaju tenang di bawah langit malam yang gelap, lampu-lampu kota berkedip samar di kejauhan. Dante duduk di kursi belakang, pandangannya kosong menatap ke luar jendela.Sesampainya di depan rumah Belle, mobil berhenti perlahan. Dante tidak langsung turun. Dia hanya duduk di sana, menatap rumah yang tampak sunyi dari balik kaca. Lampu di dal
Tanpa pikir panjang, Belle bangkit dari kursinya. "Liam, selesaikan makananmu," katanya buru-buru.Liam mengangkat alis, bingung. "Belle, kau mau ke mana?""Aku akan kembali," jawab Belle singkat sebelum berlari keluar restoran.Angin malam menerpa wajahnya saat dia menyeberang jalan dengan cepat. Langkahnya mantap menuju mobil yang terparkir agak jauh dari restoran.Saat dia semakin mendekat, dia bisa melihat siluet seseorang di balik kaca gelap mobil itu. Dante.Belle tidak ragu. Dia berdiri di sisi pintu pengemudi, mengetuk kaca mobil dengan kuat. "Dante!" teriak Belle.Tidak ada respons.Belle mengetuk lagi, lebih keras kali ini. "
Belle melangkah keluar dari rumah sakit dengan napas yang berat. Dadanya terasa sesak oleh penghinaan yang baru saja dia terima. Dia tidak tahu apa yang lebih menyakitkan. Kenyataan bahwa dia dianggap tidak pantas berada di dekat Eddie, atau bahwa seseorang dengan mudah menilainya hanya berdasarkan latar belakangnya.Langkahnya semakin cepat saat dia menuju halte bus di seberang jalan. Dia tidak ingin Eddie tahu tentang ini.Belle menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Konyol. Seharusnya dia sudah terbiasa dengan dunia seperti ini—dunia orang-orang kaya yang menganggap segalanya bisa diatur. Termasuk siapa yang boleh dan tidak boleh masuk dalam kehidupan mereka.Bus berhenti di depannya. Dengan cepat, Belle naik dan duduk di dekat jendela. Menatap ke luar tanpa benar-benar
Nate duduk sendirian di pojok bar, jemarinya melingkari gelas bourbon yang sudah setengah kosong. Musik jazz mengalun pelan di latar belakang, bercampur dengan suara gelak tawa dan dentingan gelas dari meja-meja di sekitarnya. Tetapi Nate tidak memedulikan semua itu.Matanya menatap kosong ke dalam gelas, pikirannya dipenuhi oleh satu nama—Dante.Dante Hudson.Dulu, Nate mengaguminya. Menghormatinya. Bahkan menganggap Dante sebagai seseorang yang tak tersentuh. Tapi sekarang? Pria itu telah berubah.Semuanya dimulai sejak Belle masuk ke dalam kehidupan Dante. Sejak saat itu, Dante tidak lagi sama. Tidak lagi menjadi pria yang dulu Nate kenal—seseorang yang berdiri tanpa ragu di puncak kekuasaan, seseorang yang mengendalikan segalanya dengan tangan besi.
Dante duduk di kursi utama ruang rapat, satu tangan menggenggam pena sementara yang lain bertumpu di meja kayu gelap. Para eksekutif di sekelilingnya tengah membahas strategi ekspansi bisnis.Kemudian, ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah panggilan masuk.Dante melirik layar dan langsung mengerutkan kening. Nate.Dia bisa merasakan tatapan Fabian dari sisi kanan, tetapi Dante tidak memberikan reaksi apa pun. Dia meraih ponselnya dengan gerakan santai, tetapi hatinya mulai merasakan sesuatu yang ganjil. Nate tidak pernah menghubunginya lagi setelah dipecat.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Dante bangkit dari kursinya dan berjalan keluar ruang rapat."Apa maumu, Nate?" sentak Dante emosi.
Dante bergerak tanpa peringatan, melayangkan pukulan keras ke wajah Nate. Membuat pria itu tersungkur ke lantai dengan darah merembes dari bibirnya.Salah satu pria berbadan besar mencoba menyerang dari samping, tetapi Dante dengan gesit menghindar, lalu menghantam rahang pria itu dengan tinjunya. Satu pukulan lagi ke perut, dan pria itu jatuh berlutut sambil terbatuk-batuk kesakitan.“Berhenti!” teriak Nate keras.Dante berhenti. Napasnya berat, dadanya naik-turun seiring dengan amarah yang dia tahan. Matanya beralih ke Belle, yang kini lemas penuh luka. Salah satu anak buah Nate menekan pisau ke leher Belle. Ujungnya cukup tajam hingga meninggalkan goresan tipis di kulit wanita itu.Belle menahan napas, tubuhnya menegang. Dia bisa merasakan dinginnya bilah
Belle menjerit, terpaku di kursinya. Selama ini, Dante adalah pria yang selalu dia lihat sebagai seseorang yang arogan, angkuh, dan tak tersentuh. Seseorang yang tidak peduli pada siapa pun selain dirinya sendiri. Namun di hadapan Belle sekarang, Dante adalah pria yang rela berlutut, dihancurkan tanpa melawan, dan menawarkan nyawanya sendiri hanya agar dirinya tidak tersentuh.Matanya membelalak ketika tongkat besi itu diayunkan ke tubuh Dante.Brak!Suara hantaman keras menggema di gudang kosong itu, membuat Belle menahan napas. Dante terhuyung, tetapi tetap tidak jatuh. Darah segar menetes dari sudut bibirnya, tetapi dia tetap menatap Nate dengan seringaian. Seolah menantang."Berhenti! Nate, hentikan ini!" pekik Belle, begitu keras.
Dante membuka pintu penthouse seperti biasa, meski wajahnya sedikit lelah oleh rapat panjang. Namun begitu memasuki ruang utama, sunyi. Padahal biasanya, Belle akan menyambut. Entah dengan senyuman, komentar sinis, atau celotehan kecil tentang apa yang terjadi hari itu. Tapi kali ini, ruang itu dingin. Sepi. Dan Belle hanya duduk diam di sofa, pandangannya kosong mengarah ke jendela.“Belle?” panggil Dante pelan, melepas jas dan meletakkannya di sandaran kursi. Dia berjalan mendekat, namun Belle tidak langsung menoleh. Hanya mengangguk kecil.Alis Dante bertaut. Dia berjongkok di hadapan Belle, menatap langsung wajah wanita itu. “Ada apa? Kau sakit?”Belle menggeleng. “Aku baik-baik saja,”Dante menyingkirkan rambut Belle yang jatuh ke pipi, menyentuh wajahnya dengan lembut. “Kau hampir tidak bicara sejak aku datang. Biasanya kau mengomel soal makan malam atau soal aku pulang telat,”Belle menarik napas, masih tak menatap matanya. “Apa kau mencintaiku?”Dante terdiam sesaat. “Tentu sa
Valeria Hudson akhirnya kembali setelah hampir dua bulan menyelesaikan urusan bisnis di Perancis. Udara sore menyapa lembut ketika langkah anggunnya menyentuh lantai bandara internasional. Dengan setelan berwarna krem dan kacamata hitam besar yang membingkai wajah tajamnya, dia menarik perhatian begitu banyak mata.Di antara kerumunan, seorang pria berdiri tegak dengan mengenakan jas hitam rapi. Lawrie—asisten pribadi Valeria, segera melangkah maju dengan sopan saat melihat wanita itu."Selamat datang kembali, Nyonya Valeria," sapanya sambil membungkuk sedikit. Kemudian mengambil koper Valeria dari tangannya.Valeria hanya mengangguk singkat, lalu melepas kacamata hitamnya. “Kemana Dante?”Lawrie hanya diam. Tentu Valeria tahu jawaban dari pertanyaan itu. Dante tentu saja tidak akan sudi menyambut kepulangan Valeria. Kecuali datang ke pemakaman wanita tua itu.***Di dalam mobil yang melaju mulus meninggalkan bandara, Valeria duduk bersandar anggun. Kaki disilangkan dan jemarinya mema
Langkah Belle semakin cepat menuruni tangga darurat. Nafasnya memburu, jantungnya berdebar kencang. Satu pintu lagi. Hanya satu pintu darurat terakhir dan dia bisa keluar dari gedung ini.Tangannya sudah menggapai gagang pintu besi yang berat itu. Namun, saat pintu itu terbuka perlahan, di baliknya, berdiri sosok tinggi dengan jas hitam dan tatapan gelap.Dante.Raut wajahnya yang marah dan kecewa tampak begitu jelas. Matanya tajam menatap Belle, seolah tak percaya wanita itu benar-benar mencoba kabur."Kau mau ke mana?" tanya Dante dengan suara rendah.Belle terdiam di ambang pintu, tubuhnya membeku. Tangannya masih di gagang pintu, tapi kakinya tak mampu melangkah lagi."Dante&h
Belle menatap makanannya yang kini hanya tersisa remah-remah di piring. Dia menghela napas perlahan, menyeka ujung bibirnya dengan tisu. Lalu bangkit berdiri dan melangkah ke arah pintu dapur.“Bu Hellen?” panggilnya dengan suara tenang.Tak butuh waktu lama, wanita paruh baya itu muncul dari balik dinding dapur. Tangan masih memegang lap kain kecil.“Ya, Nona Belle?”Belle tersenyum lembut. “Sarapan tadi enak sekali. Terima kasih, ya,”“Saya senang Nona menyukainya. Ada yang bisa saya bantu lagi?”“Sebenarnya… saya ingin mandi dan mengganti baju. Tapi saya lupa letak lemari pakaian yang Dante siapkan untuk saya. Bisa Bu
“Ayo, turun sebentar. Ada seseorang yang ingin aku perkenalkan padamu,” Dante muncul, mengenakan setelan santai warna gelap.Belle masih duduk di tepi ranjang, mengenakan jubah satin yang baru saja disiapkan oleh Dante. Rambutnya masih sedikit berantakan.Mereka berjalan bersama ke ruang tengah, tempat seorang wanita paruh baya dengan penampilan rapi sudah berdiri menunggu dengan senyum ramah.“Belle, ini adalah Bu Hellen. Dia akan menjadi asisten rumah tangga yang tinggal di sini mulai hari ini,” jelas Dante. “Tugasnya adalah menjaga penthouse tetap rapi dan memenuhi semua kebutuhanmu,”Bu Hellen langsung menundukkan kepala sedikit. “Senang bertemu dengan Anda, Nona Belle. Tuan Dante sudah menjelaskan semuanya. Jika Anda butuh sesuatu, cukup katakan saja,”“T-Terima kasih… “ balas Belle, sedikit kikuk.“Selama aku bekerja, Bu Hellen akan menemanimu di sini,” terang Dante. “Selama keluarga Evelyn masih berkeliaran, aku tidak akan ambil risiko. Jika kau ingin pergi ke suatu tempat, Fab
Setelah keluarganya resmi pindah ke desa dengan pengawalan ketat dari orang-orang Dante, Belle akhirnya membawa barang-barangnya ke penthouse pria itu.Hari itu langit senja membiaskan warna jingga keemasan saat Belle berdiri di depan pintu penthouse Dante dengan koper di tangannya. Pintu terbuka sebelum dia sempat mengetuk. Dante sudah berdiri di sana, mengenakan kemeja hitam dengan lengan tergulung.“Akhirnya kau datang,” katanya, menarik koper dari tangan Belle dan mendorongnya masuk.Belle menghela napas, berusaha menenangkan debaran di dadanya. “Aku tidak punya pilihan lain, kan?” gumamnya.Dante menutup pintu di belakang mereka, lalu berbalik menghadap Belle. “Bukan tidak punya pilihan. Kau hanya akhirnya menerima kenyataan,” tim
Kondisi Patrick mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Setelah melewati masa kritis, dokter akhirnya memberi kabar baik kepada keluarga Belle bahwa operasi berjalan sukses dan tidak ada komplikasi serius. Meskipun masih harus menjalani perawatan intensif, Patrick sudah mulai sadar dan bisa merespons dengan baik.Di kamar rumah sakit, Belle duduk di samping tempat tidur ayahnya. Menggenggam tangan Patrick dengan erat. Emily berdiri di sisi lain tempat tidur, matanya masih sembab karena kurang tidur. Liam berdiri tak jauh dari mereka, berusaha terlihat kuat meskipun jelas-jelas dia juga sangat cemas.“Dad,” suara Belle lirih. Matanya berkaca-kaca saat Patrick akhirnya membuka mata dengan lemah.Patrick tersenyum samar. "Kalian semua… ada di sini…" Suaranya masih serak, tetapi itu sudah cukup untuk membuat Belle merasa lega.Emily menutup mulut, berusaha menahan tangis bahagia.Belle mengusap air matanya. "Dad istirahat saja dulu, jangan khawatirkan yang lain. Yang penting sekarang Dad
Keesokan paginya, dokter keluar dari ruang ICU dengan ekspresi lebih tenang. Belle yang semalaman tidak tidur langsung berdiri. Matanya penuh harap dan ketakutan."Dokter, bagaimana kondisi ayah saya?" tanya Belle, tak sabar.Dokter itu mengangguk kecil. "Syukurlah, beliau berhasil melewati 24 jam krusial. Meski masih harus dalam pengawasan ketat, kondisinya mulai stabil,"Belle langsung menutup mulut dengan tangan, air matanya jatuh begitu saja. Beban yang semalam menyesakkan dada perlahan terasa lebih ringan.Dante yang berdiri di samping Belle langsung meraih bahunya. Menahan agar tetap tegak. "Kau dengar itu? Ayahmu akan baik-baik saja," katanya lembut.Emily langsung memeluk Belle, ikut merasa lega karena Patrick berhasi
Sementara mereka berpelukan dalam diam, suara langkah kaki mendekat. Seorang perawat keluar dari ruang ICU, membawa berkas di tangannya.“Dokter masih memeriksa kondisi ayah Anda,” kata perawat itu dengan suara lembut pada Belle. “Mungkin butuh beberapa menit lagi sebelum Anda bisa masuk,”Belle mengangguk, mencoba melepaskan diri dari Dante. Tetapi pria itu masih enggan melepaskan tangannya. Bahkan ketika Belle akhirnya mundur, Dante tetap menggenggam jemarinya erat. Seolah takut Belle akan runtuh jika dia lepaskan.“Dan … “ gumam Belle. Memberi isyarat pada Dante kalau dia baik-baik saja.Tak lama kemudian, pintu terbuka. Dan seorang dokter keluar dengan ekspresi serius. Belle langsung menghampiri, begitu juga dengan Dante yan