Beranda / Romansa / Dalam Dekapan Waktu / Bab 4. Sentuhan bagaikan sihir.

Share

Bab 4. Sentuhan bagaikan sihir.

Penulis: Quin
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Dia akan baik-baik saja.”

Suara itu samar ku dengar saat indera pendengaran ku mulai berfungsi kembali. Aku mencoba sekuat tenaga untuk membuka mataku yang terasa sangat erat terkatup. Beberapa kali mengerjapkannya, akhirnya aku bisa melihat sekitarku. Dari baunya yang khas, aku tahu aku ada di salah satu klinik atau mungkin rumah sakit. Tak jauh, ku lihat siluet nenekku yang semakin nyata sedang berbicara dengan seorang wanita yang aku asumsikan sebagai seorang dokter.

“Nek?” erangku yang terasa tercekat. Ada rasa gatal dan kering bersamaan yang membuatku kesusahan untuk menelan salivaku sendiri.

“Lena?! Bagaimana kabarmu? Apakah kau baik-baik saja?! Bagaimana kau bisa begini? Kau membuat Nenek sangat khawatir!” Wanita tua yang selalu berbau lavender itu mencercaku dengan begitu banyak pertanyaan yang hanya bisa aku jawab dengan anggukan pelan.

Mataku bergulir ke sisi nakas ruang rawat itu. Melihat tas dan juga buku yang bertumpuk. Salah satu buku adalah buku yang diberikan oleh Ethan tadi. Mataku membesar, bagaimana buku ini bisa ada di sini? Bukankah tadi aku langsung pindah ke rumah dan barang-barang ini tidak aku bawa sama sekali.

Wajah Ethan dengan tatapan sendunya, gurat tangannya yang menyengat dan juga bau ciri khasnya tiba-tiba saja muncul di dalam pikiranku. Menusuk, tercengkram kuat dalam otakku.

“Nek? Siapa yang membawa barang-barangku?” tanyaku yang seketika cukup punya tenaga untuk menanyakan hal itu. Aku bahkan berusaha untuk duduk tanpa memperhatikan selang infus yang akhirnya sedikit terasa menyengat kulit di punggung tanganku. Darah sedikit mengisi ujungnya karena ulahku.

“Ann! Jangan banyak bergerak. Apakah itu sakit?” Nenekku mengambil tanganku dengan lembut. Ya, segala hal yang dia lakukan memang selalu terasa halus dan lembut. Mungkin karena itu pula selama ini aku sebenarnya tidak kehilangan rasa kasih sayang walaupun kedua orang tuaku tiada sudah begitu lamanya.

“Tidak. Nenek, siapa yang mengantarkan barang-barangku?” ulangku. Tentu ingin memastikan hal yang muncul dibenakku. Dia kah?

“Seorang pria. Nenek tidak pernah melihatnya, aksennya sedikit aneh. Pasti bukan orang sini. Tapi, dia datang di saat yang begitu tepat. Saat kau pingsan dan Nenek berlari untuk meminta tolong, dia datang. Dia membawamu naik ke mobilnya lalu dia membawamu ke sini. Setelah itu dia juga menyerahkan barang-barangmu. Dia orang yang baik.” Nenekku dengan aksen Inggrisnya yang kental bercerita bagaikan rentetan kereta yang tidak berujung jika dia senang akan sesuatu.

“Lalu di mana dia?”

“Pergi. Dia pergi begitu saja, setelah dokter memeriksa mu. Dia sempat mengatakan bandara atau hal semacamnya.”

Aku membulatkan mataku yang hitam keturunan langsung dari ayahku. Aku ingat kata-kata terakhirku sebelum dia menyerahkan coklat itu padaku.

Aku mengusirnya!

Ya itu kenyataannya!

Dan aku katakan bahwa aku tidak ingin bertemu lagi dengannya!

Apakah itu alasannya? Jangan-jangan memang benar! Dia akan pulang ke Amerika!

Oh! Tidak! Aku tidak bisa membiarkan dia pergi begitu saja. Setelah bertahun-tahun berdoa pada Tuhan, bahkan bermimpi pun tak pernah. Akhirnya aku kembali ke masa itu. Masa di mana aku bisa bertemu dengan orang tuaku. Dan entah bagaimana, seolah begitu kuat keyakinan di dalam diriku. Pria itu tahu sesuatu! Dan aku rasa hanya dia pula lah yang bisa mengantarkan aku kembali ke masa itu.

“Aku harus mengejarnya!” Aku menggenggam erat tiang infus yang tertancap di meja rawatku. Melepaskannya dari sana dan seolah sedang melakukan sebuah atraksi gimnastik yang memukau, aku turun menapak lantai dingin rumah sakit itu dengan nilai yang sempurna.

Nenekku saja sampai terlonjak kaget melihat apa yang aku lakukan. “Lena! Apa yang kau lakukan, Nak?”

Aku tidak mengatakan apa-apa. Buru-buru melangkah, membuka pintu ruang rawatku dan tak peduli dengan rasa linu di punggung tanganku apalagi suara panggilan nenekku yang sudah tak lagi bisa tersaring gendang telingaku.

Dia tidak boleh aku biarkan pergi!

Bodoh! Ellena! Kenapa tidak meminta kontaknya atau bagaimana?

Saat aku berjalan dengan cepat, mengindahkan rasa menusuk di kakiku karena dingin. Tubuhku tiba-tiba hampir tempental kembali saat tak sengaja menabrak seseorang. Ya! Aku akui, selain plin-plan, ceroboh adalah nama tengahku. Aku kira aku akan terduduk di lantai rumah sakit itu, tapi tangan kokoh dengan kehangatan racikan wangi rempah yang selalu menenangkanku kembali aku rasakan.

“Lena? Kau ingin ke mana?” suara yang biasanya terdengar ramah dan lembut itu sekarang terdengar cukup tinggi. Mungkin dia pun berpikir, gadis gila mana yang ingin melarikan diri dengan pakaian seadanya, bertelanjang kaki, menenteng cairan infusnya ini pergi.

“Ethan?” Aku mendongak untuk melihat wujudnya. Ada letupan bahagia dengan gemericik rasa semangat yang meluncurkan senyuman yang begitu lebar di wajahku. Aku bahkan tanpa sadar sedikit terjingkat karenanya. Tak sadar, bahwa berita kepergiannya sesaat tadi membuat hatiku gundah.

“Ya?” wajahnya mengerut tak percaya.

“Apa yang kau lakukan Lena? Kau harus kembali ke kamarmu!” suara renta yang meninggi itu mendekatiku. Menarikku yang tampak cukup terhipnotis melihat pria ini. Saat itu aku hanya sadar bahwa perasaan senang ini karena akhirnya aku sudah tahu cara kembali ke masa itu dan aku yakin kuncinya adalah pria ini.

***

“Kakimu sampai membiru karena kedinginan. Apa yang kau pikirkan, gadis bodoh!” Nenekku sudah entah berapa kali menyematkan kata itu karena kesalnya. Aku bisa melihat Ethan sedikit suka melihat nenek menceramahiku.

“Nyonya Forrester. Anda dipanggil ke nurse station untuk mengisi administrasi lebih lanjut.” Seorang perawat terlihat masuk ke dalam ruangan ku.

“Baiklah. Anak muda … siapa tadi namamu?” tanya Nenek menatap ke arah Ethan yang sedari tadi hanya duduk di sofa.

“Oh, Namaku Ethan, Nyonya.” Ethan langsung tersenyum dan bersikap sopan.

“Ethan, bisa menjaga cucuku yang sangat tidak bisa diatur ini. Jangan biarkan dia kabur lagi dari sini. Bisakah kau melakukannya, tolong?” kata nenek dengan nada merayunya yang biasa selalu jitu untuk membuat orang tidak bisa mengatakan tidak padanya.

“Oh, akan aku coba sebisaku, Nyonya.” Ethan menebar kembali senyumannya yang aku yakin saat itu nenekku langsung terkesima akannya. Terbukti dia langsung menaikkan kedua alisnya dengan mata besar membulat dan senyuman lebar yang menurutku aneh. Raut wajah yang tidak pernah dia tunjukkan ketika dia bertemu dengan Jester. Pria yang menurutnya aneh.

“Aku akan baik-baik saja, Nek,” kataku agar nenekku beranjak dari sana; walaupun aku tahu dia pasti sangat ingin duduk. Minum teh hangat dan menghabiskan waktu mengobrol dengan Ethan sekarang.

Kala pintu itu tertutup. Aku langsung menarik napas yang aku tahan sejenak di dadaku, membuatnya sedikit membusung tapi terasa lega. Saat mataku mengedar ke arahnya, di satu titik mata kami akhirnya bertemu. Pria itu hanya sedikit memberikan senyuman yang berhasil memutuskan ikatan yang tercipta secara spontan, tapi kuat  dan menyengat.

“Nenek mengatakan bahwa kau pergi ke bandara.” Aku mencoba menghilangkan keheningan yang sebenarnya baru saja tercipta di antara kami.

“Oh, aku rasa Nenekmu salah mengingat. Aku mengatakan aku ingin membeli roti di dekat bandara. Tidak pergi ke bandara.” Ethan menunjukkan sekotak kue yang harus jujur, itu adalah roti kesukaan ku pula.

“Jadi kau tidak pergi?”

“Pergi?” pria itu mengerutkan dahinya. Bahkan begitu seperti itu saja, dia tampak manis.

“Ya, aku kira kau pergi karena aku sudah menyuruhmu untuk tidak mendekatiku lagi. Jadi aku kira kau akan pulang ke Amerika atau bagaimana, apalagi Nenekku mengatakan hal tentang bandara.”

Ethan tersenyum cukup lebar tapi begitu manisnya. “Kau pikir aku akan pergi begitu saja hanya karena kau menyuruhku untuk pergi. Aku tak semudah itu untuk menyerah.”

Aku menggigit bibirku untuk menahan senyuman yang sebenarnya hampir mengembang di bibirku. Ku tahan karena aku tidak ingin terlihat menjilat ludahku sendiri karena sudah jelas sekali kali ini aku tidak ingin dia pergi.

“Tentang tadi, apa kau sudah tahu tentang hal ini?” tanyaku yang akhirnya ingat hal ini lah yang terpenting yang harus aku tanyakan padanya.

Ethan diam sejenak, membasahi bibirnya lalu mengangguk pelan. “Kau pernah mengatakannya padaku.”

Aku menarik napasku. Penasaran entah apa lagi yang sudah aku katakan pada pria ini. Tapi tetap saja di titik ini aku tetap tidak bisa mempercayainya. “Lalu apa lagi yang aku katakan padamu? Apa lagi yang harus aku tahu?”

Ethan menggeleng pelan dan memandangku denganku dengan matanya yang selalu luar biasa itu. “Aku tidak bisa mengatakan apa pun sebelum itu terjadi.”

“Kenapa?”

“Karena kau sendiri yang memintaku seperti itu.”

“Jadi apakah kau tahu aku pergi ke masa sebelum ayah dan ibuku kecelakaan?” tanyaku yang selalu merasa tak enak ketika membicarakan hal ini, apalagi baru saja aku melihat hal itu lagi di depan mataku. Aku sangat menahan diri untuk tidak kembali histeris dan mencoba untuk sesadar mungkin saat itu.

“Ya. Aku tahu.” Ethan bangkit dan membuka kotak kue yang tadi dia bawa lalu menyerahkannya padaku. “Makanlah, ini akan membuatmu lebih baik.”

Aku menatap pria yang berdiri tak jauh dariku sekarang. Ku gapai tangannya dengan gerakan seolah ingin kembali menyentuh tangannya dan pria itu refleks langsung menarik tangannya cepat. Seolah dia ketakutan untuk ku sentuh.

“Jadi itu benar? Perpindahan ku tadi ada hubungannya denganmu?” tanyaku lagi dengan menggebu. Entahlah, perasaan itu begitu kuat dan mengiang di pikiranku. Bahwa pria ini lah alasan kenapa aku bisa kembali lagi ke sana. Ya! Dan tindakannya tadi seolah membenarkan dugaanku.

Ethan hanya diam saja walaupun bibirnya tampak bergerak-gerak. “Ini bukan saatnya. Kau bisa tidak kembali dari sana jika energimu terhisap habis. Aku berjanji akan membantumu nanti kapan pun kau inginkan. Hanya saja, pulihkan dulu keadaanmu.” Ethan mengatakannya dengan sangat lembut, bahkan seperti memelas padaku. Tangannya kembali menyodorkan kue coklat kesukaanku itu.

“Berjanjilah!”

“Aku berjanji.”

Bab terkait

  • Dalam Dekapan Waktu   Prolog

    bAwan kelabu terlihat masih menyelimuti langit di sore hari. Butiran air yang tadinya jatuh dan menghujam bumi kini telah hilang, menyisakan hawa dingin yang masih menyergap dan aroma tanah khas usai datangnya hujan yang masih menguar di udara. Kuhirup dalam-dalam aroma itu sambil terus berjalan memeluk tubuhku sendiri. Kedua tanganku yang keriput bersedekap sembari mengelus sweater abu-abu yang cocok dengan semburat warna awan sore ini. Hawa dingin terasa begitu menggigit melebihi cuaca di musim dingin. Semua itu karena tubuh rentaku yang sudah tidak seberapa mampu beradaptasi dengan suhu. Bahkan, hal itu melinukan semua tulangku. Namun, aku harus terus berdiri di sini. Di depan istana kecilku yang terlihat jauh lebih sederhana dari pada istana-istana disekitarnya. Hingga akhirnya, hal itu pun terjadi …. Tiba-tiba terdengar teriakan dan pekikkan orang-orang di sekitar yang memekakkan telinga sebelum akhirnya pendengaranku terasa berdengung. Orang-orang dengan panik berlari mendata

  • Dalam Dekapan Waktu   Bab 1. Anugerah dan Kutukan.

    Ada dua masa di dalam hidupku yang merupakan titik balik dalam kehidupanku.Pertama, saat aku mengalami anugrah sekaligus kutukan ini untuk yang pertama kali.Kedua, saat pertama kali aku bertemu dengannya. Pria dengan senyuman yang tak pernah lepas dari bibirnya. Pria yang menuntunku menemukan tujuan hidup dan cinta.Kan ku ceritakan untuk kalian.Sejauh yang bisa ku ingat. Malam itu adalah malam biasa di bulan Juli. Bintang menghiasi langit yang sangat cerah dan udara terasa panas karena saat itu musim panas di pinggiran kota London.Saat itu umurku menginjak 6 tahun. Aku sedang duduk di kursi belakang mobil Aston Martin kesayangan ayahku. Ya! dia mencintai mobil itu lebih dari apa pun. Bahkan, dia tak akan membiarkan setitik debu pun mengotori cat abu mengkilatnya.Saat itu kami sedang menuju ke rumah perkebunan milik nenekku yang tak begitu jauh. Sejauh aku memandang hanya pohon menghijau yang berjajar

  • Dalam Dekapan Waktu   Bab 2. Ethan Maurice Winster

    Malam di musim dingin yang indah. Aku berdiri di tepian jalan yang hampir seluruhnya tertutupi oleh salju namun tak menyulutkan antusias semua orang untuk menikmati liburan, membuat suasana menjadi hangat. Hiasan natal tampak sudah menyemarakkan lingkungan. Pohon-pohon cemara tampak gemerlap dengan lampu dan dekorasinya. Anak-anak semangat untuk bertemu sinterklas bertubuh gempal hasil sumpalan kostumnya, khas dengan janggut putihnya.Usiaku saat itu dua puluh tahun. Kembali ku peluk diriku sendiri karena dinginnya masih bisa ku rasakan menyusup diantara mantel coklat tebal dengan bulu halus di bagian lehernya yang sengaja ku timpa dengan syal tebal. Aku juga menggunakan penutup telinga khusus dan topi rajut, napasku tampak beruap. Ah! dari semua musim, musim ini lah yang paling ku benci.Saat itu aku sudah mengerti apa yang terjadi

  • Dalam Dekapan Waktu   Bab 3. Sesuatu yang menyengat.

    “Tak apa. Kalian ingin pergi, ‘kan? Nikmati waktu kalian.” Ethan menegapkan tubuhnya yang tampak jauh lebih tegap dari pada Jacob. Memberikan sedikit senyuman yang bukannya melegakan bagiku, tapi malah semakin menusuk. Di detik itu, aku semakin bertanya apa yang terjadi pada diriku. “Ya. Benar! Lena, Ayo.” Jacob berdiri dan membuat pautan tangan kami merenggang. Tapi, saat itu aku terus memandangi cara pria di depanku memandangku. Ada getaran perasaan yang benar-benar tak bisa aku artikan, tapi satu yang membuatku bahkan tak bisa berpaling menatapnya, ketulusan itu terasa kuat. “Lena?!” Suara Jacob yang sedikit meninggi dengan remasan di tangannya membuat aku akhirnya sadar akan sekitarku. Apa yang sudah aku lakukan? Pikirku sambil melihat wajah Jacob yang tampak tentu tidak menyukai yang sudah aku lakukan. Pria itu hanya memainkan rahangnya melihat bagaimana Jacob meremas tanganku kuat-kuat. “Oh! Ya! Aku pergi dulu,” kataku dengan gugup dan sebisa mungkin meninggalkan tempat itu se

Bab terbaru

  • Dalam Dekapan Waktu   Bab 4. Sentuhan bagaikan sihir.

    “Dia akan baik-baik saja.”Suara itu samar ku dengar saat indera pendengaran ku mulai berfungsi kembali. Aku mencoba sekuat tenaga untuk membuka mataku yang terasa sangat erat terkatup. Beberapa kali mengerjapkannya, akhirnya aku bisa melihat sekitarku. Dari baunya yang khas, aku tahu aku ada di salah satu klinik atau mungkin rumah sakit. Tak jauh, ku lihat siluet nenekku yang semakin nyata sedang berbicara dengan seorang wanita yang aku asumsikan sebagai seorang dokter.“Nek?” erangku yang terasa tercekat. Ada rasa gatal dan kering bersamaan yang membuatku kesusahan untuk menelan salivaku sendiri.“Lena?! Bagaimana kabarmu? Apakah kau baik-baik saja?! Bagaimana kau bisa begini? Kau membuat Nenek sangat khawatir!” Wanita tua yang selalu berbau lavender itu mencercaku dengan begitu banyak pertanyaan yang hanya bisa aku jawab dengan anggukan pelan.Mataku bergulir ke sisi nakas ruang rawat itu. Melihat tas dan juga buku yang bertumpuk. Salah satu buku adalah buku yang diberikan oleh Eth

  • Dalam Dekapan Waktu   Bab 3. Sesuatu yang menyengat.

    “Tak apa. Kalian ingin pergi, ‘kan? Nikmati waktu kalian.” Ethan menegapkan tubuhnya yang tampak jauh lebih tegap dari pada Jacob. Memberikan sedikit senyuman yang bukannya melegakan bagiku, tapi malah semakin menusuk. Di detik itu, aku semakin bertanya apa yang terjadi pada diriku. “Ya. Benar! Lena, Ayo.” Jacob berdiri dan membuat pautan tangan kami merenggang. Tapi, saat itu aku terus memandangi cara pria di depanku memandangku. Ada getaran perasaan yang benar-benar tak bisa aku artikan, tapi satu yang membuatku bahkan tak bisa berpaling menatapnya, ketulusan itu terasa kuat. “Lena?!” Suara Jacob yang sedikit meninggi dengan remasan di tangannya membuat aku akhirnya sadar akan sekitarku. Apa yang sudah aku lakukan? Pikirku sambil melihat wajah Jacob yang tampak tentu tidak menyukai yang sudah aku lakukan. Pria itu hanya memainkan rahangnya melihat bagaimana Jacob meremas tanganku kuat-kuat. “Oh! Ya! Aku pergi dulu,” kataku dengan gugup dan sebisa mungkin meninggalkan tempat itu se

  • Dalam Dekapan Waktu   Bab 2. Ethan Maurice Winster

    Malam di musim dingin yang indah. Aku berdiri di tepian jalan yang hampir seluruhnya tertutupi oleh salju namun tak menyulutkan antusias semua orang untuk menikmati liburan, membuat suasana menjadi hangat. Hiasan natal tampak sudah menyemarakkan lingkungan. Pohon-pohon cemara tampak gemerlap dengan lampu dan dekorasinya. Anak-anak semangat untuk bertemu sinterklas bertubuh gempal hasil sumpalan kostumnya, khas dengan janggut putihnya.Usiaku saat itu dua puluh tahun. Kembali ku peluk diriku sendiri karena dinginnya masih bisa ku rasakan menyusup diantara mantel coklat tebal dengan bulu halus di bagian lehernya yang sengaja ku timpa dengan syal tebal. Aku juga menggunakan penutup telinga khusus dan topi rajut, napasku tampak beruap. Ah! dari semua musim, musim ini lah yang paling ku benci.Saat itu aku sudah mengerti apa yang terjadi

  • Dalam Dekapan Waktu   Bab 1. Anugerah dan Kutukan.

    Ada dua masa di dalam hidupku yang merupakan titik balik dalam kehidupanku.Pertama, saat aku mengalami anugrah sekaligus kutukan ini untuk yang pertama kali.Kedua, saat pertama kali aku bertemu dengannya. Pria dengan senyuman yang tak pernah lepas dari bibirnya. Pria yang menuntunku menemukan tujuan hidup dan cinta.Kan ku ceritakan untuk kalian.Sejauh yang bisa ku ingat. Malam itu adalah malam biasa di bulan Juli. Bintang menghiasi langit yang sangat cerah dan udara terasa panas karena saat itu musim panas di pinggiran kota London.Saat itu umurku menginjak 6 tahun. Aku sedang duduk di kursi belakang mobil Aston Martin kesayangan ayahku. Ya! dia mencintai mobil itu lebih dari apa pun. Bahkan, dia tak akan membiarkan setitik debu pun mengotori cat abu mengkilatnya.Saat itu kami sedang menuju ke rumah perkebunan milik nenekku yang tak begitu jauh. Sejauh aku memandang hanya pohon menghijau yang berjajar

  • Dalam Dekapan Waktu   Prolog

    bAwan kelabu terlihat masih menyelimuti langit di sore hari. Butiran air yang tadinya jatuh dan menghujam bumi kini telah hilang, menyisakan hawa dingin yang masih menyergap dan aroma tanah khas usai datangnya hujan yang masih menguar di udara. Kuhirup dalam-dalam aroma itu sambil terus berjalan memeluk tubuhku sendiri. Kedua tanganku yang keriput bersedekap sembari mengelus sweater abu-abu yang cocok dengan semburat warna awan sore ini. Hawa dingin terasa begitu menggigit melebihi cuaca di musim dingin. Semua itu karena tubuh rentaku yang sudah tidak seberapa mampu beradaptasi dengan suhu. Bahkan, hal itu melinukan semua tulangku. Namun, aku harus terus berdiri di sini. Di depan istana kecilku yang terlihat jauh lebih sederhana dari pada istana-istana disekitarnya. Hingga akhirnya, hal itu pun terjadi …. Tiba-tiba terdengar teriakan dan pekikkan orang-orang di sekitar yang memekakkan telinga sebelum akhirnya pendengaranku terasa berdengung. Orang-orang dengan panik berlari mendata

DMCA.com Protection Status