Home / Romansa / Dalam Dekapan Waktu / Bab 1. Anugerah dan Kutukan.

Share

Bab 1. Anugerah dan Kutukan.

Author: Quin
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Ada dua masa di dalam hidupku yang merupakan titik balik dalam kehidupanku.  Pertama, saat aku mengalami anugrah sekaligus kutukan ini untuk yang pertama kali. Kedua, saat pertama kali aku bertemu dengannya. Pria dengan senyuman yang tak pernah lepas dari bibirnya. Pria yang menuntunku menemukan tujuan hidup dan cinta. 

Kan ku ceritakan untuk kalian.

Sejauh yang bisa ku ingat. Malam itu adalah malam biasa di bulan Juli. Bintang menghiasi langit yang sangat cerah dan udara terasa panas karena saat itu musim panas di pinggiran kota London.

Saat itu umurku menginjak 6 tahun. Aku sedang duduk di kursi belakang mobil Aston Martin kesayangan ayahku. Ya! dia mencintai mobil itu lebih dari apa pun. Bahkan, dia tak akan membiarkan setitik debu pun mengotori cat abu mengkilatnya.

Saat itu kami sedang menuju ke rumah perkebunan milik nenekku yang tak begitu jauh. Sejauh aku memandang hanya pohon menghijau yang berjajar di samping jalan. Semua berjalan begitu indah. Jalanan yang kami lewati cukup ramai. Semua orang pun terlihat begitu bahagia. Apalagi diriku karena sebelumnya ayah dan ibu memberikanku sebuah boneka poselen Victoria Catlin yang sudah sangat aku inginkan.

Aku terus mengelus rambut pirangnya yang ikal dan menyisirnya dengan sisir khususnya. Sesekali aku melihat kedua orang tuaku yang duduk di depan mengobrol dan bercanda. Aku ingat bagaimana ibu tersipu malu ketika ayah menggodanya. Mereka pasangan yang luar biasa.

Lalu mereka membalas tatapanku, mereka tersenyum dengan sangat lebar. Aku pun hanya membalasnya dengan tawa yang menarik pipi tembamku hingga mengembang karenanya. Ibu mencubit kecil pipiku gemas, membuatku alih-alih merasakan sakit malah terasa geli. Ayahku masih curi-curi pandang melihat interaksiku dan ibu karena dia harus fokus menyetir di jalan sibuk itu.

“Ellena, kami mencintaimu.”

Itu kata terakhir yang diucapkan oleh ibuku sebelum akhirnya dan entah dari mana truk besar itu menghantam bagian depan mobil yang kami tumpangi. Raut wajah kaget ayah. Ketakutan yang tiba-tiba muncul di wajah ibuku. Kaca-kaca yang pecah berhamburan juga suara besi beradu yang memekakkan telinga dikombinasikan dengan suara ban yang terseret karena tiba-tiba tertahan oleh rem. Semua menjadi satu dalam kejadian cepat yang terekam jelas bagaikan sebuah potrait dalam otakku ketika aku menutup mata dengan sangat erat. Kaget dan ketakutan membuatku melakukan hal itu. Di saat itu pula ku rasakan nyeri panjang di pipiku tapi anehnya aku hanya merasakan hal itu.

Senyap tiba-tiba menyergap. Entah kemana suara klakson panjang yang mungkin tertekan oleh ayahku sebelum kejadian. Keadaan sepi tanpa suara yang membuat telinga mendengung. Aku memang baru berumur 6 tahun, tapi aku yakin seharusnya aku merasakan rasa sakit karena kecelakaan itu. Namun, aku tidak merasakannya sama sekali.

Wajahku yang mengerut karena memaksakan diri menutup mata perlahan menggendur ketika senyap itu perlahan menghilang digantikan suara desiran angin yang pelan. Terpaannya pun membarut pipiku lembut seolah mereka mencoba untuk menenangkanku dari rasa takut yang mengusaiku.

"Selamat ulang tahun! selamat ulang tahun, Ellena!” sayup pula ku dengarkan nyanyian itu. Tentu itu membuatku semakin bingung. Ku coba memberanikan diri, perlahan ku buka mataku dan aku terkejut.

Entah bagaimana caranya tapi aku sudah tidak berada  di dalam mobil naas itu. Seketika saja aku sudah ada di depan halaman rumah kami. Rumah bergaya khas eropa dimana aku dilahirkan dan tumbuh hingga saat itu.

Nyanyian ulang tahun kembali menyapa indera pendengaranku. Menggelitik rasa penasaran seolah menuntunku untuk mengikuti suaranya dan aku berhenti tak jauh dari jendela ruang tengah kami.

Aku memiringkan kepalaku dan memasang wajah penasaran juga bertanyaku. Serasa sedang menonton kepingan perjalanan hidup, aku melihat diriku sendiri namun lebih kecil sedang meniup lilin. Aku juga melihat kedua orang tua ku tampak dengan bahagianya memelukku setelah itu.

Tapi ... bukannya sekarang sedang musim panas. Ulang tahunku di musim gugur, pikirku.

Suara gemuruh angin yang tiba-tiba berhembus membuatku kaget. Mataku seketika menuju ke arah pohon maple yang tumbuh di samping jalan rumah kami yang tak berpagar. Daunnya sudah berwarna jingga, khas sekali pada saat musim gugur.

Aku kembali memiringkan kepalaku. Bukannya tadi saat kami pergi daunnya masih hijau semua? kenapa aku malah bisa ada di sini sekarang? Ada apa ini? apakah ini hanya mimpi ataukah ini tandanya aku sudah mati? semua pertanyaan itu berputar dalam otakku yang kecil. Aku benar-benar tak mengerti saaat itu.

Ya! aku ingat kejadian ini. Ini ulang tahunku tiga tahun yang lalu. Kami merayakannya secara sederhana bertiga saja. Lagi-lagi ada pertanyaan kenapa aku ada di sini sekarang?

Aku hanya mematung. Bingung dengan apa yang aku lihat sekarang. Saat otak kecilku mencoba menerka apa yang terjadi, rasa hangat tiba-tiba membalut tangan kananku yang mungil. Aku segera mengalihkan pandanganku ke arah samping tempat rasa hangat itu berasal. Aku semakin kaget melihat sesosok gadis remaja berdiri di sana. Dia menatap lurus ke arah jendela ruang tengah kami. Aku bisa merasakan tatapannya penuh kerinduan.

"Kau takut?” tanya seraya mengalihkan pandangnya ke arahku.

Aku tak menjawab. Aku hanya mengangguk menandakan aku memang takut sekarang. Bagaimana tidak? aku baru saja menyaksikan sebuah truk menghantam mobil kami lalu tiba-tiba saja  aku ada di sini, orang dewasa pun akan takut jika mengalaminya.

Dia lalu tersenyum manis namun bukanlah sebuah senyuman lepas. Saat itu aku berpikir mungkin dia adalah malaikat yang menjemputku dan menuntunku ke surga. Teringat sebuah cerita yang pernah diceritakan oleh ibuku. Anak-anak akan dituntun ke surga saat dia meninggal agar tak tersesat.

"Ayo pergi berjalan-jalan. Aku akan menceritakan semua selama kita berjalan-jalan," ujarnya ramah.

Aku tidak memberikan respon apapun. Tak ada kata-kata mengiyakan atau sekedar anggukan kecil untuk menjawabnya. Namun, saat dia memulai langkah entah kenapa aku mengikutinya. Mungkin karena rasa dekat yang muncul entah dari mana, padahal aku tak pernah mengenalnya.

Aku memandangi wajahnya. Mengamati rambutnya yang lurus terikat kuncir kuda. Bentuk wajahnya runcing mirip ibu. Hidungnya mancung dan matanya abu-abu seperti diriku. Mungkin karena merasa diamati, dia lalu menoleh padaku.

"Kau mengenali diriku?" katanya kembali tersenyum.

Aku menggeleng cepat sambil terus menatapnya. "Tapi kakak mirip ibuku," ujarku polos saat itu.

Dia tersenyum lebih lebar namun terus mengamati jalan yang tak begitu ramai khas sekali jalan perumahan di sini. Lampu jalannya pun tak terlalu banyak. Menyisakan tempat gelap yang tak dinaunginya.

"Benarkah mirip ibu?”

“Ya!” 

Dia hanya mengulum senyumnya. Aku menatap ke arah yang kami tuju. Ternyata dia membawaku ke taman yang dekat dengan perumahan. Tempatku menghabiskan waktu untuk bermain bersama teman-teman.

Kami duduk di ayunan tua yang ada di sana. Tiangnya bahkan sudah berkarat dan mengeluarkan suara berdecit setiap kali dia mengayun. Tapi, itu adalah permainan favorit di sana.

“Kau pasti lapar,” katanya lagi.

Saat itu aku baru sadar perutku tiba-tiba terasa sangat kosong bahkan hingga melilit rasanya. Aku mengangguk lagi mengiyakan. Dia segera merogoh saku jaket gombrang berwarna hitam yang digunakannya. Mengeluarkan tiga buah coklat yang dibungkus oleh kertas timah berwarna keemasan.

“Makanlah dua, sisakan satu untuk perjalanan pulangmu nanti,” ujarnya padaku.

Tanpa pikir panjang lagi aku segera mengambil coklat itu. Memakannya 2 buah lalu menyimpan satunya di dalam sakuku sesuai dengan perintahnya.

Dia tersenyum melihat tingkahku yang pastinya terlihat rakus menghabiskan coklat itu. Aku benar-benar kelaparan hingga tanganku bergetar. Anehnya, itu semua terjadi setelah dia menyakan hal itu.

Dia menjulurkan tangannya yang terasa dingin. Menghapus noda bintik darah yang ada di pipiku. Aku sedikit menyeringai menahan perih dan saat itulah aku sadar ini semua bukanlah mimpi. Kau tak bisa merasa sakit saat di alam mimpi, bukan? tapi jika ini alam setelah kematian, kenapa aku masih bisa merasakan sakitnya?

"Aku tahu kau juga tak akan mengerti apa yang akan ku katakan padamu. Namun … kita adalah penjelajah waktu," katanya menatapku dengan tatapan pedulinya. Aku hanya memandangnya dengan kerutan di dahi. Untuk anak umur 6 tahun. Perkataannya tentu tak bisa aku mengerti.

"Kau akan mengerti beberapa tahun lagi. Ehm … sebentar lagi kau akan kembali ke waktumu semula. Tegarlah! jangan menangis! kita masih bisa bertemu ayah dan ibu beberapa kali nantinya,” katanya menghela napas dalam seolah dia punya beban yang begitu berat menghalagi tenggorokannya. Dia juga tampak begitu sedih.

“Ayah dan ibu ada di sana, ada di rumah,” celotehku yang sama sekali tidak tahu bahwa dalam waktu utamaku, malam ini, aku akan menjadi yatim piatu.

Dia menggigit bibirnya, memandangku dengan sangat dalam seolah banyak sekali yang ingin dia katakan padaku. Namun mungkin diurungkannya karena bagaimana pun aku masih belum mengerti keadaan yang terjadi.

"Oh, ya, jangan pernah makan coklat yang diberikan oleh nenek tapi simpanlah di sakumu, berpindah waktu menghabisakan banyak energimu," nasehatnya padaku. Aku kembali mengangguk pelan walau tak mengerti dengan  maksud ucapannya. Sebuah pertanyaan polos muncul dalam pikiranku. Dari mana dia tahu nenek suka memberiku coklat?

“Waktuku sudah selesai. Katakan pada Nenek untuk selalu meminum obatnya, jika tidak dia akan kesusahan nantinya,” katanya berdiri dari ayunannya dan diam di depanku.

Gemuruh angin tiba-tiba kembali datang entah dari mana. Padahal dari tadi semuanya tampak tenang. Hembusannya membawa udara dingin yang membuat aku menggigil merinding. Tapi apa yang ku lihat selanjutnya lebih membuatku gemetar ketakutan. Aku melihat wanita itu berdiri seraya tersenyum dan melambaikan tangan. Namun, anehnya tubuhnya yang tadinya tampak biasa saja menjadi mulai mengurai bagaikan pasir yang tertiup angin dan dengan pasti menghilang dari pandanganku. Aku membesarkan mataku kaget, saat itu aku langsung mengira dia adalah hantu. Tentu aku sangat ketakutan melihatnya sehingga membuatku harus menutup mataku dengan erat dan cepat.

Sama seperti yang tadi, tiba-tiba senyap menyergap mendengungkan telingaku dan entah bagaimana tubuhku yang tadinya segar bugar menjadi sangat lemas, perutku langsung sakit karena sangkin laparnya. Dan seketika suasana senyap itu langsung berubah menjadi suara yang riuh tapi aku belum menyadarinya. Aku segera membuka mataku dan memakan coklat yang diberikannya tadi. Tak ada di dalam otakku untuk takut memakan coklat itu walau itu berasal dari hantu.

Setelah menguyah coklat itu dengan lahap, aku baru memperhatikan sekitar yang tiba-tiba saja terasa hidup. Keadaan sepi di taman bermain itu sekarang menjadi penuh dengan orang-orang yang berlalu lalang. Aku juga baru sadar bahwa aku sekarang berdiri di tengah jalan dengan aspal hangat di bawah kakiku yang tanpa alas kaki, ku lepaskan saat bermain ayunan tadi.

Mata polosku melihat hal yang tak seharusnya ku lihat. Truk besar itu berada di atas mobil kami. bentuk mobil itu sudah tak karuan, tentunya sudah ringsek. Belasan tim penyelamat mencoba untuk mengeluarkan korban yang ada di dalamnya. Aku hanya bisa terdiam melihat tangan yang terjulur keluar bersimbah darah. Tangan ayahku yang selalu kokoh menggendongku dulu.

Aku mendekat ke arah mobil kedua orang tuaku, aku yakin sekali itu adalah mobil kami. Herannya tak seorangpun yang mempedulikan seorang anak berumur enam tahun yang berada di tempat celaka itu.

Aku berhenti tepat di samping tempat kemudi, tempat tubuh ayahku terhimpit besi dan badan truk perenggut nyawa.

"Aaaa!" teriakku histeris melihat keadaan di depanku. Walaupun yang ku lihat adalah tubuh ayahku. Tapi untuk anak enam tahun melihat darah yang tumpah kental hingga ke aspal itu sangat menyeramkan.

Teriakkanku mengagetkan semua orang, seolah mereka baru saja sadar ada aku di sana, bahkan mereka saling menatap dan bingung dari mana dan kenapa aku bisa ada di sana.

“Adik kecil, bagaimana kau bisa di sini?" tanya seorang relawan mendekatiku dan langsung membalikan tubuhku agar aku tidak melihat bagaimana keadaan orang tuaku, percuma… aku akan melihatnya beberapa kali lagi dalam hidupku.

"Ayah! Ibu!” kata ku dengan tangis yang berderai, tubuh yang gemetar. Seketika aku tahu apa yang terjadi pada kedua orang tuaku.

"Mereka orang tuamu?” tanya relawan itu bingung, mungkin dia berpikir bagaimana aku ada di luar mobil itu dengan keadaan sehat tanpa sedikit pun cidera yang berarti, hanya sebuah goresan dengan bintik darah yang terlihat.

"Iya! apakah ayah dan ibuku baik-baik saja?" polos ku bertanya pada meraka. Tentu saja jawabannya tidak.

"Ya, mereka akan baik-baik saja. Mereka hanya tertidur dan pergi ke tempat yang lebih indah. kita semua kan pergi ke sana pada akhirnya. " katanya menggendongku pergi menjauh dari sana dan mencoba menenangkan tubuhku yang masih gemetar. Sekilas kembali ku lihat mobil kesayangan ayahku tapi relawan itu segera memalingkan wajahku ke tempat lain.

Sepanjang malam dia menemaniku hingga nenekku datang menjemput. Dia berulang kali bertanya bagaimana caranya aku bisa selamat dari kecelakaan ini. Namun,seberapa kalipun aku menjelaskan bahawa aku pergi melihat acara ulang tahunku yang terjadi 3 tahun lalu dan bertemu seorang wanita hantu. Dia tetap saja tak percaya.

Aku sebenarnya ingat pesan wanita hantu itu padaku untuk jangan menangis, tapi aku tak bisa. Aku ingat sesaat setelah peti kedua orang tua diturunkan ke liang lahat. Aku menangis sejadi-jadinya dan selama bertahun-tahun dihantui oleh mimpi buruk tentang malam kelam di tengah musim panas itu.

Related chapters

  • Dalam Dekapan Waktu   Bab 2. Ethan Maurice Winster

    Malam di musim dingin yang indah. Aku berdiri di tepian jalan yang hampir seluruhnya tertutupi oleh salju namun tak menyulutkan antusias semua orang untuk menikmati liburan, membuat suasana menjadi hangat. Hiasan natal tampak sudah menyemarakkan lingkungan. Pohon-pohon cemara tampak gemerlap dengan lampu dan dekorasinya. Anak-anak semangat untuk bertemu sinterklas bertubuh gempal hasil sumpalan kostumnya, khas dengan janggut putihnya.Usiaku saat itu dua puluh tahun. Kembali ku peluk diriku sendiri karena dinginnya masih bisa ku rasakan menyusup diantara mantel coklat tebal dengan bulu halus di bagian lehernya yang sengaja ku timpa dengan syal tebal. Aku juga menggunakan penutup telinga khusus dan topi rajut, napasku tampak beruap. Ah! dari semua musim, musim ini lah yang paling ku benci.Saat itu aku sudah mengerti apa yang terjadi

  • Dalam Dekapan Waktu   Bab 3. Sesuatu yang menyengat.

    “Tak apa. Kalian ingin pergi, ‘kan? Nikmati waktu kalian.” Ethan menegapkan tubuhnya yang tampak jauh lebih tegap dari pada Jacob. Memberikan sedikit senyuman yang bukannya melegakan bagiku, tapi malah semakin menusuk. Di detik itu, aku semakin bertanya apa yang terjadi pada diriku. “Ya. Benar! Lena, Ayo.” Jacob berdiri dan membuat pautan tangan kami merenggang. Tapi, saat itu aku terus memandangi cara pria di depanku memandangku. Ada getaran perasaan yang benar-benar tak bisa aku artikan, tapi satu yang membuatku bahkan tak bisa berpaling menatapnya, ketulusan itu terasa kuat. “Lena?!” Suara Jacob yang sedikit meninggi dengan remasan di tangannya membuat aku akhirnya sadar akan sekitarku. Apa yang sudah aku lakukan? Pikirku sambil melihat wajah Jacob yang tampak tentu tidak menyukai yang sudah aku lakukan. Pria itu hanya memainkan rahangnya melihat bagaimana Jacob meremas tanganku kuat-kuat. “Oh! Ya! Aku pergi dulu,” kataku dengan gugup dan sebisa mungkin meninggalkan tempat itu se

  • Dalam Dekapan Waktu   Bab 4. Sentuhan bagaikan sihir.

    “Dia akan baik-baik saja.”Suara itu samar ku dengar saat indera pendengaran ku mulai berfungsi kembali. Aku mencoba sekuat tenaga untuk membuka mataku yang terasa sangat erat terkatup. Beberapa kali mengerjapkannya, akhirnya aku bisa melihat sekitarku. Dari baunya yang khas, aku tahu aku ada di salah satu klinik atau mungkin rumah sakit. Tak jauh, ku lihat siluet nenekku yang semakin nyata sedang berbicara dengan seorang wanita yang aku asumsikan sebagai seorang dokter.“Nek?” erangku yang terasa tercekat. Ada rasa gatal dan kering bersamaan yang membuatku kesusahan untuk menelan salivaku sendiri.“Lena?! Bagaimana kabarmu? Apakah kau baik-baik saja?! Bagaimana kau bisa begini? Kau membuat Nenek sangat khawatir!” Wanita tua yang selalu berbau lavender itu mencercaku dengan begitu banyak pertanyaan yang hanya bisa aku jawab dengan anggukan pelan.Mataku bergulir ke sisi nakas ruang rawat itu. Melihat tas dan juga buku yang bertumpuk. Salah satu buku adalah buku yang diberikan oleh Eth

  • Dalam Dekapan Waktu   Prolog

    bAwan kelabu terlihat masih menyelimuti langit di sore hari. Butiran air yang tadinya jatuh dan menghujam bumi kini telah hilang, menyisakan hawa dingin yang masih menyergap dan aroma tanah khas usai datangnya hujan yang masih menguar di udara. Kuhirup dalam-dalam aroma itu sambil terus berjalan memeluk tubuhku sendiri. Kedua tanganku yang keriput bersedekap sembari mengelus sweater abu-abu yang cocok dengan semburat warna awan sore ini. Hawa dingin terasa begitu menggigit melebihi cuaca di musim dingin. Semua itu karena tubuh rentaku yang sudah tidak seberapa mampu beradaptasi dengan suhu. Bahkan, hal itu melinukan semua tulangku. Namun, aku harus terus berdiri di sini. Di depan istana kecilku yang terlihat jauh lebih sederhana dari pada istana-istana disekitarnya. Hingga akhirnya, hal itu pun terjadi …. Tiba-tiba terdengar teriakan dan pekikkan orang-orang di sekitar yang memekakkan telinga sebelum akhirnya pendengaranku terasa berdengung. Orang-orang dengan panik berlari mendata

Latest chapter

  • Dalam Dekapan Waktu   Bab 4. Sentuhan bagaikan sihir.

    “Dia akan baik-baik saja.”Suara itu samar ku dengar saat indera pendengaran ku mulai berfungsi kembali. Aku mencoba sekuat tenaga untuk membuka mataku yang terasa sangat erat terkatup. Beberapa kali mengerjapkannya, akhirnya aku bisa melihat sekitarku. Dari baunya yang khas, aku tahu aku ada di salah satu klinik atau mungkin rumah sakit. Tak jauh, ku lihat siluet nenekku yang semakin nyata sedang berbicara dengan seorang wanita yang aku asumsikan sebagai seorang dokter.“Nek?” erangku yang terasa tercekat. Ada rasa gatal dan kering bersamaan yang membuatku kesusahan untuk menelan salivaku sendiri.“Lena?! Bagaimana kabarmu? Apakah kau baik-baik saja?! Bagaimana kau bisa begini? Kau membuat Nenek sangat khawatir!” Wanita tua yang selalu berbau lavender itu mencercaku dengan begitu banyak pertanyaan yang hanya bisa aku jawab dengan anggukan pelan.Mataku bergulir ke sisi nakas ruang rawat itu. Melihat tas dan juga buku yang bertumpuk. Salah satu buku adalah buku yang diberikan oleh Eth

  • Dalam Dekapan Waktu   Bab 3. Sesuatu yang menyengat.

    “Tak apa. Kalian ingin pergi, ‘kan? Nikmati waktu kalian.” Ethan menegapkan tubuhnya yang tampak jauh lebih tegap dari pada Jacob. Memberikan sedikit senyuman yang bukannya melegakan bagiku, tapi malah semakin menusuk. Di detik itu, aku semakin bertanya apa yang terjadi pada diriku. “Ya. Benar! Lena, Ayo.” Jacob berdiri dan membuat pautan tangan kami merenggang. Tapi, saat itu aku terus memandangi cara pria di depanku memandangku. Ada getaran perasaan yang benar-benar tak bisa aku artikan, tapi satu yang membuatku bahkan tak bisa berpaling menatapnya, ketulusan itu terasa kuat. “Lena?!” Suara Jacob yang sedikit meninggi dengan remasan di tangannya membuat aku akhirnya sadar akan sekitarku. Apa yang sudah aku lakukan? Pikirku sambil melihat wajah Jacob yang tampak tentu tidak menyukai yang sudah aku lakukan. Pria itu hanya memainkan rahangnya melihat bagaimana Jacob meremas tanganku kuat-kuat. “Oh! Ya! Aku pergi dulu,” kataku dengan gugup dan sebisa mungkin meninggalkan tempat itu se

  • Dalam Dekapan Waktu   Bab 2. Ethan Maurice Winster

    Malam di musim dingin yang indah. Aku berdiri di tepian jalan yang hampir seluruhnya tertutupi oleh salju namun tak menyulutkan antusias semua orang untuk menikmati liburan, membuat suasana menjadi hangat. Hiasan natal tampak sudah menyemarakkan lingkungan. Pohon-pohon cemara tampak gemerlap dengan lampu dan dekorasinya. Anak-anak semangat untuk bertemu sinterklas bertubuh gempal hasil sumpalan kostumnya, khas dengan janggut putihnya.Usiaku saat itu dua puluh tahun. Kembali ku peluk diriku sendiri karena dinginnya masih bisa ku rasakan menyusup diantara mantel coklat tebal dengan bulu halus di bagian lehernya yang sengaja ku timpa dengan syal tebal. Aku juga menggunakan penutup telinga khusus dan topi rajut, napasku tampak beruap. Ah! dari semua musim, musim ini lah yang paling ku benci.Saat itu aku sudah mengerti apa yang terjadi

  • Dalam Dekapan Waktu   Bab 1. Anugerah dan Kutukan.

    Ada dua masa di dalam hidupku yang merupakan titik balik dalam kehidupanku.Pertama, saat aku mengalami anugrah sekaligus kutukan ini untuk yang pertama kali.Kedua, saat pertama kali aku bertemu dengannya. Pria dengan senyuman yang tak pernah lepas dari bibirnya. Pria yang menuntunku menemukan tujuan hidup dan cinta.Kan ku ceritakan untuk kalian.Sejauh yang bisa ku ingat. Malam itu adalah malam biasa di bulan Juli. Bintang menghiasi langit yang sangat cerah dan udara terasa panas karena saat itu musim panas di pinggiran kota London.Saat itu umurku menginjak 6 tahun. Aku sedang duduk di kursi belakang mobil Aston Martin kesayangan ayahku. Ya! dia mencintai mobil itu lebih dari apa pun. Bahkan, dia tak akan membiarkan setitik debu pun mengotori cat abu mengkilatnya.Saat itu kami sedang menuju ke rumah perkebunan milik nenekku yang tak begitu jauh. Sejauh aku memandang hanya pohon menghijau yang berjajar

  • Dalam Dekapan Waktu   Prolog

    bAwan kelabu terlihat masih menyelimuti langit di sore hari. Butiran air yang tadinya jatuh dan menghujam bumi kini telah hilang, menyisakan hawa dingin yang masih menyergap dan aroma tanah khas usai datangnya hujan yang masih menguar di udara. Kuhirup dalam-dalam aroma itu sambil terus berjalan memeluk tubuhku sendiri. Kedua tanganku yang keriput bersedekap sembari mengelus sweater abu-abu yang cocok dengan semburat warna awan sore ini. Hawa dingin terasa begitu menggigit melebihi cuaca di musim dingin. Semua itu karena tubuh rentaku yang sudah tidak seberapa mampu beradaptasi dengan suhu. Bahkan, hal itu melinukan semua tulangku. Namun, aku harus terus berdiri di sini. Di depan istana kecilku yang terlihat jauh lebih sederhana dari pada istana-istana disekitarnya. Hingga akhirnya, hal itu pun terjadi …. Tiba-tiba terdengar teriakan dan pekikkan orang-orang di sekitar yang memekakkan telinga sebelum akhirnya pendengaranku terasa berdengung. Orang-orang dengan panik berlari mendata

DMCA.com Protection Status