Beranda / Romansa / Dalam Dekapan Waktu / Bab 3. Sesuatu yang menyengat.

Share

Bab 3. Sesuatu yang menyengat.

Penulis: Quin
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Tak apa. Kalian ingin pergi, ‘kan? Nikmati waktu kalian.” Ethan menegapkan tubuhnya yang tampak jauh lebih tegap dari pada Jacob. Memberikan sedikit senyuman yang bukannya melegakan bagiku, tapi malah semakin menusuk. Di detik itu, aku semakin bertanya apa yang terjadi pada diriku.

“Ya. Benar! Lena, Ayo.” Jacob berdiri dan membuat pautan tangan kami merenggang. Tapi, saat itu aku terus memandangi cara pria di depanku memandangku. Ada getaran perasaan yang benar-benar tak bisa aku artikan, tapi satu yang membuatku bahkan tak bisa berpaling menatapnya, ketulusan itu terasa kuat. “Lena?!” Suara Jacob yang sedikit meninggi dengan remasan di tangannya membuat aku akhirnya sadar akan sekitarku.

Apa yang sudah aku lakukan? Pikirku sambil melihat wajah Jacob yang tampak tentu tidak menyukai yang sudah aku lakukan. Pria itu hanya memainkan rahangnya melihat bagaimana Jacob meremas tanganku kuat-kuat.

“Oh! Ya! Aku pergi dulu,” kataku dengan gugup dan sebisa mungkin meninggalkan tempat itu sebelum aku kembali kehilangan akalku, kesadaranku, juga jiwaku hanya karena menatapnya dalam-dalam.

“Berhati-hatilah.” Hanya itu kata-kata yang keluar dari bibirnya sebelum Jacob menarikku keluar. Udara dingin membekukan kembali menusuk diriku ketika kami keluar dari cafe itu. Ku lihat sekilas pria yang hanya memandangku sebelum Jacob memaksaku untuk masuk ke dalam mobil sedan lamanya. Suara pintu yang dia tutup dengan kasar membuatku sadar pria yang menjadi pacarku saat itu, sedang marah.

“Kau tidak boleh lagi berada di dekatnya! Siapa sebenarnya dia?!” kata Jacob dengan wajah yang tampak begitu kesal melihatku. Aku mengerutkan dahinya. Tak mungkin aku katakan, dia adalah pria yang mengaku akan menjadi jodohku.

“Dia teman kecilku. Dia pindah ke Amerika, lalu dia baru saja pulang ke sini,” ujarku dengan senyuman yang sedikit gugup. Aku tahu bagaimana posesifnya Jacob. Dia sungguh tak menyukai bagaimana aku bergaul dengan pria lain. Di titik itu, aku pikir itu karena dia dia begitu mencintaiku. Tak menyangka, bahwa cinta tak seharusnya mengekang seperti itu. Pemikiranku yang sangat naif.

“Sekali lagi! Aku tidak suka dia mendekatimu! Jika aku melihatmu dengannya lagi! Aku tidak akan segan-segan melakukan sesuatu padanya!” Jacob menunjuk batang hidungku dengan wajahnya yang memerah sebelum dia melajukan mobilnya. Aku hanya bisa diam tanpa melawan apa pun. Lagi-lagi aku merasa itu dia lakukan karena dia begitu takut kehilanganku, terkadang aku malah tersanjung ketika dia melakukan hal itu. Sekali lagi, maafkan kebodohanku.

***

Aku duduk tenang di pojok ruangan perpustakan. Bukan di tempat khusus membaca, tapi di antara rak-rak buku, di samping jendela yang menunjukkan betapa indahnya taman yang selalu menyuguhkan pemandangan spektakuler di setiap musimnya dan hari ini, walaupun salju tampak memutihkan seluruh pemandangan, tapi matahari yang malu-malu keluar di antara awan-awan membuatnya permukaannya berkilau.

Ku cium perkamen usang, bau lama dan berdebu yang menangkan. Hadiah dari penjaga perpustakaan yang memang sudah mengenalku karena itu pula dia mengizinkan ku untuk duduk di sini alih-alih di jajaran tempat membaca yang selalu penuh.

Di sinilah dunia imajinasiku hidup yang bisa membuatku menghabiskan begitu banyak waktu hanya untuk tersenyum, menangis, meresapi seluruh kata-kata indah yang tercipta, tempatku melalang buana menembus semua hal yang tidak bisa aku lakukan saat itu, caraku melihat bagaimana keadaan dunia bahkan tanpa beranjak satu inchi pun dari tempat itu. Jalanku menghidupkan kisah cinta yang tak pernah aku sadari akan seindah kisahku nantinya.

“Jangan membaca buku itu.” Suara berat tapi juga familiar itu membuatku melirikan mata, melihat pria yang melungsur turun, duduk di lantai, tepat di depanku.

Aku mengerutkan dahiku sebelum sepenuhnya memandang pria yang baunya seketika membuat otakku mengenalinya.

“Percayalah, kau akan patah hati selama seminggu hanya karena akhirnya. Dan, kau mengatakan untuk menyelamatkanmu dari hal itu, karena setelah itu kau akan selalu mengumpat akan akhir yang terus mengganggumu.” Ethan memandangku dengan tatapan lembutnya tapi hal itu malah membuatku kesal.

Aku di tengah membaca buku yang benar-benar merasuki hatiku. Beberapa menit yang lalu aku tersenyum karena merasakan kebahagian yang tertular dari buku ini, dan pria ini tiba-tiba saja menghancurkan imajinasiku. Itu mengesalkan!

“Percayalah,” katanya lagi dengan nada lembut yang bahkan tak pernah aku dengar dari siapa pun, tatapannya juga menusuk hatiku walaupun itu adalah tatapan paling sendu, sesendu langit-langit yang mengitari London sepanjang tahun. Tapi walaupun begitu, aku sudah terlanjur kesal akan tingkahnya.

Aku menarik napas dan langsung menutup buku yang sekarang ada di tanganku. Menyipitkan mataku dengan dengkusan yang terdengar nyata. Memang sengaja aku lakukan, hanya agar pria ini tahu bagaimana perasaanku ketika diganggu saat membaca.

“Kau tahu! Walaupun kau bisa tahu apa saja yang akan terjadi di masa depan! Bukan berarti kau harus memberitahukan semuanya padaku!” kataku yang cukup memendam emosi.

Entahlah kenapa aku bisa begitu kesal padanya waktu itu? Mungkin terdorong juga dengan larangan dari Jacob yang sangat tidak menyukai pria di depanku ini, membuatku –yang saat itu benar-benar menjadi budak cintanya– terpengaruh bahwa sosok di depanku hanya seorang pengganggu yang tidak baik. Jacob lah cinta pertama dan terakhirku. Titik! Tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun!

“Tapi kau yang memintanya. Ehm, lebih baik membaca buku ini saja.” Pria itu menyerahkan sebuah buku dengan sampul putih dan tulisan putih yang simpel. Buku bersegel baru yang pastinya tak akan pernah aku lirik walau bagaimana pun.

Aku tersenyum remah memandang pria yang tampak santai duduk di bersandar dengan sweater abu-abunya yang membentuk lekukan indah tubuhnya. Aku akui itu. Tapi lagi-lagi, tolong jangan menghakimiku, Jacob adalah pria paling sempurna bagiku yang matanya tertutup oleh kata cinta. “Kau ternyata tak semengerti itu tentangku. Aku ….”

“Yap! Aku tahu kau tidak suka membaca buku-buku keluaran terbaru, dan kau tidak suka membaca buku yang dijual di toko buku. Kau hanya membaca buku yang sudah masuk ke perpustakaan, terutama yang direkomendasikan oleh Bertha! Kau harus mengatakan pada wanita itu untuk berhenti memakan donat, karena itu akan mengganggu kesehatannya nanti. Ehm, benar kan?” Ethan mengatakannya dengan penekanan seolah agar aku bisa mendengarnya dengan jelas apa yang dia katakan.

Aku terdiam. Yap! Lagi-lagi itu benar semua. Dia bahkan tahu Bertha. Wanita itu memang punya kegemaran memakan donat yang membuat tubuhnya sekarang overweight, padahal tak banyak yang tahu nama aslinya adalah Bertha, seorang imigran dari Irlandia yang berusaha sebisa mungkin dianggap sebagai orang asli negara ini.

“Tapi percayalah! Kau akan sangat menyukai buku ini. Buku ini yang akan menjadi favoritmu.”

Aku ingat saat dia selesai mengatakan ini, senyuman hangat itu melengkung indah di bibirnya. Membuatku bahkan hampir meleleh seperti tumpukan salju di luar sana.

Ya! Aku tahu pula pemikiran kalian, mungkin kalian berpikir aku gadis yang plin plan, tapi jika kalian melihat betapa indah senyuman pria ini, kalian pun akan tahu kenapa aku bisa seperti ini.

Aku menggeleng cepat untuk menyadarkan diriku dari keterhipnotisannya. Merampas kasar buku itu yang langsung ku peluk sebelum aku berdiri. “Baiklah, kalau aku mengambil buku ini! Berjanjilah setelah ini kau tidak akan menggangguku!”

Aku melangkah pergi begitu saja meninggalkan pria ini. Tentu saja saat itu aku pun takut bahwa nantinya Jacob akan melihat aku berdekatan dengan pria ini lalu itu akan kembali membuatnya kesal. Aku tidak ingin membuat pria yang aku cintai saat itu menjadi kesal.

“Kau menghindariku?” tanya Ethan yang entah kenapa membuat seluruh tubuhku terhenti. Padahal aku tinggal tak mengindahkan apa yang dia katakan. Tapi entah kenapa aku malah berdiri begitu saja.

Aku menarik napasku. Lebih baik berkata yang sebenarnya bukan?

“Kau tahu. Aku sudah memiliki kekasih. Aku tidak peduli apakah menurutmu kita akan berjodoh atau bagaimana, tapi di waktu ini, saat ini, pria yang aku cintai adalah Jacob. Dan, tentu pria mana pun tidak akan suka jika kekasihnya berdekatan dengan pria lain. Jadi, mengertilah, aku tidak ingin membuatnya kesal karena kehadiranmu!” tegasku menatap pria yang wajahnya tampak menjadi datar. Kedataran itu pula yang seketika membuat perasaanku tak enak.

Sungguh, saat itu pun aku mengumpat diriku. Sebenarnya apa yang aku inginkan? Ingin menghindarinya, tapi ketika kau mengatakan hal itu, secuil penyesalan ada dalam hatiku.

“Baiklah ….”

Saat mendengarnya mengatakan hal ini, perasaanku sungguh menjadi tak rela. Terkesan sangat plin plan bukan, aku tahu itu.

“Tapi, bisakah kau membawa ini?! Aku hanya menuntaskan tugas yang kau minta aku berikan.” Ethan menyodorkan kembali tiga buah coklat yang selalu aku dapatkan dari nenekku. Karena sudah setahun ini aku tidak pernah lagi berpindah waktu, aku menjadi tak pernah lagi membawanya.

“Aku tidak membutuhkannya, aku sudah tidak bisa berpindah waktu lagi.” Aku menggeleng, tak juga ingin melangkah mendekati pria itu.

“Bawalah, aku mohon.” Ethan mendekatiku dan langsung mengambil tanganku, menyerahkannya dalam genggaman tanganku.

Saat itu aku cukup kaget, tapi yang semakin membuatku kaget adalah bagaimana sentuhan tangannya yang lembut dan juga tegas mengenai kulit ku, jari-jemarinya menyapu pelan telapak tanganku dan hanya karena sentuhan tangan itu yang menyengatku secara magis, menghantarkan desir perasaan yang seketika memacu detak jantungku yang langsung tak beraturan. Degupnya yang bisa aku rasakan menguasai diriku, apalagi dia malah menggenggam tanganku begitu eratnya.

Dan bersamaan dengan itu. Suara gemuruh yang hampir aku lupakan, menyerang diriku lagi. Mataku membesar ketika aku merasakan seolah terenggut masuk ke dalam sebuah demensi yang melemparku jauh. Sosok Ethan mengabur yang membuatku seketika menutup mataku dengan erat. Dan saat aku membukanya …

Aku sudah berdiri di sebuah jalanan hening, di malam hari yang tenang dengan taburan bintang menghiasi langit cerahnya. Barisan pepohonan yang menghijau.

Napasku masih tak teratur. Aku memandang sekitarku dengan sangat awas dan cemas. Ku lihat genggaman tanganku yang tadi dingenggam oleh Ethan. Tiga coklat itu berhasil ku bawa dan langsung ku lahap dengan rakusnya karena seluruh isi perutku rasanya baru saja terkuras.

Mataku tiba-tiba melihat ke arah sebuah mobil yang tak akan pernah aku lupa bentuknya, warnanya, kilaunya. Di dalam mobil yang melesat dengan kecepatan yang sebenarnya cenderung pelan itu aku bisa melihat sepasang manusia yang duduk di bagian depan dan juga seorang anak kecil dengan boneka kecilnya. Itu aku! Itu aku! Pekikku dalam hati.

Dan Ini adalah …!

Mataku membesar dan tanpa pikir panjang lagi  –ya! Karena aku tidak berpikir sama sekali– dengan langkahku, aku berlari mengejar mobil ayahku secepat yang aku bisa.

Seumur hidupku! Aku selalu ingin kembali ke masa ini! Aku selalu berdoa pada Tuhan untuk membiarkan aku sekali lagi saja bisa kembali ke masa ini agar aku bisa menghentikan apa pun yang terjadi malam ini! Aku yakin! Aku sangat yakin aku bisa menghentikan kecelakaan itu terjadi! Aku yakin! Aku bisa menyelamatkan kedua orang tua ku sehingga aku bisa merasakan kehangatan pelukan mereka menemani malam-malamku. Dan! Tiba-tiba aku benar-benar bisa kembali lagi.

“Ayah! Ibu!” teriakku di sela napasku yang tersengal akan udara kering musim panas. Berusaha dengan sangat mengejarnya tapi baru beberapa langkah saja aku berlari.

Brakkk!! Citt!!!

Langkahku terhenti seketika saat truk besar yang ternyata oleng akibat supirnya yang pemabuk menghantam mobil ayahku. Aku terdiam dengan mata membesar, mulut ternganga dan air mata yang sudah basah tidak karuan. Napasku yang tadi tersengal sekarang bahkan berhenti total tecekat di tenggorakanku ketika aku bisa melihat tubuh ayahku, sekali lagi bersimbah darah. Trauma dan Syok membuatku tak bisa melakukan apa-apa, hanya menggigil di sekujur tubuh, seolah aku terbenam dalam lautan es. Hanya terdiam bagai patung yang tak berdaya. Aku harus kembali melihat semua ini! Kenapa?! Kenapa aku tidak kembali ke waktu yang lebih lama lagi! Kenapa?!

Tapi tak sempat aku mendapatkan jawaban itu, angin kencang itu kembali menggulung tubuhku dan semua gambaran di sekitarku kembali mengabur. Aku menutup mataku dan saat aku membukanya, aku sudah kembali ada di kamarku dengan tubuh yang jatuh lunglai di atas karpet.

Tangisku pecah seketika dengan raungan yang luar biasa menggemparkan. Aku meringsut mundur, memeluk lututku di pojok ruangan dengan seluruh tubuh gemetar hebat. Hal itu tentunya menarik perhatian nenekku yang langsung membuka pintu kamarku.

“Lena! Apa yang terjadi?!” Nenekku tentu langsung cemas dan khawatir.  Seketika menghambur ke arahku dan memelukku yang menggapainya dengan segala trauma dan syok yang menghampiriku. Sekian lama ternyata aku hanya dilempar ke masa itu untuk kembali mengingat bagaimana seluruh detail kejadian itu tanpa bisa melakukan apa-apa. Aku hanya bisa diam memeluk tubuh nenekku hingga rasa gemetar di tubuhku akhirnya menghilang. “Kau dari mana saja? Kapan kau pulang? Bukankah kau ingin ke perpustakaan? Lalu kenapa tubuhmu dingin sekali. Jaket Mu dan barang-barangmu mana?” tanya nenekku penuh dengan ketakutan.

Mencoba memperhatikan wajahku yang pucat pasi, bibir gemetar yang tak bisa aku hentikan, dan karena kehabisan tenaga, tiba-tiba saja aku merasakan seluruh dunia ini gelap. Detik itu pula aku jatuh pingsan karena kelaparan akut yang melanda diriku.

Bab terkait

  • Dalam Dekapan Waktu   Bab 4. Sentuhan bagaikan sihir.

    “Dia akan baik-baik saja.”Suara itu samar ku dengar saat indera pendengaran ku mulai berfungsi kembali. Aku mencoba sekuat tenaga untuk membuka mataku yang terasa sangat erat terkatup. Beberapa kali mengerjapkannya, akhirnya aku bisa melihat sekitarku. Dari baunya yang khas, aku tahu aku ada di salah satu klinik atau mungkin rumah sakit. Tak jauh, ku lihat siluet nenekku yang semakin nyata sedang berbicara dengan seorang wanita yang aku asumsikan sebagai seorang dokter.“Nek?” erangku yang terasa tercekat. Ada rasa gatal dan kering bersamaan yang membuatku kesusahan untuk menelan salivaku sendiri.“Lena?! Bagaimana kabarmu? Apakah kau baik-baik saja?! Bagaimana kau bisa begini? Kau membuat Nenek sangat khawatir!” Wanita tua yang selalu berbau lavender itu mencercaku dengan begitu banyak pertanyaan yang hanya bisa aku jawab dengan anggukan pelan.Mataku bergulir ke sisi nakas ruang rawat itu. Melihat tas dan juga buku yang bertumpuk. Salah satu buku adalah buku yang diberikan oleh Eth

  • Dalam Dekapan Waktu   Prolog

    bAwan kelabu terlihat masih menyelimuti langit di sore hari. Butiran air yang tadinya jatuh dan menghujam bumi kini telah hilang, menyisakan hawa dingin yang masih menyergap dan aroma tanah khas usai datangnya hujan yang masih menguar di udara. Kuhirup dalam-dalam aroma itu sambil terus berjalan memeluk tubuhku sendiri. Kedua tanganku yang keriput bersedekap sembari mengelus sweater abu-abu yang cocok dengan semburat warna awan sore ini. Hawa dingin terasa begitu menggigit melebihi cuaca di musim dingin. Semua itu karena tubuh rentaku yang sudah tidak seberapa mampu beradaptasi dengan suhu. Bahkan, hal itu melinukan semua tulangku. Namun, aku harus terus berdiri di sini. Di depan istana kecilku yang terlihat jauh lebih sederhana dari pada istana-istana disekitarnya. Hingga akhirnya, hal itu pun terjadi …. Tiba-tiba terdengar teriakan dan pekikkan orang-orang di sekitar yang memekakkan telinga sebelum akhirnya pendengaranku terasa berdengung. Orang-orang dengan panik berlari mendata

  • Dalam Dekapan Waktu   Bab 1. Anugerah dan Kutukan.

    Ada dua masa di dalam hidupku yang merupakan titik balik dalam kehidupanku.Pertama, saat aku mengalami anugrah sekaligus kutukan ini untuk yang pertama kali.Kedua, saat pertama kali aku bertemu dengannya. Pria dengan senyuman yang tak pernah lepas dari bibirnya. Pria yang menuntunku menemukan tujuan hidup dan cinta.Kan ku ceritakan untuk kalian.Sejauh yang bisa ku ingat. Malam itu adalah malam biasa di bulan Juli. Bintang menghiasi langit yang sangat cerah dan udara terasa panas karena saat itu musim panas di pinggiran kota London.Saat itu umurku menginjak 6 tahun. Aku sedang duduk di kursi belakang mobil Aston Martin kesayangan ayahku. Ya! dia mencintai mobil itu lebih dari apa pun. Bahkan, dia tak akan membiarkan setitik debu pun mengotori cat abu mengkilatnya.Saat itu kami sedang menuju ke rumah perkebunan milik nenekku yang tak begitu jauh. Sejauh aku memandang hanya pohon menghijau yang berjajar

  • Dalam Dekapan Waktu   Bab 2. Ethan Maurice Winster

    Malam di musim dingin yang indah. Aku berdiri di tepian jalan yang hampir seluruhnya tertutupi oleh salju namun tak menyulutkan antusias semua orang untuk menikmati liburan, membuat suasana menjadi hangat. Hiasan natal tampak sudah menyemarakkan lingkungan. Pohon-pohon cemara tampak gemerlap dengan lampu dan dekorasinya. Anak-anak semangat untuk bertemu sinterklas bertubuh gempal hasil sumpalan kostumnya, khas dengan janggut putihnya.Usiaku saat itu dua puluh tahun. Kembali ku peluk diriku sendiri karena dinginnya masih bisa ku rasakan menyusup diantara mantel coklat tebal dengan bulu halus di bagian lehernya yang sengaja ku timpa dengan syal tebal. Aku juga menggunakan penutup telinga khusus dan topi rajut, napasku tampak beruap. Ah! dari semua musim, musim ini lah yang paling ku benci.Saat itu aku sudah mengerti apa yang terjadi

Bab terbaru

  • Dalam Dekapan Waktu   Bab 4. Sentuhan bagaikan sihir.

    “Dia akan baik-baik saja.”Suara itu samar ku dengar saat indera pendengaran ku mulai berfungsi kembali. Aku mencoba sekuat tenaga untuk membuka mataku yang terasa sangat erat terkatup. Beberapa kali mengerjapkannya, akhirnya aku bisa melihat sekitarku. Dari baunya yang khas, aku tahu aku ada di salah satu klinik atau mungkin rumah sakit. Tak jauh, ku lihat siluet nenekku yang semakin nyata sedang berbicara dengan seorang wanita yang aku asumsikan sebagai seorang dokter.“Nek?” erangku yang terasa tercekat. Ada rasa gatal dan kering bersamaan yang membuatku kesusahan untuk menelan salivaku sendiri.“Lena?! Bagaimana kabarmu? Apakah kau baik-baik saja?! Bagaimana kau bisa begini? Kau membuat Nenek sangat khawatir!” Wanita tua yang selalu berbau lavender itu mencercaku dengan begitu banyak pertanyaan yang hanya bisa aku jawab dengan anggukan pelan.Mataku bergulir ke sisi nakas ruang rawat itu. Melihat tas dan juga buku yang bertumpuk. Salah satu buku adalah buku yang diberikan oleh Eth

  • Dalam Dekapan Waktu   Bab 3. Sesuatu yang menyengat.

    “Tak apa. Kalian ingin pergi, ‘kan? Nikmati waktu kalian.” Ethan menegapkan tubuhnya yang tampak jauh lebih tegap dari pada Jacob. Memberikan sedikit senyuman yang bukannya melegakan bagiku, tapi malah semakin menusuk. Di detik itu, aku semakin bertanya apa yang terjadi pada diriku. “Ya. Benar! Lena, Ayo.” Jacob berdiri dan membuat pautan tangan kami merenggang. Tapi, saat itu aku terus memandangi cara pria di depanku memandangku. Ada getaran perasaan yang benar-benar tak bisa aku artikan, tapi satu yang membuatku bahkan tak bisa berpaling menatapnya, ketulusan itu terasa kuat. “Lena?!” Suara Jacob yang sedikit meninggi dengan remasan di tangannya membuat aku akhirnya sadar akan sekitarku. Apa yang sudah aku lakukan? Pikirku sambil melihat wajah Jacob yang tampak tentu tidak menyukai yang sudah aku lakukan. Pria itu hanya memainkan rahangnya melihat bagaimana Jacob meremas tanganku kuat-kuat. “Oh! Ya! Aku pergi dulu,” kataku dengan gugup dan sebisa mungkin meninggalkan tempat itu se

  • Dalam Dekapan Waktu   Bab 2. Ethan Maurice Winster

    Malam di musim dingin yang indah. Aku berdiri di tepian jalan yang hampir seluruhnya tertutupi oleh salju namun tak menyulutkan antusias semua orang untuk menikmati liburan, membuat suasana menjadi hangat. Hiasan natal tampak sudah menyemarakkan lingkungan. Pohon-pohon cemara tampak gemerlap dengan lampu dan dekorasinya. Anak-anak semangat untuk bertemu sinterklas bertubuh gempal hasil sumpalan kostumnya, khas dengan janggut putihnya.Usiaku saat itu dua puluh tahun. Kembali ku peluk diriku sendiri karena dinginnya masih bisa ku rasakan menyusup diantara mantel coklat tebal dengan bulu halus di bagian lehernya yang sengaja ku timpa dengan syal tebal. Aku juga menggunakan penutup telinga khusus dan topi rajut, napasku tampak beruap. Ah! dari semua musim, musim ini lah yang paling ku benci.Saat itu aku sudah mengerti apa yang terjadi

  • Dalam Dekapan Waktu   Bab 1. Anugerah dan Kutukan.

    Ada dua masa di dalam hidupku yang merupakan titik balik dalam kehidupanku.Pertama, saat aku mengalami anugrah sekaligus kutukan ini untuk yang pertama kali.Kedua, saat pertama kali aku bertemu dengannya. Pria dengan senyuman yang tak pernah lepas dari bibirnya. Pria yang menuntunku menemukan tujuan hidup dan cinta.Kan ku ceritakan untuk kalian.Sejauh yang bisa ku ingat. Malam itu adalah malam biasa di bulan Juli. Bintang menghiasi langit yang sangat cerah dan udara terasa panas karena saat itu musim panas di pinggiran kota London.Saat itu umurku menginjak 6 tahun. Aku sedang duduk di kursi belakang mobil Aston Martin kesayangan ayahku. Ya! dia mencintai mobil itu lebih dari apa pun. Bahkan, dia tak akan membiarkan setitik debu pun mengotori cat abu mengkilatnya.Saat itu kami sedang menuju ke rumah perkebunan milik nenekku yang tak begitu jauh. Sejauh aku memandang hanya pohon menghijau yang berjajar

  • Dalam Dekapan Waktu   Prolog

    bAwan kelabu terlihat masih menyelimuti langit di sore hari. Butiran air yang tadinya jatuh dan menghujam bumi kini telah hilang, menyisakan hawa dingin yang masih menyergap dan aroma tanah khas usai datangnya hujan yang masih menguar di udara. Kuhirup dalam-dalam aroma itu sambil terus berjalan memeluk tubuhku sendiri. Kedua tanganku yang keriput bersedekap sembari mengelus sweater abu-abu yang cocok dengan semburat warna awan sore ini. Hawa dingin terasa begitu menggigit melebihi cuaca di musim dingin. Semua itu karena tubuh rentaku yang sudah tidak seberapa mampu beradaptasi dengan suhu. Bahkan, hal itu melinukan semua tulangku. Namun, aku harus terus berdiri di sini. Di depan istana kecilku yang terlihat jauh lebih sederhana dari pada istana-istana disekitarnya. Hingga akhirnya, hal itu pun terjadi …. Tiba-tiba terdengar teriakan dan pekikkan orang-orang di sekitar yang memekakkan telinga sebelum akhirnya pendengaranku terasa berdengung. Orang-orang dengan panik berlari mendata

DMCA.com Protection Status