Perjalanan Alissa sudah jauh meninggalkan kota tempat tinggalnya, tadi ketika sampai di terminal berikutnya ia turun dan masuk ke dalam bus lain. Kini saat turun ia bingung akan melangkahkan kakinya kemana. Alissa menyeret langkah keluar dari terminal, menatap gedung-gedung di sekitar dengan perasaan hampa. Tubuhnya memang ada di tempat itu, tetapi hatinya entah tertinggal dimana. Chit! "Awas!" Seorang pengemudi berteriak ketika hampir saja Alissa tertabrak mobil yang dikendarainya. Alissa terkejut dan segera menyingkir. Ia yang syok langsung mengusap dadanya. "Kalau jalan jangan melamun Mbak, bahaya!" seru pengemudi itu sambil kembali menghidupkan mesin mobilnya. "Maaf Mas!" seru Alissa sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada. Pengemudi hanya mengangguk lalu kembali mengendarai mobilnya di jalanan. Alissa menatap ke samping jalan, dia melihat ada sebuah kantor yang berdiri di sana, meskipun tidak semegah perusahaan milik orang tua Virgo Alissa berharap bisa bekerja
Alissa berjalan gontai meninggalkan perusahaan tadi. Susah payah ia membangunkan semangatnya yang hampir patah. "Harus, aku harus semangat demi anakku. Masa hanya satu kali ditolak sudah merasa gagal?" Alissa memantapkan diri, hari itu juga ia lanjut mencari pekerjaan lain. "Hufft!" Alissa menghela nafas panjang lalu melanjutkan langkah. Beberapa perusahaan sedang maupun kecil sudah ia masuki, tetapi tidak ada satupun yang menerima dirinya. Alasannya sudah pasti karena tidak membutuhkan karyawan baru padahal tidak semuanya benar. Ada beberapa yang merasa tidak bisa menerima Alissa karena citra buruk wanita itu dengan Nicholas. Alissa menyadari betapa sulitnya mencari pekerjaan di zaman sekarang. Ia menyeka keringatnya lalu berteduh dari rasa panas di emperan toko. Hari sudah sore ketika dia memutuskan untuk kembali ke tempat tinggalnya. Ia yang kelelahan seharian berkeliling mencari pekerjaan tidak langsung masuk kamar melainkan berbaring dulu di kursi panjang terbuat dari kayu
"Aku." Pria yang bersama dengan Alissa berjalan ke sisi wanita yang melayangkan protes tadi. "Kita butuh karyawan tambahan," lanjut si pria sambil menggenggam tangan wanita di depannya lalu menciumnya dengan lembut. "Kamu tahu siapa wanita yang ingin kamu pekerjakan itu, Mas?" tanya si wanita sambil melirik Alissa tidak suka. Mendapatkan tatapan semacam itu Alisa langsung menunduk dan meremas kedua tangan. perasaannya mendadak tidak enak, pasti ada sesuatu yang membuat wanita tersebut tidak suka pada dirinya. Namun apa? Alissa merasa tidak pernah melakukan kesalahan apapun pada wanita tersebut. "Memangnya dia siapa? Ah saya tidak peduli siapa dia yang terpenting pekerjaan kita ada yang menangani daripada kelabakan melayani pelanggan yang banyak dari tadi pagi, aku lelah Sayang jika kita harus turun tangan sendiri." "Tapi Mas dia ini wanita yang lagi viral di medsos. Bagaimana kalau kafe kita tercemar hanya karena menerima dia bekerja disini?" Alissa baru paham kenapa wanita
"A ... ku tidak melihat apapun." Meskipun suaranya bergetar Alissa berusaha bersikap tenang. "Mau kamu melihat ataupun tidak, kamu hanya perlu menutup mulut!" perintah atasannya dan Alissa mengangguk cepat. Kedatangannya di kafe pria itu hanya ingin mengais rezeki, bukan untuk menambah masalah. "Bagus kalau kamu paham," ujar pria itu lagi sedangkan si wanitanya hanya duduk dengan tenang seolah tidak perlu ada yang ia khawatirkan. Melirik rekan kerjanya itu Alissa menahan kegeramannya. "Anteng banget ya Allah seolah dia tidak merasa bersalah telah menganggu rumah tangga orang. Mana istrinya sedang hamil lagi." Alissa langsung menunduk dan mengelus perutnya. "Meskipun kehadiranmu ada karena sebuah kesalahan, tetapi mama yakin papamu tidak bejat seperti pria di depan," batin Alissa, seolah bicara dengan bayi dalam kandungannya dari hati ke hati. Alissa pernah berpikir Nicholas adalah pria yang tidak benar, tetapi setelah tahu bahwa sebenarnya pria itu belum memiliki pendamping hidu
Setelah mendengar penjelasan Aska baru Alissa bisa bernapas dengan lega. Dia kembali membaringkan diri lalu terlelap dalam tenang. Jam 4 pagi dia terbangun karena alarm di ponselnya. Segera Alissa menyingkirkan selimut dan turun dari ranjang. Ia berjalan ke kamar mandi, mencuci muka lalu mengambil wudhu. Setelah selesai melaksanakan salat subuh ia beranjak ke dapur dan mulai memasak. Saat nasi dan ikan matang serta sayur sedang direbus ia kembali ke kamar mandi dan membersihkan diri untuk bersiap-siap bekerja. Alissa keluar dari kamar mandi dan mematikan kompor, setelah itu dia merias wajahnya tipis-tipis. "Kita makan dulu Sayang." Alissa mengusap perut sebelum tangannya meraih piring. Prank! Piring di tangan jatuh membentur lantai dan pecah berkeping-keping. "Astaghfirullah!" Alissa mengusap dada lalu menunduk untuk meraih pecahan piring. Sebelum pergi bekerja dia harus membersihkannya karena hari ini dia bisa pulang malam hingga bisa lupa akan pecahan itu. Saat tanganny
"Dia? Siapa maksud Nyonya?" "Wanita yang lewat tadi." Melati melihat ke sekitar. "Oh itu ... tidak tahu Nyonya, mungkin keluarga pasien sebelah." Melati mengangguk kemudian masuk kembali. Aska menghembuskan napas lega. Untung saja Alissa bergerak cepat, kalau tidak, Aska pun akan terkena amarah. Tidak lama setelah itu Melati kembali bergerak keluar dengan Tuan Barata. "Karena sudah ada kamu aku titip Niko sebentar ya Aska," ucap Tuan Barata sebelum meninggalkan ruangan. "Ya kami ada urusan sebentar." Melati menimpali. "Baik Tuan dan Nyonya, saya tidak akan kemana-mana lagi kok." Keduanya mengangguk lalu pergi. Di kamar sebelah, seseorang yang sedang menunggui pasien menatap Alissa dengan bingung. "Maaf aku salah masuk kamar," ucap Alissa sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada. Wanita yang diajak Alissa bicara mengangguk lalu fokus menyuapi pasien yang dijaganya. Alissa berjalan menuju pintu dengan langkah pelan. Saat hendak keluar dia melihat-lihat dulu. Menya
"Maksud saya mungkin itu keringat, Nyonya." Melati meneliti secara seksama dan dia menemukan wajah Nicholas memang dipenuhi bintik-bintik kecil keringat. Dia berpikir mungkin itu adalah hasil penguapan dari sungkup oksigen yang ada di hidungnya. Kemudian wanita itu mengangguk dan Aska menghela napas panjang. Beberapa saat kemudian petugas medis datang dan mendorong brangkar lalu membawa keluar dari ruang rawat. Saat melewati koridor rumah sakit Alissa hanya bisa menatap Nicholas dari kejauhan. Dia mengusap perutnya dan mengatakan kata 'maaf' beberapa kali. Sementara air mata tergenang di pelupuk dan saat ia berkedip air matanya jatuh di pipi. "Tuan!" Setelah tubuh Nicholas dibawa keluar dari rumah sakit dan memasuki mobil, tubuh Alissa luruh ke lantai. Ia menutup wajah dengan kedua tangan dan tidak dapat lagi menahan isak tangis. Aska menatap tubuh ringkih Alissa dengan kasihan. Namun dibandingkan mendekat, Aska lebih membiarkan Alissa menuntaskan tangisnya agar dadanya tak l
"Baru bekerja sudah seenaknya terlambat!" Wanita pemilik kafe berdiri menyambut Alissa dengan kedua tangan di pinggang. Alissa menunduk dengan kedua tangan saling bertautan lalu meremas satu sama lain. Ia bahkan tidak berani mengangkat wajahnya. "Kamu ingin bolos ya? Kenapa tidak sekalian out saja dari sini?! Sudah pergi sana!" Alissa tersentak lalu dia merendahkan diri dengan bersujud di kaki wanita itu. "Maaf Bu, ini di luar rencana. Ada musibah yang menimpa keluargaku." "Ah, alasan! Kau pikir ini kafe milik kakek moyangmu hingga seenaknya sendiri? Kamu punya mulut dan handphone kan, untuk memberi tahuku? Atau, kalau kamu mau, kamu bisa menggunakan tanganmu untuk mengetik pesan!" Wanita itu meninggikan suaranya beberapa desibel. Wanita itu mundur dan Alissa mendongak dengan tatapan memelas. "Saya mohon Bu, hari ini saja aku lalai, lain kali tidak akan lupa mengabari lagi." "Kalau kamu dibiarkan tetap bekerja di sini nanti karyawan lain pasti meminta untuk dimaklumi. Sudah
"Terima kasih," ucap Nicholas seraya menepuk pundak Aska. "Sama-sama. " Aska tersenyum tulus meskipun hatinya menyimpan kepedihan. "Jaga dia baik-baik, jangan kecewakan lagi," ujar Aska pada Nicholas. "Dan kamu Alissa, kembalilah kepada kebahagiaanmu. Aku senang jika melihatmu bahagia," ucapnya kemudian. Alissa hanya mengangguk lemah tanpa berani melihat wajah Aska. "Sudah sana kasihan pak penghulunya sudah menunggu." Nicholas menyentuh tangan Alissa lalu menggenggamnya. Jantung Alissa berdegup kencang. Nicholas membawa Alissa duduk di depan penghulu. "Aska apa-apaan ini?" Melati tidak terima dan hendak melangkah ke arah Nicholas dengan wajah murka, namun Tuan Barata langsung menggenggam tangan istrinya dan menahan. "Sudah Ma, kasihan putra kita. Mama tidak mau kalau sampai dia depresi, kan? Cobalah terima pilihannya. Hanya Niko yang tahu mana yang baik untuk dirinya. Mama mau seumur hidup anak kita tidak menikah?" Akhirnya Melati mengurungkan diri. "Terlebih apa T
"Tugasmu menjaga Alissa sudah selesai, kembalikan dia padaku!' Nada tegas Nicholas membuat mata Alissa membelalak. Tangannya reflek menutup mulut.Aska memandang Nicholas dengan senyuman sinis. "Sudah sadar Tuan Niko? Kemana saja Anda selama ini? Bukankah aku telah menyerahkannya tapi Anda sendiri yang menolak?" Aska tertawa hambar. "Sekarang sudah terlambat!' Nada suara Aska tak kalah tegas.Nicholas memandang Aska dengan tatapan menusuk. Aska balas menatap tajam seolah tidak ada ketakutan dalam hatinya. Alissa melirik Aska lalu Nicholas kemudian dia menunduk. Kedua tangannya saling terpaut dan meremas satu sama lain."Jadi kau tidak mau patuh?""Aku bukan lagi bawahanmu!"Nicholas mendesah kasar. Dia berjalan cepat ke arah kedua mempelai lalu menarik cepat tangan Alissa. Alissa yang tidak fokus langsung terseret menjauh."Hentikan Niko, kamu jadi perhatian semua orang!" Melati menegur sembari menghampiri putranya. Namun Nicholas sama sekali tidak menghiraukan."Tuan lepasin saya!"
"Aku tidak sakit Pa, Ma." Nicholas selalu menolak tatkala kedua orang tuanya memintanya agar mau diperiksa oleh dokter. "Tapi akhir-akhir ini kamu-" "Ada yang salah denganku?" Nicholas menggeleng. "Tidak ada yang salah dengan diriku Ma, Pa, tapi apa yang ada di sekitarku tampaknya salah." "Apa maksudmu Nik?" Nicholas menggelengkan kepalanya sekali lagi. "Apa Papa dan Mama tidak merahasiakan sesuatu dariku?" Nicholas menatap wajah kedua orang tuanya secara bergantian. Melati terkejut. "Aku tidak mengerti Maksudmu." Entah memang tidak paham atau hanya pura-pura tidak mengerti Melati menatap ke arah lain. Dari dalam jendela suasana hari terlihat cerah. Namun, di hati ketiga orang di dalam rumah tampak suram. "Apa benar Laura itu istriku? Siapa sebenarnya Alissa?" Mata Nicholas memerah. Dia merasa ditipu oleh orang tuanya sendiri. "Ya," jawab Melati datar, ekspresinya pun hambar. "Cukup! Kepalsuan ini jangan diteruskan Ma!" sentak Nicholas. Melati meremas kedua tanganny
"Tuan Nicholas tadi ada yang memberimu surat undangan, saya sudah menaruhnya di atas meja Tuan." Pagi-pagi sekali sekretaris memberitahu Nicholas. Pria itu menatap sekretarisnya tanpa ekspresi lalu mengangguk cepat. "Permisi!" Sang sekretaris menutup pintu dan pergi. Nicholas melihat meja, namun mengabaikan surat undangan yang ditaruh sekretarisnya. Pertama kali yang dia lakukan adalah menyesap kopi panas lalu menghela napas panjang. Merentangkan kedua tangan kemudian larut dalam tumpukan kertas yang membungkus seluruh konsentrasinya. Ketika sampai jam makan siang pria itu masih enggan beranjak dari kursinya. Sekretarisnya mengingatkan untuk makan, tetapi pria itu hanya meminta sekretarisnya untuk membawakan roti. Kesibukannya berlangsung hingga sore. Pada waktu pulang tangannya tidak sengaja menyenggol meja dan kertas undangan jatuh ke lantai. Pada saat itu Nicholas baru menyadari dia telah mengabaikan kertas itu. Nicholas berjongkok dan meraihnya. Pertama kali melihat nama p
Aska termenung ketika menerima telepon dari Laura. Wanita itu menyatakan menyerah setelah satu bulan mencoba membantu agar Nicholas mengingat masa lalu bersama Alissa dengan panduan Aska. "Kak Aska! Kak Aska baik-baik saja, kan?" "Oh ya, maaf aku lagi tidak enak badan," ucap Aska berbohong. Laura meminta Aska untuk beristirahat dan jangan terlalu memforsir memikirkan kisah asmara orang lain. "Baiklah sekarang aku harus mengambil keputusan, aku akan menikahi Alissa." Setelah mengatakan kalimat ini Aska langsung mengakhiri panggilan telepon. Laura tercengang, sesaat kemudian bibirnya cemberut. Sungguh ia tidak setuju dengan keputusan Aska. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Solusinya hanya satu yaitu membuat Nicholas kembali pada Alissa, tetapi ia tidak bisa mewujudkan itu. "Apa pria itu tidak tahu aku masih naksir padanya?" lirih Laura seraya menghela napas kasar. "Tuhan! Kenapa Engkau pertemukan kami lagi jika Kak Aska bukan jodohku?" Laura mengacak rambut. Haruskah dia be
Setelah diusir Nicholas dari ruang kerja, Aska keluar dari perusahaan sambil memijit kencing. Dia berpikir seharusnya Nicholas berterima kasih padanya bukan malah marah dan mengusir. Kalau dia tidak memberitahu ini lalu menikahi Alissa, ketika suatu saat Nicholas mengingat semua, apa yang akan terjadi? Aska tidak dapat berpikir dengan jernih hingga ia memutuskan untuk berjalan-jalan di luar. Dia menunggu Nicholas menelepon untuk mengajak pergi ke pertemuan dengan salah satu kliennya hari ini. Sayangnya hingga hari menjelang siang tidak ada panggilan satupun yang masuk ke ponsel Aska. Pria itu hanya bisa menghela napas berat kemudian pulang ke rumah dengan menelan kecewa. "Kak malam ini jadi, kan?" Tepat jam 6 malam Laura menelponnya. "Jadi." Sebenarnya Aska sudah tidak ingin bertemu dengan Laura setelah Nicholas membentak dirinya. Namun, dia juga tidak ingin membuat Laura kecewa kalau tidak menepati janjinya. Dia melirik jam di tangan kemudian menyetir mobil menuju alamat yang La
Esok hari, ketika Aska berjalan menuju mobil hendak ke kantor, ponsel di saku jasnya berdering. Ia hanya melirik dan mengabaikan. Jam sudah hampir pukul 7 pagi dan dia tidak ingin datang terlambat ke kantor. Begitu dia masuk mobil dia menyetel headset dan menghidupkan mesin mobil. "Halo!" Aska menyapa penelpon seraya fokus menatap jalanan. Ketika dia mendengar suara wanita dia langsung melirik nomor penelpon yang tidak diketahui namanya di layal ponselnya. "'Maaf ini siapa?" tanya Aska sambil terus menyetir. Suara penelpon adalah seorang wanita dan itu bukan Alissa. Penelpon menyebutkan nama dan itu membuat Aska terkejut sesaat. "Ya, Laura, ada apa?" "Kak, aku ingin bicara bisa? Terserah Kak Aska mau kita ketemuan dimana. Yang jelas aku ingin meminta tolong. Nanti aku cari alasan pada mama Melati." "Pagi ini tidak bisa, aku harus ke kantor." Terdengar helaan napas berat dari seberang sana. Kemudian beberapa saat Laura berkata, "Ya aku tahu, lain kali saja, bye!" "Eh tungg
"Oh." Aska hanya mengatakan sepatah kata."Dulu aku naksir Kak Aska loh," ujar gadis itu lalu terkekeh pelan. Pipinya bersemu merah, malu dengan perkataannya yang tidak terkontrol itu."Terima kasih," ucap Aska dengan ekspresi datar. "Namamu Laura, kan? Kamu istrinya Tuan Niko, jadi aku tidak mau terlalu berbasa-basi. Takut beliau salah paham," ucap Aska kemudian."Baik saya panggilkan," ucap Laura seraya bangkit dari duduknya. Di dalam hati dia berpikir Aska tetap saja seperti dulu. Terlalu dingin dengan wanita. Laura jadi penasaran, kira-kira wanita seperti apa yang bisa membuat pria tersebut tertarik."Tunggu!" Laura menghentikan langkah dan menoleh. "Ada apa?" "Sejak kapan kamu menikah dengan Tuan Niko?"Laura mengerutkan kening, bingung kenapa Aska bertanya demikian, pun tidak tahu harus menjelaskan seperti apa."Sejak Niko sadar dari komanya. Dia yang selalu merawat Nicholas dengan telaten di luar negeri. Jadi kami sebagai orang tua berinisiatif menikahkan mereka." Melati ber
Alissa segera memasukkan sesuatu di tangan ke dalam laci meja tatkala melihat kedatangan Aska. Mereka kini sedang berada di sebuah universitas ternama di kota. Alissa kebetulan ditunjuk menjadi dosen pengganti dari sahabat Aska yang sedang berada di luar negeri. Dagangan gorengan Alissa sudah dipegang oleh orang lain termasuk di semua cabangnya. Semenjak ia melahirkan Nara, dia memutuskan untuk fokus pada bayinya. Aska melirik pada tangan Alissa lalu tersenyum tipis. "Makan yuk!" Alissa mengangguk lalu bangkit berdiri. Keduanya menuju kantin yang berada di perguruan tinggi tersebut. Setelah memesan makanan, mereka langsung menikmati santapan mereka. "Oh ya, Tuan Nicholas sepertinya hilang ingatan sampai sekarang," ujar Aska yang membuat tubuh Alissa terkesiap. Untuk beberapa saat tubuh wanita itu membeku. Buru-buru Alissa meneguk air putih dengan tangan sedikit gemetar. Aska meneliti raut wajah Alissa yang mendadak pucat. Mencoba mengamati ekspresi tersirat dari wajah calon istri