"Maksud saya mungkin itu keringat, Nyonya." Melati meneliti secara seksama dan dia menemukan wajah Nicholas memang dipenuhi bintik-bintik kecil keringat. Dia berpikir mungkin itu adalah hasil penguapan dari sungkup oksigen yang ada di hidungnya. Kemudian wanita itu mengangguk dan Aska menghela napas panjang. Beberapa saat kemudian petugas medis datang dan mendorong brangkar lalu membawa keluar dari ruang rawat. Saat melewati koridor rumah sakit Alissa hanya bisa menatap Nicholas dari kejauhan. Dia mengusap perutnya dan mengatakan kata 'maaf' beberapa kali. Sementara air mata tergenang di pelupuk dan saat ia berkedip air matanya jatuh di pipi. "Tuan!" Setelah tubuh Nicholas dibawa keluar dari rumah sakit dan memasuki mobil, tubuh Alissa luruh ke lantai. Ia menutup wajah dengan kedua tangan dan tidak dapat lagi menahan isak tangis. Aska menatap tubuh ringkih Alissa dengan kasihan. Namun dibandingkan mendekat, Aska lebih membiarkan Alissa menuntaskan tangisnya agar dadanya tak l
"Baru bekerja sudah seenaknya terlambat!" Wanita pemilik kafe berdiri menyambut Alissa dengan kedua tangan di pinggang. Alissa menunduk dengan kedua tangan saling bertautan lalu meremas satu sama lain. Ia bahkan tidak berani mengangkat wajahnya. "Kamu ingin bolos ya? Kenapa tidak sekalian out saja dari sini?! Sudah pergi sana!" Alissa tersentak lalu dia merendahkan diri dengan bersujud di kaki wanita itu. "Maaf Bu, ini di luar rencana. Ada musibah yang menimpa keluargaku." "Ah, alasan! Kau pikir ini kafe milik kakek moyangmu hingga seenaknya sendiri? Kamu punya mulut dan handphone kan, untuk memberi tahuku? Atau, kalau kamu mau, kamu bisa menggunakan tanganmu untuk mengetik pesan!" Wanita itu meninggikan suaranya beberapa desibel. Wanita itu mundur dan Alissa mendongak dengan tatapan memelas. "Saya mohon Bu, hari ini saja aku lalai, lain kali tidak akan lupa mengabari lagi." "Kalau kamu dibiarkan tetap bekerja di sini nanti karyawan lain pasti meminta untuk dimaklumi. Sudah
Sudah 1 bulan semenjak kepergian Nicholas ke luar negeri dan Alissa setiap hari mengkhawatirkan pria itu karena tidak lagi mendengar kabarnya. Aska benar-benar tidak tahu keberadaan atasannya sebab baik Tuan Barata maupun Melati merahasiakan perkembangan kondisi putranya. Entah apa tujuan mereka, hanya mereka berdua yang tahu. "Wah itu kan Alissa!" Tak disangka Desi melihat Alissa ada di ruangan belakang kafe dan matanya yang tajam bisa menangkap sosok Alissa di sana. "Ckk, mana sih?" tanya Virgo lalu menarik kursi dan duduk. "Itu tu, lihat! Sepertinya dia jadi karyawan di tempat ini." Desi menunjuk ke arah Alissa dan meyakinkan Virgo. "Bukan, kamu salah lihat," bantah Virgo. Dia tidak yakin itu Alissa karena tubuhnya semakin kurus. Virgo melambaikan tangan ke arah pelayan untuk memesan menu makan siang dan tidak memedulikan pembicaraan Desi yang baginya tidak penting. Ada atau tidak ada Alissa di tempat itu Virgo tidak mau tahu dan tidak akan mencari tahu. Setelah dia tahu Al
"Tidak Bu, bukan saya yang cari masalah tapi dia," jelas Alissa sambil menunjuk Desi. "Bohong Nyonya! Mana mungkin ada maling mau mengaku? Oh ya, aku sarankan agar Nyonya menyaring kembali karyawan yang bekerja pada Nyonya. Dia tidak pantas bekerja di tempat ini. Yang ada akan membawa sial saja." "Kamu! Kenapa senang sekali mencampuri hidupku? Aku sudah merelakan Mas Virgo untukmu, apa lagi yang kurang?" Alissa begitu kesal dengan Desi. Sudah merampas apa yang ia punya masih merasa belum puas juga. Apa wanita itu baru puas jika Alissa mati? Desi mengabaikan ucapan Alissa. "Karena wanita yang satu ini adalah wanita ular yang bisa merayu laki-laki. Jaga suami Nyonya ya, atau kalau sangat merepotkan mendingan Nyonya pecat saja wanita ini. Hidupnya penuh masalah. Apa Nyonya tidak mendengar berita tentang dia sebelumnya, bahwa dalam keadaan yang memiliki suami masih nekat berhubungan dengan pria lain. Apa itu namanya bukan gadis nakal?" Suara Desi menggebu-gebu seolah dia yang paling
"Pak Aska?!" "Ya. Berapa kamu harus mengganti rugi?" Alissa menggeleng, ia tidak tahu pasti berapa. Yang ia tahu menu di hadapannya salah satu menu mahal di kafe tersebut. "Satu juta lima ratus," jawab pemilik kafe. Tanpa banyak tanya lagi, Aska mengeluarkan dompet. "Bisa pakai kartu?" "Boleh, silahkan ke meja kasir! Mari saya antar!" Wanita tersebut membawa Aska ke meja kasir. Sebelum membayar Aska meminta pemilik kafe untuk mengizinkan Alissa makan bersamanya. Tentu saja pemilik kafe tidak keberatan karena Pria tersebut akan membayar menu yang seharusnya dibayar oleh Alissa. Dia lebih baik memberikan waktu untuk Alissa sebentar daripada harus menanggung kerugian. "Bapak terima kasih. Saya tidak tahu harus berterima kasih dengan cara apalagi," ucap Alissa saat Aska kembali dan berhadapan dengannya. "Berterima kasihlah dengan menyantap menu ini," kata Aska dan Alissa tertegun. "Maksudnya?" "Makanlah bersamaku!" Aska menepuk meja di depannya. Alissa menatap pemilik kafe
Esok hari pandangan semua karyawan di kafe berbeda terhadap Alissa. Alissa sendiri merasa tatapan para rekan tidak seramah biasanya. Dia ingin bertanya, tetapi dia dipanggil Bu Bos dan diinterogasi macam-macam. Alissa tidak dapat memberikan informasi dan dia hanya bisa berkata 'tidak tahu.' Selama Alissa berada di dalam ruangan pemilik kafe, rekan-rekan kembali bergosip tentang dirinya. Ketika Alissa kembali ke sisi mereka, semua orang tiba-tiba diam. "Ada apa dengan kalian?" Alissa tidak tahan dengan rasa penasarannya hingga ia langsung bertanya. "Tidak apa-apa," jawab salah satu rekan. Ekspresi dan ucapannya sungguh bertolak belakang. Oleh karena itu Alissa merasa tidak nyaman. Ada yang janggal dengan sikap rekan-rekan kerjanya. Suasana di dalam ruangan langsung terasa canggung. "Alissa, kamu dipanggil Bu Bos, disuruh ngapain?" tanya seseorang. Alissa menoleh dan tersenyum. "Seperti kamu kemarin, bertanya barangkali aku tahu siapa selingkuhan pak Dermawan." Alissa berkata denga
"Alissa kemari!" Ketika Alissa baru saja memasukkan piring ke mesin pencuci piring, Pak Dermawan memanggilnya. Alissa menoleh dengan kening berkerut. "Ada apa Pak? Saya sedang bekerja," ucap Alissa. Sebisa mungkin ia ingin menghindari pria itu agar para rekan tidak semakin mencurigai dirinya. Jarang bertemu saja dirinya dicurigai apa lagi sampai berdekatan dengan atasannya itu. Ah, ingin rasanya Alissa menyeret Nina dan mengumumkan kalau dia wanita selingkuhan yang sebenarnya. "Sebentar saja, lagi pula sekarang kan mesin pencuci piringnya sudah ada, jadi kamu bisa menggantikannya pada Sari untuk sementara." Alissa menarik napas dan dengan terpaksa mengangguk. Setelah berbicara sebentar dengan Sari, dia melangkah ke arah Pak Dermawan. Hampir semua karyawan bekerja sambil melirik ke arahnya. "Ada apa, Pak?" tanya Alissa lagi. Sekarang berbicara saja rasanya tidak nyaman bagi Alissa. "Mari ikut ke ruanganku!" Alissa terkejut lalu berkata, "Kenapa tidak bicara di sini saja?
"Ada apa?" Sari dapat melihat perubahan raut wajah Alissa sehingga langsung melayangkan tanya. "Aku dipecat," sahut Alissa seraya melepas celemek di dadanya. Sari membelalak tidak percaya. "Kamu serius?" tanyanya antara percaya dan tidak. Semua orang menoleh ke arah Alissa dan mulai berbisik satu sama lain. Alissa mengangguk lemah. "Ada yang memfitnah dan tadi pak Dermawan juga menjebakku agar aku benar-benar terlihat merayu dirinya. Mungkin ini rencana pria itu dan selingkuhnya agar si wanita tersebut tidak terekspos." Alissa melirik ke arah Nina. Wanita itu pura-pura acuh tak acuh. "Sabar ya Lis, semoga kamu dapat pekerjaan baru yang lebih baik dari pekerjaan di sini. Aku harap wanita jahat itu cepat ketahuan, sebab jika tidak, mungkin akan ada korban seperti dirimu lagi." "Aamiin dan terima kasih doanya ya Sar. Soal wanita itu kamu jangan khawatir, cepat atau lambat kalian semua akan tahu juga. Kalau begitu aku pamit." Setelah pamit pada semua orang Alissa pulang ke rumah