Sudah 1 bulan semenjak kepergian Nicholas ke luar negeri dan Alissa setiap hari mengkhawatirkan pria itu karena tidak lagi mendengar kabarnya. Aska benar-benar tidak tahu keberadaan atasannya sebab baik Tuan Barata maupun Melati merahasiakan perkembangan kondisi putranya. Entah apa tujuan mereka, hanya mereka berdua yang tahu. "Wah itu kan Alissa!" Tak disangka Desi melihat Alissa ada di ruangan belakang kafe dan matanya yang tajam bisa menangkap sosok Alissa di sana. "Ckk, mana sih?" tanya Virgo lalu menarik kursi dan duduk. "Itu tu, lihat! Sepertinya dia jadi karyawan di tempat ini." Desi menunjuk ke arah Alissa dan meyakinkan Virgo. "Bukan, kamu salah lihat," bantah Virgo. Dia tidak yakin itu Alissa karena tubuhnya semakin kurus. Virgo melambaikan tangan ke arah pelayan untuk memesan menu makan siang dan tidak memedulikan pembicaraan Desi yang baginya tidak penting. Ada atau tidak ada Alissa di tempat itu Virgo tidak mau tahu dan tidak akan mencari tahu. Setelah dia tahu Al
"Tidak Bu, bukan saya yang cari masalah tapi dia," jelas Alissa sambil menunjuk Desi. "Bohong Nyonya! Mana mungkin ada maling mau mengaku? Oh ya, aku sarankan agar Nyonya menyaring kembali karyawan yang bekerja pada Nyonya. Dia tidak pantas bekerja di tempat ini. Yang ada akan membawa sial saja." "Kamu! Kenapa senang sekali mencampuri hidupku? Aku sudah merelakan Mas Virgo untukmu, apa lagi yang kurang?" Alissa begitu kesal dengan Desi. Sudah merampas apa yang ia punya masih merasa belum puas juga. Apa wanita itu baru puas jika Alissa mati? Desi mengabaikan ucapan Alissa. "Karena wanita yang satu ini adalah wanita ular yang bisa merayu laki-laki. Jaga suami Nyonya ya, atau kalau sangat merepotkan mendingan Nyonya pecat saja wanita ini. Hidupnya penuh masalah. Apa Nyonya tidak mendengar berita tentang dia sebelumnya, bahwa dalam keadaan yang memiliki suami masih nekat berhubungan dengan pria lain. Apa itu namanya bukan gadis nakal?" Suara Desi menggebu-gebu seolah dia yang paling
"Pak Aska?!" "Ya. Berapa kamu harus mengganti rugi?" Alissa menggeleng, ia tidak tahu pasti berapa. Yang ia tahu menu di hadapannya salah satu menu mahal di kafe tersebut. "Satu juta lima ratus," jawab pemilik kafe. Tanpa banyak tanya lagi, Aska mengeluarkan dompet. "Bisa pakai kartu?" "Boleh, silahkan ke meja kasir! Mari saya antar!" Wanita tersebut membawa Aska ke meja kasir. Sebelum membayar Aska meminta pemilik kafe untuk mengizinkan Alissa makan bersamanya. Tentu saja pemilik kafe tidak keberatan karena Pria tersebut akan membayar menu yang seharusnya dibayar oleh Alissa. Dia lebih baik memberikan waktu untuk Alissa sebentar daripada harus menanggung kerugian. "Bapak terima kasih. Saya tidak tahu harus berterima kasih dengan cara apalagi," ucap Alissa saat Aska kembali dan berhadapan dengannya. "Berterima kasihlah dengan menyantap menu ini," kata Aska dan Alissa tertegun. "Maksudnya?" "Makanlah bersamaku!" Aska menepuk meja di depannya. Alissa menatap pemilik kafe
Esok hari pandangan semua karyawan di kafe berbeda terhadap Alissa. Alissa sendiri merasa tatapan para rekan tidak seramah biasanya. Dia ingin bertanya, tetapi dia dipanggil Bu Bos dan diinterogasi macam-macam. Alissa tidak dapat memberikan informasi dan dia hanya bisa berkata 'tidak tahu.' Selama Alissa berada di dalam ruangan pemilik kafe, rekan-rekan kembali bergosip tentang dirinya. Ketika Alissa kembali ke sisi mereka, semua orang tiba-tiba diam. "Ada apa dengan kalian?" Alissa tidak tahan dengan rasa penasarannya hingga ia langsung bertanya. "Tidak apa-apa," jawab salah satu rekan. Ekspresi dan ucapannya sungguh bertolak belakang. Oleh karena itu Alissa merasa tidak nyaman. Ada yang janggal dengan sikap rekan-rekan kerjanya. Suasana di dalam ruangan langsung terasa canggung. "Alissa, kamu dipanggil Bu Bos, disuruh ngapain?" tanya seseorang. Alissa menoleh dan tersenyum. "Seperti kamu kemarin, bertanya barangkali aku tahu siapa selingkuhan pak Dermawan." Alissa berkata denga
"Alissa kemari!" Ketika Alissa baru saja memasukkan piring ke mesin pencuci piring, Pak Dermawan memanggilnya. Alissa menoleh dengan kening berkerut. "Ada apa Pak? Saya sedang bekerja," ucap Alissa. Sebisa mungkin ia ingin menghindari pria itu agar para rekan tidak semakin mencurigai dirinya. Jarang bertemu saja dirinya dicurigai apa lagi sampai berdekatan dengan atasannya itu. Ah, ingin rasanya Alissa menyeret Nina dan mengumumkan kalau dia wanita selingkuhan yang sebenarnya. "Sebentar saja, lagi pula sekarang kan mesin pencuci piringnya sudah ada, jadi kamu bisa menggantikannya pada Sari untuk sementara." Alissa menarik napas dan dengan terpaksa mengangguk. Setelah berbicara sebentar dengan Sari, dia melangkah ke arah Pak Dermawan. Hampir semua karyawan bekerja sambil melirik ke arahnya. "Ada apa, Pak?" tanya Alissa lagi. Sekarang berbicara saja rasanya tidak nyaman bagi Alissa. "Mari ikut ke ruanganku!" Alissa terkejut lalu berkata, "Kenapa tidak bicara di sini saja?
"Ada apa?" Sari dapat melihat perubahan raut wajah Alissa sehingga langsung melayangkan tanya. "Aku dipecat," sahut Alissa seraya melepas celemek di dadanya. Sari membelalak tidak percaya. "Kamu serius?" tanyanya antara percaya dan tidak. Semua orang menoleh ke arah Alissa dan mulai berbisik satu sama lain. Alissa mengangguk lemah. "Ada yang memfitnah dan tadi pak Dermawan juga menjebakku agar aku benar-benar terlihat merayu dirinya. Mungkin ini rencana pria itu dan selingkuhnya agar si wanita tersebut tidak terekspos." Alissa melirik ke arah Nina. Wanita itu pura-pura acuh tak acuh. "Sabar ya Lis, semoga kamu dapat pekerjaan baru yang lebih baik dari pekerjaan di sini. Aku harap wanita jahat itu cepat ketahuan, sebab jika tidak, mungkin akan ada korban seperti dirimu lagi." "Aamiin dan terima kasih doanya ya Sar. Soal wanita itu kamu jangan khawatir, cepat atau lambat kalian semua akan tahu juga. Kalau begitu aku pamit." Setelah pamit pada semua orang Alissa pulang ke rumah
Alissa mengambil bungkusan dari tangan Aska. Tidak lupa dia mengucapkan terima kasih. "Pak Aska silahkan duduk, maaf aku tidak bisa membawamu masuk." Alissa menyeret kursi di teras rumah. "Tidak apa-apa, aku paham di rumah ini tidak ada orang lain lagi." Alissa mengangguk. Setelah melihat Aska duduk dia merogoh kunci dan membuka pintu rumah. Tidak lama kemudian wanita itu kembali dengan nampan berisi dua gelas minuman dan sepiring martabak. "Kenapa repot-repot?" "Tidak repot kok hanya minuman. Kuenya, kue yang pak Aska bawa. Kalau aku makan sendiri nggak akan habis. Jadi kita makan berdua saja." Aska mengangguk masih dengan senyuman manis. Alissa membalas senyuman Aska lalu menaruh gelas dan piring di atas meja. Ketika Alissa hendak duduk, Aska menyarankan agar wanita itu membersihkan diri terlebih dahulu. Alissa setuju, ia pergi dan mandi, setelah berganti pakaian ia kembali ke sisi Aska. "Dimakan, Pak!" "Kamu juga." Mereka berdua saling menatap dan rasa canggung mende
Tiga tahun kemudian, seorang anak kecil berumur sekitar dua tahunan berlari-larian di taman. Dia berceloteh tidak jelas. Di sampingnya seorang pria menemani anak tersebut sambil mengajari anak kecil itu bicara. Kata dokter, anak tersebut memiliki keterbatasan lambat bisa. Di sisi lain pada sebuah kursi besi di taman, seorang wanita duduk termenung dengan bertopang dagu. Sesekali ia menatap kepada dua orang berlainan jenis dan berbeda usia itu. Wanita itu menitikkan air mata kala mengingat keadaan putri kecilnya. "Apakah ini hukuman Tuhan, kenapa ini dilimpahkan pada dia yang tidak tahu apa-apa? Ini salahku, seharusnya aku yang menanggung dosa masa laluku." Alissa mengusap air mata yang jatuh di pipi. Aska melambaikan tangan hingga Alissa menghentikan gerakan tangan di pipi dan mengangguk. Setelah berjalan dan sampai di sisi mereka, Aska menawarkan es krim di tangan. Alissa menerima lalu menyendok sambil melihat pergerakan putrinya. "Nara, duduk sini sayang! Jangan putar-putar
Aska termenung ketika menerima telepon dari Laura. Wanita itu menyatakan menyerah setelah satu bulan mencoba membantu agar Nicholas mengingat masa lalu bersama Alissa dengan panduan Aska. "Kak Aska! Kak Aska baik-baik saja, kan?" "Oh ya, maaf aku lagi tidak enak badan," ucap Aska berbohong. Laura meminta Aska untuk beristirahat dan jangan terlalu memforsir memikirkan kisah asmara orang lain. "Baiklah sekarang aku harus mengambil keputusan, aku akan menikahi Alissa." Setelah mengatakan kalimat ini Aska langsung mengakhiri panggilan telepon. Laura tercengang, sesaat kemudian bibirnya cemberut. Sungguh ia tidak setuju dengan keputusan Aska. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Solusinya hanya satu yaitu membuat Nicholas kembali pada Alissa, tetapi ia tidak bisa mewujudkan itu. "Apa pria itu tidak tahu aku masih naksir padanya?" lirih Laura seraya menghela napas kasar. "Tuhan! Kenapa Engkau pertemukan kami lagi jika Kak Aska bukan jodohku?" Laura mengacak rambut. Haruskah dia be
Setelah diusir Nicholas dari ruang kerja, Aska keluar dari perusahaan sambil memijit kencing. Dia berpikir seharusnya Nicholas berterima kasih padanya bukan malah marah dan mengusir. Kalau dia tidak memberitahu ini lalu menikahi Alissa, ketika suatu saat Nicholas mengingat semua, apa yang akan terjadi? Aska tidak dapat berpikir dengan jernih hingga ia memutuskan untuk berjalan-jalan di luar. Dia menunggu Nicholas menelepon untuk mengajak pergi ke pertemuan dengan salah satu kliennya hari ini. Sayangnya hingga hari menjelang siang tidak ada panggilan satupun yang masuk ke ponsel Aska. Pria itu hanya bisa menghela napas berat kemudian pulang ke rumah dengan menelan kecewa. "Kak malam ini jadi, kan?" Tepat jam 6 malam Laura menelponnya. "Jadi." Sebenarnya Aska sudah tidak ingin bertemu dengan Laura setelah Nicholas membentak dirinya. Namun, dia juga tidak ingin membuat Laura kecewa kalau tidak menepati janjinya. Dia melirik jam di tangan kemudian menyetir mobil menuju alamat yang La
Esok hari, ketika Aska berjalan menuju mobil hendak ke kantor, ponsel di saku jasnya berdering. Ia hanya melirik dan mengabaikan. Jam sudah hampir pukul 7 pagi dan dia tidak ingin datang terlambat ke kantor. Begitu dia masuk mobil dia menyetel headset dan menghidupkan mesin mobil. "Halo!" Aska menyapa penelpon seraya fokus menatap jalanan. Ketika dia mendengar suara wanita dia langsung melirik nomor penelpon yang tidak diketahui namanya di layal ponselnya. "'Maaf ini siapa?" tanya Aska sambil terus menyetir. Suara penelpon adalah seorang wanita dan itu bukan Alissa. Penelpon menyebutkan nama dan itu membuat Aska terkejut sesaat. "Ya, Laura, ada apa?" "Kak, aku ingin bicara bisa? Terserah Kak Aska mau kita ketemuan dimana. Yang jelas aku ingin meminta tolong. Nanti aku cari alasan pada mama Melati." "Pagi ini tidak bisa, aku harus ke kantor." Terdengar helaan napas berat dari seberang sana. Kemudian beberapa saat Laura berkata, "Ya aku tahu, lain kali saja, bye!" "Eh tungg
"Oh." Aska hanya mengatakan sepatah kata."Dulu aku naksir Kak Aska loh," ujar gadis itu lalu terkekeh pelan. Pipinya bersemu merah, malu dengan perkataannya yang tidak terkontrol itu."Terima kasih," ucap Aska dengan ekspresi datar. "Namamu Laura, kan? Kamu istrinya Tuan Niko, jadi aku tidak mau terlalu berbasa-basi. Takut beliau salah paham," ucap Aska kemudian."Baik saya panggilkan," ucap Laura seraya bangkit dari duduknya. Di dalam hati dia berpikir Aska tetap saja seperti dulu. Terlalu dingin dengan wanita. Laura jadi penasaran, kira-kira wanita seperti apa yang bisa membuat pria tersebut tertarik."Tunggu!" Laura menghentikan langkah dan menoleh. "Ada apa?" "Sejak kapan kamu menikah dengan Tuan Niko?"Laura mengerutkan kening, bingung kenapa Aska bertanya demikian, pun tidak tahu harus menjelaskan seperti apa."Sejak Niko sadar dari komanya. Dia yang selalu merawat Nicholas dengan telaten di luar negeri. Jadi kami sebagai orang tua berinisiatif menikahkan mereka." Melati ber
Alissa segera memasukkan sesuatu di tangan ke dalam laci meja tatkala melihat kedatangan Aska. Mereka kini sedang berada di sebuah universitas ternama di kota. Alissa kebetulan ditunjuk menjadi dosen pengganti dari sahabat Aska yang sedang berada di luar negeri. Dagangan gorengan Alissa sudah dipegang oleh orang lain termasuk di semua cabangnya. Semenjak ia melahirkan Nara, dia memutuskan untuk fokus pada bayinya. Aska melirik pada tangan Alissa lalu tersenyum tipis. "Makan yuk!" Alissa mengangguk lalu bangkit berdiri. Keduanya menuju kantin yang berada di perguruan tinggi tersebut. Setelah memesan makanan, mereka langsung menikmati santapan mereka. "Oh ya, Tuan Nicholas sepertinya hilang ingatan sampai sekarang," ujar Aska yang membuat tubuh Alissa terkesiap. Untuk beberapa saat tubuh wanita itu membeku. Buru-buru Alissa meneguk air putih dengan tangan sedikit gemetar. Aska meneliti raut wajah Alissa yang mendadak pucat. Mencoba mengamati ekspresi tersirat dari wajah calon istri
"Ya kemarin." Alissa menghela napas, matanya terlihat menyimpan kepedihan."Kapan?" "Saat di restoran, ketika aku mengatakan restoran kehabisan pizza, padahal aku memang tidak ingin berada di dekatnya."Aska mengangguk lemah. Pantas saja Alissa menangis sampai wajahnya sembab, ternyata dia baru bertemu dengan Nicholas."Lupakan dia! Mari kita rencanakan pernikahan kita."Sekali lagi Aska mengangguk. Sayangnya di hati pria tampan ini mulai ragu untuk melanjutkan pernikahannya dengan Alissa. Bukannya tidak cinta, tetapi ia tidak ingin Alissa menyesal setelahnya. Begitu Alissa bertemu Nicholas, seharian penuh Alissa menangis dan bahkan mengabaikan Nara yang biasa menjadi titik pusat perhatiannya.Nara mendekat pada Aska dan duduk di pangkuannya. Ada rasa nyeri yang bergelayut dalam hati saat Aska memikirkan keputusan tentang pernikahannya bersama Alissa. Jika gagal, mungkin dia tidak akan sedekat ini lagi dengan Nara dan jika dia berhasil menjadi ayah sambungnya, apakah itu tandanya Ask
Mata Aska mengerjap, dia tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. Dia mengingat berapa kali dia sudah memohon pada Alissa, tetapi Alissa selalu menjawab dengan kata 'maaf.' Tidak dilanjutkan pun Aska paham dengan jawaban itu. Jadi, dia tidak ingin mengungkit lagi perihal lamaran karena akan membuat komunikasinya canggung bersama Alissa. Namun, sekarang Alissa malah membahas hal itu lagi. Apa dia tidak sedang bermimpi? "Mas Aska! Apa penawaran itu masih berlaku?" Alissa menatap lekat mata Aska. Dia berharap Aska tidak menyimpan rasa sakit di dalam hati setelah beberapa kali ditolak olehnya. "Apa kamu sudah bisa mencintaiku?" Alissa tersenyum getir. "Aku akan berusaha." Aska mengangguk. "Tidak apa-apa selama kamu mengambil keputusan tanpa adanya paksaan, aku tidak masalah. Mungkin suatu hari nanti perasaanmu padaku akan berubah seiring berjalannya waktu." "Jadi?" "Aku akan menikahimu." Senyuman tulus terpatri di bibir Aska. Senyuman yang menawan menambah kharisma pa
Tiga tahun kemudian, seorang anak kecil berumur sekitar dua tahunan berlari-larian di taman. Dia berceloteh tidak jelas. Di sampingnya seorang pria menemani anak tersebut sambil mengajari anak kecil itu bicara. Kata dokter, anak tersebut memiliki keterbatasan lambat bisa. Di sisi lain pada sebuah kursi besi di taman, seorang wanita duduk termenung dengan bertopang dagu. Sesekali ia menatap kepada dua orang berlainan jenis dan berbeda usia itu. Wanita itu menitikkan air mata kala mengingat keadaan putri kecilnya. "Apakah ini hukuman Tuhan, kenapa ini dilimpahkan pada dia yang tidak tahu apa-apa? Ini salahku, seharusnya aku yang menanggung dosa masa laluku." Alissa mengusap air mata yang jatuh di pipi. Aska melambaikan tangan hingga Alissa menghentikan gerakan tangan di pipi dan mengangguk. Setelah berjalan dan sampai di sisi mereka, Aska menawarkan es krim di tangan. Alissa menerima lalu menyendok sambil melihat pergerakan putrinya. "Nara, duduk sini sayang! Jangan putar-putar
Alissa mengambil bungkusan dari tangan Aska. Tidak lupa dia mengucapkan terima kasih. "Pak Aska silahkan duduk, maaf aku tidak bisa membawamu masuk." Alissa menyeret kursi di teras rumah. "Tidak apa-apa, aku paham di rumah ini tidak ada orang lain lagi." Alissa mengangguk. Setelah melihat Aska duduk dia merogoh kunci dan membuka pintu rumah. Tidak lama kemudian wanita itu kembali dengan nampan berisi dua gelas minuman dan sepiring martabak. "Kenapa repot-repot?" "Tidak repot kok hanya minuman. Kuenya, kue yang pak Aska bawa. Kalau aku makan sendiri nggak akan habis. Jadi kita makan berdua saja." Aska mengangguk masih dengan senyuman manis. Alissa membalas senyuman Aska lalu menaruh gelas dan piring di atas meja. Ketika Alissa hendak duduk, Aska menyarankan agar wanita itu membersihkan diri terlebih dahulu. Alissa setuju, ia pergi dan mandi, setelah berganti pakaian ia kembali ke sisi Aska. "Dimakan, Pak!" "Kamu juga." Mereka berdua saling menatap dan rasa canggung mende