Alissa berjalan gontai meninggalkan perusahaan tadi. Susah payah ia membangunkan semangatnya yang hampir patah. "Harus, aku harus semangat demi anakku. Masa hanya satu kali ditolak sudah merasa gagal?" Alissa memantapkan diri, hari itu juga ia lanjut mencari pekerjaan lain. "Hufft!" Alissa menghela nafas panjang lalu melanjutkan langkah. Beberapa perusahaan sedang maupun kecil sudah ia masuki, tetapi tidak ada satupun yang menerima dirinya. Alasannya sudah pasti karena tidak membutuhkan karyawan baru padahal tidak semuanya benar. Ada beberapa yang merasa tidak bisa menerima Alissa karena citra buruk wanita itu dengan Nicholas. Alissa menyadari betapa sulitnya mencari pekerjaan di zaman sekarang. Ia menyeka keringatnya lalu berteduh dari rasa panas di emperan toko. Hari sudah sore ketika dia memutuskan untuk kembali ke tempat tinggalnya. Ia yang kelelahan seharian berkeliling mencari pekerjaan tidak langsung masuk kamar melainkan berbaring dulu di kursi panjang terbuat dari kayu
"Aku." Pria yang bersama dengan Alissa berjalan ke sisi wanita yang melayangkan protes tadi. "Kita butuh karyawan tambahan," lanjut si pria sambil menggenggam tangan wanita di depannya lalu menciumnya dengan lembut. "Kamu tahu siapa wanita yang ingin kamu pekerjakan itu, Mas?" tanya si wanita sambil melirik Alissa tidak suka. Mendapatkan tatapan semacam itu Alisa langsung menunduk dan meremas kedua tangan. perasaannya mendadak tidak enak, pasti ada sesuatu yang membuat wanita tersebut tidak suka pada dirinya. Namun apa? Alissa merasa tidak pernah melakukan kesalahan apapun pada wanita tersebut. "Memangnya dia siapa? Ah saya tidak peduli siapa dia yang terpenting pekerjaan kita ada yang menangani daripada kelabakan melayani pelanggan yang banyak dari tadi pagi, aku lelah Sayang jika kita harus turun tangan sendiri." "Tapi Mas dia ini wanita yang lagi viral di medsos. Bagaimana kalau kafe kita tercemar hanya karena menerima dia bekerja disini?" Alissa baru paham kenapa wanita
"A ... ku tidak melihat apapun." Meskipun suaranya bergetar Alissa berusaha bersikap tenang. "Mau kamu melihat ataupun tidak, kamu hanya perlu menutup mulut!" perintah atasannya dan Alissa mengangguk cepat. Kedatangannya di kafe pria itu hanya ingin mengais rezeki, bukan untuk menambah masalah. "Bagus kalau kamu paham," ujar pria itu lagi sedangkan si wanitanya hanya duduk dengan tenang seolah tidak perlu ada yang ia khawatirkan. Melirik rekan kerjanya itu Alissa menahan kegeramannya. "Anteng banget ya Allah seolah dia tidak merasa bersalah telah menganggu rumah tangga orang. Mana istrinya sedang hamil lagi." Alissa langsung menunduk dan mengelus perutnya. "Meskipun kehadiranmu ada karena sebuah kesalahan, tetapi mama yakin papamu tidak bejat seperti pria di depan," batin Alissa, seolah bicara dengan bayi dalam kandungannya dari hati ke hati. Alissa pernah berpikir Nicholas adalah pria yang tidak benar, tetapi setelah tahu bahwa sebenarnya pria itu belum memiliki pendamping hidu
Setelah mendengar penjelasan Aska baru Alissa bisa bernapas dengan lega. Dia kembali membaringkan diri lalu terlelap dalam tenang. Jam 4 pagi dia terbangun karena alarm di ponselnya. Segera Alissa menyingkirkan selimut dan turun dari ranjang. Ia berjalan ke kamar mandi, mencuci muka lalu mengambil wudhu. Setelah selesai melaksanakan salat subuh ia beranjak ke dapur dan mulai memasak. Saat nasi dan ikan matang serta sayur sedang direbus ia kembali ke kamar mandi dan membersihkan diri untuk bersiap-siap bekerja. Alissa keluar dari kamar mandi dan mematikan kompor, setelah itu dia merias wajahnya tipis-tipis. "Kita makan dulu Sayang." Alissa mengusap perut sebelum tangannya meraih piring. Prank! Piring di tangan jatuh membentur lantai dan pecah berkeping-keping. "Astaghfirullah!" Alissa mengusap dada lalu menunduk untuk meraih pecahan piring. Sebelum pergi bekerja dia harus membersihkannya karena hari ini dia bisa pulang malam hingga bisa lupa akan pecahan itu. Saat tanganny
"Dia? Siapa maksud Nyonya?" "Wanita yang lewat tadi." Melati melihat ke sekitar. "Oh itu ... tidak tahu Nyonya, mungkin keluarga pasien sebelah." Melati mengangguk kemudian masuk kembali. Aska menghembuskan napas lega. Untung saja Alissa bergerak cepat, kalau tidak, Aska pun akan terkena amarah. Tidak lama setelah itu Melati kembali bergerak keluar dengan Tuan Barata. "Karena sudah ada kamu aku titip Niko sebentar ya Aska," ucap Tuan Barata sebelum meninggalkan ruangan. "Ya kami ada urusan sebentar." Melati menimpali. "Baik Tuan dan Nyonya, saya tidak akan kemana-mana lagi kok." Keduanya mengangguk lalu pergi. Di kamar sebelah, seseorang yang sedang menunggui pasien menatap Alissa dengan bingung. "Maaf aku salah masuk kamar," ucap Alissa sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada. Wanita yang diajak Alissa bicara mengangguk lalu fokus menyuapi pasien yang dijaganya. Alissa berjalan menuju pintu dengan langkah pelan. Saat hendak keluar dia melihat-lihat dulu. Menya
"Maksud saya mungkin itu keringat, Nyonya." Melati meneliti secara seksama dan dia menemukan wajah Nicholas memang dipenuhi bintik-bintik kecil keringat. Dia berpikir mungkin itu adalah hasil penguapan dari sungkup oksigen yang ada di hidungnya. Kemudian wanita itu mengangguk dan Aska menghela napas panjang. Beberapa saat kemudian petugas medis datang dan mendorong brangkar lalu membawa keluar dari ruang rawat. Saat melewati koridor rumah sakit Alissa hanya bisa menatap Nicholas dari kejauhan. Dia mengusap perutnya dan mengatakan kata 'maaf' beberapa kali. Sementara air mata tergenang di pelupuk dan saat ia berkedip air matanya jatuh di pipi. "Tuan!" Setelah tubuh Nicholas dibawa keluar dari rumah sakit dan memasuki mobil, tubuh Alissa luruh ke lantai. Ia menutup wajah dengan kedua tangan dan tidak dapat lagi menahan isak tangis. Aska menatap tubuh ringkih Alissa dengan kasihan. Namun dibandingkan mendekat, Aska lebih membiarkan Alissa menuntaskan tangisnya agar dadanya tak l
"Baru bekerja sudah seenaknya terlambat!" Wanita pemilik kafe berdiri menyambut Alissa dengan kedua tangan di pinggang. Alissa menunduk dengan kedua tangan saling bertautan lalu meremas satu sama lain. Ia bahkan tidak berani mengangkat wajahnya. "Kamu ingin bolos ya? Kenapa tidak sekalian out saja dari sini?! Sudah pergi sana!" Alissa tersentak lalu dia merendahkan diri dengan bersujud di kaki wanita itu. "Maaf Bu, ini di luar rencana. Ada musibah yang menimpa keluargaku." "Ah, alasan! Kau pikir ini kafe milik kakek moyangmu hingga seenaknya sendiri? Kamu punya mulut dan handphone kan, untuk memberi tahuku? Atau, kalau kamu mau, kamu bisa menggunakan tanganmu untuk mengetik pesan!" Wanita itu meninggikan suaranya beberapa desibel. Wanita itu mundur dan Alissa mendongak dengan tatapan memelas. "Saya mohon Bu, hari ini saja aku lalai, lain kali tidak akan lupa mengabari lagi." "Kalau kamu dibiarkan tetap bekerja di sini nanti karyawan lain pasti meminta untuk dimaklumi. Sudah
Sudah 1 bulan semenjak kepergian Nicholas ke luar negeri dan Alissa setiap hari mengkhawatirkan pria itu karena tidak lagi mendengar kabarnya. Aska benar-benar tidak tahu keberadaan atasannya sebab baik Tuan Barata maupun Melati merahasiakan perkembangan kondisi putranya. Entah apa tujuan mereka, hanya mereka berdua yang tahu. "Wah itu kan Alissa!" Tak disangka Desi melihat Alissa ada di ruangan belakang kafe dan matanya yang tajam bisa menangkap sosok Alissa di sana. "Ckk, mana sih?" tanya Virgo lalu menarik kursi dan duduk. "Itu tu, lihat! Sepertinya dia jadi karyawan di tempat ini." Desi menunjuk ke arah Alissa dan meyakinkan Virgo. "Bukan, kamu salah lihat," bantah Virgo. Dia tidak yakin itu Alissa karena tubuhnya semakin kurus. Virgo melambaikan tangan ke arah pelayan untuk memesan menu makan siang dan tidak memedulikan pembicaraan Desi yang baginya tidak penting. Ada atau tidak ada Alissa di tempat itu Virgo tidak mau tahu dan tidak akan mencari tahu. Setelah dia tahu Al
Aska termenung ketika menerima telepon dari Laura. Wanita itu menyatakan menyerah setelah satu bulan mencoba membantu agar Nicholas mengingat masa lalu bersama Alissa dengan panduan Aska. "Kak Aska! Kak Aska baik-baik saja, kan?" "Oh ya, maaf aku lagi tidak enak badan," ucap Aska berbohong. Laura meminta Aska untuk beristirahat dan jangan terlalu memforsir memikirkan kisah asmara orang lain. "Baiklah sekarang aku harus mengambil keputusan, aku akan menikahi Alissa." Setelah mengatakan kalimat ini Aska langsung mengakhiri panggilan telepon. Laura tercengang, sesaat kemudian bibirnya cemberut. Sungguh ia tidak setuju dengan keputusan Aska. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Solusinya hanya satu yaitu membuat Nicholas kembali pada Alissa, tetapi ia tidak bisa mewujudkan itu. "Apa pria itu tidak tahu aku masih naksir padanya?" lirih Laura seraya menghela napas kasar. "Tuhan! Kenapa Engkau pertemukan kami lagi jika Kak Aska bukan jodohku?" Laura mengacak rambut. Haruskah dia be
Setelah diusir Nicholas dari ruang kerja, Aska keluar dari perusahaan sambil memijit kencing. Dia berpikir seharusnya Nicholas berterima kasih padanya bukan malah marah dan mengusir. Kalau dia tidak memberitahu ini lalu menikahi Alissa, ketika suatu saat Nicholas mengingat semua, apa yang akan terjadi? Aska tidak dapat berpikir dengan jernih hingga ia memutuskan untuk berjalan-jalan di luar. Dia menunggu Nicholas menelepon untuk mengajak pergi ke pertemuan dengan salah satu kliennya hari ini. Sayangnya hingga hari menjelang siang tidak ada panggilan satupun yang masuk ke ponsel Aska. Pria itu hanya bisa menghela napas berat kemudian pulang ke rumah dengan menelan kecewa. "Kak malam ini jadi, kan?" Tepat jam 6 malam Laura menelponnya. "Jadi." Sebenarnya Aska sudah tidak ingin bertemu dengan Laura setelah Nicholas membentak dirinya. Namun, dia juga tidak ingin membuat Laura kecewa kalau tidak menepati janjinya. Dia melirik jam di tangan kemudian menyetir mobil menuju alamat yang La
Esok hari, ketika Aska berjalan menuju mobil hendak ke kantor, ponsel di saku jasnya berdering. Ia hanya melirik dan mengabaikan. Jam sudah hampir pukul 7 pagi dan dia tidak ingin datang terlambat ke kantor. Begitu dia masuk mobil dia menyetel headset dan menghidupkan mesin mobil. "Halo!" Aska menyapa penelpon seraya fokus menatap jalanan. Ketika dia mendengar suara wanita dia langsung melirik nomor penelpon yang tidak diketahui namanya di layal ponselnya. "'Maaf ini siapa?" tanya Aska sambil terus menyetir. Suara penelpon adalah seorang wanita dan itu bukan Alissa. Penelpon menyebutkan nama dan itu membuat Aska terkejut sesaat. "Ya, Laura, ada apa?" "Kak, aku ingin bicara bisa? Terserah Kak Aska mau kita ketemuan dimana. Yang jelas aku ingin meminta tolong. Nanti aku cari alasan pada mama Melati." "Pagi ini tidak bisa, aku harus ke kantor." Terdengar helaan napas berat dari seberang sana. Kemudian beberapa saat Laura berkata, "Ya aku tahu, lain kali saja, bye!" "Eh tungg
"Oh." Aska hanya mengatakan sepatah kata."Dulu aku naksir Kak Aska loh," ujar gadis itu lalu terkekeh pelan. Pipinya bersemu merah, malu dengan perkataannya yang tidak terkontrol itu."Terima kasih," ucap Aska dengan ekspresi datar. "Namamu Laura, kan? Kamu istrinya Tuan Niko, jadi aku tidak mau terlalu berbasa-basi. Takut beliau salah paham," ucap Aska kemudian."Baik saya panggilkan," ucap Laura seraya bangkit dari duduknya. Di dalam hati dia berpikir Aska tetap saja seperti dulu. Terlalu dingin dengan wanita. Laura jadi penasaran, kira-kira wanita seperti apa yang bisa membuat pria tersebut tertarik."Tunggu!" Laura menghentikan langkah dan menoleh. "Ada apa?" "Sejak kapan kamu menikah dengan Tuan Niko?"Laura mengerutkan kening, bingung kenapa Aska bertanya demikian, pun tidak tahu harus menjelaskan seperti apa."Sejak Niko sadar dari komanya. Dia yang selalu merawat Nicholas dengan telaten di luar negeri. Jadi kami sebagai orang tua berinisiatif menikahkan mereka." Melati ber
Alissa segera memasukkan sesuatu di tangan ke dalam laci meja tatkala melihat kedatangan Aska. Mereka kini sedang berada di sebuah universitas ternama di kota. Alissa kebetulan ditunjuk menjadi dosen pengganti dari sahabat Aska yang sedang berada di luar negeri. Dagangan gorengan Alissa sudah dipegang oleh orang lain termasuk di semua cabangnya. Semenjak ia melahirkan Nara, dia memutuskan untuk fokus pada bayinya. Aska melirik pada tangan Alissa lalu tersenyum tipis. "Makan yuk!" Alissa mengangguk lalu bangkit berdiri. Keduanya menuju kantin yang berada di perguruan tinggi tersebut. Setelah memesan makanan, mereka langsung menikmati santapan mereka. "Oh ya, Tuan Nicholas sepertinya hilang ingatan sampai sekarang," ujar Aska yang membuat tubuh Alissa terkesiap. Untuk beberapa saat tubuh wanita itu membeku. Buru-buru Alissa meneguk air putih dengan tangan sedikit gemetar. Aska meneliti raut wajah Alissa yang mendadak pucat. Mencoba mengamati ekspresi tersirat dari wajah calon istri
"Ya kemarin." Alissa menghela napas, matanya terlihat menyimpan kepedihan."Kapan?" "Saat di restoran, ketika aku mengatakan restoran kehabisan pizza, padahal aku memang tidak ingin berada di dekatnya."Aska mengangguk lemah. Pantas saja Alissa menangis sampai wajahnya sembab, ternyata dia baru bertemu dengan Nicholas."Lupakan dia! Mari kita rencanakan pernikahan kita."Sekali lagi Aska mengangguk. Sayangnya di hati pria tampan ini mulai ragu untuk melanjutkan pernikahannya dengan Alissa. Bukannya tidak cinta, tetapi ia tidak ingin Alissa menyesal setelahnya. Begitu Alissa bertemu Nicholas, seharian penuh Alissa menangis dan bahkan mengabaikan Nara yang biasa menjadi titik pusat perhatiannya.Nara mendekat pada Aska dan duduk di pangkuannya. Ada rasa nyeri yang bergelayut dalam hati saat Aska memikirkan keputusan tentang pernikahannya bersama Alissa. Jika gagal, mungkin dia tidak akan sedekat ini lagi dengan Nara dan jika dia berhasil menjadi ayah sambungnya, apakah itu tandanya Ask
Mata Aska mengerjap, dia tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. Dia mengingat berapa kali dia sudah memohon pada Alissa, tetapi Alissa selalu menjawab dengan kata 'maaf.' Tidak dilanjutkan pun Aska paham dengan jawaban itu. Jadi, dia tidak ingin mengungkit lagi perihal lamaran karena akan membuat komunikasinya canggung bersama Alissa. Namun, sekarang Alissa malah membahas hal itu lagi. Apa dia tidak sedang bermimpi? "Mas Aska! Apa penawaran itu masih berlaku?" Alissa menatap lekat mata Aska. Dia berharap Aska tidak menyimpan rasa sakit di dalam hati setelah beberapa kali ditolak olehnya. "Apa kamu sudah bisa mencintaiku?" Alissa tersenyum getir. "Aku akan berusaha." Aska mengangguk. "Tidak apa-apa selama kamu mengambil keputusan tanpa adanya paksaan, aku tidak masalah. Mungkin suatu hari nanti perasaanmu padaku akan berubah seiring berjalannya waktu." "Jadi?" "Aku akan menikahimu." Senyuman tulus terpatri di bibir Aska. Senyuman yang menawan menambah kharisma pa
Tiga tahun kemudian, seorang anak kecil berumur sekitar dua tahunan berlari-larian di taman. Dia berceloteh tidak jelas. Di sampingnya seorang pria menemani anak tersebut sambil mengajari anak kecil itu bicara. Kata dokter, anak tersebut memiliki keterbatasan lambat bisa. Di sisi lain pada sebuah kursi besi di taman, seorang wanita duduk termenung dengan bertopang dagu. Sesekali ia menatap kepada dua orang berlainan jenis dan berbeda usia itu. Wanita itu menitikkan air mata kala mengingat keadaan putri kecilnya. "Apakah ini hukuman Tuhan, kenapa ini dilimpahkan pada dia yang tidak tahu apa-apa? Ini salahku, seharusnya aku yang menanggung dosa masa laluku." Alissa mengusap air mata yang jatuh di pipi. Aska melambaikan tangan hingga Alissa menghentikan gerakan tangan di pipi dan mengangguk. Setelah berjalan dan sampai di sisi mereka, Aska menawarkan es krim di tangan. Alissa menerima lalu menyendok sambil melihat pergerakan putrinya. "Nara, duduk sini sayang! Jangan putar-putar
Alissa mengambil bungkusan dari tangan Aska. Tidak lupa dia mengucapkan terima kasih. "Pak Aska silahkan duduk, maaf aku tidak bisa membawamu masuk." Alissa menyeret kursi di teras rumah. "Tidak apa-apa, aku paham di rumah ini tidak ada orang lain lagi." Alissa mengangguk. Setelah melihat Aska duduk dia merogoh kunci dan membuka pintu rumah. Tidak lama kemudian wanita itu kembali dengan nampan berisi dua gelas minuman dan sepiring martabak. "Kenapa repot-repot?" "Tidak repot kok hanya minuman. Kuenya, kue yang pak Aska bawa. Kalau aku makan sendiri nggak akan habis. Jadi kita makan berdua saja." Aska mengangguk masih dengan senyuman manis. Alissa membalas senyuman Aska lalu menaruh gelas dan piring di atas meja. Ketika Alissa hendak duduk, Aska menyarankan agar wanita itu membersihkan diri terlebih dahulu. Alissa setuju, ia pergi dan mandi, setelah berganti pakaian ia kembali ke sisi Aska. "Dimakan, Pak!" "Kamu juga." Mereka berdua saling menatap dan rasa canggung mende