Bu Siti tidak langsung menjawabpertanyaan Dimas tersebut. Tapi Dimas mengusap wajahnya dengan kasar.“Ya Tuhan Bu. Dimas ini bukan barang Bu. Bukan untuk diperjualbelikan. Dimas juga punya hati Bu,” protes Dimas karena perasaannya saat itu sudah mulai tidak enak.Bu Siti mengibskan tangannya di udara.“Kamu ini ngomong apa sih Dimas?” jawab Bu Siti.“Ya kali saja, ibu tega menjualku kepada yang lebih kaya demi uang.”“Ibu ini tidak ada makst menuual kamu ya, Hanya saja ibu itu berpikir bahwa kamu harus punya masa depan yang bagus. Kamu pikir rumah tangga dengan ekonomi yang pas pasan itu menyenangkan begitu?”“Kalau Aruna menikah dengan orang kaya ya sudahlah Bu kalau begitu.”“Loh kok justru ya sudah? Tidak kamu tidak boleh kalah dengan Aruna. Enak saja. Dia menikahkan Aruna dengan laki laki itu aslinya juga untuk balas dendam, kepada kita,” kata Bu Siti yang terus menggebu nggebu.Dimas hanya membuang nafas dengan berat.“Lalu apa yang harus Dimas lakukan Bu? Selama ini kan dimas
Malam itu, Dimas duduk di ruang tamu dengan perasaan cemas. Sejak Mayang pergi keluar, Dimas tidak mendengar suara apapun dari luar. Biasanya, Mayang akan mengamuk atau mengadu kepada Pak Subrata, tapi kali ini suasana sangat sepi. Dia merasakan ada sesuatu yang salah, tapi dia tidak tahu apa.Suara langkah kaki terdengar mendekat dari lorong panjang. Dimas menoleh, berharap itu hanya Mayang yang kembali dengan marah biasa. Tapi, suara langkah itu terlalu berat dan teratur. Pintu ruang tamu terbuka dengan keras, dan di sana berdiri Pak Subrata dengan wajah merah padam.Pak Subrata menatap Dimas dengan tajam, tatapan yang bisa membuat siapa saja gemetar."Jadi, kamu menganggap anakku jelek, Dimas?" Suaranya berat dan penuh amarah.Dimas menelan ludahnya, mencoba untuk tetap tenang. "Bukan begitu, Pak. Saya hanya ingin Mayang sedikit memperhatikan penampilannya. Bukan berarti dia jelek."Pak Subrata mendekat, membuat jarak antara mereka semakin sempit. "Kamu pikir kamu siapa bisa menghi
Dimas menatap sinis ke arah ibunya."Sudah lah Bu. Tak usah lebay," ujar Dimas lalu Manarik tuas gas motornya untuk segera menjauh dari dekat rumah Aruna.Dimas duduk di kursi kayu tua di ruang makan, menatap piring kosong di depannya dengan tatapan kosong. Ia baru saja menerima tawaran pekerjaan di Jepang yang menggiurkan. Tapi ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, sesuatu yang membuatnya merasa bimbang. Bu Siti, ibunya, memasuki ruangan dengan langkah tenang namun tegas."Dimas, ibu tidak mau dengar kamu pergi ke Jepang," kata Bu Siti dengan nada yang menahan amarah. Matanya menatap tajam ke arah putranya.Dimas mengangguk pelan. "Iya, Bu. Tapi aku pikir ini kesempatan bagus untuk memperbaiki hidup kita."Bu Siti menghentakkan tangannya ke meja, suaranya menggelegar di ruangan yang sempit itu. "Kamu gila, Dimas! Mau meninggalkan keluargamu? Mau lari dari tanggung jawabmu sebagai suami?"Dimas terkejut dengan reaksi ibunya. "Bu, aku hanya ingin mencari kehidupan yang lebih baik.
Dimas berdiri di depan Mayang, bibirnya terkatup rapat. Hatinya mendidih, namun dia hanya mampu memandang Mayang dengan tatapan tajam. Mayang yang berdiri di hadapannya, sedikit tersenyum seperti meremehkan, dengan nada sombong yang tak bisa disembunyikan."Jadi, kamu pikir aku takut padamu?" kata Mayang dengan suara yang sedikit mengolok.Dimas hampir tidak bisa menahan diri. Tanpa sengaja, tangannya memang terangkat, niatnya untuk menampar Mayang sangat besar. Namun saat telapak tangannya hampir menyentuh pipi Mayang, ia berhenti seketika. Wajahnya berubah menjadi pucat, pikirannya terganggu oleh kesadaran bahwa perbuatannya bisa merusak reputasi keluarganya. Terlebih, dia tak ingin terjebak dalam perasaan yang membelenggu dirinya.Mayang menatapnya dengan rasa kemenangan."Kamu tidak berani," ujarnya sambil tersenyum penuh kemenangan, menyadari bahwa Dimas takkan berani melakukan apapun karena dia bergantung pada keluarga Mayang, terutama ibunya yang selalu membela apapun yang dila
Dimas hanya melengos mendengar pertanyaan Mayang tersebut.Pertanyaan yang bodoh. Seluruh orang juga tau apa bedanya jika Myanah dibandingkan dengan Aruna. Aruna lebub cantik, dan mungkin jika disandingkan dengan Dimas, Aruna lebih masuk akal. Daripada Mayang. Yang aneh sekali menjadi istri. Lebihnya hanya satu. Dia kaya raya. Yang membuat silau ibu Dimas.Langit pagi kota Jakarta yang cerah menandai awal hari yang sempurna bagi Aruna. Cahaya matahari masuk melalui jendela besar di rumah mewahnya, menciptakan suasana hangat dan nyaman. Aruna duduk di meja makan, menikmati sarapan dengan senyum di wajahnya. Di sebelahnya, Andra sedang membaca koran, sesekali melirik istrinya dengan tatapan penuh cinta.Setelah menikah, Aruna dan Andra pindah ke sebuah rumah mewah di kawasan elit Jakarta. Rumah itu besar, dengan halaman luas dan taman indah yang selalu tertata rapi. Setiap sudut rumah memancarkan kemewahan, mulai dari perabotan mahal hingga dekorasi artistik yang dipilih dengan cermat.
Mayang menghabiskan sore dengan berbaring malas di sofa, sementara Dimas duduk di meja kecil di sudut ruangan, sibuk dengan laptopnya. Ia mencoba melupakan pembicaraan dengan ibunya dan Diah tadi siang, tetapi kata-kata mereka terus berputar di kepalanya. Saran Diah tentang punya anak membuatnya semakin gelisah. Ia tahu betul bahwa Mayang bukan tipe perempuan yang ingin punya anak, apalagi mengurusnya.Dimas memutuskan untuk mengutarakan kekhawatirannya kepada Mayang. "Mayang, tadi aku ngobrol sama Mbak Diah dan Ibu. Mereka memberi saran untuk kita punya anak," ujarnya hati-hati.Mayang menatap dan menoleh dengan tajam lalu ia hanya mendesah panjang, pandangannya kembali tetap terpaku pada layar ponsel."Punya anak? Kamu serius, Mas? Aku nggak bisa bayangin harus hamil, sakit, apalagi mengurus anak. Itu bukan aku banget. Ribet," ujarnya dengan santaiDimas mengerti perasaan Mayang, tetapi tekanan dari keluarganya membuatnya merasa terpojok."Aku tahu, Mayang. Tapi mungkin dengan punya
Dimas mengusap wajahnya dengan kasar.“Ya Tuhan mayang, aku dan Aruna itu sudah menjadi masa lalu. Kenapa kamu masih mempermasalahkannya? Kalau kamu tanya siapa pemenangnya, bukankah sudah jelas itu kamu? Aku membatalkan rencana menikahi Aruna, demi menikahi kamu,” kata Dimas menciba menjelaskan. Meskipun sebenarnya, pemenangnya tetap Aruna, hanya Mayang yang justru ia nikahi.“Karena sikap kamu itu aneh. A N E H !”Ingin sekali saat itu Dimas menjelaskan dari A sampai Z tentang sikap Mayang yang membuat dirinya menjadi aneh. Tapi apa daya? Ia tidak pernah menang dari Mayang.Malam itu, Dimas tak bisa tidur. Pembicaraan dengan Mayang semakin membebani pikirannya. Dia merasa terjebak di antara dua dunia yang bertentangan: desakan keluarganya untuk punya anak dan keteguhan Mayang yang enggan menjadi seorang ibu. Ditambah lagi, rasa khawatir terhadap Aruna yang sekarang menjadi target kebencian keluarga istrinya.Dimas memutuskan untuk keluar rumah sejenak, mencari udara segar. Ia berja
Malam itu, Aruna merasa udara di sekitarnya lebih dingin dari biasanya. Ia sedang duduk di ruang tamu, mencoba menenangkan diri dengan membaca buku. Kejadian-kejadian aneh beberapa hari terakhir terus menghantui pikirannya. Tiba-tiba, ia mendengar suara di luar jendela, seperti seseorang sedang mengendap-endap. Saat itu Andra ada lembur di tempat kerjanya. Para ART sudah tidur. Aruna tinggal di kompleks perumahan yang memang rata rata tidak ada gerbang, karena sudah aman dengan penjagaan dari depan.Aruna bangkit dari kursinya dengan hati-hati, berjalan mendekati jendela dengan langkah pelan. Ia mengintip melalui celah tirai, dan melihat sosok pria yang mencurigakan berdiri di halaman. Jantungnya berdegup kencang, tapi ia berusaha tetap tenang. Pria itu tampak sedang mencoba membuka pintu samping rumah.Dengan cepat, Aruna mengambil tongkat kayu yang biasa ia gunakan untuk olahraga. Ia mengintip sekali lagi, memastikan pria itu masih ada di sana. Kemudian, dengan langkah pasti, ia mem
Dimas duduk di teras rumah dengan pandangan kosong. Matahari mulai condong ke barat, tapi pikirannya masih terjebak dalam kekhawatiran yang sama sejak pagi tadi — mencari pekerjaan. Tumpukan koran dengan lingkaran merah di kolom lowongan kerja tergeletak di sampingnya, namun satu pun panggilan belum ia terima. Melamar menjadi guru kembali pun juga sulit.Pintu rumah terbuka dengan kasar, dan Bu Siti muncul dengan wajah kesal. “Dimas! Kamu di sini aja dari tadi? Udah dapat kerja belum?” suaranya tajam, menusuk telinga Dimas yang sudah cukup lelah.Dimas menghela napas pelan, mencoba menahan diri. “Belum, Bu. Aku udah coba cari, tapi belum ada panggilan.”“Alasannya itu terus! Kamu mau jadi pengangguran sampai kapan?” nada Bu Siti semakin meninggi. “Ibu ini baru keluar dari rumah sakit, tapi kamu malah santai nggak jelas di rumah!”Dimas menggigit bibirnya, berusaha menahan amarah dan rasa malu. “Aku nggak santai, Bu. Aku keliling seharian tadi nyari kerja. Tapi di mana-mana susah. Kala
“Bu!” Dyah menatap ibunya dengan pandangan tak percaya. “Ibu dengar nggak sih apa yang barusan Ibu katakan? Aruna sama sekali nggak minta dihormati atau disanjung, Bu. Dia cuma mau membantu kita! Kenapa Ibu selalu melihat dia dengan kebencian?”Bu Siti menggeleng, wajahnya mengeras. “Karena aku tahu siapa Aruna, Dyah. Dia itu sombong! Dulu dia sok jual mahal sama Dimas, dan sekarang aku yakin dia cuma mau pamer kalau dia lebih berhasil dari kita.”“Ya Allah, Bu...” Dyah menutup wajah dengan tangannya, berusaha menahan kekesalan yang semakin memuncak. “Sampai kapan Ibu mau kayak gini? Sampai kapan Ibu mau terjebak dengan kebencian yang nggak ada gunanya?”"kamu kenapa sih Dyah? Kenapa kamu justru membela si Aruna itu?" Tanya Bu Siti."Ya mau membela siapa lagi? Mayang? Bu, dia sudah tidak perduli dengan keluarga kita. Buat apa? Bahkan dia juga sudah membuang Dimas."Bu Siti mendengus pelan, matanya menatap lurus ke depan. “Pokoknya Ibu nggak mau berterima kasih sama Aruna. Kalau perlu,
Andra menatap Aruna dengan pandangan tajam, namun tidak ada kemarahan di sana. Hanya sedikit kekecewaan yang tersirat di matanya. Aruna yang sejak tadi duduk di tepi ranjang, menggigit bibirnya, tidak tahu harus berkata apa. Ia takut jika Andra berpikiran yang tidak-tidak tentang keputusannya membantu Dimas.“Aku tahu,” akhirnya Andra bersuara, suaranya datar namun tegas. “Aku tahu kamu bantu Dimas.”Aruna menelan ludah, sedikit salah tingkah. “Mas, aku cuma...”“Berapa yang kamu kasih ke dia?” potong Andra sebelum Aruna sempat menyelesaikan kalimatnya.Aruna terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara pelan, “Sepuluh juta.”Andra terdiam sesaat, menghela napas panjang. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, bukan karena Aruna memberi uang kepada Dimas, tapi lebih kepada nominal yang cukup besar.“Sepuluh juta?” ulangnya, menatap Aruna dengan sedikit tidak percaya. “Aruna, kalau kamu memang mau bantu, kenapa nggak sekalian?”Aruna mengernyit. “Maksud Mas?”Andra bangkit dari duduk
Dimas duduk gelisah di ruang tamu rumah Aruna. Tangannya menggenggam erat lututnya, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia tidak menyangka harus kembali ke rumah ini dalam kondisi seperti ini. Dulu, ia meninggalkan Aruna tanpa ragu, dan kini, ia kembali sebagai seorang peminta-minta.Pak Wito, ayah Aruna, duduk di hadapannya dengan wajah keras. Sorot matanya tajam, penuh amarah yang ia tahan. Ia melipat kedua tangannya di dada, menunggu penjelasan dari Dimas."Jadi, kau datang ke sini untuk meminjam uang?" suara Pak Wito rendah, namun penuh tekanan.Dimas menelan ludah. "Pak Wito, saya benar-benar dalam kesulitan. Ibu saya sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Saya butuh biaya untuk membayar pengobatannya."Pak Wito menghela napas, lalu menggeleng. "Kau tahu, Dimas? Aku sudah mendengar banyak tentang kehidupanmu sekarang. Kau meninggalkan Aruna, menikahi perempuan lain, lalu hidup dalam kemiskinan. Dan sekarang, kau kembali ke sini dengan tangan kosong, meminta bantuan?"Dimas m
Dimas duduk di ruang tamu rumah ibunya dengan wajah letih. Sudah beberapa hari ia tinggal di sini sejak Mayang mengusirnya. Di depannya, Bu Siti duduk dengan tangan bersedekap, ekspresinya penuh kekecewaan."Ibu, sudahlah. Kita nggak akan menang lawan Bu Lina," Dimas berkata dengan suara datar.Bu Siti melotot. "Maksudmu apa? Kamu mau menyerah begitu saja? Mayang itu istrimu, Dimas! Kamu nggak boleh membiarkan dia semena-mena seperti ini!"Dimas mengusap wajahnya dengan frustasi. "Aku sudah capek, Bu. Bu Lina memang keras kepala. Dia nggak akan membiarkan Mayang kembali ke aku. Lagipula, aku nggak bisa terus-terusan begini. Aku harus mulai membangun hidupku sendiri."Bu Siti mengerutkan dahi. "Kamu mau ngapain?"Dimas menarik napas dalam. "Aku mau mulai dari awal. Seperti dulu, aku bakal jadi guru lagi."Bu Siti langsung menepuk pahanya dengan keras. "Guru?! Kamu mau jadi guru honorer lagi? Kamu pikir itu cukup? Kamu pikir dengan gaji receh itu kamu bisa hidup enak?"Dimas terdiam. Ia
Dimas terduduk di ruang tengah rumah ibunya, wajahnya tampak kusut. Sudah tiga hari ia tinggal di sini sejak diusir Mayang. Hatinya masih dipenuhi amarah dan gengsi yang terluka.Bu Siti berjalan keluar dari dapur sambil membawa segelas teh manis, lalu meletakkannya di meja di depan Dimas. Namun, tatapan matanya penuh selidik."Sudah tiga hari kamu di sini. Kamu nggak pulang ke rumah?"Dimas menghela napas panjang. Ia meneguk tehnya tanpa menjawab.Bu Siti duduk di sebelahnya, menatapnya lekat-lekat. "Dimas, kamu ada masalah apa sama Mayang?"Dimas mendengus. "Masalah besar, Bu."Bu Siti menyipitkan mata. "Jangan bilang kamu berantem lagi. Kamu itu laki-laki, Dimas. Istri itu harus kamu kendalikan, bukan malah kamu yang diusir dari rumah!"Dimas menoleh dengan ekspresi kesal. "Iya, Bu! Aku diusir! Mayang sudah nggak mau sama aku lagi!"Bu Siti terbelalak. "Apa?!"Dimas bersandar ke sofa dengan wajah penuh kekecewaan. "Dia bilang dia nggak bisa hidup sama laki-laki yang nggak bertanggu
Mayang duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kosong ke arah lantai. Suara ibunya masih terngiang di kepalanya, terus-menerus mengusik pikirannya."Ayo ikut Ibu. Kamu masih punya masa depan, Mayang. Jangan buang hidupmu untuk laki-laki yang tidak punya modal."Ia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya dengan berat. Ia tahu ibunya tidak salah. Sejak awal menikah, Dimas memang tidak pernah benar-benar berjuang untuknya. Bahkan saat mereka masih hidup berkecukupan berkat usaha ayahnya, Dimas lebih banyak bergantung daripada berusaha. Sekarang, setelah semua hancur, ia bahkan lebih banyak mengeluh daripada mencari solusi.Namun, di sisi lain, Mayang merasa tidak punya pilihan lain. Sejak dulu, ia sudah terbiasa berpikir bahwa tidak ada laki-laki lain yang akan menginginkannya selain Dimas. Wajahnya biasa saja—tidak secantik perempuan-perempuan lain di luar sana. Bahkan sejak kecil, ia selalu merasa kurang menarik dibandingkan teman-temannya.Jika ia meninggalkan Dimas sekarang, apakah
Rumah itu kini terasa hampa. Sejak kepergian Pak Subrata, seolah-olah seluruh kehangatan yang dulu menyelimuti keluarga mereka ikut pergi bersamanya. Mayang duduk di sudut ruang tamu, menatap kosong ke arah lantai. Matanya sembab, namun air matanya seakan sudah habis.Orang-orang masih berdatangan untuk menyampaikan belasungkawa. Namun, bagi Mayang, semuanya hanya suara yang sayup-sayup masuk ke telinganya tanpa benar-benar ia pahami. Sejak hari kematian ayahnya, ia menjadi seperti orang linglung. Ia masih bernapas, masih bergerak, tapi jiwanya seperti tertinggal di hari di mana ayahnya pergi.Bu Lina mencoba menguatkan Mayang, tapi semua orang bisa melihat betapa rapuhnya ia sekarang. Wajahnya yang dulu selalu tegas kini dipenuhi garis-garis kesedihan yang semakin dalam. Berulang kali ia memanggil nama Mayang, namun putrinya hanya menoleh sebentar, lalu kembali tenggelam dalam dunianya sendiri.Dimas berdiri di sudut ruangan, merasa serba salah. Sejak hari itu, Mayang hampir tidak be
Bu Lina berdiri di ambang pintu ruang tamu dengan tatapan tajam. Wajahnya tegas, dan sorot matanya penuh dengan kekecewaan. Mayang menoleh ke arah ibunya, sedikit terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Sementara itu, Dimas tampak pucat, tidak menyangka bahwa mertuanya akan muncul di saat pertengkaran sedang memuncak."Bu?" Mayang bersuara lirih.Bu Lina berjalan mendekat dengan langkah mantap, tangannya terlipat di dada. "Laki-laki seperti ini masih kamu pertahankan, Mayang?" tanyanya lagi, suaranya dingin namun penuh ketegasan.Dimas berusaha menenangkan dirinya, lalu berkata dengan nada terpaksa, "Bu Lina, ini urusan saya dan Mayang. Ibu nggak perlu ikut campur."Namun, Bu Lina tidak bergeming. Ia menatap Dimas dengan pandangan penuh penilaian. "Ikut campur? Kamu kira aku bisa diam saja melihat anak perempuanku diperlakukan seperti mesin ATM? Mayang itu bukan sapi perah kamu, Dimas! Dia bukan sumber uang untuk membiayai hidup ibumu di kampung. Dia adalah istrimu!"Dimas menge