“Wah perkembangannya bagus sekali ini,” ucap dokter yang sedang memeriksa kondisi Amanda.“Iya, Dok. Dia sudah minum ASI lagi sekarang,” jawab Denis yang melirik pada Maria yang duduk tak jauh dari sana.“Oh, bagus. Sepertinya anak ini ada alergi susu juga. Sebaiknya teruskan saja ASI-nya. Jangan sampai terjadi seperti ini lagi,” ujar sang dokter.“Baik, Dok.” Denis mengangguk pelan.“Kita lihat besok, jika semakin baik, maka Amanda boleh pulang,” lanjut sang dokter yang menyimpan stetoskopnya ke dalam saku sneli.Denis, Fery, Suci dan tak terkecuali Maria merasa senang mendengar kabar itu. Anak itu sudah melalui masa kritisnya setelah bertemu lagi dengan ibu susunya. Beberapa jam sekali Amanda bangun dan mencari Maria. Jika seperti itu, Denis dan Fery langsung mengerti jika mereka harus segera meninggalkan ruangan itu karena Maria harus memberi ASI pada Amanda.Meski masih kecil, Amanda tahu dengan orang yang menyayanginya setulus hati. Jika saja dia dapat bicara, mungkin dia akan me
“Maaf kalau kamu keberatan untuk mengatakan hal itu pada saya. Saya hanya penasaran saja bagaimana anakmu sampai tiada. Kenapa kamu bilang kalau suami kamu nggak mau memakamkan anak kalian.”“Maaf, Pak. Dia bukan lagi suami saya,” potong Maria yang tak terima jika Hanif disebut sebagai suaminya.“Oh, maaf. Maksudku mantan suami kamu.” Denis meralatnya.“Dari sikap yang mereka tunjukan sama kamu, saya bisa menilai jika mereka mungkin sudah membuatmu menderita. Lalu, bagaimana ceritanya anakmu sampai meninggal?” tanya Denis yang masih penasaran.“Anak saya terlahir cacat. Dia juga down sindrom. Di awal kelahirannya mereka sudah menolak kehadiran Rania. Lalu, Rania sakit panas, tapi saya tidak bisa membawanya ke dokter karena saya tidak ada uang sama sekali.”“Kamu bisa minta sama suami kamu, kan?” potong Denis yang merasa sangat heran. Bagaimana mungkin Hanif begitu tega jika anaknya sakit dan tak membawanya ke dokter.Maria menggeleng pelan. “Saya minta Mas Hanif untuk antar ke dokter
“Bapak?” ucap Maria yang langsung menunduk saat melihat ada Denis di ambang pintu. Dia gegas menyembunyikan sisirnya.“Maaf, saya mau ngasihin ini sama kamu. Tadi saya tanya sama suster soal suplemen pelancar ASI. Dia nyaranin ini. Katanya ini bagus,” ucap Denis sambil menaruh sebuah kotak kecil ke atas meja. Kotak kecil dengan gambar ibu menyusui.“Oh, itu ya, Pak. Padahal tidak perlu pakai itu juga ASI saya sudah lancar,” jawab Maria dengan sikap yang gugup. Dia malu sekali karena kepergok tengah merias diri walaupun hanya menyisir.“Maaf mengganggu. Silakan kamu lanjutkan lagi,” ujar Denis dengan wajah yang memerah. Sikapnya juga terlihat tak kalah gugup dari Maria.“I-iya, Pak.” Maria tertunduk malu sambil memilin jarinya sendiri.“Hmm. Saya … ke luar,” ucap Denis semakin gugup.Maria mengangguk pelan dan mengangkat wajahnya untuk melihat kepergian Denis.“Mmh, by the way … kamu cocok banget pake baju itu,” ucap Denis yang menghentikan langkah dan menoleh pada Maria. Dia berkat
Sepulang dari rumah sakit, Denis menyuruh agar Maria sekamar dengan Amanda untuk sementara sampai anak itu lepas ASI. Maria teramat senang karena akhirnya dia bisa berdekatan terus dengan bayi yang sudah dia anggap anak sendiri.Denis juga kembali mencari seorang ART untuk membantu pekerjaan rumah, setelah ART sebelumnya yang menghilang begitu saja.“Padahal saya masih bisa ngerjain kalau Dek Manda lagi tidur,”ujar Maria saat seorang ART baru datang ke rumah itu.“Sudahlah, kamu fokus sama Amanda saja. Kalau kamu harus ngerjain pekerjaan rumah juga, kapan kamu istirahatnya?” jawab Denis.Maria merasa tersanjung meski dengan perhatian sekecil itu. Baginya yang sering disebut sebagai anak haram, sebuah penghargaan itu sangat jarang didapatkan.“Saya harus ke kantor hari ini, jadi … saya titipkan Amanda sama kamu. Nanti Bi Noneng yang akan masakin buat kamu, karena saya tidak bisa pulang saat makan siang, hari ini. Ok?” Denis nyerocos sebelum pamit ke kantor.Maria hanya bisa mengangg
Jam sudah menunjukan pukul lima sore. Para staff dan pegawai lainnya sudah mulai meninggalkan ruangan kerjanya, sementara Denis masih fokus di depan laptopnya. Tok, tok. Suara ketukan terdengar di pintu kaca ruangannya. Denis pun mempersilakan masuk. Wajah Darius muncul dengan senyuman jahilnya. “Gimana, masih belum menentukan mau datang atau nggak?” tanyanya. Denis tertawa kecil sambil mengggelengkan kepalanya. “Aku kira Abang tak ingat. Aku masih ada kerjaan,” jawabnya santai. “Halah, biarin aja dulu. kerjaan nggak akan ada habisnya. Ayo, matikan saja laptopnya. Kita bersenang-senang dulu malam ini,” ajak Darius. Denis mengempaskan punggungnya pada sandaran kursi. “Huuft. Abangku ini pemaksa juga. Baiklah. Aku akan bersiap. Tapi sepertinya nggak akan cukup waktu untuk pulang dulu.” “Penampilanmu sudah sempurna, Denis. Tidak akan ada orang yang tau kalau kamu tidak berganti pakaian setelah pulang dari bekerja.” Darius tergelak. Lelaki itu berusaha sekuat tenaga untuk membahag
Selesai salat Subuh Maria tak keluar dari kamar Amanda. Dia sengaja melakukan itu agar tak bertemu dengan Denis yang biasanya menikmati secangkir kopi di ruang tengah. Sekarang sudah ada Bi Noneng, jadi dia tak perlu lagi membuatkan kopi untuk majikannya itu. Dia lebih memilih untuk tiduran lagi sambil memeluk Amanda yang masih terlelap. Biasanya anak itu bangun pukul 8 untuk mandi. Maria tersenyum melihat wajah Amanda yang begitu menggemaskan. Pipinya kembali gembil. Mulutnya sedikit menganga. Tangan Maria jahil menutup bibir itu agar tak terbuka. Namun, bibir itu kembali terbuka perlahan. Maria tertawa pelan, merasa ada hiburan. Kesedihan hatinya sedikit terobati dengan tingkah laku Amanda kecilnya. Kerinduannya pada Rania perlahan terkikis. Sementara itu, di ruang tengah, Denis sesekali melirik ke arah kamar Amanda. Dia tak berani masuk karena takut jika Maria sedang menyusui. Lalu, dia melihat ke arah jam yang menggantung di dinding. Sudah pukul enam lewat tetapi Maria tak
Denis menyelesaikan sarapannya dengan perasaan gundah. Dia menyesal sudah membentak dan berbuat kasar pada Maria. Dia tahu jika wanita di hadapannya ini sangat rapuh dan perasa.“Maaf, saya tidak bermaksud marah sama kamu, Maria. Saya takut kalau-kalau Amanda sakit, dan kamu juga sakit karena telat makan. Makanlah yang banyak.” Suara Denis melemah. Dia lalu bangkit meninggalkan Maria yang masih menunduk ketakutan.Denis menyetir dengan pikiran ke mana-mana. Tentang mendiang Amanda, tentang pesta semalam dan Irene, lalu bayangan Maria yang ketakutan saat melihatnya, juga saat Denis tak sengaja melihat sebagian paha Maria yang terbuka.Lelaki itu memukuli handle stir dan terlihat frustrasi.“Maafkan aku, Amanda. Kenapa aku jadi seperti ini?” rutuk Denis yang mendadak membanting setir ke kiri dan menghentikan mobilnya di pinggir jalan.“No! aku hanya cinta Amanda.” Denis menggelengkan kepalanya. Namun, dia kembali teringat dengan perkataan sang kakak juga Fery yang bilang jika dia pasti
Hanif yang terhuyung langsung menegakan tubuhnya sambil menyeka ujung bibirnya yang berdarah.“Kamu marah rupanya, karena pacarmu disebut barang bekas,” ucap Hanif dengan nada mengejek.Denis akan melayangkan lagi tinjunya, tapi Maria gegas menahannya. “Jangan kotori tangan Bapak,” ucapnya dengan tatapan tajam pada Hanif. Belum pernah maria seberani itu. Biasanya dia hanya diam dan menurut. Namun, ucapan hanif barusan yang mengatakan dirinya barang bekas, sungguh melukai hatinya.“Berani juga kamu, Maria?” ucap Hanif sambil menilik Maria dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Sepertinya kamu sudah punya banyak uang sekarang, hah? Melacur kamu ya? Sampai bisa beli baju dan sepatu yang bagus,” katanya dengan tawa mengejek.“Tutup mulutmu!” bentak Denis. Dia sudah tak pedulikan lagi dengan tatapan orang-orang yang melihat pertengkaran mereka.Hanif tertawa renyah. “Kamu tidak tau kan, kalau dia ini anak haram. Ibunya juga seorang pelacur sampai lahir dia. Aku menikahinya karena dulu dia