Denis keluar dari ruangan yang sempit itu diikuti oleh Fery yang sesekali menoleh ke belakang. Dia masih mau membujuk Maria agar ikut dengan mereka.“Denis, masa kita langsung menyerah begini?” bisik Fery seraya menarik lengan lelaki di depannya.“Mau gimana lagi? Dia nggak mau kembali, Fer. Masa kita mau maksa?” jawab Denis yang berbalik.“Gue nggak mau bikin dia tambah sakit hati, Fer. Gue udah parah nyakitin dia kemarin. Masa gue harus kembali nyakitin dia dengan memaksanya ikut kita?” Denis berkata dengan wajah memelas sedih.Fery langsung terdiam. wajahnya pun ikut sedih.Di dalam sana, Maria mendengnar apa yang diucapkan oleh Denis barusan, karena jarak mereka memang tak terlalu jauh.“Ini adalah resiko yang harus gue tanggung karena sudah mengusir Maria. Gue yang salah, karena itu gue yang harus menyelesaikan masalah ini.” Denis menjeda kalimatnya. “Jika Maria tidak mau lagi merawat Amanda, maka gue sendiri yang harus nyari pengganti dia.”“Den, elu, kan, tau kalau Amanda butuh
“Hey! Lepaskan dia!” teriak Denis yang merasa kasihan melihat Maria diseret seperti itu. Dia menghalangi langkah Hanif yang menyeret Maria menuju ke mobilnya.“Jangan ikut campur, kamu! Dia ini istriku, karena itu aku berhak melakukan apapun sama dia,” ujar Hanif yang mendorong tubuh Denis agar tak menghalangi jalannya.“Hey! Apalagi kalau dia itu istrimu. Harusnya kamu menjaga dia dengan baik, bukannya malah memperlakukan dia dengan kasar seperti itu.” Denis menarik tangan Maria agar Hanif tak bisa menyeretnya.Langkah Hanif terhenti. Dia kemudian berbalik dengan tatapan nyalang pada Denis. “Lepaskan istriku!” desisnya dengan sorot mata tajam.“Aku ini bukan lagi istrimu, Mas. kita sudah bercerai. Bukannya kamu sudah menjatuhkan talakmu saat aku meminta kalian untuk menguburkan Rania. Kamu bilang aku bisa pergi, karena kamu sudah tak mau melanjutkan pernikahan ini. Kamu tidak mau ada aku dan Rania dalam hidupmu dan menyuruhku pergi membawa mayat Rania dalam gendongaku. ucapanmu
“Ingat! Jangan sampai aku melihatmu lagi, kalau tidak … aku akan hancurkan mulut kotormu itu!” Denis mengepalkan tangannya dengan kuat. Dia menahan diri untuk tidak membunuh lelaki yang benar-benar bermulut kotor itu.Hanif malah tertawa dengan renyah. Tangannya menyeka darah yang keluar dari bibirnya yang sobek.“Kau doyan sama barang bekas ya?” ucapnya mengejek, membuat Denis kembali tersulut emosi.Brak!Kaki jenjang itu akhirnya melesak di dada Hanif hingga lelaki itu terjengkang dan mengaduh kesakitan.“Sekali lagi kau berkata kotor, kuhancurkan mulutmu itu!” teriak Denis penuh emosi.“Aarrgghh! Kenapa kau aniaya anakku?!” Tiba-tiba saja datang seorang perempuan bertubuh montok yang menghambur dan memeluk Hanif yang tersungkur tak berdaya.“Kau! Siapa kau?” desis ibunya Hanif penuh dendam. Namun, matanya langsung melebar saat mengingat wajah yang mengadakan sayembara untuk mencari keberadaan Maria.“Eeh, kamu … yang nyari Maria, kan?” ucapnya. Wajahnya mulai berubah manis denga
Denis berjingkat pergi dari hadapan Hanif dan ibunya. Dia merasa geram sekali pada dua orang itu.Bruk!Denis membanting pintu mobilnya saking emosi. Fery tertawa melihat kelakuan temannya itu.“Keren elu, Den. Bilang ke gue jangan ngotorin tangan buat ngebasmi curut itu, eh malah elu yang bikin dia jungkir balik kaya gitu,” katanya dengan tawa yang renyah.Denis mengusap wajahnya dengan kasar. Jika saja tak ingat hukum, mungkin dia sudah menghancurkan mulut kotor Hanif yang sudah seenaknya mengatai orang.Dia bahkan tak mau membalas ucapan Fery. Saat ini hatinya masih panas karena kelakuan yang ditunjukan Hanif padanya.Mobil Denis meluncur dengan kencang, meninggalkan Hanif yang masih meringis kesakitan. Dia berusaha banngkit dengan dibantu oleh ibunya.“Aah, telat kamu ngasih tau ibu. Coba kalau kemarin kamu ngasih tau di mana rumahnya si Fany, mungkin Ibu sudah dapat uang yang banyak dari pacarnya si Maria itu.”Mendengar kata pacarnya Maria, Hanif langsung naik pitam. Dia tak bis
“Ayo, Mas. kita biarkan Mbak Maria sama Amanda melepas kangen. Mereka pasti butuh waktu,” bisik Suci yang mengajak suaminya keluar dari ruang perawatan itu. Dia tahu jika Maria pasti risih jika ada lelaki di ruangan itu. Suci tahu jika Maria akan memberikan ASI untuk Amanda kecil.“Kamu kangen Mama, Sayang?” ucap Maria dengan suara pelan. Air matanya tiba-tiba menggenang dan bergulir begitu saja di pipinya. Mata Amanda berbinar bahagia. Meskipun dia masih sangat kecil, tetapi hatinya sudah tahu siapa yang sangat menyayanginya. Dia endusel-endusel ke dada Maria, mencari air susu yang entah kenapa tiba-tiba menghilang. Amanda terlalu kecil untuk mengerti itu.“Kamu haus, Sayang?” Maria membuka kancing bajunya dan Amanda langsung menyusu dengan rakus. Matanya menatap Maria tak berkedip, seolah takut jika nanti dia akan kehilangan Maria lagi.Bukan hanya Amanda yang hilang rasa haus dan laparnya, tetapi Maria pun merasa sangat lega setelah kemarin merasakan sakit karena payudaranya bengk
“Wah perkembangannya bagus sekali ini,” ucap dokter yang sedang memeriksa kondisi Amanda.“Iya, Dok. Dia sudah minum ASI lagi sekarang,” jawab Denis yang melirik pada Maria yang duduk tak jauh dari sana.“Oh, bagus. Sepertinya anak ini ada alergi susu juga. Sebaiknya teruskan saja ASI-nya. Jangan sampai terjadi seperti ini lagi,” ujar sang dokter.“Baik, Dok.” Denis mengangguk pelan.“Kita lihat besok, jika semakin baik, maka Amanda boleh pulang,” lanjut sang dokter yang menyimpan stetoskopnya ke dalam saku sneli.Denis, Fery, Suci dan tak terkecuali Maria merasa senang mendengar kabar itu. Anak itu sudah melalui masa kritisnya setelah bertemu lagi dengan ibu susunya. Beberapa jam sekali Amanda bangun dan mencari Maria. Jika seperti itu, Denis dan Fery langsung mengerti jika mereka harus segera meninggalkan ruangan itu karena Maria harus memberi ASI pada Amanda.Meski masih kecil, Amanda tahu dengan orang yang menyayanginya setulus hati. Jika saja dia dapat bicara, mungkin dia akan me
“Maaf kalau kamu keberatan untuk mengatakan hal itu pada saya. Saya hanya penasaran saja bagaimana anakmu sampai tiada. Kenapa kamu bilang kalau suami kamu nggak mau memakamkan anak kalian.”“Maaf, Pak. Dia bukan lagi suami saya,” potong Maria yang tak terima jika Hanif disebut sebagai suaminya.“Oh, maaf. Maksudku mantan suami kamu.” Denis meralatnya.“Dari sikap yang mereka tunjukan sama kamu, saya bisa menilai jika mereka mungkin sudah membuatmu menderita. Lalu, bagaimana ceritanya anakmu sampai meninggal?” tanya Denis yang masih penasaran.“Anak saya terlahir cacat. Dia juga down sindrom. Di awal kelahirannya mereka sudah menolak kehadiran Rania. Lalu, Rania sakit panas, tapi saya tidak bisa membawanya ke dokter karena saya tidak ada uang sama sekali.”“Kamu bisa minta sama suami kamu, kan?” potong Denis yang merasa sangat heran. Bagaimana mungkin Hanif begitu tega jika anaknya sakit dan tak membawanya ke dokter.Maria menggeleng pelan. “Saya minta Mas Hanif untuk antar ke dokter
“Bapak?” ucap Maria yang langsung menunduk saat melihat ada Denis di ambang pintu. Dia gegas menyembunyikan sisirnya.“Maaf, saya mau ngasihin ini sama kamu. Tadi saya tanya sama suster soal suplemen pelancar ASI. Dia nyaranin ini. Katanya ini bagus,” ucap Denis sambil menaruh sebuah kotak kecil ke atas meja. Kotak kecil dengan gambar ibu menyusui.“Oh, itu ya, Pak. Padahal tidak perlu pakai itu juga ASI saya sudah lancar,” jawab Maria dengan sikap yang gugup. Dia malu sekali karena kepergok tengah merias diri walaupun hanya menyisir.“Maaf mengganggu. Silakan kamu lanjutkan lagi,” ujar Denis dengan wajah yang memerah. Sikapnya juga terlihat tak kalah gugup dari Maria.“I-iya, Pak.” Maria tertunduk malu sambil memilin jarinya sendiri.“Hmm. Saya … ke luar,” ucap Denis semakin gugup.Maria mengangguk pelan dan mengangkat wajahnya untuk melihat kepergian Denis.“Mmh, by the way … kamu cocok banget pake baju itu,” ucap Denis yang menghentikan langkah dan menoleh pada Maria. Dia berkat