“Ingat! Jangan sampai aku melihatmu lagi, kalau tidak … aku akan hancurkan mulut kotormu itu!” Denis mengepalkan tangannya dengan kuat. Dia menahan diri untuk tidak membunuh lelaki yang benar-benar bermulut kotor itu.Hanif malah tertawa dengan renyah. Tangannya menyeka darah yang keluar dari bibirnya yang sobek.“Kau doyan sama barang bekas ya?” ucapnya mengejek, membuat Denis kembali tersulut emosi.Brak!Kaki jenjang itu akhirnya melesak di dada Hanif hingga lelaki itu terjengkang dan mengaduh kesakitan.“Sekali lagi kau berkata kotor, kuhancurkan mulutmu itu!” teriak Denis penuh emosi.“Aarrgghh! Kenapa kau aniaya anakku?!” Tiba-tiba saja datang seorang perempuan bertubuh montok yang menghambur dan memeluk Hanif yang tersungkur tak berdaya.“Kau! Siapa kau?” desis ibunya Hanif penuh dendam. Namun, matanya langsung melebar saat mengingat wajah yang mengadakan sayembara untuk mencari keberadaan Maria.“Eeh, kamu … yang nyari Maria, kan?” ucapnya. Wajahnya mulai berubah manis denga
Denis berjingkat pergi dari hadapan Hanif dan ibunya. Dia merasa geram sekali pada dua orang itu.Bruk!Denis membanting pintu mobilnya saking emosi. Fery tertawa melihat kelakuan temannya itu.“Keren elu, Den. Bilang ke gue jangan ngotorin tangan buat ngebasmi curut itu, eh malah elu yang bikin dia jungkir balik kaya gitu,” katanya dengan tawa yang renyah.Denis mengusap wajahnya dengan kasar. Jika saja tak ingat hukum, mungkin dia sudah menghancurkan mulut kotor Hanif yang sudah seenaknya mengatai orang.Dia bahkan tak mau membalas ucapan Fery. Saat ini hatinya masih panas karena kelakuan yang ditunjukan Hanif padanya.Mobil Denis meluncur dengan kencang, meninggalkan Hanif yang masih meringis kesakitan. Dia berusaha banngkit dengan dibantu oleh ibunya.“Aah, telat kamu ngasih tau ibu. Coba kalau kemarin kamu ngasih tau di mana rumahnya si Fany, mungkin Ibu sudah dapat uang yang banyak dari pacarnya si Maria itu.”Mendengar kata pacarnya Maria, Hanif langsung naik pitam. Dia tak bis
“Ayo, Mas. kita biarkan Mbak Maria sama Amanda melepas kangen. Mereka pasti butuh waktu,” bisik Suci yang mengajak suaminya keluar dari ruang perawatan itu. Dia tahu jika Maria pasti risih jika ada lelaki di ruangan itu. Suci tahu jika Maria akan memberikan ASI untuk Amanda kecil.“Kamu kangen Mama, Sayang?” ucap Maria dengan suara pelan. Air matanya tiba-tiba menggenang dan bergulir begitu saja di pipinya. Mata Amanda berbinar bahagia. Meskipun dia masih sangat kecil, tetapi hatinya sudah tahu siapa yang sangat menyayanginya. Dia endusel-endusel ke dada Maria, mencari air susu yang entah kenapa tiba-tiba menghilang. Amanda terlalu kecil untuk mengerti itu.“Kamu haus, Sayang?” Maria membuka kancing bajunya dan Amanda langsung menyusu dengan rakus. Matanya menatap Maria tak berkedip, seolah takut jika nanti dia akan kehilangan Maria lagi.Bukan hanya Amanda yang hilang rasa haus dan laparnya, tetapi Maria pun merasa sangat lega setelah kemarin merasakan sakit karena payudaranya bengk
“Wah perkembangannya bagus sekali ini,” ucap dokter yang sedang memeriksa kondisi Amanda.“Iya, Dok. Dia sudah minum ASI lagi sekarang,” jawab Denis yang melirik pada Maria yang duduk tak jauh dari sana.“Oh, bagus. Sepertinya anak ini ada alergi susu juga. Sebaiknya teruskan saja ASI-nya. Jangan sampai terjadi seperti ini lagi,” ujar sang dokter.“Baik, Dok.” Denis mengangguk pelan.“Kita lihat besok, jika semakin baik, maka Amanda boleh pulang,” lanjut sang dokter yang menyimpan stetoskopnya ke dalam saku sneli.Denis, Fery, Suci dan tak terkecuali Maria merasa senang mendengar kabar itu. Anak itu sudah melalui masa kritisnya setelah bertemu lagi dengan ibu susunya. Beberapa jam sekali Amanda bangun dan mencari Maria. Jika seperti itu, Denis dan Fery langsung mengerti jika mereka harus segera meninggalkan ruangan itu karena Maria harus memberi ASI pada Amanda.Meski masih kecil, Amanda tahu dengan orang yang menyayanginya setulus hati. Jika saja dia dapat bicara, mungkin dia akan me
“Maaf kalau kamu keberatan untuk mengatakan hal itu pada saya. Saya hanya penasaran saja bagaimana anakmu sampai tiada. Kenapa kamu bilang kalau suami kamu nggak mau memakamkan anak kalian.”“Maaf, Pak. Dia bukan lagi suami saya,” potong Maria yang tak terima jika Hanif disebut sebagai suaminya.“Oh, maaf. Maksudku mantan suami kamu.” Denis meralatnya.“Dari sikap yang mereka tunjukan sama kamu, saya bisa menilai jika mereka mungkin sudah membuatmu menderita. Lalu, bagaimana ceritanya anakmu sampai meninggal?” tanya Denis yang masih penasaran.“Anak saya terlahir cacat. Dia juga down sindrom. Di awal kelahirannya mereka sudah menolak kehadiran Rania. Lalu, Rania sakit panas, tapi saya tidak bisa membawanya ke dokter karena saya tidak ada uang sama sekali.”“Kamu bisa minta sama suami kamu, kan?” potong Denis yang merasa sangat heran. Bagaimana mungkin Hanif begitu tega jika anaknya sakit dan tak membawanya ke dokter.Maria menggeleng pelan. “Saya minta Mas Hanif untuk antar ke dokter
“Bapak?” ucap Maria yang langsung menunduk saat melihat ada Denis di ambang pintu. Dia gegas menyembunyikan sisirnya.“Maaf, saya mau ngasihin ini sama kamu. Tadi saya tanya sama suster soal suplemen pelancar ASI. Dia nyaranin ini. Katanya ini bagus,” ucap Denis sambil menaruh sebuah kotak kecil ke atas meja. Kotak kecil dengan gambar ibu menyusui.“Oh, itu ya, Pak. Padahal tidak perlu pakai itu juga ASI saya sudah lancar,” jawab Maria dengan sikap yang gugup. Dia malu sekali karena kepergok tengah merias diri walaupun hanya menyisir.“Maaf mengganggu. Silakan kamu lanjutkan lagi,” ujar Denis dengan wajah yang memerah. Sikapnya juga terlihat tak kalah gugup dari Maria.“I-iya, Pak.” Maria tertunduk malu sambil memilin jarinya sendiri.“Hmm. Saya … ke luar,” ucap Denis semakin gugup.Maria mengangguk pelan dan mengangkat wajahnya untuk melihat kepergian Denis.“Mmh, by the way … kamu cocok banget pake baju itu,” ucap Denis yang menghentikan langkah dan menoleh pada Maria. Dia berkat
Sepulang dari rumah sakit, Denis menyuruh agar Maria sekamar dengan Amanda untuk sementara sampai anak itu lepas ASI. Maria teramat senang karena akhirnya dia bisa berdekatan terus dengan bayi yang sudah dia anggap anak sendiri.Denis juga kembali mencari seorang ART untuk membantu pekerjaan rumah, setelah ART sebelumnya yang menghilang begitu saja.“Padahal saya masih bisa ngerjain kalau Dek Manda lagi tidur,”ujar Maria saat seorang ART baru datang ke rumah itu.“Sudahlah, kamu fokus sama Amanda saja. Kalau kamu harus ngerjain pekerjaan rumah juga, kapan kamu istirahatnya?” jawab Denis.Maria merasa tersanjung meski dengan perhatian sekecil itu. Baginya yang sering disebut sebagai anak haram, sebuah penghargaan itu sangat jarang didapatkan.“Saya harus ke kantor hari ini, jadi … saya titipkan Amanda sama kamu. Nanti Bi Noneng yang akan masakin buat kamu, karena saya tidak bisa pulang saat makan siang, hari ini. Ok?” Denis nyerocos sebelum pamit ke kantor.Maria hanya bisa mengangg
Jam sudah menunjukan pukul lima sore. Para staff dan pegawai lainnya sudah mulai meninggalkan ruangan kerjanya, sementara Denis masih fokus di depan laptopnya. Tok, tok. Suara ketukan terdengar di pintu kaca ruangannya. Denis pun mempersilakan masuk. Wajah Darius muncul dengan senyuman jahilnya. “Gimana, masih belum menentukan mau datang atau nggak?” tanyanya. Denis tertawa kecil sambil mengggelengkan kepalanya. “Aku kira Abang tak ingat. Aku masih ada kerjaan,” jawabnya santai. “Halah, biarin aja dulu. kerjaan nggak akan ada habisnya. Ayo, matikan saja laptopnya. Kita bersenang-senang dulu malam ini,” ajak Darius. Denis mengempaskan punggungnya pada sandaran kursi. “Huuft. Abangku ini pemaksa juga. Baiklah. Aku akan bersiap. Tapi sepertinya nggak akan cukup waktu untuk pulang dulu.” “Penampilanmu sudah sempurna, Denis. Tidak akan ada orang yang tau kalau kamu tidak berganti pakaian setelah pulang dari bekerja.” Darius tergelak. Lelaki itu berusaha sekuat tenaga untuk membahag
“Tak perlu basa basi,” jawab ibunya Hanif terlihat emosi. Dia sangat kesal karena melihat Maria yang terlihat mewah. Sementara dirinya justru terlihat kumal.“Baiklah kalau tidak boleh berbasa basi. Sepertinya kalian tetap saja sial walaupun sudah mengusir Maria.” Denis tersenyum miring.Mata Hanif langsung melotot, begitu juga dengan ibunya.“Enak aja kamu bilang kami sial. Hanif ini sekarang bekerja di perusahaan bonafid. Dia ini jadi manager,” balas ibunya Hanif dengan mata melotot.Denis tersenyum miring. “Oh ya? Benarkah? Anak Ibu bilang jadi manager?” tanyanya dengan nada mencibir.“Ya, tentu saja. Bukan begitu, Hanif?” ujar wanita paruh baya itu dengan dagu yang mendongak.“I-iya, tentu saja,” jawab Hanif tergagap.“Oh begitu. Baguslah kalau memang dia sudah jadi manager. Permisi, kami mau mencari peralatan bayi,” pamit Denis yang lalu menuntun Maria untuk memasuki toko.Istrinya Hanif pun ikut mengekor sambil menarik Hanif untuk segera masuk ke dalam toko. Namun, lelaki itu me
Maria tersipu malu saat bangun keesokan harinya. Dia merasa berbunga-bunga karena telah menjadi seorang istri yang utuh bagi Denis. Dia menutupi tubuhnya yang polos dengan handuk yang terserak di lantai.“Mbak, Mbak Maria.” Terdengar panggilang dari Bi Noneng.“I-iya, Bi?” Maria gegas membuka pintu itu sedikit. Ternyata wanita itu tengah menggendong Amanda yang habis menangis.“Astagfirullah, Sayang maafin Mama,” ujar Maria yang langsung membuka pintu dan mengambil Amanda dari tangan Bi Noneng.Wanita paruh baya itu tak sengaja melihat ke dalam kamar di mana ada Denis yang masih terlelap di atas kasur milik Maria.“Eh.” Maria tampak malu karena kepergok telah sekamar.Bi Noneng malah tersenyum dan mengelus pundak Maria. “Sudah sewajarnya, toh? Pak Denis itu suamimu, Mbak. Dia seperti orang gila sewaktu Mbak Maria pergi dari rumah. Dia sering melamun dan gelisah,” ucapnya.“Kalian berhak bahagia. Saya ikut senang, Mbak,” pungkasnya sebelum beranjak pergi.Maria masih terpaku setelah me
Maria gegas menyilangkan kedua tangan pada dua area sensitifnya. Dia begitu malu dengan perlakuan Denis padanya. Maria hendak jongkok untuk mengambil lagi handuknya, tetapi tangan Denis lekas menahannya.Maria mendongak melihat pada lelaki yang menggelengkan kepalanya. Denis lalu menarik Maria agar kembali tegak berdiri.“Ba-pak, saya ….” Wajah Maria sudah merah saking malunya.“Ini bukan pertama kali kamu melakukannya, bukan? Seharusnya aku yang mesti malu, karena ini adalah hal yang pertama buatku,” ucap Denis yang semakin membuat Maria tersipu malu. Wanita itu menunduk dalam.“Saya … rasanya tidak pantas untuk Bapak. Saya ini hanya perempuan miskin pembawa sial,” ucap Maria dengan suara tercekat. Namun, Denis justru menarik dagu Maria agar kembali menatapnya.“Aku akan buktikan jika kamu adalah wanita yang penuh keberuntungan,” balas Denis dengan tatapan lekat. Dia berusaha memupuk cinta itu agar semakin subur. Maria bukan wanita yang sulit untuk dicintai. Wanita itu begitu tulus
Maria hanya diam selama perjalanan. Dengan hati terpaksa Maria ikut pulang dengan Denis. Mau bagaimana lagi, Amanda tak bisa lepas darinya. Anak itu menangis keras saat Maria menyerahkan pada Denis.Entah apa yang akan terjadi nanti, mungkin Maria akan minta Denis untuk mencarikan baby sitter baru, lalu dirinya akan meminta cerai dan pergi.Denis sesekali melirik ke samping kirinya dan melihat Maria yang memangku Amanda yang tertidur lelap.“Kamu sudah makan?” tanya Denis yang merasa kasihan sekali melihat istrinya itu begitu kurus.Maria mengangguk pelan.“Makan apa?” telisik Denis penasaran.Maria terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku makan bubur sisa Amanda tadi.”Denis memejamkan matanyanya sejenak dan menggeleng. Pantas saja wanita itu begitu kurus, karena hanya makan makanan sisa anaknya. Lelaki itu beristigfar dalam hatinya.Benar kata Amanda, jika Maria adalah wanita terbaik yang bisa menggantikannya.“Kita makan dulu,” ujar Denis lalu membelokan mobilnya menuju sebu
Fery segera membuat pengumuman orang hilang dan menyebarnya di berbagai media sosial. Dia yakin cara itu akan jauh lebih mudah dilihat orang-orang saat ini.Dia juga menjanjikan akan memberi imbalan yang besar bagi yang memberikan kabar tentang keberadaan Maria seperti dulu.Fery sangat khawatir dengan nasib Amanda juga pengasuhnya itu.Maria hanya wanita lemah yang membawa seorang bayi. Dia yakin akan susah untuk mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan.Saat ini Maria sedang menyetrika di sebuah rumah. Sementara Amanda duduk sambil memainkan boneka usang yang ditemukan Maria di tempat sampah. Boneka monyet yang dia ambil dan dicuci sampai bersih, lalu dia berikan untuk mainannya Amanda.Beruntung anak itu sangat baik dan tak banyak rewel. Asal sudah kenyang maka tak akan ada lagi rengekan.Setiap hari Maria mengutamakan perutnya Amanda sebelum dia yang makan. Asalkan Amanda sudah kenyang, maka dia akan memakan sisanya, walaupun itu hanya bubur nasi.Tubuh Maria semakin kurus
Mobil Denis meluncur cepat menuju kontrakan Fany. Dia merasa yakin jika Maria akan pergi dan menginap di sana.Denis memukuli handel stirnya saking tak sabar. Jalanan dipadati kendaraan, sehingga macet.“Sial! Kenapa malah macet segala!” rutuk Denis sangat kesal. Berulang kali dia melirik pada jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam 9 malam.“Mudah-mudahan saja Maria benar ke rumahnya Fany. Kalau tidak ….” Denis bahkan tak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri. Dia khawatir jika terjadi apa-apa pada Maria juga Amanda.Mobilnya perlahan melaju, hingga akhirnya menemukan persimpangan, Denis memilih jalan lain yang tidak macet walaupun lebih jauh.“Huuft!” Dia mengembus napas kasar. Kemacetan telah membuatnya hampir kehilangan akal sehat.“Jakarta semakin hari semakin macet aja. Mengerikan!” umpatnya kesal. Namun, sekarang mobil itu sudah melaju kencang menuju kontrakan Fany yang jaraknya tak jauh lagi.Denis memarkir mobil sembarangan. Dia membanting pintu dan melangkah cepat
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Denis terperanjat turun dari tempat tidurnya.“Aahh, semalam, kan, aku anter kamu pulang ke sini. kenapa kamu lupa?” Irene malah menguap.“Sial!’ umpat Denis yang langsung pergi ke kamar mandi.“Kamu cepat pakai baju dan pulang!” usir Denis sambil membanting pintu kamar mandinya.Irene justru semakin berleha-leha di atas tempat tidur. Namun, rasa haus menyiksa tenggorokannya. Dia lalu bangkit dan turun. Sambil celingak-celinguk dia mencari dapur. Lalu, matanya menangkap sosok Maria yang sedang menyiapkan sarapan.“Hei, kamu pembantu di sini?” tanya Irene sambil memainkan rambutnya. Maria meliriknya dengan hati yang teramat sakit. Irene hanya mengenakan pakaian seadanya.“Iya, Mbak. Mau sesuatu?” tanya Maria dengan sopan.“Aku haus,” jawab Irene yang kemudian duduk di kursi makan.“Tunggu sebentar, saya ambilkan air,” kata Maria yang berbalik menuju dapur dan tak lama kembali dengan segelas air putih.“Silakan diminum, Mbak,” ucap Maria sambil m
Meski tahu jika Denis sama sekali tak menganggapnya seorang istri, tetapi bagi Maria sikap Denis yang seperti itu tetap saja keterlaluan dan melukai harga dirinya sebagai istri. Apalagi sekarang Denis sudah berani membawa wanita lain ke rumah mereka.Maria tak bisa memejamkan matanya. Hatinya gelisah memikirkan apa yang tengah dilakukan dua insan berlainan jenis itu di kamar suaminya.Amanda sudah tidur sejak tadi setelah kenyang menyusu, tetapi Maria tak bisa ikut terlelap padahal badannya sangat lelah.Maria menatap sendu pada Amanda. Jika bukan karena rasa sayangnya pada anak itu, mungkin dia sudah memilih untuk kembali melarikan diri dan menghilang saja.Maria keluar dari kamarnya dan mengendap mendekat ke kamar Denis. Ingin rasanya mendobrak pintu kamar itu dan menyuruh wanita yang datang bersama Denis itu untuk pergi. Namun, hatinya masih tak berani melakukannya.Rasa pedih dan tak berdaya membuatnya luruh dan bersimpuh di lantai dingin itu dengan air mata yang berderai.Kemudia
Pagi-pagi Denis seperti biasanya hendak sarapan setelah bersiap dengan setelan kerjanya. Maria sengaja menyiapkan sendiri sarapan untuk lelaki yang kini menjadi suaminya. Walaupun dia tahu jika Denis tak akan pernah menganggapnya sebagai seorang istri, tetapi bagi Maria kewajiban tetaplah kewajiban.“Ke mana Bibi? Kenapa kamu yang nyiapin sarapan?” tanya Denis sambil menarik kursi.“Mmh, ada. Bibi lagi beresin perabotan bekas masak,” jawab Maria ragu-ragu.“Lain kali biar si Bibi aja yang nyiapin sarapan. Kamu urus Amanda saja,” kata Denis.Maria mengangguk pelan tak bisa mendebat.“Ingat, pernikahan ini hanya status saja, Maria. Jangan kamu anggap serius. Tidak perlu kamu melayani aku seperti seorang istri. Mengerti?” Denis kembali mengingatkan.“Iya, pak. Saya mengerti. Tapi maaf, saya di sini hanya sebagai pelayan, karena itu saya juga berkewajiban melakukan apapun sebagai pelayan,” sahut Maria dengan suara yang parau.“Hmm, baiklah. Tapi … saya harap kamu tidak melalaikan tugas