Selesai salat Subuh Maria tak keluar dari kamar Amanda. Dia sengaja melakukan itu agar tak bertemu dengan Denis yang biasanya menikmati secangkir kopi di ruang tengah. Sekarang sudah ada Bi Noneng, jadi dia tak perlu lagi membuatkan kopi untuk majikannya itu. Dia lebih memilih untuk tiduran lagi sambil memeluk Amanda yang masih terlelap. Biasanya anak itu bangun pukul 8 untuk mandi. Maria tersenyum melihat wajah Amanda yang begitu menggemaskan. Pipinya kembali gembil. Mulutnya sedikit menganga. Tangan Maria jahil menutup bibir itu agar tak terbuka. Namun, bibir itu kembali terbuka perlahan. Maria tertawa pelan, merasa ada hiburan. Kesedihan hatinya sedikit terobati dengan tingkah laku Amanda kecilnya. Kerinduannya pada Rania perlahan terkikis. Sementara itu, di ruang tengah, Denis sesekali melirik ke arah kamar Amanda. Dia tak berani masuk karena takut jika Maria sedang menyusui. Lalu, dia melihat ke arah jam yang menggantung di dinding. Sudah pukul enam lewat tetapi Maria tak
Denis menyelesaikan sarapannya dengan perasaan gundah. Dia menyesal sudah membentak dan berbuat kasar pada Maria. Dia tahu jika wanita di hadapannya ini sangat rapuh dan perasa.“Maaf, saya tidak bermaksud marah sama kamu, Maria. Saya takut kalau-kalau Amanda sakit, dan kamu juga sakit karena telat makan. Makanlah yang banyak.” Suara Denis melemah. Dia lalu bangkit meninggalkan Maria yang masih menunduk ketakutan.Denis menyetir dengan pikiran ke mana-mana. Tentang mendiang Amanda, tentang pesta semalam dan Irene, lalu bayangan Maria yang ketakutan saat melihatnya, juga saat Denis tak sengaja melihat sebagian paha Maria yang terbuka.Lelaki itu memukuli handle stir dan terlihat frustrasi.“Maafkan aku, Amanda. Kenapa aku jadi seperti ini?” rutuk Denis yang mendadak membanting setir ke kiri dan menghentikan mobilnya di pinggir jalan.“No! aku hanya cinta Amanda.” Denis menggelengkan kepalanya. Namun, dia kembali teringat dengan perkataan sang kakak juga Fery yang bilang jika dia pasti
Hanif yang terhuyung langsung menegakan tubuhnya sambil menyeka ujung bibirnya yang berdarah.“Kamu marah rupanya, karena pacarmu disebut barang bekas,” ucap Hanif dengan nada mengejek.Denis akan melayangkan lagi tinjunya, tapi Maria gegas menahannya. “Jangan kotori tangan Bapak,” ucapnya dengan tatapan tajam pada Hanif. Belum pernah maria seberani itu. Biasanya dia hanya diam dan menurut. Namun, ucapan hanif barusan yang mengatakan dirinya barang bekas, sungguh melukai hatinya.“Berani juga kamu, Maria?” ucap Hanif sambil menilik Maria dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Sepertinya kamu sudah punya banyak uang sekarang, hah? Melacur kamu ya? Sampai bisa beli baju dan sepatu yang bagus,” katanya dengan tawa mengejek.“Tutup mulutmu!” bentak Denis. Dia sudah tak pedulikan lagi dengan tatapan orang-orang yang melihat pertengkaran mereka.Hanif tertawa renyah. “Kamu tidak tau kan, kalau dia ini anak haram. Ibunya juga seorang pelacur sampai lahir dia. Aku menikahinya karena dulu dia
Maria duduk diam di depan meja rias di kamarnya. Tatapannya kosong. Pikirannya melayang ke mana-mana. Ingin rasanya pergi saja dari sana agar tak harus terjebak dalam pernikahan yang tak diinginkannya. Namun, haruskah dia meninggalkan Amanda lagi untuk kedua kalinya? Bagaimana jika anak itu sakit lagi?Pikiran buruk memenuhi kepala Maria. Walau bagaimanapun, dia teramat sayang pada Amanda yang sudah dia anggap anaknya sendiri.Atau … mungkin dia harus membuat perjanjian dengan Denis untuk mengakhiri pernikahan itu saat Amanda bisa lepas darinya.Di luar, orang-orang sudah ramai mendekor rumah Denis. Lelaki itu memang memutuskan untuk menikah di rumahnya. Dia tidak mengundang banyak tamu, hanya keluarga dan teman dekat saja.“Maria, ada tamu untukmu,” ujar Denis dari luar dibarengi ketukan pelan.“Iya, Pak. Sebentar,” jawab Maria yang melirik pada Amanda yang tertidur pulas di atas kasurnya. Maria bangkit dan menuju pintu. Dia buka dan ada Denis yang sedang berdiri dengan beberapa or
Denis dan Maria menikah dengan wali hakim, karena Maria tak punya ayah. Hanya saudara dari pihak ibunya yang datang. Itu pun hanya dua orang. Selain jauh, mereka juga tak punya uang untuk ongkos ke sana.“Selamat untuk kalian. Mami senang kamu akhirnya bisa menemukan seseorang yang bisa membuatmu move on, Denis,” ucap seorang wanita paruh baya yang berwajah indo. Sangat cantik. Wajahnya menurun pada Denis yang lebih cenderung bule.Denis tersenyum sekilas pada sang ibu yang memang sangat tahu masa lalunya dengan Amanda. Wanita itu bahkan tahu saat Denis mencintai wanita yang berstatus istri orang. Lalu, saat Amanda bercerai dan bersama dengan anaknya.“Kamu cantik sekali, Maria. Just like an angel,” pujinya pada wanita yang kini resmi menjadi menantunya.Maria tersipu malu. Memang banyak yang memujinya cantik, tetapi tak pernah dia dapatkan dari seorang wanita yang berstatus mertua. Ibunya Hanif justru selalu menghinanya.“Kalian benar-benar cocok,” pujinya lagi.“Terima kasih,” jawab
“Oh, ya?” Denis balas tertawa. “Akan aku coba malam ini. Sepertinya bukan Maria yang longgar, tapi milikmu yang terlalu kecil,” katanya sambil menarik pinggang Maria agar merapat dengannya.Hanif melotot marah, begitupun dengan Maria yang kaget mendengar ucapan Denis barusan. Jantungnya berdebar cepat. Dia merasa salah tingkah dan membayangkan yang tidak-tidak.Hanif ingin sekali meninju wajah Denis, tetapi sang ibu menahannya. “Kamu jangan berbuat keributan di sini. Bisa-bisa kita diusir,” bisik wanita paruh baya itu. Hanif pun kembali menarik tangannya yang sudah mengepal dengan kuat.“Dia sudah menghinaku, Ma. Menyebalkan sekali,” ujar Hanif dengan rahang yang mengeras.“Sudahlah, ayo, kita pergi dari sini,” ajak wanita paruh baya itu. kedatangannya ke sana memang hanya ingin mengetahui siapa Denis sebenarnya. Dan sungguh sangat mencengangkan karena Maria bisa mendapatkan seorang suami yang jauh lebih baik dari pada anaknya.Hanif masih membutuhkan sokongan darinya. Lelaki itu sang
Pagi-pagi Denis seperti biasanya hendak sarapan setelah bersiap dengan setelan kerjanya. Maria sengaja menyiapkan sendiri sarapan untuk lelaki yang kini menjadi suaminya. Walaupun dia tahu jika Denis tak akan pernah menganggapnya sebagai seorang istri, tetapi bagi Maria kewajiban tetaplah kewajiban.“Ke mana Bibi? Kenapa kamu yang nyiapin sarapan?” tanya Denis sambil menarik kursi.“Mmh, ada. Bibi lagi beresin perabotan bekas masak,” jawab Maria ragu-ragu.“Lain kali biar si Bibi aja yang nyiapin sarapan. Kamu urus Amanda saja,” kata Denis.Maria mengangguk pelan tak bisa mendebat.“Ingat, pernikahan ini hanya status saja, Maria. Jangan kamu anggap serius. Tidak perlu kamu melayani aku seperti seorang istri. Mengerti?” Denis kembali mengingatkan.“Iya, pak. Saya mengerti. Tapi maaf, saya di sini hanya sebagai pelayan, karena itu saya juga berkewajiban melakukan apapun sebagai pelayan,” sahut Maria dengan suara yang parau.“Hmm, baiklah. Tapi … saya harap kamu tidak melalaikan tugas
Meski tahu jika Denis sama sekali tak menganggapnya seorang istri, tetapi bagi Maria sikap Denis yang seperti itu tetap saja keterlaluan dan melukai harga dirinya sebagai istri. Apalagi sekarang Denis sudah berani membawa wanita lain ke rumah mereka.Maria tak bisa memejamkan matanya. Hatinya gelisah memikirkan apa yang tengah dilakukan dua insan berlainan jenis itu di kamar suaminya.Amanda sudah tidur sejak tadi setelah kenyang menyusu, tetapi Maria tak bisa ikut terlelap padahal badannya sangat lelah.Maria menatap sendu pada Amanda. Jika bukan karena rasa sayangnya pada anak itu, mungkin dia sudah memilih untuk kembali melarikan diri dan menghilang saja.Maria keluar dari kamarnya dan mengendap mendekat ke kamar Denis. Ingin rasanya mendobrak pintu kamar itu dan menyuruh wanita yang datang bersama Denis itu untuk pergi. Namun, hatinya masih tak berani melakukannya.Rasa pedih dan tak berdaya membuatnya luruh dan bersimpuh di lantai dingin itu dengan air mata yang berderai.Kemudia