“Kamu kenapa menangis?” tanya Denis yang merasa tak enak hati. Dia takut jika Maria tersinggung karena tadi dia menanyakan soal kaleng-kaleng susu itu.Maria menggeleng pelan. “Nggak, Pak. Saya hanya merasa takut dan bersalah saja tadi. maaf karena saya sudah lancang memberikan barang-barang tanpa seizin Bapak,” ucapnya dengan suara yang masih terdengar serak.Denis manggut-manggut. “Maaf, Maria. Saya tidak bermaksud membuat kamu sedih. Saya hanya takut jika kamu menjual susu itu di belakang saya. Tapi … sepertinya pikiran saya terlalu bodoh, karena Amanda tumbuh sangat sehat. Nggak mungkin jika kamu menjual susu-susu itu dan mengganti susu untuk Amanda dengan susu murah,” ucapnya terkekeh.Maria menunduk dalam. Dia ingin mengakui jika selama ini memang memberikan susu lain pada Amanda, tetapi susu kaleng itu tidak dia jual. Susu itu dia berikan pada pemulung yang katanya punya bayi juga dan sang istri ASI-nya kurang.Denis merasa kasihan karena Maria hanya menunduk diam tak menjawab.
Maria keluar dari kamar Amanda dengan perasaan takut. Dia menunduk tak berani menatap Denis yang duduk di sofa ruang keluarga.“Duduklah!” pinta Denis dengan suara tegas.Maria pun duduk dengan langkah kaki yang gemetar.Denis menatap Maria dengan mata tak berkedip. Dia seakan ingin menguliti pikiran Maria yang sama sekali tak bisa ditebaknya.“Bisa kamu jelaskan apa yang terjadi tadi? Kenapa kamu tertidur dengan dada yang terbuka, seolah kamu sudah memberikan ASI pada Amanda,” cecar Denis terdengar marah.Maria memejamkan matanya sekilas dan menghela napasnya agar dadanya tak sesak, juga mengulur waktu untuk mencari alasan yang tepat.“Maria!” Denis mengulangi panggilannya. Wanita itu pun tersentak kaget.“Maaf, Pak. Saya … saya hanya ingin menenangkan Dek Manda saat menangis malam tadi—““Kamu malas bikin susu botol, jadi kamu cari jalan pintas dengan memberikan payudaramu pada Amanda, begitu?” potong Denis masih diliputi amarah. Dia tak suka jika Maria berani berbuat seperti itu.
“Kamu saya pecat dan jangan pernah menampakan dirimu lagi di sini. aku benar-benar marah!” teriak Denis.“Saya mohon, Pak. Maafkan saya. Saya hanya merasa sayang pada Dek Manda—““Sayang kamu bilang? Omong kosong! Kamu malah mungkin saja menularkan penyakit berbahaya pada putriku!” Telunjuk Denis menjentik ke arah kamar Amanda.Maria menggeleng pelan. “Saya tidak mengidap penyakit berbahaya, Pak. Saya bersumpah.”“Oh ya? Memangnya kamu sudah periksakan diri kamu ke lab?” tanya Denis yang langsung membungkam mulut Maria. Wanita itu menahan tangis yang sudah hampir pecah sejak tadi.Denis tertawa sinis. “Kamu nggak bisa jawab, kan? Harusnya kamu ngomong dulu sama aku, juga sama Fery kalau mau melakukan itu. kita nggak tau kamu sehat atau tidak.”“Iya, Pak. Saya minta maaf. Saya salah,” jawab Maria dengan isak tangis yang terdengar.Denis mengembus napas kasar. Dia berusaha menenangkan dirinya yang sudah dibakar amarah.“Ok, kamu saya maafkan. Tapi … kamu segera pergi dari sini. Saya tid
Denis sungguh kerepotan, saat dia membuat susu sambil menggendong bayi kecilnya yang terus-terusan menangis mencari sang ibu susu.“Cup, cup, cup. Sabar, ya, Sayang. Papa buatkan susu dulu buat kamu.” Denis menggoyangkan timangannya sementara tangan kanannya berusaha membuka kaleng susu. Sungguh sangat repot.Dia lalu menaruh Amanda di stroler agar dia bisa membuat susu tanpa membahayakan bayinya. Namun, Amanda begitu kejer, menangis dengan keras membuat Denis tidak fokus membuat susunya. Lagipula dia memang tidak paham bagaimana takaran yang seharusnya. Denis hanya mengira-ngira saat menuang susu ke dalam botol, lalu memberinya air panas begitu saja.“Uuupss, panas sekali,” ucapnya lalu membuang sebagian susu panas itu ke sink dan kemudian menambahnya dengan air dingin.“Segini kayaknya, ya,” gumamnya pada diri sendiri, kemudian membawa botol susu itu pada Amanda yang masih menangis dengan keras.“Cup, cup, anak Papa. Susunya udah jadi,” ucap Denis seraya mengambil Amanda untuk dige
Denis merasa senang karena Amanda kembali tertidur setelah kenyang minum susu. Namun, tak lama dia kembali merengek. Denis pun gegas menggendongnya untuk menenangkan. Akan tetapi Amanda tak kunjung diam.“Kamu kenapa, Sayang?” Denis mulai kebingungan. Dia membawa Amanda keluar dari kamar, tetapi bayi itu tetap menangis dan menendang-nendangkan kakinya. Lalu, tercium bau yang tak sedap dari bagian bawah.“Uuhhh!” Denis menjauhkan wajahnya dari Amanda. Sekarang dia tahu kenapa bayi itu tak juga berhenti menangis walau sudah berusaha dibujuk.Denis kebingungan, tak tahu harus bagaimana membersihkan bayi yang buang air besar.Dia membawa Amanda ke kamarnya lagi dan membaringkannya di kasur, tetapi dia tak tahu harus melakukan apa dulu untuk membersihkannya.Denis membuka cela panjang bayi itu dan tercium bau yang semakin menyengat. Lagi-lagi dia menjauhkan wajahnya.“Huuftt!” ternyata mengurus bayi itu tak semudah yang dibayangkan. Dia pikir akan mudah, ternyata membuat susu dan membersi
Amanda terus menangis. Selain haus dia juga merasa tak nyaman. Diapersnya sudah penuh dan kotor.“Duh, kamu pup lagi ya, Dek?” ucap Denis yang mencium bau dari bagian bawah tubuh Amanda. Dia menggerutu karena malas sekali rasanya jika harus membersihkan kotoran bayinya. Namun, tak ada pilihan lain sekarang selain membersihkannya, karena tak ada orang dewasa lain di rumah itu selain dia.“Aarggh. Aku harus mencari pengganti Maria secepatnya. Kalau tidak, aku bisa gila gara-gara ngurus bayi,” umpatnya sambil mengacak rambut.Denis kembali menguatkan diri untuk membuka diapers Amanda. Dia membaringkan bayi kecil itu dan mulai membuka celana lalu diapersnya. Baunya lebih menyengat dari yang semalam. Bentuknya juga jauh lebih encer dan berlendir. Kali ini, Denis mencoba membersihkannya dulu dengan tisu basah dan tisu kering. Lalu, dia memindahkan Amanda ke diapers yang baru. Namun, baru juga dipasang, Amanda kembali mengejan. Dia pup lagi dengan suara kentut yang nyaring.“Yaa ….” Denis
“Gimana sekarang, Fer? Gue bingung harus ke mana nyari Maria. Dia nggak ada HP atau alamat yang bisa dicari.” Denis mondar-mandir di ruang perawatan Amanda dengan wajah yang bingung. Wajah dan rambutnya tampak kusut karena semalaman tidur sering terganggu.“Entahlah, gue juga bingung. Tapi jika kita nggak nemuin Maria secepatnya, Amanda bisa bahaya.” Kedua lelaki itu diam sambil merenung, memikirkan langkah apa yang harus diambil oleh mereka selanjutnya.“Sayembara!” ujar Fery dengan wajah semringah. “Mungkin kita bisa membuat postingan dan membagikannya di sosial media. Seperti yang dulu pernah ague lakukan saat mencari Suci. Gue share ke grup WA. Gimana?”“Ah, iya. Ide yang bagus.” Denis memekik girang saat mendengar saran yang bagus dari Fery. “Gue bikin iklan pencarian orang. Gue akan kasih uang yang banyak buat yang bisa ngasih tau keberadaan Maria.”“Tapi … gue nggak punya fotonya Maria, Den. Elu punya?” tanya Fery yang memberengutkan wajahnya.Denis terdiam sejenak. Dia mengin
“Lumayan juga ini imbalannya. Tapi … ke mana kira-kira si Maria itu?” gumam ibunya Hanif.“Please, deh, Bu. Masa kita mau manfaatin hilangnya Maria demi dapetin uang?” Hanif menegurnya. Walaupun dia sudah menceraikan Maria, tetapi dalam hatinya dia masih memiliki rasa untuk mantan istrinya itu. Hanya saja hasutan sang ibu membuatnya gelap mata. Maria berubah menjadi sangat buruk di matanya, padahal dulu dia sangat mencintainya.“Ya, kali-kali dia bikin kita untung. Jangan bikin kita sial aja. Udah berapa banyak dia ngabisin duit kita? Nggak ada timbal baliknya sama sekali. Ngasih anak juga anak monster. Bener-bener pembawa sial!” umpat wanita montok itu.Di sudut ruangan pembantunya hanya bisa geleng-geleng mendengarkan majikannya yang begitu benci pada mantan menantunya. Si Bibi yang tahu bagaimana sikap Wuri—ibunya Hanif— pada Maria. Dia juga beberapa kali menemukan bungkusan jamu yang aneh, yang sering Wuri berikan pada menantunya saat hamil.Diam-diam Bi Sum membawa bungkusan it